Minggu, 27 April 2014

Hanya Berputar, Selebihnya Sama



           Dua tahun lalu, untuk pertama kalinya Kaoru menginjak bumi Indonesia, terlebih Jawa. Ia mengenakan pakaian bergaya harajuku membuat Sheila terpikat. Mereka keluar dari pintu kedatangan yang sama. Tanpa malu, Sheila langsung lari ke tempat Kaoru dan mengajaknya foto bersama, berkenalan, bahkan meminta nomer ponsel dan emailnya. Sheila yang memang sangat menyukai semua hal yang berhubungan dengan Jepang, sangat tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Dia membuat misi untuk menjadikan gadis Jepang itu temannya.
Sampai sekarang ia masih tidak menyangka bahwa misinya bisa terwujud bahkan lebih. Sheila terkekeh sendirian di kamarnya. Mengenang masa dimana ia berusaha keras dan akhirnya mereka bisa berteman bahkan bersahabat seperti sekarang ini.
Dentingan jam kuno di ruang tamu mengagetkannya. Ia sontak menoleh ke arah jam beker di atas meja kecil. Dua belas malam. Televisi masih menyala. Setelah diperhatikan lebih lama, ternyata channel itu sedang memutarkan film horror. Ia buru-buru mencari remote dan menggantinya, tapi entah hari apa ini, semua saluran seakan bekerja sama. Tombol off menjadi keputusan terakhir.

Ia meringkuk di balik selimut. Rasa takut tiba-tiba mengelilinginya. Rumah besar itu kini menjadi milknya sendiri. Kedua orang tuanya sedang pergi, dan secara bersamaan para pembantunya melakukan hal yang sama. Satu lagi yang ia sesali, ia tidak menghubungi Kaoru untuk menginap dirumahnya karena tidak mungkin ia meminta tolong pada Nanta.
                                                                                 ***
            Kaoru membiarkan jendela kamarnya terbuka. Menganti udara yang sudah terkontaminasi dengan udara yang baru. Sinar matahari pagi menerobos dengan kuat, menerangi beberapa bagian sudut kamarnya. Ia terlonjak, mengangkat dua kakinya seketika saat ia merasakan ada sesuatu yang ia injak. Ia melongo ke bawah. Ada tangan muncul dari bawah tepat tidurnya. Suara erangan muncul beberapa saat kemudian. Memaksa semua hormon adrenalin dalam tubuhnya bekerja. Membuat seluruh keringat dalam tubuhnya keluar. Padahal pagi itu tidak sepanas udara musim panas di negeri asalnya. Menarik satu nafas panjang lalu menghembuskannya.
             “Amane-chan!!!” jerit Kaoru saat mendapatkan adiknya sedang tidur di bawah kolong tempat tidurnya. Amane memiringkan kepalanya, merangkak keluar dari kolong tempat tidur seperti seorang pembunuh yang keluar dari persembunyiannya. Ia mengosok-gosok kedua matanya, lalu kembali merebahkan diri diatas ranjang kakaknya.
            “Kenapa aku disini? Di kolong tempat tidur pula?”
            “Hey, seharusnya itu pertanyaanku. Kenapa kamu bisa tidur di sana? Sejak kapan?” Amane menelentangkan kedua tangannya, menguasi ranjang besar itu sendirian. Menoleh ke arah kakaknya yang masih memperhatikannya, lalu kembali pada langit-langit kamar.
            “Aku lupa,” jawabnya datar. Kaoru menundukan kepalanya, seakan menyerah dengan kebiasaan Amane yang aneh. Kebiasaan suka berjalan dan lupa dengan apa yang sudah ia lakukan itu kerap membuatnya bahkan kedua orang tua mereka khawatir.
            Tiba-tiba ponselnya berkedip. Lampu merah dan biru itu berganti menyala di ujung ponsel miliknya.  Satu pesan diterima. “Bubibubi?” Melempar ponel miliknya ke samping dan bergegas menuju kamar mandi.
                                                             ***
Bubibubi masih menjadi tempat favorit untuk Sheila. Ia lebih suka menghabiskan satu harinya untuk berada di sana. Menyicipi semua makanan dan minuman yang sangat nikmat. Tubuhnya yang memang sudah terbentuk seperti itu, sebanyak apapun dia memasukan glukosa ke dalam tubuhnya, ia masih memiliki bentuk yang sama. Kaoru sudah datang sepuluh menit sebelum jam yang ditentukan, karena dalam kebiasaannya sejak kecil, ia dilarang membuat orang menunggu terlalu lama.
