Selasa, 29 April 2014

Mingen



Lari!! Cepat Lari!!
Ayah!! Ibu!!
Lari!! Apapun yang terjadi lari!!!
            “Aaaa!!” ia berteriak sejadi-jadinya. Keringat mengucur deras melalui setiap lubang pori-pori di tubuhnya. Membuat kaos putihnya basah. Jantungnya kembali bergebup kencang seirama dengan alunan nafasnya yang berantakan. Lingkaran terang bulan purnama terlihat dari balik jendela. Tirai menari-nari, sedikit memperlihatkan dunia luar malam ini. Malam yang sama seperti dua belas tahun lalu. Dalam satu malam sebagian besar kehidupannya lenyap.
            “Ben, apa kau baik-baik saja?” Laki-laki itu kembali terperanjat. Mengerjapakan matanya beberapa kali, sosok mungil berdiri di ambang pintu dengan wajah khawatir seperti biasa. Perlahan gadis itu masuk, meskipun dengan ragu. Mata bulatnya yang bening dapat melihat dengan jelas kalau laki-laki yang tengah duduk di atas ranjang itu, baru saja teringat kenangan buruk.
“Tenanglah, kau baik-baik saja. Itu hanya mimpi.” Dalam dekapannya, gadis itu bisa merasakan getaran yang begitu hebat menyelubungi setiap sisi tubuh Ben.
“Aku akan selalu disampingmu. Tenanglah,” sambung gadis itu.

Mungkin Nanti



              Aku hanya bisa mengangguk saat Bion bertanya, apakah aku baru saja menangis. Kurasa ini akibat dari suasana hatiku yang buruk belakangan ini. Dia hanya mematung, memfokuskan pandangannya ke arahku. Setiap kubaca pesan di ponselku, air mataku selalu tidak terkendali. Kututup wajahku yang buruk dengan kedua tanganku. Tidak lama kemudian aku merasakan badanku tertarik ke samping dan menempel di pundak yang kuat, aku tahu, itu adalah pundak Bion.
              “Aku merindukannya. Aku sangat merindukannya,” ucapku pelan dan bergetar. Dadaku terasa sesak saat berusaha mengatakan kata ‘merindukannya’.

Minggu, 27 April 2014

Hanya Berputar, Selebihnya Sama



           Dua tahun lalu, untuk pertama kalinya Kaoru menginjak bumi Indonesia, terlebih Jawa. Ia mengenakan pakaian bergaya harajuku membuat Sheila terpikat. Mereka keluar dari pintu kedatangan yang sama. Tanpa malu, Sheila langsung lari ke tempat Kaoru dan mengajaknya foto bersama, berkenalan, bahkan meminta nomer ponsel dan emailnya. Sheila yang memang sangat menyukai semua hal yang berhubungan dengan Jepang, sangat tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Dia membuat misi untuk menjadikan gadis Jepang itu temannya.
Sampai sekarang ia masih tidak menyangka bahwa misinya bisa terwujud bahkan lebih. Sheila terkekeh sendirian di kamarnya. Mengenang masa dimana ia berusaha keras dan akhirnya mereka bisa berteman bahkan bersahabat seperti sekarang ini.
Dentingan jam kuno di ruang tamu mengagetkannya. Ia sontak menoleh ke arah jam beker di atas meja kecil. Dua belas malam. Televisi masih menyala. Setelah diperhatikan lebih lama, ternyata channel itu sedang memutarkan film horror. Ia buru-buru mencari remote dan menggantinya, tapi entah hari apa ini, semua saluran seakan bekerja sama. Tombol off menjadi keputusan terakhir.

