“Hey, kau melamun? Kau pasti sedang memikirkan anak baru itu kan?”
“Tidak. Aku hanya sedang berpikir
obat apalagi yang harus kuminum.” Dia mengerutkan dahi. Mengulurkan tangannya
untuk menyentuh dahiku. “Kau tidak panas.”
“Aku memang tidak panas. Siapa yang
bilang aku panas? Aku hanya ingin mengganti obatku. Aku rasa, obat yang
sekarang kurang ampuh,” tukasku.
“Serangan itu masih sering muncul?”
Aku mengangguk pelan menjawab pertanyaan Della, sahabatku yang kelewat
perhatian dan terkesan serba ingin tahu. Kugeser tumpukan buku-buku dan segelas
kertas kopi yang isinya mulai dingin. Kulipat kedua tanganku, membiarkan
kepalaku beristirahat sejenak sebelum kembali dirasuki materi yang membosankan.
Dan aku tidak perlu pusing memikirkan Della, dia akan segera pergi ke kerumunan
pemain basket selagi aku tidur. Dia memang cantik dan popular, jadi tidak akan ada
yang mengusirnya.
Selalu hujan. Aku tidak membenci
hujan, justru aku sangat menyukai hujan. Karena buatku hujan akan membawa kita
kembali ke masalalu yang berharga. Tapi
untuk pertama kalinya aku membenci hujan. Kenapa harus hari ini? Kenapa harus
dijam dan disaat ini?, pikirku. Aku berdiri menerawang jauh keluar jendela.
Uap nafasku membentuk lapisan tipis, menghalangi pandanganku keluar. Orang itu
masih belum juga datang, harus berapa lama lagi aku menunggunya?
Kulepaskan semua pakaianku dan
kuganti dengan kaos lengan panjang, celana sebetis yang hangat dan tidak
ketinggalan sandal buluku. Aku tidak mau tampak seperti orang yang rela
kedinginan untuk menunggu pangeran berkuda putih datang, meskipun itu yang
telah kulakukan, tapi setidaknya tidak di depan orang itu. Aku menghangatkan
supku untuk kedua kalinya. Tidak ada makanan yang bisa kumasak karna Ibu memang
belum pulang dan aku malas untuk itu.
“Ya tunggu sebentar!!” teriakku dari
balik meja tinggi. Aku mengerang, kakiku menahanku untuk tetap di dekat kompor,
sementara kupingku memintaku untuk segera membuka gedoran pintu yang semakin
lama semakin menjadi. “Ya!!!” teriakku lebih keras.
“Apa– ”
“Maaf. Aku minta maaf. Aku tahu
kalau aku terlambat, tapi sungguh aku minta maaf,” potongnya buru-buru. Orang
ini kenapa? Apa dia salah minum obat atau kepalanya terbentur tembok waktu
datang kemari? Aneh.
“Kenapa terlambat?” tanyaku sambil
menyodorkan semangkuk sup– yang aku tidak yakin bagaimana rasanya. “Boleh aku
habiskan sup ini dulu?” Aku mengangguk. Nafsu makanku menghilang. Uap sup sama
sekali tidak berhasil menggoda meskipun perutku mulai kelaparanan.
“Maaf, aku harus mengantar
nenek-nenek yang tersesat di jalan.”
“Dasar tukang bohong yang bodoh. Kau
pasti ketiduran lagi kan?” tebakku yang berhasil membuatnya langsung mengaku.
Ternyata daritadi aku berdiri penuh harap,
sementara
dia masih asik bergulat dengan bidadari-bidadari mimpinya. Baiklah, aku harus
beri dia pelajaran. “Pulanglah, aku malas bertemu pembohong sepertimu.”
“Kau tahu– ”
“Kita harus kembali ke kelas.”
Mataku mengerjap, membetulkan cahaya yang masuk ke mataku. Mulutku terbuka lebar
saat aku meregangkan badanku yang secepat kilat kututup dengan kedua tanganku.
Jam 12, masih ada lima menit sebelum pelajaran dimulai. Sepertinya di taman ini
tinggal kami berdua. Ke arah manapun, aku memutar pandanganku, aku hanya melihat
Della yang berdiri di hadapanku. Kuhembuskan nafasku dengan cukup berat lalu
berdiri, “Ayo!”
***
“Krikil yang menganggu!” umpatku
sambil menendangi kaleng minuman kosong. Seharusnya sekarang aku sudah ada di
rumah, menyalakan tv dan memutar ulang DVD, lengkap dengan popcorn yang kubuat
kemarin. Tapi sekarang aku harus kembali ke apotek dan membeli obat sialan itu,
pikirku kesal dengan kondisi kepala yang sering kambuh.
Kudorong pintu putar, memastikan aku
menemukan apa yang kucari. “Aspirin,” jawabku dibalik etalase setinggi dada.
Tidak lama, petugas apotek keluar dengan membawa Aspirin yang sangat
kubutuhkan. “Terimakasih.” Aku berbalik, mataku menyipit.
“Tidak biasa ada anak Lavinian berkunjung ke apotek ini, biasanya kan
mereka pergi ke apotek dekat sekolah? Ahh, apa urusanku juga,” gumamku.
“Kau anak baru itu kan?” sapaku sok akrab. Dia terlihat lebih ramah,
hangat dan tampan. Apalagi matanya yang coklat, rahangnya yang kuat, rambut
hitam dan lesung pipinya yang tidak terlalu dalam itu. Menggemaskan!
“Ya. Kau sakit?” Aku mengendikkan
bahu, “Mungkin. Bisa dibilang begitu tapi karna sudah terbiasa, seperti membeli
vitamin. Kau sendiri?” Sekonyong-konyong, aku langsung mengulurkan tanganku
persis seperti apa yang dilakukan Della tadi. Oh God! Apa yang sudah aku lakukan?, batinku. Tersadar akan hal
memalukan yang baru saja kulakukan, secepat kilat kutarik punggung tanganku
dari dahinya.
“Bagaimana?” katanya yang membuatku semakin malu.
“Kau tidak panas. Mungkin demam,”
aku memeriksa dahiku sendiri, “ahh bukan, bukan kau tapi aku yang demam.
Baiklah aku duluan. Oh iya, aku Putri, kau?”
“Rino. Mau kuantar?”
“Bukannya kau– ” Belum selesai aku
mengeluarkan semua kalimat di mulutku, laki-laki ini– Rino –sudah menarikku
melewati pintu putar. Tangannya begitu besar tapi terasa tidak begitu kuat.
Tunggu, tadi siapa namanya? Rino?
Aku menegak dua pil Aspirin dan
merangkak ke atas tempat tidur. Memanjakan tubuhku yang lelah dibalik selimut
tebal yang hangat. Sebelum aku benar-benar tidur dan meninggalkan dunia nyata,
aku memutar kembali apa yang sudah aku lakukan bersama orang itu, Rino, sepanjang
hari. Bagaimana sopannya dia saat mempersilahkanku duduk, berjalan disebelah
kanan agar aku aman dari kendaraan dan
terlebih lagi alasannya kenapa dia memilih lebih dulu naik angkot daripada aku
dan mempersilahkanku turun lebih dulu.
“Aku hanya ingin menjaga perempuan yang berjalan bersamaku.”
Bukan dia tidak memiliki atau tidak
bisa membawa kendaraan sendiri, tapi dia sama sepertiku, dia malas harus
menunggu jalan melenggang dan kita bisa menginjak gas lebih dalam. Dan yang
lebih parahnya lagi, apa yang kulakukan tadi. Aku baru pertama kali bicara
dengannya, berjalan begitu dekat dengannya, tapi aku berani menggandeng
tangannya lebih dulu, sebelum dia memutar pergelangan dan mengambil alih
kendali. Dan diakhirnya, dia menciumku sebelum aku menutup pagar besi tinggi
itu.
“Sampai jumpa besok.”
Oh God!
***
“Sudah
kukatakan jangan makan cokelat-cokelat itu lagi, kau bisa mati akibat gula!!” geramku
yang sama sekali tidak diperdulikan.
“Kau
tidak tahu bagaimana rasa cokelat yang begitu enak ini,” elaknya. Aku tidak
bisa membedakan mana dagu dan mana pipinya. Wajahnya bulat seperti bola basket.
“Tidak
mungkin seenak itu. Aku akan membencimu kalau kau terus memasukan bom itu ke
dalam mulutmu!!”
“Ini
bukan bom!! Ini cokelat!!” suaranya ikut meninggi menyamai tinggi suaraku. Aku
mulai kesal dengan sifatnya yang keras kepala. Aku bukan melarangnya memakan
cokelat-cokelat kesayangannya tapi kalau dimakan sekaligus...
“Kau
tahu–”
Aku
menggebrak meja di kantin. Membuat gelas-gelas aqua, piring dan keranjang roti
di atasnya sedikit melonjak. Untung meja itu hanya ada aku, Della dan satu
orang baru– Rino. “Ada apa? Apa kau mimpi buruk?” suara Rino terdengar
mengkhawatirkan sesuatu, tapi tidak untukku setelah aku tahu bahwa dia yang
membangunkanku.
“Sialan!
Seharusnya kau tidak membangunkanku disaat seperti ini!!” bentakku yang kini
membuat seluruh penghuni kantin menoleh.
“Kenapa?”
Della memasang wajah menggelikan,
“Kau
sedang bermimpi berciuman dengan seorang pangeran?” Aku memutar bola mata,
“Bukan sama sekali. Dan ini jauh lebih penting dari itu. Kemarin kau dan
sekarang dia!!” Aku menujuk tepat di hidungnya. Wajah mencemaskannya menguap
dan sekarang berubah menjadi wajah super bingung karna tuduhanku yang seketika.
Kuraih ponsel, mengeluarkan selembar uang lima ribu.
“Put, tunggu!!” cegah Rino yang sepertinya
mencari penjelasan dengan sesekali menoleh ke arah Della meminta bantuan.
Aku
membenamkan wajahku di dalam wastafel, membiarkan air membasahi rambut-rambut
pendekku. Membersihkan sisa-sisa bumbu yang mungkin tertinggal di sekitar
mulut. Dan kuharap juga membawa pergi rasa kesal dari wajahku.
“Kau
baik-baik saja kan?” tanya seseorang yang membuatku hampir kehilangan
keseimbangan setelah keluar dari lorong toilet. Aku mengangguk pelan. Menarik
tangannya, sedikit memaksanya untuk ikut denganku dan menjadi milikku sebentar.
Dia tidak keberatan.
“Maaf
sudah membentakmu tadi.” Duduk di taman buatan yang disediakan sekolah untuk
ekskul fotografer. Taman yang selalu sepi karena tidak terlalu indah, hanya ada
jembatan kecil yang memisahkan sungai buatan, kolam ikan lengkap dengan air
mancur dan pohon-pohon cemara yang tidak terlalu tinggi.
“Apa
itu efek dari Aspirin yang kau minum?” Aku menggeleng. Aku melirik tanganku
yang masih menggenggamnya dan buru-buru melepaskannya. “Maaf.”
“Tak
apa.” Aku menyengir menanggapi senyumannya.
“Jadi ada apa? Apa kau sakit lagi?” Aku
menghela nafas panjang, melipat kedua tanganku diperut. “Kau membangunkanku
disaat aku akan menemukan apa yang selama ini coba kuingat.”
“Maksudmu?”
“Aku
dulu memiliki sahabat, dia bodoh, ceroboh, menyebalkan, suka makan cokelat, tapi
aku tidak bisa melepaskan pandangan darinya. Lalu beberapa tahun lalu, aku diculik.
Saat itu aku benar-benar trauma dan berakibat pada memori otakku. Aku
kehilangan sebagian ingatanku. Aku selalu berusaha kembali ke masa itu dan
setiap dia akan mengatakan ‘kau tahu’ selalu ada yang membangunkanku.” Dia
terlihat tertarik,
“Lalu
kau sudah berusaha mencarinya? Dan dia seperti apa?”
“Sepertimu,”
kataku singkat yang membuatnya tertegun, diam. Ia memutar posisi duduknya– dari
yang awalnya mengarah padaku, kini
memandang lurus ke depan, ke arah air mancur.
“Bagaimana
kalau itu memang benar? Kalau ternyata aku adalah sahabat kecilmu dulu?” Aku
membasahi bibir bawahku, memikirkan apa yang harus kukatakan untuk
menghilangkan suasana mencekam yang berhasil kuciptakan sendiri. Oh God! Tidak adakah yang Kau kirimkan untuk
menolongku?
“Entahlah.
Mungkin aku akan bersyukur karena sahabatku yang menyebalkan itu berubah
menjadi laki-laki yang menyenangkan sepertimu.”
“Meskipun
ternyata dia mengidap penyakit berbahaya?” Seketika aku menoleh ke arahnya,
raut wajahnya berubah sedih. Kesedihan yang dalam.
“Penyakit
berbahaya? AIDS? Kanker? Kelainan jiwa?” Aku melingkarkan lenganku di pundaknya.
Astaga pundaknya pun sekuat ini?
“Kau
sedang mencuri kesempatan kan?” godanya. Hhah? Aku mengerjap, melepaskan
pelukan kecilku seraya menjauh darinya.
“Ti–
tidak. Untuk apa?” Jawaban pembantahan apapun yang aku berikan, tidak akan
menyakinkannya bahwa aku tidak sedang mencuri kesempatan. Karena aku memang
mencurinya. Aku tergoda dengan tubuh, sikap dan sifanya yang sangat menarik.
***
Sudah
sebulan sejak kejadian itu dan dia belum juga kembali sekolah. Apa ada
perkataanku yang salah? Kurasa tidak, dia bahkan masih tersenyum dan kami
sempat bercanda sebelum dia mengantarku pulang seperti biasa. Lalu apa? Aku
mengenyahkan semua kemungkinan yang bisa saja terjadi. Melepaskan semua
kekalutan yang orang itu ciptakan dalam segelas plastik cappucinno.
“Kau
tidak menjenguknya?”
“Siapa?”
Ia mengangkat sebelah alisnya, menungguku memberi tanggapan yang lebih bermutu
dari sekedar ‘siapa’. Tapi akhirnya dia menyerah. “Rino.”
“Dia
sakit? Sakit apa?” Untuk pertama kalinya, aku melihat Della sampai tertunduk
lesu saat menceritakan penyakit orang lain. Biasanya dia hanya menunjukan
ekspresi datar dan setelah itu kembali ceria.
“Dia
sekarang ada di RS. Konsius. Ruang 35. Dia sangat mengenaskan. Aku dan yang
lain sudah kesana.” Tertohok dengan kata ‘mengenaskan’ yang baru saja
dikatakannya, aku menelan cappuccino-ku dengan susah payah. Berusaha mencerna
dan mengesampingkan dugaan bahwa dia kecelakaan dengan tangan dan kaki
diamputasi atau dia jatuh dari lantai sepuluh dengan kepala pecah atau hal-hal
yang bisa dihubungkan dengan kata ‘mengenaskan’.
Sepulang
sekolah, aku buru-buru mengambil tasku di loker siswa dan melesat ke rumah
sakit yang tadi Della katakan. Tidak ada satupun angkot yang melintas,
membuatku terpaksa berlari agar cepat sampai. Dengan nafas tersengal, aku
mencari ruang 35.
“Hai,”
sapaku canggung. Dia tersenyum samar. Badannya mengecil, bahkan dada yang
bidang itu kini tampak seperti papan tulis yang siap dihancurkan. Selang-selang
yang menahan tangannya untuk bergerak kesana-kemari. Dia tampak lebih
mengenaskan daripada apa yang aku bayangkan.
“Kau
sudah minum obat?”
“Kenapa kau kemari?” Aku tidak
menjawab, hanya memiringkan kepala sekilas. Duduk disamping tempat tidurnya,
lalu menelanjangi seisi ruangan. Deretan obat-obat yang harus dia minum.
Kulihat tulisan disetiap wadahnya, mulai dari AZT, Lamivudine (3TC), Didanosien (ddI) dan Stavudine (d4T)– yang
sama sekali aku tidak mengerti.
“Ahh tunggu, aku pernah baca dimana
ya?” Aku memukul-mukul kepalaku dengan jari telunjuk sebelum melanjutkan, “Ahh
dibuku ayah!” simpulku.
“Bukannya, obat-obat itu termasuk katagori Nukleosida reverse trans… trans
apa ya? Trans.. transcriptase inhibitor
atau apa gitu, aku lupa,” lanjutku.
“Kau benar.” Mendengar jawaban itu
aku sungguh tertegun. Nafasku berhenti untuk beberapa saat sampai otakku bisa
berfungsi kembali. Kalau dia bilang benar, berarti dia mengidap AIDS? Aku
mendorong kursiku sedikit ke belakang yang membuatnya kaget sekaligus menghela
nafas, sama seperti yang kulakukan.
“Apa sekarang kau takut?” Aku lantas
mengangkat kepalaku, menatap matanya yang daritadi sudah memperhatikanku. Aku
menggeleng cepat. Mengenyahkan semua yang kurasakan bahwa dia tidak seburuk
itu. Tidak sama sekali.
“Kau takut?” tanyanya sekali lagi.
“Untuk apa? Karena kau seseorang
yang mengidap AIDS dan aku bukan?” Dia mengangguk. “Astaga. Oh Tuhan, Kau menciptakan
orang ini dengan pemikiran pendek seperti ini?” Kuangkat dan kutarik kursi
kembali ke posisi semula, mendekat ke ranjangnya.
“Lima tahun yang lalu kakakku meninggal akibat penyakit yang sama
sepertimu. Dia mendapat donor darah yang terinfeksi. Kekonyolan rumah sakit
yang masih belum bisa diterima ayahku yang juga dokter. Apalagi aku, seorang
murid jurusan kesehatan biasa. Sama sekali tidak bisa kami terima.” Tangannya
yang bebas dari selang infus mencoba meraih tanganku lalu menggenggamnya.
Sementara tangan satunya berusaha untuk menyeka air mataku yang lepas kendali.
“Apa yang salah dengan orang-orang
seperti mereka? Orang-orang yang terpaksa harus mengidap penyakit itu. Bukan
kau yang meminta. Tuhan yang memberikan penyakit itu kan? Kita semua sama,
hanya kau yang lebih istimewa karena kau diberikan penyakit itu oleh Tuhan. Tuhan
lebih menyayangimu dan lebih mempercayaimu daripada orang lain termasuk aku.
Dia percaya bahwa kau mampu melewati semua ini. Kau mampu berjuang diterima di masyarakat,
mampu berjuang melawan penyakit yang semakin lama terus mengambil ketangguhan
tubuhmu yang menarik itu.”
“Kau tahu, tubuhmu itu sangat
menggoda,” sambungku dengan suara parau. Dia tertawa dan itu lebih baik
daripada melihatnya meratapi nasib indahnya.
“Baiklah dongeng sebelum tidurnya sudah selesai. Saatnya kau tidur
dan aku pulang.” Kutarik tanganku dari genggamannya yang membuatnya terlihat
kecewa.
Aku tidak lantas pulang begitu saja.
Aku coba bertanya pada dokter yang menangani Rino, beliau mengatakan “AZT, Lamivudine (3TC), Didanosien (ddI), dan
Stavudine (d4T), Obat-obat seperti itu hanya untuk mencegah reproduksi
virus sehingga memperlambat progresivitas. Pengobatan paling efektif dengan
mengkombinasikan antara dua obat atau lebih, karena kombinasi obat bisa
memperlambat timbulnya AIDS.” Aku merekam semua penjelasan
itu dalam ponselku. Hanya ini yang bisa kulakukan. Entah berguna atau tidak
sama sekali. Tapi setidaknya aku tidak diam, sementara orang yang aku sayangi
tengah berjuang. Aku pergi menghabiskan sebungkus roti keju dan segelas kopi
hangat di kantin rumah sakit. Memanfaatkan jaringan internet gratis untuk
sekedar mencari informasi tentang obat alternatif yang memungkinkan.
“Belum
pulang?” Aku mendongakan kepalaku, “Dokter?”
Dia meletakan gelas kertasnya, “Kau juga minum kopi?”
Menoleh ke gelas kopi yang isinya tinggal setengah.
“Iya,” jawabku malu.
“Sedang
istirahat atau memang sudah tidak ada jam tugas?”
“Hanya
sedang istirahat. Kau sendiri? Bukannya besok harus sekolah? Dan apa orang
tuamu tidak khawatir?” tanya pria bertubuh gempal tapi belum terlalu tua.
Berumur sekitar empat puluh tahun dan belum ada sedikitpun uban dirambutnya.
Sifat kebapakannya yang ramah membuat suasana tidak secanggung saat kau harus
bicara dengan kepala sekolah baru.
“Besok ada perayaan sekolah
dan aku tidak begitu suka dengan acara seperti itu. Orang tua sedang sibuk bekerja
di luar kota. Sementara aku bosan di rumah, jadi lebih baik disini– mencari informasi.”
“Informasi?” Si Dokter menyandarkan
badannya di punggung kursi. Menggertakan
jari-jarinya yang besar. “Jadi?” menekan-nekan tulang hidung lalu ke
tengkuknya, “kau masih mencari alternatif yang lain selain pengobatan kimia?”
“Ya,” jawabku pasti. Aku menunjukan
semua hasil yang sudah kusalin ke buku catatan. Ekspresinya saat membaca
terlihat antusias,
Penelitian
ini terinspirasi dari uji coba bee venom atau racun lebah di Amerika yang berhasil menyembuhkan
seorang gadis sembilan tahun. Ketua Pusat Studi Perlebahan LPT Unair James
Hutagalung mengatakan, kelompok studinya juga melakukan hal serupa. Namun,
James dan timnya melakukan uji coba terhadap pasien HIV/AIDS dengan
menggabungkan terapi propolis atau
air liur dan racun lebah. Riset dengan racun lebah banyak dilakukan di luar
negeri. Namun baru pertama kali di Indonesia.
Racun dari
lebah ternyata mampu menembus dinding sel virus. Ia tidak menghancurkan tapi
menembus sehingga virusnya mengecil dan bersifat saling membunuh dan
lama-kelamaan hilang. James dan rekannya melakukan uji coba klinis terhadap
seorang pasien laki-laki dewasa penderita HIV/AIDS. Pasien ini datang ke LPT
Unair dalam keadaan sudah koma selama tiga-empat pekan.
Dalam tiga
pekan pemberian propolis, terjadi perubahan pada pasien. Hasilnya cukup mengejutkan,
pasien yang telah koma ini sadar dan mampu membuka mata. Selama terapi, pasien
diberi propolis dosis 500 miligram tiga kali sehari. Tablet propolis yang sudah dihancurkan
dimasukkan dalam cairan infus pada pagi, siang dan sore hari.
“Ahh Dok, maaf aku mengganggumu membaca.
Propolis itu apa dan bagaimana
mendapatkannya ya?”
“Propolis berada di dalam
rumah lebah. Warnanya kehitaman. Propolis adalah campuran dari nektar
dan air liur lebah. Propolis yang dikumpulkan berasal dari jenis lebah
dari Eropa, Apis Mellifera. Propolis
yang telah dikumpulkan, diambil ekstraknya dengan cara maserasi.
Perbandingannya, satu kilogram propolis dicampur dengan lima liter
ethanol. Kemudian dikocok selama dua pekan. Proses tersebut dinamakan maserasi.
Setelah
dimaserasi, campuran propolis tersebut dikeringkan dengan alat rotavapor
atau alat penguapan. Dari proses ini tertinggal kristal-kristal propolis
atau ekstraknya. Ekstrak inilah yang diberikan pada pasien. Ekstrak ini
sudah bisa dimanfaatkan karena dibuat dalam bentuk tablet,” jelasnya, sementara
aku hanya menggangguk-angguk penuh takjub dengan mulut sedikit menganga. Lalu
ia melanjutkan membaca.
Dengan menggunakan
mesin berteknologi tinggi, zat Xanthone yang ada dalam kulit buah manggis diambil. Xanthone merupakan zat dalam kulit buah manggis yang
antioksidannya paling tinggi dari seluruh buah-buahan di dunia.
Menurut Dr Ir Raffi
Paramawati, M.Si, dari Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, semua
buah-buahan mengandung antioksidan, namun yang paling tinggi kandungan
antioksidannya hanya dalam buah manggis dan itu terdapat pada kulitnya. Lebih
jauh ia mengatakan bahwa tidak semua antioksidan yang ada dalam buah-buahan
bersifat menyembuhkan penyakit, berbeda dengan manggis, kalau manggis kandungan
antioksidannya mampu menyembuhkan berbagai penyakit.
Si Dokter menghela nafas
panjang dan mengembalikan catatan itu padaku, dia tampak tidak setertarik tadi.
“Menarik. Tapi kami belum bisa melakukan itu. Disana ditulis
bahwa itu semua masih diuji coba, jadi kami tidak bisa melakukannya, meskipun
kami ingin.”
“Tapi Dok,”
“Aku tahu, kau sangat ingin menolongnya.
Satu-satunya yang bisa kau lakukan adalah tetap berada di sampingnya, beri dia
semangat dan dorongan. Ingat, jangan pernah melihatnya sebagai penderita AIDS
tapi sebagai temanmu.” Dia membawa kopinya pergi meninggalkanku sendiri di
kantin yang sepi. Hanya ada dua suster yang tengah asik mengobrol di bawah
lampu neon dan bapak-bapak pengunjung yang tengah berusaha mengeluarkan kaleng
minuman dari mesin otomatis. Hanya empat orang termasuk aku.
Tubuhnya
semakin mengering, wajahnya memucat dan batuknya yang semakin mengeluarkan
darah. Tapi hal yang paling menakutkan adalah perkataannya yang mulai melantur.
Dia tersenyum, tipis sekali, lalu meraih sapu tangannya. Lagi-lagi batuk dan
lagi-lagi mengeluarkan darah. Aku melesat cepat ke sampingnya, menyodorkan obat
dan segelas air putih. Selesai ia meneguk obatnya, ia mulai berbicara,
“Bagimana sekolah? Setelah lulus SMA kau ingin jadi apa? Kalau aku pilot. Aku
ingin membawamu terbang. Dan apa kau telah menemukan perkataan terakhir sebelum
dia, sahabatmu yang pergi?”
“Sekolah
masih menjadi tempat membosankan tanpamu. Setelah lulus, aku ingin menjadi
dokter, agar aku bisa merawat dan menyembuhkanmu. Dan pertanyaanmu yang
terakhir aku belum bisa menjawabnya.” Dia mengacak-acak rambutku lembut.
Sesuatu yang sudah lama tidak aku rasakan setelah kakak dan ayah pergi. Aku
rindu mereka..
“Kenapa?
Aku salah bicara ya?” Aku menggeleng dan menyeka air mataku,
“Tidak.
Aku hanya rindu ayah, ibu dan kakakku.”
“Put,
kalau aku pergi kau jangan pernah sedih ya? Kalaupun aku bukan sahabatmu yang
dulu pergi itu, aku ingin melanjutkan kalimat itu. Kau tahu, kau sangat
menggemaskan.” Kau tahu, kau sangat
menggemaskan. Kau tahu, kau sangat menggemaskan. Kau tahu, kau sangat
menggemaskan.
“Itu dia!!” teriakku histeris. Aku
melonjak dari kursi. Membuat kepalaku membentur lantai karena posisi yang tidak
seimbang. Aku mengerang kesakitan. Duduk bersila sambil tetap memegang kepalaku
yang terasa berdenyut-denyut di lantai.
“Kau
kenapa?” Suara itu, aku segera mencari asal suara yang tadi diam membisu dengan
alat pendeteksi yang hanya mengeluarkan bunyi panjang. Mataku mengerjap, semua
orang, Della, Dion dan si kembar bodoh Angga-Anggi pun ada. Tapi kenapa suasana
ruangan ini beda? Mana selang infusnya? Mana tirai-tirai putih dan bunga yang
baru aku bawa tadi? Mana alat pendeteksi jantungnya, obat-obatnya? Kemana? Aku
kembali mengerang kesakitan memikirkan hal-hal yang seketika berubah.
“Kau
kenapa?” Suara itu lagi. Aku bangun, mendapati Rino– laki-laki yang seharusnya
sudah mati – sedang tiduran sambil memakan beberapa potong kue.
“Rin,
kau masih hidup?” kataku ragu, berusaha mendekat, menggenggam tangannya dan
memastikan tangannya tidak dingin. Laki-laki itu dan semua orang melebarkan
mata mereka masing-masing, mempertanyakan pertanyaan yang meluncur dari
mulutku.
“Kau
menyumpahiku untuk segera mati? Dan apa yang kau maksud dengan ‘itu dia’?” Rino
memasang wajah cemberutnya. Alisnya mengernyit tak jelas.
“Aku
sudah menemukan kata-kata yang aku lupakan itu. Dan kau sungguhan belum mati?” Aku
memekik sambil mengelus-elus kepalaku yang semakin sakit karena pukulan Della.
“Kau ngelindur ya? Dia hanya sakit tifus dengan berat tubuhnya yang turun drastis.
Tidak akan menyebabkan dia mati!!” semburnya. Tapi aku masih belum mengerti.
Kubuka buku catatanku dan mendapati catatan itu kosong. Aku mengobrak-abrik
tempat obatnya dan tidak menemukan satupun obat-obat itu.
“Kau
bermimpi?” selidik Rino lembut. Aku mengangguk. Lututku lemas dan langsung
ambruk di kursi yang baru saja kuberdirikan.
“Ya,
memimpikanmu. Kau,” Kuraih tangannya, kugenggam dan kubawa ke wajahku, “mengidap
penyakit AIDS.”
“AIDS?!!”
teriak semua orang kecuali Rino yang menungguku menyelesaikan ceritaku. “Kau
sekarat. Aku sudah berusaha tapi sia-sia. Kau batuk darah dan akhirnya kau
mati. Aku menangis, aku takut, aku– ” Belum selesai dengan ceritaku, Rino
menghentikan ucapanku dengan bangun dan memelukku.
“Aku
hanya sakit tifus dan aku tidak mati. Jadi, jangan menangis dan jangan takut.
Aku masih disini. Masih untukmu.” Aku melepaskan pelukannya dengan malu.
Menyiapkan telingaku untuk ledekan karena mimpiku yang konyol.
Wahh..
sinting ini orang..
Kau
pikir, Rino laki-laki nakal yang bisa ketularan penyakit macam AIDS?
Makanya
jangan kebanyakan minum kafein atau nonton drama.
Putri
sudah gila!! Bener-bener gila!!
Aku hanya bisa cemberut tanpa membantah.
Cemberut meskipun sebenarnya aku senang, aku lega karena itu hanya mimpi. Bahwa
Rino, laki-laki yang tengah melingkarkan kedua lengannya di leherku ini, tidak
benar-benar mati. Tidak sama sekali. Aku menyayangi orang ini, apapun
penyakitnya, asal dia jangan mati dan jangan pergi seperti kakak.
SELESAI …
3 komentar:
haii..kunjungan perdana.. :))
haii..kunjungan perdana.. :))
Terima kasih :) Maaf, ini masih blog asal-asalan.. masih jelek. :D
Posting Komentar