Sepiring mochi sudah tersaji di hadapannya. Kue dari tepung beras berbentuk seperti bola itu selalu menjadi menu andalannya setiap datang ke Bubibubi. Tersusun seperti menara, diberi titik-titik seperti mata sebagai hiasan. Ia lebih suka memesan mochi berwarna hijau karena menurutnya rasa itu yang paling mirip dengan mochi yang sering ia nikmati dulu di Jepang.
“Kaoru, maaf aku terlambat. Aku lupa kalau Nanta pulang,” serunya, setelah duduk di kursi yang menempel pada dinding kaca. Sheila mengangkat tangan kanannya, seorang pelayan perempuan datang menghampiri. Bubibubi memang dibangun untuk para pecinta dan orang yang penasaran dengan kafe yang ada di Jepang. Bahkan pelayan pun berseragam seperti pelayan-pelayan di maid cafe.
“Aku pesan dorayaki, seperti yang ini.” Ia menunjukkan salah satu gambar di menu pada pelayan itu. Selesai mencatat, pelayan yang masih cukup muda itu tersenyum, lalu meninggalkan mereka. Tiga mochi milik Kaoru sudah menghilang dari atas piring. Sementara Sheila masih menunggu pesanannya datang dengan tidak sabar. Ia tidak bisa diam, Berkali-kali ia menoleh ke arah dapur. Memastikan pesanannya sudah keluar atau belum.
Sepuluh menit kemudian, pelayan itu kembali dengan nampan yang membawa dorayaki miliknya. “Silahkan,” ucap pelayan itu setelahnya. Dua dorayaki itu ditumpuk menjadi satu. Tengah-tengahnya diberi sejenis krim dan saus strawberry. Lalu bagian atasnya digambar seperti wajah beruang, yang kupingnya dibuat dari dua scoop es krim rasa cokelat. Penampilan makanan yang sangat menggemaskan membuat Sheila ingin segera menyantapnya tapi tidak ingin merusaknya.
“Aa, bicara soal Nanta, kamu sudah pernah ketemu sama dia?” tanya Sheila sambil menikmati dorayaki dan saus strawberry yang meluber di mulutnya. Kaoru menggeleng. Itu wajar. Sejak mereka berdua berteman, niat Sheila yang ingin balik memperkenalkan Kaoru dengan Nanta selalu gagal, padahal Kaoru sudah sering membawa Ben.
“Oru, maaf ya, aku tidak bermaksud menyembunyikannya. Aku juga ingin memperkenalkannya denganmu. Sebagai gantinya, berhubung dia juga sudah pulang, bagaimana kalau sabtu besok kita pergi berempat?”
“Usulan yang bagus. Baiklah.”
                                                                         ***
            Hari ini cukup cerah, perkiraan cuaca yang tadi ditontonnya di berita tidak meleset seperti biasanya. Amane duduk di kursi panjang sambil menghadap ke layar besar di depannya. Suara bell dan ketukan pintu silih berganti memanggil agar pintu segera di buka. Amane turun dari singgasananya, berderap menuju pintu yang terus berisik.
            “Selamat malam. Ahh Ben-niichan, mau jemput neechan ya?” tebak Amane yang masih berdiri diambang pintu. Tersadar dengan ketidaksopanannya, buru-buru ia membungkukkan badan cukup dalam. “Maaf.”
            “Hey, apa yang kamu lakukan? Untuk apa bilang maaf?” Amane mengangkat badannya, mempersilahkan Ben masuk karena Kaoru baru saja pergi dan akan segera kembali.
            “Ehm ano niichan, memangnya kalian mau makan malam dimana?”
            “Entahlah. Kemarin sore Kaoru mengirimiku pesan, katanya dia ingin aku ikut dengannya diacaranya Sheila.”
            “Sheila-neechan?!” koreksi Amane. Ben mengangguk. Mengambil gelas berisi jus jeruk yang baru saja Amane siapkan untuknya. Jarum di arloji miliknya terus berputar melewati beberapa angka untuk menemui angka yang baru. Sekitar pukul delapan malam, Kaoru kembali. Masuk, dan langsung melakukan hal yang sama seperti Amane, membungkuk dalam pada Ben sambil mengucapkan kata maaf. Ben yang merasa malu sekaligus tersanjung karena mendapat perlakukan seperti itu, memutuskan untuk segera berangkat dari pada harus melihat Kaoru yang terus membungkuk karna merasa bersalah.
            Meja nomer dua puluh enam. Dua manusia sudah duduk di sana, menanti satu pasangan lainnya. Hanya ada segelas air putih yang sudah dipesannya terlebih dulu sampai orang yang mereka tunggu datang.