Jumat, 25 April 2014

Aku Juga

“Awas!!” teriaknya. Kedua kakinya dengan reflek bergerak. Ia berlari lalu mendorong Vila yang tanpa sengaja membuat gadis itu terbentur tiang lampu jalan. Masih ditambah Gilang yang tak bisa mengerem kecepatan kakinya, membuat lengan gadis itu harus menerima badan besar seketika.
            “Aw!” Vila menggosok-gosok lengan atasnya. Menatap dengan jengkel laki-laki disebelahnya. “Makasih,” sahutnya dongkol. Gilang mendengus, kemudian tanpa sadar tangan kanannya mengacak-acak rambut gadis yang terlihat sangat kesakitan. Dua tiga empat detik kemudian, Gilang baru sadar kalau ada luka di dahi Vila. Itu pasti karena benturan barusan.
            “Kepala kamu sakit?” tanyanya sambil menunjuk-nunjuk dahinya sendiri. Vila mengangguk. Sesekali ia mencoba menyentuh lukanya. Gilang menatap gadis itu penuh rasa kasihan. Jari telunjuknya dengan hati-hati mencoba menyibakan poni yang menutupi luka yang tidak terlalu serius itu. Hanya sedikit memar dan ada sedikit darah yang keluar. Gilang mengambil sapu tangan dari saku celana belakangnya. Pelan-pelan ia membersihkan darah di dahi Vila tanpa permisi. Orang-orang berlalu lalang memperhatikan mereka. Bagaimana tidak, baru saja Vila hampir menjadi korban tabrakan. Bagaimana mereka tidak diperhatikan banyak orang kalau setiap Gilang menyentuh lukanya dengan sapu tangan, Vila pasti berteriak atau mengerang padahal mereka masih berada di pinggir jalan raya.
            “Hussttt!!” desis Gilang dengan nada sedikit mengancam. Vila memukul-mukul tangan Gilang yang terus membersihkan darah di dahi Vila sambil sesekali meniup-niup kecil di daerah lukanya. Jujur saja, siapa yang merasa tidak salah tingkah kalau diperlakukan seperti itu? Vila pun merasakannya. Jantungnya berdebar kuat setiap hembusan nafas Gilang menyentuh kulit wajahnya.

Minggu, 13 April 2014

Under Sea

            Ia tersenyum santai menikmati jari-jari kecil yang mengusap, melipat-lipat kulitnya, memberi tekanan di titik-titik tertentu. Ketika sesuatu yang dingin bergerak sedikit demi sedikit memenuhi bagian belakang tubuhnya, pundaknya reflek bergerak ke atas.
            “Nikmatnya,” desahnya pelan. Memanjakan diri sejenak itu memang menyenangkan. Namun tiba-tiba ia mengerang. Pundaknya melorot ke bawah berusaha menghindar dari tekanan rasa sakit yang menyerangnya begitu saja.
            “Hoi! Hoi! Bangun!!” Gadis berambut pendek itu membuka matanya perlahan. Siluet lampu kamar membuatnya tidak begitu jelas melihat siapa orang yang sedang merunduk di depan tubunya. Beberapa saat ketika pengelihatannya telah sempurna, ia mendengus kesal. Memberi satu tinjuan pelan ke lengan kakaknya. “Berhentilah mengganggu mimpi-mimpiku kak!” rengeknya.

Minggu, 06 April 2014

Melodies Of Life



            Visby Hawking mengangkat ketiga jemarinya dari tuts di nada terakhir dengan anggun. Suara riuh tepuk tangan menggema. Begitu pula laki-laki yang duduk di tribun paling atas. Hanya tiga tepukan yang ia buat. Ia selalu tertarik dengan manusia yang tengah tersenyum bahagia di bawah. Akhir-akhir ini Karen merasakan tekanan yang sudah lama tidak ia rasakan. Tekanan yang selalu diciptakan sahabatnya saat dia menemukan sesuatu yang menarik. Saat ditanya kenapa, Elvas Klausner selalu membentuk garis lengkung di wajahnya. Ekspresinya menunjukan seolah tidak akan terjadi apa-apa, dan ia tidak sedang membuat rencana apa-apa. Namun, saat ia beranjak dan membelakangi Karen, salah satu sudut bibirnya tertarik dengan maksud tersembunyi.

Lomba kebut 30 menit



            Ramdi mematung. Terpaku dengan rahangnya yang mengeras. Di seberang matanya, lukisan lusuh tanpa kaca hanya berpigora emas tengah memandangnya tajam. Rahang itu mengatup keras menahan air mata yang berlomba untuk segera dibebaskan. Ramdi balik menatap, sama tajamnya. Sambil mengucap kalimat yang membuat bulu roma berdiri. Berulang kali.
            Dalam panik kebahagiaan, Ramdi melesat keluar dari ruangan berpetak yang ia sebut rumah. Tidak ada lagi kata-kata yang mampu menggambarkan perasaannya sekarang, selain Alhamdulilah. Ia berlari kencang. Laki-laki bertopi kumuh itu terus berlari. Berlari dan berlari. Disimpannya secarik kertas undian yang menjadi pusat kebahagiaannya.

My third anthology

Cover


 My story was selected as one of seven finalists jury selection. Competition PNE Award 2014 Faculty Psychology, Muhammadiyah Jember University.

