Sabtu, 27 Juli 2013

Nano Nano

            “Siapa yang kau perhatikan dari tadi? Anak baru itukah?” Aku berdeham. “Aku rasa aku pernah melihat orang itu, seperti sudah mengenalnya lama.” Kukaitkan jemariku untuk menopang dagu. Laki-laki itu, aku seperti mengenalnya. Cara dia tertawa, memukul kepala temannya, caranya duduk dengan kaki kanan yang dilipat, tapi siapa–
“Hey, kau melamun? Kau pasti sedang memikirkan anak baru itu kan?”
            “Tidak. Aku hanya sedang berpikir obat apalagi yang harus kuminum.” Dia mengerutkan dahi. Mengulurkan tangannya untuk menyentuh dahiku. “Kau tidak panas.”
            “Aku memang tidak panas. Siapa yang bilang aku panas? Aku hanya ingin mengganti obatku. Aku rasa, obat yang sekarang kurang ampuh,” tukasku.
            “Serangan itu masih sering muncul?”
Aku mengangguk pelan menjawab pertanyaan Della, sahabatku yang kelewat perhatian dan terkesan serba ingin tahu. Kugeser tumpukan buku-buku dan segelas kertas kopi yang isinya mulai dingin. Kulipat kedua tanganku, membiarkan kepalaku beristirahat sejenak sebelum kembali dirasuki materi yang membosankan. Dan aku tidak perlu pusing memikirkan Della, dia akan segera pergi ke kerumunan pemain basket selagi aku tidur. Dia memang cantik dan popular, jadi tidak akan ada yang mengusirnya.

            Selalu hujan. Aku tidak membenci hujan, justru aku sangat menyukai hujan. Karena buatku hujan akan membawa kita kembali ke masalalu yang berharga. Tapi untuk pertama kalinya aku membenci hujan. Kenapa harus hari ini? Kenapa harus dijam dan disaat ini?, pikirku. Aku berdiri menerawang jauh keluar jendela. Uap nafasku membentuk lapisan tipis, menghalangi pandanganku keluar. Orang itu masih belum juga datang, harus berapa lama lagi aku menunggunya?
            Kulepaskan semua pakaianku dan kuganti dengan kaos lengan panjang, celana sebetis yang hangat dan tidak ketinggalan sandal buluku. Aku tidak mau tampak seperti orang yang rela kedinginan untuk menunggu pangeran berkuda putih datang, meskipun itu yang telah kulakukan, tapi setidaknya tidak di depan orang itu. Aku menghangatkan supku untuk kedua kalinya. Tidak ada makanan yang bisa kumasak karna Ibu memang belum pulang dan aku malas untuk itu.
            “Ya tunggu sebentar!!” teriakku dari balik meja tinggi. Aku mengerang, kakiku menahanku untuk tetap di dekat kompor, sementara kupingku memintaku untuk segera membuka gedoran pintu yang semakin lama semakin menjadi. “Ya!!!” teriakku lebih keras.
            “Apa– ”
            “Maaf. Aku minta maaf. Aku tahu kalau aku terlambat, tapi sungguh aku minta maaf,” potongnya buru-buru. Orang ini kenapa? Apa dia salah minum obat atau kepalanya terbentur tembok waktu datang kemari? Aneh.
            “Kenapa terlambat?” tanyaku sambil menyodorkan semangkuk sup– yang aku tidak yakin bagaimana rasanya. “Boleh aku habiskan sup ini dulu?” Aku mengangguk. Nafsu makanku menghilang. Uap sup sama sekali tidak berhasil menggoda meskipun perutku mulai kelaparanan.
            “Maaf, aku harus mengantar nenek-nenek yang tersesat di jalan.”
            “Dasar tukang bohong yang bodoh. Kau pasti ketiduran lagi kan?” tebakku yang berhasil membuatnya langsung mengaku. Ternyata daritadi aku berdiri penuh harap,


sementara dia masih asik bergulat dengan bidadari-bidadari mimpinya. Baiklah, aku harus beri dia pelajaran. “Pulanglah, aku malas bertemu pembohong sepertimu.”
            “Kau tahu– ”