            “Sheila-chan, maaf aku terlambat,” seru Kaoru dengan nada bersalah. Sheila memasang wajah marah yang membuat Kaoru semakin diliputi rasa tidak enak, tapi buru-buru dibuangnya ekspresi itu. Ia tertawa terkekeh ketika melihat reaksi Kaoru yang dengan mudahnya tertipu.
            “Sudahlah, kalian baru terlambat lima belas menit. Bukan waktu yang lama, Jadi silahkan duduk, kamu juga Ben.” Sheila memergoki Nanta yang terus memperhatikan Kaoru dengan mata yang penuh pertanyaan. Dan Sheila paham, itu tatapan yang sama seperti dirinya dulu saat melihat Kaoru pertama kali. Sheila membenarkan dan mengakui kalau Kaoru memang mempunyai sisi dalam dirinya yang dapat menarik perhatian orang lain dan membuatnya semakin penasaran sehingga ingin selalu bersamanya.
            “Aku Nanta.” Ia menjulurkan tangannya pada Kaoru yang sedang sibuk memilih makanan. Gadis itu sedikit kaget, menutup buku yang tengah dibacanya lalu menjabat tangan Nanta. “Aku Kaoru Mizuki,” aku Kaoru dengan dialek yang berubah, lebih pada pengucapan dalam bahasa Jepang. Nanta melepas jabatan tangannya dengan Kaoru dan berganti pada Ben.
            “Maaf, apa kamu asli keturunan orang Jepang?”
Kaoru mengangguk. “Ya, ayahku adalah orang Jepang, Mamoto Mizuki. Sementara ibuku orang Indonesia campuran Belanda, Mareta Debora Mizuki,” terang Kaoru merinci. Untuk ketiga kalinya, pelayan laki-laki itu datang menanyakan menu apa yang ingin di pesan. Sheila memilih Tokoroten dan Yakitori, lalu secara bersamaan Kaoru dan Nanta mengucapkan Hiyashi Chuka Ramen sebagai pesanan mereka. Mereka berdua saling pandang lalu tertawa malu.
            “Aa Ben, kamu mau pesan apa?” tanya Kaoru menyadari hanya dia yang belum memesan makanan sama sekali.
            “Entahlah, aku bingung.” Ia menimbang-nimbang apa yang harus ia pilih. Ia juga merasa tidak enak dengan pelayan yang masih setia berdiri dengan buku dan bolpoin. Tapi jika ia salah pilih, ia akan lebih malu karena berusaha memakan apa yang tidak bisa masuk ke perutnya. Aku sudah sering mendengar nama ini, mungkin ini lebih baik.
            “Ehm, maaf lama. Baiklah, aku pesan Terriyaki.”
            Tak harus menunggu lama, pesanan mereka pun datang. Kaoru menepuk tangannya sekali sambil bersua, “Ittadakimasu.” Dua orang menjawab dengan cara yang sama dan waktu yang sama. Hanya Ben yang tidak membalas, karena hanya dia yang tidak mengerti harus menjawab dengan kata atau kalimat apa.
                                                                         ***
            Sejak pertemuan mereka di kedai Sakuranbo beberapa hari lalu, kini menghadirkan perasaan sedikit aneh di antara mereka. Di sebuah bangku kecil dekat taman kota, Kaoru duduk termenung sendirian wajahnya diselimuti perasaan gelisah. Tiba-tiba motor putih berhenti di depannya. “Kaoru?” sapa Nanta sambil memarkirkan sepedanya.
            “Aku boleh duduk disini?” Kaoru hanya mengangguk.
            “Kamu lagi apa?” Sejenak tak ada jawaban dari Kaoru, tapi akhirnya Nanta dapat mencairkan suasana dengan obrolan yang menyenangkan. Suasana akrab terjadi di antara mereka. Saat Kaoru memperhatikan Nanta yang sedang asik bercerita, tiba-tiba Kaoru teringat kebersamaannya bersama Shino dulu. Kaoru merasakan banyak kemiripan tentang Shino di diri Nanta. Senyuman manis pun terukir di wajah Kaoru.
            “Kamu kenapa Ru? Kok senyum-senyum sendiri? Ada yang aneh ya?” Kaoru hanya menggelengkan kepalanya sambil tetap tersenyum. Sesaat kemudian, Ben datang dengan mobil merahnya. Melihat kedatangan Ben, Nanta pun beranjak pergi.