*Melodies Of Life - Insan Gumelar Ciptaning Gusti*






Melodies Of Life

Minggu, 30 Maret 2014

Ikatan Dalam Tiupan Harmoni

Seandainya semua orang dapat memahami orang lain hanya dengan saling pandang, untuk apa ada perasaan dan perkataan?

Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa masa muda hanyalah sebuah kebohongan belaka. Menciptakan perkumpulan hanya untuk menikmati masa muda, tapi mereka yang hanya melakukan itu akan mengundang banyak masalah. Kegagalan, kebohongan, rahasia dan bahkan hal-hal baik yang menyelubungi. Dan semua itu mengarah pada kesimpulan bahwa kita harus memiliki teman. Maka orang yang tidak memiliki teman, akan menjalani masa muda yang lebih sulit, kan?

Delapan-Empat



            Aku masih diam tak bergerak. Tidak ada yang kulakukan sampai bel pelajaran pertama bergema melalui speaker kelas. Aku adalah orang yang bisa dibilang sangat menghemat energi. Aku tidak suka melakukan sesuatu yang kurasa tidak akan menguntungkanku, kecuali ada sesuatu yang berbeda yang mampu menarik perhatianku. Biasanya aku akan memilih untuk tidur atau membuat kerangka kasar di kertas yang kutemukan di laci meja.
            Sebenarnya aku cukup penasaran dengan desas-desus yang tengah menyebar di sekitarku sejak beberapa hari lalu. Aku hanya mendengarkan tanpa ikut berkumpul, menempelkan keningku pada tangan yang terlipat di atas meja.
            “Selamat pagi,” sapa guru senior di sekolahku. Aku mengangkat kepalaku pelan. Melihat ada satu murid yang mengekor padanya. Dia berkaca mata, tinggi sekitar 165 sampai 170 sentimeter dan berlesung pipi disebelah kiri.

Jumat, 28 Maret 2014

Tukang PHP di PHP-in

Jangan buat aku untuk terus berharap. Beri aku kepastian, jujur aku lelah menunggumu yang tidak pasti.

            “Kamu mau jadi pacar aku?” ungkap Hujan tiba-tiba sesaat setelah Lizzie meletakan segelas es jeruk diantara mereka. Ekspresi wajah Lizzie sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan atau rasa tersanjung melainkan kebingungan. Ia sama sekali tidak menyangka kalau sahabatnya akan bicara seperti itu. Selama ini ia memang tahu kalau Hujan, laki-laki bertubuh atletis itu sedang berusaha untuk menyatakan perasaannya tapi ia sama sekali tidak menyangka bahwa dirinyalah orang itu.
            “Hha?” respon Lizzie yang sama sekali tidak menolong.
            “Jangan bilang ‘hha’ Lizzie. Aku tanya, apa kamu mau jadi pacar aku?” ulang Hujan tidak menyerah.

Kamis, 06 Maret 2014

One Day in 2023 (Versi Cerpen)



Tiara + Insan + Sasti + Ria + Retno = KITA


Kita itu seperti pelangi. Pelangi mempunyai tujuh warna berbeda yang selalu muncul bersama. Sama seperti kita, diantara kita mempunyai kebiasaan, sifat dan kesukaan yang berbeda. Bahkan perbedaan itu teramat sangat. Tapi kita tetap bersama, tidak peduli kesukaan kita apa, yang jelas kita selalu menghargai apa yang sudah menjadi diri kita sendiri. Karena kita tidak menuntut untuk selalu sama. Terkadang saat aku melihat koloni semut yang berjuang untuk membawa makanan mereka, aku jadi teringat akan kita. Kita selalu berjuang bersama agar kita lulus. Tapi terkadang aku juga merasa kita ini seperti puzzle. Saling melengkapi. Saat satu dari kita tidak ada, ada sesuatu yang hilang. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Suatu saat kita akan berpisah, menemukan tujuan hidup kita masing-masing. Tapi suatu saat kita juga akan bertemu kembali di menara Eiffel, tanggal 1 Januari 2023! Jadi jangan takut kita tidak akan bisa bersama lagi.
(TCP)

Rabu, 05 Maret 2014

My Shining Star


            Sekarang yang terdengar hanyalah suara jangkrik, malam telah datang. Riri bersiap-siap pergi ke rumah Shasa. Sekitar 25 menit kemudian Riri sudah sampai dan Shasa sudah menunggu di depan rumahnya. Malam itu di rumah Shasa hanya ada mereka berdua, orang tua Shasa sedang pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan.
            Buku pelajaran matematika sudah tertata rapi di ruang tamu, “Ayo Ri, belajarnya di sini aja sekalian bisa nonton tivi.“ Ajak Shasa. Mereka berdua pun langsung mengerjakan tugas matematika bersama, tapi tiba-tiba berulang kali Riri menggaruk-garuk kepalanya yang membuat Shasa terganggu.
            “Kamu kenapa Ri, belum keramas ya?” ledek Shasa.