            “Kita harus kembali ke kelas.” Mataku mengerjap, membetulkan cahaya yang masuk ke mataku. Mulutku terbuka lebar saat aku meregangkan badanku yang secepat kilat kututup dengan kedua tanganku. Jam 12, masih ada lima menit sebelum pelajaran dimulai. Sepertinya di taman ini tinggal kami berdua. Ke arah manapun, aku memutar pandanganku, aku hanya melihat Della yang berdiri di hadapanku. Kuhembuskan nafasku dengan cukup berat lalu berdiri, “Ayo!”
                                                                                ***

            “Krikil yang menganggu!” umpatku sambil menendangi kaleng minuman kosong. Seharusnya sekarang aku sudah ada di rumah, menyalakan tv dan memutar ulang DVD, lengkap dengan popcorn yang kubuat kemarin. Tapi sekarang aku harus kembali ke apotek dan membeli obat sialan itu, pikirku kesal dengan kondisi kepala yang sering kambuh.
            Kudorong pintu putar, memastikan aku menemukan apa yang kucari. “Aspirin,” jawabku dibalik etalase setinggi dada. Tidak lama, petugas apotek keluar dengan membawa Aspirin yang sangat kubutuhkan. “Terimakasih.” Aku berbalik, mataku menyipit.
“Tidak biasa ada anak Lavinian berkunjung ke apotek ini, biasanya kan mereka pergi ke apotek dekat sekolah? Ahh, apa urusanku juga,” gumamku.
“Kau anak baru itu kan?” sapaku sok akrab. Dia terlihat lebih ramah, hangat dan tampan. Apalagi matanya yang coklat, rahangnya yang kuat, rambut hitam dan lesung pipinya yang tidak terlalu dalam itu. Menggemaskan!
            “Ya. Kau sakit?” Aku mengendikkan bahu, “Mungkin. Bisa dibilang begitu tapi karna sudah terbiasa, seperti membeli vitamin. Kau sendiri?” Sekonyong-konyong, aku langsung mengulurkan tanganku persis seperti apa yang dilakukan Della tadi. Oh God! Apa yang sudah aku lakukan?, batinku. Tersadar akan hal memalukan yang baru saja kulakukan, secepat kilat kutarik punggung tanganku dari dahinya.
“Bagaimana?” katanya yang membuatku semakin malu.
            “Kau tidak panas. Mungkin demam,” aku memeriksa dahiku sendiri, “ahh bukan, bukan kau tapi aku yang demam. Baiklah aku duluan. Oh iya, aku Putri, kau?”
            “Rino. Mau kuantar?”
            “Bukannya kau– ” Belum selesai aku mengeluarkan semua kalimat di mulutku, laki-laki ini– Rino –sudah menarikku melewati pintu putar. Tangannya begitu besar tapi terasa tidak begitu kuat. Tunggu, tadi siapa namanya? Rino?

            Aku menegak dua pil Aspirin dan merangkak ke atas tempat tidur. Memanjakan tubuhku yang lelah dibalik selimut tebal yang hangat. Sebelum aku benar-benar tidur dan meninggalkan dunia nyata, aku memutar kembali apa yang sudah aku lakukan bersama orang itu, Rino, sepanjang hari. Bagaimana sopannya dia saat mempersilahkanku duduk, berjalan disebelah kanan agar aku aman dari kendaraan  dan terlebih lagi alasannya kenapa dia memilih lebih dulu naik angkot daripada aku dan mempersilahkanku turun lebih dulu.
“Aku hanya ingin menjaga perempuan yang berjalan bersamaku.”
            Bukan dia tidak memiliki atau tidak bisa membawa kendaraan sendiri, tapi dia sama sepertiku, dia malas harus menunggu jalan melenggang dan kita bisa menginjak gas lebih dalam. Dan yang lebih parahnya lagi, apa yang kulakukan tadi. Aku baru pertama kali bicara dengannya, berjalan begitu dekat dengannya, tapi aku berani menggandeng tangannya lebih dulu, sebelum dia memutar pergelangan dan mengambil alih kendali. Dan diakhirnya, dia menciumku sebelum aku menutup pagar besi tinggi itu.
“Sampai jumpa besok.”
Oh God!
                                                                                ***