            “Nanta? Kamu kok ada di sini?” tanya Ben heran. Nanta hanya tersenyum dan pergi. Sesaat setelah Nanta pergi, Ben pun duduk di sebelah Kaoru sambil mengacak-acak rambut pendek Kaoru.         
                                                                         ***
            Nanta lebih sering menghabiskan waktu dengan Kaoru ketimbang Sheila, pacarnya sendiri. Nanta adalah tipikal laki-laki yang tidak suka dikekang dan diatur untuk urusan teman. Tapi pada awalnya Sheila tidak begitu memperdulikan persoalan itu, tapi sekarang, setelah teman yang sering ditemuinya adalah Kaoru, Sheila merasa cemburu. Ia tidak begitu suka Nanta terlalu dekat dengan sahabatnya. Ia selalu berusaha menghalangi Nanta setiap ingin bertemu dengan Kaoru, dan hal itu dirasakan Nanta sehingga membuatnya marah karena merasa Sheila mulai tidak percaya dengannya.
            Pertengkaran itu terjadi lagi. Nanta membentak Sheila hebat ketika Sheila tiba-tiba muncul dan merecoki percakapan Nanta dan Kaoru di perpustakaan umum. Kaoru hanya bisa diam melihat hal itu. Saat itu untungnya perpustakaan cukup sepi sehingga tidak akan ada yang menegur mereka.
            “Sudah kukatakan, aku paling tidak suka dengan pacar yang terlalu protektif. Apa kamu sadar dengan sikapmu yang seperti ini berarti kamu sudah tidak percaya denganku dan dia, sahabatmu sendiri?!” bentak Nanta yang membuat Sheila diam dengan linangan air mata. Ia berbalik lalu berlari meninggalkan perpustakaan, sementara Nanta kembali duduk ke tempatnya semula. Ia mengatur kembali nafasnya yang sempat berantakan.
            “Seharusnya kamu mengejarnya sekarang. Bukan duduk disini.” Nanta menggeleng, mengaitkan jemarinya lalu menatap Kaoru. “Dia harus bisa bersikap dewasa.”

            Di tempat lain, Sheila meluapkan semua tangisannya di pundak Ben, orang yang pertama kali ia temui saat meraung-raung di tepian danau. Tangisnya masih tetap terisak setiap ia menceritakan apa yang terjadi dari sebelum sampai setelah Nanta membentaknya. Sejujurnya, Ben juga merasakan ada yang berbeda dengan sikap Nanta pada gadisnya. Tapi ia juga sadar bahwa mereka memang cocok. Mungkin segalanya, dari kesukaan, tujuan dalam hidup mereka, dan kebiasaan mereka yang banyak memiliki kemiripan. Selama ini yang bisa dia lakukan hanya diam dan meyakinkan hatinya bahwa Kaoru bukan gadis seperti itu.
                                                                         ***
            Hujan mereda. Pertengkaran di antara Nanta dan Sheila semakin parah dan akhirnya mereka memilih untuk putus. Membuang kisah perjuangan mereka selama tiga tahun. Ben dan Kaoru sebisa mungkin menghibur Sheila. Karena dalam relung hatinya, Kaoru merasa perpisahan Sheila dengan Nanta disebabkan olehnya.
            Terkadang karena urusan mendesak dengan ibunya, Kaoru yang sudah terlanjur janji untuk menemani Sheila, memutuskan untuk meminta bantuan Ben. Ia memintanya untuk menemani Sheila jika ia mempunyai waktu luang.
            Tanpa ada pikiran yang macam-macam, Ben selalu mengiyakan permintaan Kaoru. Sama seperti saat ini. Ben menemani Sheila jalan-jalan untuk beberapa alasan tertentu. Saat mereka sedang asik mengobrol tiba-tiba Sheila teringat bahwa ia harus membeli buku untuk mata kuliahnya besok.
            “Ben, bisa antar aku ke toko buku sekarang?” pintanya merasa tidak enak, tapi justru Ben merasa sangat antusias.
            “Baiklah. Ayo.” Ia memacu mobilnya cepat menyusuri jalan yang mulai sepi di sekitar perumahan tempat tinggal Sheila. Melewati tugu bertulisan The Brilliant Greenland. Ben memutar database miliknya, memikirkan jalan mana yang paling efisien untuk ia pilih dan akhirnya ia membanting kemudi ke jalan utama.