Because Of You


Matahari pagi membangunkan Yuki dari mimpi panjangannya. Hamparan semangat pagi memanggilnya saat tirai jendela kayu itu dibuka. Berbekal pena dan sebuah buku catatan di tangannya, Yuki melangkahkan kakinya mencari sebuah inspirasi dari kenyataan-kenyataan hidup yang indah.  Tapi ada yang berbeda, Yuki tampak tak seperti biasanya, wajah tegar dan semangatnya berubah menjadi keputusasaan. Sesekali ia berhenti dan duduk di sudut kota, menutup matanya, seakan tak ingin melanjutkannya lagi. Tiba-tiba sebuah tepukan mendarat di pundaknya
“Semangatlah.”  Ucap laki-laki berkaki asli satu itu. Yuki mendongakkan kepalanya, diamati wajah laki-laki itu.

Pelangi Lunar


              Ini sudah tahun ketiga dan aku masih saja berharap bisa melihatnya lagi. Bersandar di kusen jendela dan menatap langit abu-abu. Rintik-rintik hujan mulai menghantam tanah berumput di depan kamarku. Kututup jendela dan beranjak ke tempet tidur yang terlihat lebih hangat dari biasanya. Meringkuk sendirian dengan balutan selimut tebal yang aku rasa bisa membuatku terbang sesaat.
                                                                            ***
              “Saya, kamu mau tidur sampai jam berapa?”
              “Iya-iya ma.. Bentar.” Sahutku dari balik selimut. Kulirik jam beker, setengah lima sore. Selimut kusibakkan dan mulai bertugas.
              “Bangun juga akhirnya.” Sindirnya dari atas sofa. Mamaku memang punya kebiasaan menyebalkan, setiap pembantu pergi anak selalu dijadikan pembantu seperti kisah Cinderella. Sementara dirinya sendiri asik minum teh sambil membaca majalah seperti sekarang. “Sekarang apa?” tanyaku kesal. Jari telunjuknya yang panjang dan mahal, menujuk keluar. Kakiku melangkah berat, dari celah pintu yang terbuka, kepalaku keluar sekilas mirip seperti kepala kura-kura.

Senin, 03 Maret 2014

You’ll Find What You seek

Suatu hari di dunia yang mulai dingin, aku pernah berpikir dengan otakku yang kurasa mulai berkarat. Awalnya aku pikir ini berlebihan, tapi kurasa tidak. Aku hanya ingin keluar dari penjara yang dingin, membuatku susah untuk sekedar memejamkan mata sesaat. Lari dari kejaran malam dan akhirnya pandanganku jatuh keluar jendela. Aku juga ingin terbang seperti mereka, mengepakkan sayap dengan sempurna.
            Sudah berapa banyak cahaya pagi yang menembus tirai jendela? Semuanya kuhitung dengan ke sepuluh jariku. Dan aku lupa sudah berapa ratus kali aku memutarnya. Langit pagi memang lebih indah daripada langit malam yang penuh bintang. Bintang malam yang kulihat, apa bisa kembali lagi besok? Kalimat yang indah bukan? Siapa yang tahu tentang hari esok, akan seperti apakah hari esok? Mungkin aku harus tertawa, tertawa karna aku telah menghabiskan hari-hari yang aku tidak pernah tahu seperti apa hari yang kulalui itu.

Waktu dan Sesisir Jeruk



Bagaimana jika aku mati besok? Apa yang akan kulakukan? Apakah aku akan menangis? Melakukan semua hal yang belum pernah kulakukan atau justru meratapi kesendirian dalam kesepian? Apa yang akan kulakukan jika seandainya seluruh benda dipermukaan bumi ini lenyap dan hanya meninggalkan satu benda yang bisa kumiliki? Mungkin aku akan mengambil secangkir kopi hangat.  Memasukan satu sendok kopi dengan dua sendok gula sebagai pemanisnya. Menikmatinya perlahan sampai kepulan asap itu membumbung tinggi, hilang, atau mungkin aku hanya diam. Entahlah.
            “Vhey!!” Suara itu menarikku kembali dari lamunan panjangku. Cangkir kopi dalam genggaman kedua tanganku di meja sudah tak sepanas tadi. Menunggu laki-laki itu berjalan dari tangga di ujung lorong. Masih tetap sama, dia masih dengan kameranya. Kejadian lima belas tahun lalu memang sudah merubah segalanya. Termasuk merubah kehidupanku.

Opposite



Baru seminggu yang lalu usiaku berubah menjadi 24 tahun dan aku masih saja harus menghirup oksigen lalu menghembuskannya. Dimalam pergantian usiaku, ada satu permohonan yang selalu ku ucapkan berulang kali. Aku ingin tinggal di sebuah rumah dengan kondisi yang lebih menyenangkan. Terkadang aku harus membobol uang tabunganku sendiri, hanya untuk kabur setiap kepala dan telingaku sakit. Atau pergi ke tempat perkumpulan orang-orang yang kurasa jauh tidak normal dariku.
             Segelas kopi pekat yang masih menguap berdiri tegak sendirian di tengah meja kotak tak bertaplak. Minuman kesukaanku yang bisa membuatku berpikir lebih cepat. Meskipun begitu, aku masih belum bisa menghentikan air mata orang itu. Air mata yang selalu membuat darah tinggiku naik. Yah, tinggal dengan seorang psycopat memang merepotkan.

No Life No Story



*****
          Semenjak aku tinggal bersama keluargaku di kota baru, semuanya terlihat berubah. Kakak laki-lakiku, sebut saja namanya Toni. Baru saja dia lulus SMA dan ingin melanjutkan sekolah di kota ini. Alhasil aku harus ikut pindah sekolah. Ini sudah kepindahanku yang ke empat kalinya dan aku harus selalu memulai beradaptasi kembali. Hal yang menyebalkan. Tahun ini aku selesai menempuh sekolah dasarku. Satu-satunya hal yang sangat kuinginkan untuk cepat terjadi adalah hari kelulusanku. Aku ingin hari itu cepat datang dan aku bisa mengatakan selamat tinggal pada cecurut di sekolahku.
          Satu jam lagi, denting jam malam pasti akan kembali bersuara. Aku bisa menebaknya, laki-laki itu akan kembali dengan botol-botol ditangannya. Aku bosan mendengar suara teriakan yang menyakitkan telinga. Meraung-raung seperti mobil ambulan yang melaju kencang di depan rumahku tempo hari.
*****

Nightmare in Summer



John tersenyum. “Menurutku pelakunya adalah orang yang sama.” Musim panas di Abbeville kali ini jauh lebih membakar. John berdiri di pinggir jendela, mengamati lalu lintas di bawah. Sementara Peter, detektif muda itu jauh lebih bersemangat ketimbang Nick laki-laki berumur sekitar 40 tahun yang sedang jongkok di samping tim forensik.
              “Luar biasa.” Seru Nick menepuk pundak David, ketua tim forensik.
              John berpaling, “Kau menemukan sesuatu?”
              “Perhatikan, sepertinya pelaku sudah terbiasa melakukan hal seperti ini. Dia sangat teliti saat memotong otot-otot tendon. Seperti korban sebelumnya, pelaku membuat korban pingsan, membunuhnya dan baru memotong kaki kanan tepat dilutut.” John berdiri, memutari kursi santai kebelakang meja komputer. Bercak darah belum dibersihkan. Bau amis bercampur dengan asap rokok dan suhu yang panas sangat menyiksa. Sesekali ia menutup hidungnya dengan jari telunjuk atau sapu tangan. “Korban ditikam tepat di daerah jantung. Cara yang tepat untuk mengakhiri sesuatu dengan cepat.”

April Sky in Jember City



Kugeser piring berisi potongan pizza ke seberang meja. Wajahnya terlihat sedikit muram. Ada kecemasan dan kesedihan yang bercampur, sangat menggetirkan. Tangan kujulurkan ke depan, meraih lalu menggenggamnya. Aku ingin dia menyadari bahwa aku ada di dekatnya. Aku ada untuk selalu bersamanya. Kami telah bersama sejak empat tahun lalu dan aku ingin itu untuk selamanya. Masih ditambah, orang tua kami yang sudah saling menyetujui. Menatap tajam matanya yang sendu membuatku semakin yakin ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. “Boleh aku tahu ada apa?” seruku pelan. Dia balik menatap mataku. Sorot dingin matanya menyergap, masuk, dan menjalar ke tubuhku. Ada apa?