            “Sudah kukatakan jangan makan cokelat-cokelat itu lagi, kau bisa mati akibat gula!!” geramku yang sama sekali tidak diperdulikan.
            “Kau tidak tahu bagaimana rasa cokelat yang begitu enak ini,” elaknya. Aku tidak bisa membedakan mana dagu dan mana pipinya. Wajahnya bulat seperti bola basket.
            “Tidak mungkin seenak itu. Aku akan membencimu kalau kau terus memasukan bom itu ke dalam mulutmu!!”
            “Ini bukan bom!! Ini cokelat!!” suaranya ikut meninggi menyamai tinggi suaraku. Aku mulai kesal dengan sifatnya yang keras kepala. Aku bukan melarangnya memakan cokelat-cokelat kesayangannya tapi kalau dimakan sekaligus...
            “Kau tahu–”

            Aku menggebrak meja di kantin. Membuat gelas-gelas aqua, piring dan keranjang roti di atasnya sedikit melonjak. Untung meja itu hanya ada aku, Della dan satu orang baru– Rino. “Ada apa? Apa kau mimpi buruk?” suara Rino terdengar mengkhawatirkan sesuatu, tapi tidak untukku setelah aku tahu bahwa dia yang membangunkanku.
            “Sialan! Seharusnya kau tidak membangunkanku disaat seperti ini!!” bentakku yang kini membuat seluruh penghuni kantin menoleh.
            “Kenapa?” Della memasang wajah menggelikan,
            “Kau sedang bermimpi berciuman dengan seorang pangeran?” Aku memutar bola mata, “Bukan sama sekali. Dan ini jauh lebih penting dari itu. Kemarin kau dan sekarang dia!!” Aku menujuk tepat di hidungnya. Wajah mencemaskannya menguap dan sekarang berubah menjadi wajah super bingung karna tuduhanku yang seketika. Kuraih ponsel, mengeluarkan selembar uang lima ribu.
             “Put, tunggu!!” cegah Rino yang sepertinya mencari penjelasan dengan sesekali menoleh ke arah Della meminta bantuan.

            Aku membenamkan wajahku di dalam wastafel, membiarkan air membasahi rambut-rambut pendekku. Membersihkan sisa-sisa bumbu yang mungkin tertinggal di sekitar mulut. Dan kuharap juga membawa pergi rasa kesal dari wajahku.
            “Kau baik-baik saja kan?” tanya seseorang yang membuatku hampir kehilangan keseimbangan setelah keluar dari lorong toilet. Aku mengangguk pelan. Menarik tangannya, sedikit memaksanya untuk ikut denganku dan menjadi milikku sebentar. Dia tidak keberatan.
            “Maaf sudah membentakmu tadi.” Duduk di taman buatan yang disediakan sekolah untuk ekskul fotografer. Taman yang selalu sepi karena tidak terlalu indah, hanya ada jembatan kecil yang memisahkan sungai buatan, kolam ikan lengkap dengan air mancur dan pohon-pohon cemara yang tidak terlalu tinggi.
            “Apa itu efek dari Aspirin yang kau minum?” Aku menggeleng. Aku melirik tanganku yang masih menggenggamnya dan buru-buru melepaskannya. “Maaf.”
            “Tak apa.” Aku menyengir menanggapi senyumannya.
             “Jadi ada apa? Apa kau sakit lagi?” Aku menghela nafas panjang, melipat kedua tanganku diperut. “Kau membangunkanku disaat aku akan menemukan apa yang selama ini coba kuingat.”
            “Maksudmu?”
            “Aku dulu memiliki sahabat, dia bodoh, ceroboh, menyebalkan, suka makan cokelat, tapi aku tidak bisa melepaskan pandangan darinya. Lalu beberapa tahun lalu, aku diculik. Saat itu aku benar-benar trauma dan berakibat pada memori otakku. Aku kehilangan sebagian ingatanku. Aku selalu berusaha kembali ke masa itu dan setiap dia akan mengatakan ‘kau tahu’ selalu ada yang membangunkanku.” Dia terlihat tertarik,
            “Lalu kau sudah berusaha mencarinya? Dan dia seperti apa?”
            “Sepertimu,” kataku singkat yang membuatnya tertegun, diam. Ia memutar posisi duduknya– dari yang awalnya mengarah padaku, kini  memandang lurus ke depan, ke arah air mancur.
            “Bagaimana kalau itu memang benar? Kalau ternyata aku adalah sahabat kecilmu dulu?” Aku membasahi bibir bawahku, memikirkan apa yang harus kukatakan untuk menghilangkan suasana mencekam yang berhasil kuciptakan sendiri. Oh God! Tidak adakah yang Kau kirimkan untuk menolongku?
            “Entahlah. Mungkin aku akan bersyukur karena sahabatku yang menyebalkan itu berubah menjadi laki-laki yang menyenangkan sepertimu.”
            “Meskipun ternyata dia mengidap penyakit berbahaya?” Seketika aku menoleh ke arahnya, raut wajahnya berubah sedih. Kesedihan yang dalam.
            “Penyakit berbahaya? AIDS? Kanker? Kelainan jiwa?” Aku melingkarkan lenganku di pundaknya. Astaga pundaknya pun sekuat ini?
            “Kau sedang mencuri kesempatan kan?” godanya. Hhah? Aku mengerjap, melepaskan pelukan kecilku seraya menjauh darinya.
            “Ti– tidak. Untuk apa?” Jawaban pembantahan apapun yang aku berikan, tidak akan menyakinkannya bahwa aku tidak sedang mencuri kesempatan. Karena aku memang mencurinya. Aku tergoda dengan tubuh, sikap dan sifanya yang sangat menarik.
                                                                                ***

            Sudah sebulan sejak kejadian itu dan dia belum juga kembali sekolah. Apa ada perkataanku yang salah? Kurasa tidak, dia bahkan masih tersenyum dan kami sempat bercanda sebelum dia mengantarku pulang seperti biasa. Lalu apa? Aku mengenyahkan semua kemungkinan yang bisa saja terjadi. Melepaskan semua kekalutan yang orang itu ciptakan dalam segelas plastik cappucinno.
            “Kau tidak menjenguknya?”
            “Siapa?” Ia mengangkat sebelah alisnya, menungguku memberi tanggapan yang lebih bermutu dari sekedar ‘siapa’. Tapi akhirnya dia menyerah. “Rino.”
            “Dia sakit? Sakit apa?” Untuk pertama kalinya, aku melihat Della sampai tertunduk lesu saat menceritakan penyakit orang lain. Biasanya dia hanya menunjukan ekspresi datar dan setelah itu kembali ceria.
            “Dia sekarang ada di RS. Konsius. Ruang 35. Dia sangat mengenaskan. Aku dan yang lain sudah kesana.” Tertohok dengan kata ‘mengenaskan’ yang baru saja dikatakannya, aku menelan cappuccino-ku dengan susah payah. Berusaha mencerna dan mengesampingkan dugaan bahwa dia kecelakaan dengan tangan dan kaki diamputasi atau dia jatuh dari lantai sepuluh dengan kepala pecah atau hal-hal yang bisa dihubungkan dengan kata ‘mengenaskan’.
            Sepulang sekolah, aku buru-buru mengambil tasku di loker siswa dan melesat ke rumah sakit yang tadi Della katakan. Tidak ada satupun angkot yang melintas, membuatku terpaksa berlari agar cepat sampai. Dengan nafas tersengal, aku mencari ruang 35.
            “Hai,” sapaku canggung. Dia tersenyum samar. Badannya mengecil, bahkan dada yang bidang itu kini tampak seperti papan tulis yang siap dihancurkan. Selang-selang yang menahan tangannya untuk bergerak kesana-kemari. Dia tampak lebih mengenaskan daripada apa yang aku bayangkan.
            “Kau sudah minum obat?”
            “Kenapa kau kemari?” Aku tidak menjawab, hanya memiringkan kepala sekilas. Duduk disamping tempat tidurnya, lalu menelanjangi seisi ruangan. Deretan obat-obat yang harus dia minum. Kulihat tulisan disetiap wadahnya, mulai dari AZT, Lamivudine (3TC), Didanosien (ddI) dan Stavudine (d4T)– yang sama sekali aku tidak mengerti.
            “Ahh tunggu, aku pernah baca dimana ya?” Aku memukul-mukul kepalaku dengan jari telunjuk sebelum melanjutkan, “Ahh dibuku ayah!” simpulku.
“Bukannya, obat-obat itu termasuk katagori Nukleosida reverse transtrans apa ya? Trans.. transcriptase inhibitor atau apa gitu, aku lupa,” lanjutku.
            “Kau benar.” Mendengar jawaban itu aku sungguh tertegun. Nafasku berhenti untuk beberapa saat sampai otakku bisa berfungsi kembali. Kalau dia bilang benar, berarti dia mengidap AIDS? Aku mendorong kursiku sedikit ke belakang yang membuatnya kaget sekaligus menghela nafas, sama seperti yang kulakukan.
            “Apa sekarang kau takut?” Aku lantas mengangkat kepalaku, menatap matanya yang daritadi sudah memperhatikanku. Aku menggeleng cepat. Mengenyahkan semua yang kurasakan bahwa dia tidak seburuk itu. Tidak sama sekali.
“Kau takut?” tanyanya sekali lagi.
            “Untuk apa? Karena kau seseorang yang mengidap AIDS dan aku bukan?” Dia mengangguk. “Astaga. Oh Tuhan, Kau menciptakan orang ini dengan pemikiran pendek seperti ini?” Kuangkat dan kutarik kursi kembali ke posisi semula, mendekat ke ranjangnya.
“Lima tahun yang lalu kakakku meninggal akibat penyakit yang sama sepertimu. Dia mendapat donor darah yang terinfeksi. Kekonyolan rumah sakit yang masih belum bisa diterima ayahku yang juga dokter. Apalagi aku, seorang murid jurusan kesehatan biasa. Sama sekali tidak bisa kami terima.” Tangannya yang bebas dari selang infus mencoba meraih tanganku lalu menggenggamnya. Sementara tangan satunya berusaha untuk menyeka air mataku yang lepas kendali.
            “Apa yang salah dengan orang-orang seperti mereka? Orang-orang yang terpaksa harus mengidap penyakit itu. Bukan kau yang meminta. Tuhan yang memberikan penyakit itu kan? Kita semua sama, hanya kau yang lebih istimewa karena kau diberikan penyakit itu oleh Tuhan. Tuhan lebih menyayangimu dan lebih mempercayaimu daripada orang lain termasuk aku. Dia percaya bahwa kau mampu melewati semua ini. Kau mampu berjuang diterima di masyarakat, mampu berjuang melawan penyakit yang semakin lama terus mengambil ketangguhan tubuhmu yang menarik itu.”
            “Kau tahu, tubuhmu itu sangat menggoda,” sambungku dengan suara parau. Dia tertawa dan itu lebih baik daripada melihatnya meratapi nasib indahnya.
“Baiklah dongeng sebelum tidurnya sudah selesai. Saatnya kau tidur dan aku pulang.” Kutarik tanganku dari genggamannya yang membuatnya terlihat kecewa.

            Aku tidak lantas pulang begitu saja. Aku coba bertanya pada dokter yang menangani Rino, beliau mengatakan “AZT, Lamivudine (3TC), Didanosien (ddI), dan Stavudine (d4T), Obat-obat seperti itu hanya untuk mencegah reproduksi virus sehingga memperlambat progresivitas. Pengobatan paling efektif dengan mengkombinasikan antara dua obat atau lebih, karena kombinasi obat bisa memperlambat timbulnya AIDS. Aku merekam semua penjelasan itu dalam ponselku. Hanya ini yang bisa kulakukan. Entah berguna atau tidak sama sekali. Tapi setidaknya aku tidak diam, sementara orang yang aku sayangi tengah berjuang. Aku pergi menghabiskan sebungkus roti keju dan segelas kopi hangat di kantin rumah sakit. Memanfaatkan jaringan internet gratis untuk sekedar mencari informasi tentang obat alternatif yang memungkinkan.
            “Belum pulang?” Aku mendongakan kepalaku, “Dokter?”
Dia meletakan gelas kertasnya, “Kau juga minum kopi?” Menoleh ke gelas kopi yang isinya tinggal setengah.
“Iya,” jawabku malu.
            “Sedang istirahat atau memang sudah tidak ada jam tugas?”
            “Hanya sedang istirahat. Kau sendiri? Bukannya besok harus sekolah? Dan apa orang tuamu tidak khawatir?” tanya pria bertubuh gempal tapi belum terlalu tua. Berumur sekitar empat puluh tahun dan belum ada sedikitpun uban dirambutnya. Sifat kebapakannya yang ramah membuat suasana tidak secanggung saat kau harus bicara dengan kepala sekolah baru.
“Besok ada perayaan sekolah dan aku tidak begitu suka dengan acara seperti itu. Orang tua sedang sibuk bekerja di luar kota. Sementara aku bosan di rumah, jadi lebih baik disini– mencari informasi.”
            “Informasi?” Si Dokter menyandarkan badannya di punggung kursi.  Menggertakan jari-jarinya yang besar. “Jadi?” menekan-nekan tulang hidung lalu ke tengkuknya, “kau masih mencari alternatif yang lain selain pengobatan kimia?”
            “Ya,” jawabku pasti. Aku menunjukan semua hasil yang sudah kusalin ke buku catatan. Ekspresinya saat membaca terlihat antusias,

Penelitian ini terinspirasi dari uji coba bee venom atau racun lebah di Amerika yang berhasil menyembuhkan seorang gadis sembilan tahun. Ketua Pusat Studi Perlebahan LPT Unair James Hutagalung mengatakan, kelompok studinya juga melakukan hal serupa. Namun, James dan timnya melakukan uji coba terhadap pasien HIV/AIDS dengan menggabungkan terapi propolis atau air liur dan racun lebah. Riset dengan racun lebah banyak dilakukan di luar negeri. Namun baru pertama kali di Indonesia. 
Racun dari lebah ternyata mampu menembus dinding sel virus. Ia tidak menghancurkan tapi menembus sehingga virusnya mengecil dan bersifat saling membunuh dan lama-kelamaan hilang. James dan rekannya melakukan uji coba klinis terhadap seorang pasien laki-laki dewasa penderita HIV/AIDS. Pasien ini datang ke LPT Unair dalam keadaan sudah koma selama tiga-empat pekan.  
Dalam tiga pekan pemberian propolis, terjadi perubahan pada pasien. Hasilnya cukup mengejutkan, pasien yang telah koma ini sadar dan mampu membuka mata. Selama terapi, pasien diberi propolis dosis 500 miligram tiga kali sehari. Tablet propolis yang sudah dihancurkan dimasukkan dalam cairan infus pada pagi, siang dan sore hari.

            Ahh Dok, maaf aku mengganggumu membaca. Propolis itu apa dan bagaimana mendapatkannya ya?”
            Propolis berada di dalam rumah lebah. Warnanya kehitaman. Propolis adalah campuran dari nektar dan air liur lebah. Propolis yang dikumpulkan berasal dari jenis lebah dari Eropa,  Apis Mellifera. Propolis yang telah dikumpulkan, diambil ekstraknya dengan cara maserasi. Perbandingannya, satu kilogram propolis dicampur dengan lima liter ethanol. Kemudian dikocok selama dua pekan. Proses tersebut dinamakan maserasi.
Setelah dimaserasi, campuran propolis tersebut dikeringkan dengan alat rotavapor atau alat penguapan. Dari proses ini tertinggal kristal-kristal propolis atau ekstraknya. Ekstrak inilah yang diberikan pada pasien. Ekstrak ini sudah bisa dimanfaatkan karena dibuat dalam bentuk tablet,” jelasnya, sementara aku hanya menggangguk-angguk penuh takjub dengan mulut sedikit menganga. Lalu ia melanjutkan membaca.

Dengan menggunakan mesin berteknologi tinggi, zat Xanthone yang ada dalam kulit buah manggis diambil. Xanthone merupakan zat dalam kulit buah manggis yang antioksidannya paling tinggi dari seluruh buah-buahan di dunia.

Menurut Dr Ir Raffi Paramawati, M.Si, dari Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, semua buah-buahan mengandung antioksidan, namun yang paling tinggi kandungan antioksidannya hanya dalam buah manggis dan itu terdapat pada kulitnya. Lebih jauh ia mengatakan bahwa tidak semua antioksidan yang ada dalam buah-buahan bersifat menyembuhkan penyakit, berbeda dengan manggis, kalau manggis kandungan antioksidannya mampu menyembuhkan berbagai penyakit.

            Si Dokter menghela nafas panjang dan mengembalikan catatan itu padaku, dia tampak tidak setertarik tadi.
“Menarik. Tapi kami belum bisa melakukan itu. Disana ditulis bahwa itu semua masih diuji coba, jadi kami tidak bisa melakukannya, meskipun kami ingin.”
            “Tapi Dok,
            “Aku tahu, kau sangat ingin menolongnya. Satu-satunya yang bisa kau lakukan adalah tetap berada di sampingnya, beri dia semangat dan dorongan. Ingat, jangan pernah melihatnya sebagai penderita AIDS tapi sebagai temanmu.” Dia membawa kopinya pergi meninggalkanku sendiri di kantin yang sepi. Hanya ada dua suster yang tengah asik mengobrol di bawah lampu neon dan bapak-bapak pengunjung yang tengah berusaha mengeluarkan kaleng minuman dari mesin otomatis. Hanya empat orang termasuk aku.

            Tubuhnya semakin mengering, wajahnya memucat dan batuknya yang semakin mengeluarkan darah. Tapi hal yang paling menakutkan adalah perkataannya yang mulai melantur. Dia tersenyum, tipis sekali, lalu meraih sapu tangannya. Lagi-lagi batuk dan lagi-lagi mengeluarkan darah. Aku melesat cepat ke sampingnya, menyodorkan obat dan segelas air putih. Selesai ia meneguk obatnya, ia mulai berbicara, “Bagimana sekolah? Setelah lulus SMA kau ingin jadi apa? Kalau aku pilot. Aku ingin membawamu terbang. Dan apa kau telah menemukan perkataan terakhir sebelum dia, sahabatmu yang pergi?”
            “Sekolah masih menjadi tempat membosankan tanpamu. Setelah lulus, aku ingin menjadi dokter, agar aku bisa merawat dan menyembuhkanmu. Dan pertanyaanmu yang terakhir aku belum bisa menjawabnya.” Dia mengacak-acak rambutku lembut. Sesuatu yang sudah lama tidak aku rasakan setelah kakak dan ayah pergi. Aku rindu mereka..
            “Kenapa? Aku salah bicara ya?” Aku menggeleng dan menyeka air mataku,
            “Tidak. Aku hanya rindu ayah, ibu dan kakakku.”
            “Put, kalau aku pergi kau jangan pernah sedih ya? Kalaupun aku bukan sahabatmu yang dulu pergi itu, aku ingin melanjutkan kalimat itu. Kau tahu, kau sangat menggemaskan.” Kau tahu, kau sangat menggemaskan. Kau tahu, kau sangat menggemaskan. Kau tahu, kau sangat menggemaskan.
                                                                               

            Itu dia!!” teriakku histeris. Aku melonjak dari kursi. Membuat kepalaku membentur lantai karena posisi yang tidak seimbang. Aku mengerang kesakitan. Duduk bersila sambil tetap memegang kepalaku yang terasa berdenyut-denyut di lantai.
            “Kau kenapa?” Suara itu, aku segera mencari asal suara yang tadi diam membisu dengan alat pendeteksi yang hanya mengeluarkan bunyi panjang. Mataku mengerjap, semua orang, Della, Dion dan si kembar bodoh Angga-Anggi pun ada. Tapi kenapa suasana ruangan ini beda? Mana selang infusnya? Mana tirai-tirai putih dan bunga yang baru aku bawa tadi? Mana alat pendeteksi jantungnya, obat-obatnya? Kemana? Aku kembali mengerang kesakitan memikirkan hal-hal yang seketika berubah.
            “Kau kenapa?” Suara itu lagi. Aku bangun, mendapati Rino– laki-laki yang seharusnya sudah mati – sedang tiduran sambil memakan beberapa potong kue.
            “Rin, kau masih hidup?” kataku ragu, berusaha mendekat, menggenggam tangannya dan memastikan tangannya tidak dingin. Laki-laki itu dan semua orang melebarkan mata mereka masing-masing, mempertanyakan pertanyaan yang meluncur dari mulutku.
            “Kau menyumpahiku untuk segera mati? Dan apa yang kau maksud dengan ‘itu dia’?” Rino memasang wajah cemberutnya. Alisnya mengernyit tak jelas.
            “Aku sudah menemukan kata-kata yang aku lupakan itu. Dan kau sungguhan belum mati?” Aku memekik sambil mengelus-elus kepalaku yang semakin sakit karena pukulan Della. “Kau ngelindur ya? Dia hanya sakit tifus dengan berat tubuhnya yang turun drastis. Tidak akan menyebabkan dia mati!!” semburnya. Tapi aku masih belum mengerti. Kubuka buku catatanku dan mendapati catatan itu kosong. Aku mengobrak-abrik tempat obatnya dan tidak menemukan satupun obat-obat itu.
            “Kau bermimpi?” selidik Rino lembut. Aku mengangguk. Lututku lemas dan langsung ambruk di kursi yang baru saja kuberdirikan.
            “Ya, memimpikanmu. Kau,” Kuraih tangannya, kugenggam dan kubawa ke wajahku, “mengidap penyakit AIDS.”
            “AIDS?!!” teriak semua orang kecuali Rino yang menungguku menyelesaikan ceritaku. “Kau sekarat. Aku sudah berusaha tapi sia-sia. Kau batuk darah dan akhirnya kau mati. Aku menangis, aku takut, aku– ” Belum selesai dengan ceritaku, Rino menghentikan ucapanku dengan bangun dan memelukku.
            “Aku hanya sakit tifus dan aku tidak mati. Jadi, jangan menangis dan jangan takut. Aku masih disini. Masih untukmu.” Aku melepaskan pelukannya dengan malu. Menyiapkan telingaku untuk ledekan karena mimpiku yang konyol.
            Wahh.. sinting ini orang..
            Kau pikir, Rino laki-laki nakal yang bisa ketularan penyakit macam AIDS?
            Makanya jangan kebanyakan minum kafein atau nonton drama.
            Putri sudah gila!! Bener-bener gila!!
Aku hanya bisa cemberut tanpa membantah. Cemberut meskipun sebenarnya aku senang, aku lega karena itu hanya mimpi. Bahwa Rino, laki-laki yang tengah melingkarkan kedua lengannya di leherku ini, tidak benar-benar mati. Tidak sama sekali. Aku menyayangi orang ini, apapun penyakitnya, asal dia jangan mati dan jangan pergi seperti kakak.


SELESAI …

3 komentar:

Enny Mamito mengatakan...

haii..kunjungan perdana.. :))

Enny Mamito mengatakan...

haii..kunjungan perdana.. :))

Insan Gumelar Ciptaning Gusti mengatakan...

Terima kasih :) Maaf, ini masih blog asal-asalan.. masih jelek. :D