            Toko buku itu masih terbuka dengan lebarnya. Ada perpanjangan jam buka khusus untuk satu minggu terakhir. Mereka berdua masuk. Menjelajahi setiap buku di bagian Teknologi Informasi.  Jari telunjuknya berhenti di buku setebal dua ratusan halaman. Merasa tertarik, ia mengambil dan membawanya bersama buku-buku yang lain ke kasir. Ben hanya mengikuti Sheila dari belakang. Selesai melakukan transaksi, Ben mengambil alih semua kantong belanjaan dari tangan Sheila seketika. Sheila memincing heran melihat perlakuan Ben terhadapnya akhir-akhir ini. “Tidak perlu, aku bisa sendiri.”
            “Sudahlah, berikan padaku semua kantong itu.”
                                                                         ***
            Saat itu ia mungkin sedang dirasuki iblis atau mahluk jahat lainnya. Ia jelas tahu kalau Kaoru masih menjadi milik Ben, meskipun mereka sudah jarang jalan bersama. Dan hampir setiap hari, Kaoru menghabiskan waktunya bersama dirinya di berbagai acara. Di acara Kokoro Matsuri, Nanta mengatakan satu kalimat pernyataan bahwa ia menyukai Kaoru. Ia mengatakan itu dengan jelas, beberapa saat sebelum kembang pai diluncurkan.
            Dalam relungnya yang paling dalam sebenarnya ia merasakan ada kecocokan yang lebih terhadap Nanta ketimbang Ben. Ia juga merasakan kenyamanan yang berbeda. Rasa nyaman dan aman yang lebih istimewa. Tapi ia tidak ingin mengakuinya. Ia tidak ingin menyakiti Ben. “Jadi?” tanya Nanta memastikan.
            “Maaf Nan, apa kamu lupa, bagaimana dengan Ben?”
            “Aku akan bicara dengannya.”
            “Jangan!!” tolak Kaoru buru-buru. Ia menjadi salah tingkah dengan sikap Nanta yang terlalu berani megambil resiko.
            “Biar aku saja,” lanjutnya pelan kemudian. Nanta melihatnya. Laki-laki itu melihat ada keraguan di mata Kaoru saat ia mengatakan kalimat barusan. Ia juga tidak menyangka bisa mengambil resiko besar seperti ini. Ia sadar akan banyak masalah yang timbul dan ini tentang hati. Tentang perasaan seseorang. Sesuatu yang tidak bisa dibuat main-main.
                                                                         ***
            Gadis berkuncir dua itu melempar seluruh konsentrasinya untuk mencari seorang laki-laki di kampus yang amat sangat luas. Ponselnya selalu mengeluarkan suara yang sama. Ben, kamu dimana?
            “Hey, ada apa?” bisik Ben dari belakang. Membuat Kaoru berputar dan hampir jatuh, untung dengan cepat Ben menangkap tangannya yang terayun.
            “Hampir saja. Aku tebak, apa kamu ingin kita putus?” Kaoru tertohok. Dari mana ia tahu? Tidak mungkin Nanta mengatakan itu semua lebih dulu. Lalu bagaimana bisa? Bagaiman ia tahu bahwa tujuannya datang kemari memang memintanya untuk memutuskan dirinya? Namun tiba-tiba Ben terkekeh. Ia menepuk pundak Kaoru beberapa kali. Kaoru masih berusaha menerka apa yang sedang dipikirkannya. Apa itu hanya iseng belaka atau memang ia sudah tahu.
            “Jadi apa?” selidik Ben santai.
            “A-Aku.. Aku–”
            “Dia ingin kamu mutusin dia,” potong Nanta tiba-tiba. Bola mata Kaoru membulat melihat apa yang baru saja Nanta lakukan. Ia seperti menyiram bensin di atas api. Ben tertunduk lesu. Ia memandang Nanta dan Kaoru secara bergantian. Angin berhembus di antara meraka bertiga.
            “Kalau Kaoru bisa bahagia denganmu, maka pergilah. Aku harap kita semua bisa saling bahagia dengan pilihan kita masing-masing.” Mendengar itu, Nanta tersenyum lega. Begitu pula Kaoru. Meskipun ia senang, ia merasa ada yang aneh. Semudah itu? Secepat itu? Ia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan laki-laki yang sekarang sudah menjadi mantannya. Ben berjalan mendekat. Memeluk Kaoru sambil berbisik, “Sebelum kamu minta maaf, aku ingin minta maaf lebih dulu. Maaf. Aku harap semoga kamu bahagia.” Ben melepaskan pelukannya. Membiarkan Nanta membawanya pergi. Menghilang dengan raut wajah yang sulit dijelaskan.
            “Selamat siang, sayang. Mau makan sekarang?” Ben menoleh lalu mengangguk menanggapi ajakkan gadis yang baru saja datang.
                                                                       
SELESAI ..
           

Tidak ada komentar: