Dua
tahun lalu, untuk pertama kalinya Kaoru menginjak bumi Indonesia, terlebih Jawa.
Ia mengenakan pakaian bergaya harajuku membuat Sheila terpikat. Mereka keluar
dari pintu kedatangan yang sama. Tanpa malu, Sheila langsung lari ke tempat Kaoru
dan mengajaknya foto bersama, berkenalan, bahkan meminta nomer ponsel dan
emailnya. Sheila yang memang sangat menyukai semua hal yang berhubungan dengan
Jepang, sangat tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Dia membuat misi untuk
menjadikan gadis Jepang itu temannya.
Sampai sekarang ia masih tidak menyangka bahwa misinya bisa
terwujud bahkan lebih. Sheila terkekeh sendirian di kamarnya. Mengenang masa
dimana ia berusaha keras dan akhirnya mereka bisa berteman bahkan bersahabat
seperti sekarang ini.
Dentingan jam kuno di ruang tamu mengagetkannya. Ia sontak
menoleh ke arah jam beker di atas meja kecil. Dua belas malam. Televisi masih
menyala. Setelah diperhatikan lebih lama, ternyata channel itu sedang
memutarkan film horror. Ia buru-buru mencari remote dan menggantinya, tapi
entah hari apa ini, semua saluran seakan bekerja sama. Tombol off menjadi
keputusan terakhir.
Ia meringkuk di balik selimut. Rasa takut tiba-tiba
mengelilinginya. Rumah besar itu kini menjadi milknya sendiri. Kedua orang
tuanya sedang pergi, dan secara bersamaan para pembantunya melakukan hal yang
sama. Satu lagi yang ia sesali, ia tidak menghubungi Kaoru untuk menginap
dirumahnya karena tidak mungkin ia meminta tolong pada Nanta.
***
Kaoru membiarkan jendela kamarnya
terbuka. Menganti udara yang sudah terkontaminasi dengan udara yang baru. Sinar
matahari pagi menerobos dengan kuat, menerangi beberapa bagian sudut kamarnya.
Ia terlonjak, mengangkat dua kakinya seketika saat ia merasakan ada sesuatu
yang ia injak. Ia melongo ke bawah. Ada tangan muncul dari bawah tepat
tidurnya. Suara erangan muncul beberapa saat kemudian. Memaksa semua hormon adrenalin
dalam tubuhnya bekerja. Membuat seluruh keringat dalam tubuhnya keluar. Padahal
pagi itu tidak sepanas udara musim panas di negeri asalnya. Menarik satu nafas
panjang lalu menghembuskannya.
“Amane-chan!!!”
jerit Kaoru saat mendapatkan adiknya sedang tidur di bawah kolong tempat
tidurnya. Amane memiringkan kepalanya, merangkak keluar dari kolong tempat
tidur seperti seorang pembunuh yang keluar dari persembunyiannya. Ia
mengosok-gosok kedua matanya, lalu kembali merebahkan diri diatas ranjang
kakaknya.
“Kenapa aku disini? Di kolong tempat
tidur pula?”
“Hey, seharusnya itu pertanyaanku.
Kenapa kamu bisa tidur di sana? Sejak kapan?” Amane menelentangkan kedua
tangannya, menguasi ranjang besar itu sendirian. Menoleh ke arah kakaknya yang
masih memperhatikannya, lalu kembali pada langit-langit kamar.
“Aku lupa,” jawabnya datar. Kaoru
menundukan kepalanya, seakan menyerah dengan kebiasaan Amane yang aneh.
Kebiasaan suka berjalan dan lupa dengan apa yang sudah ia lakukan itu kerap
membuatnya bahkan kedua orang tua mereka khawatir.
Tiba-tiba ponselnya berkedip. Lampu
merah dan biru itu berganti menyala di ujung ponsel miliknya. Satu pesan diterima. “Bubibubi?” Melempar
ponel miliknya ke samping dan bergegas menuju kamar mandi.
***
Bubibubi masih menjadi tempat favorit untuk Sheila. Ia lebih
suka menghabiskan satu harinya untuk berada di sana. Menyicipi semua makanan
dan minuman yang sangat nikmat. Tubuhnya yang memang sudah terbentuk seperti
itu, sebanyak apapun dia memasukan glukosa ke dalam tubuhnya, ia masih memiliki
bentuk yang sama. Kaoru sudah datang sepuluh menit sebelum jam yang ditentukan,
karena dalam kebiasaannya sejak kecil, ia dilarang membuat orang menunggu
terlalu lama.
Sepiring mochi sudah
tersaji di hadapannya. Kue dari tepung beras berbentuk seperti bola itu selalu
menjadi menu andalannya setiap datang ke Bubibubi. Tersusun seperti menara,
diberi titik-titik seperti mata sebagai hiasan. Ia lebih suka memesan mochi berwarna hijau karena menurutnya
rasa itu yang paling mirip dengan mochi yang sering ia nikmati dulu di Jepang.
“Kaoru, maaf aku terlambat. Aku lupa kalau Nanta pulang,” serunya,
setelah duduk di kursi yang menempel pada dinding kaca. Sheila mengangkat
tangan kanannya, seorang pelayan perempuan datang menghampiri. Bubibubi memang
dibangun untuk para pecinta dan orang yang penasaran dengan kafe yang ada di
Jepang. Bahkan pelayan pun berseragam seperti pelayan-pelayan di maid cafe.
“Aku pesan dorayaki,
seperti yang ini.” Ia menunjukkan salah satu gambar di menu pada pelayan itu.
Selesai mencatat, pelayan yang masih cukup muda itu tersenyum, lalu
meninggalkan mereka. Tiga mochi milik
Kaoru sudah menghilang dari atas piring. Sementara Sheila masih menunggu
pesanannya datang dengan tidak sabar. Ia tidak bisa diam, Berkali-kali ia
menoleh ke arah dapur. Memastikan pesanannya sudah keluar atau belum.
Sepuluh menit kemudian, pelayan itu kembali dengan nampan
yang membawa dorayaki miliknya.
“Silahkan,” ucap pelayan itu setelahnya. Dua dorayaki itu ditumpuk menjadi
satu. Tengah-tengahnya diberi sejenis krim dan saus strawberry. Lalu bagian
atasnya digambar seperti wajah beruang, yang kupingnya dibuat dari dua scoop es krim rasa cokelat. Penampilan makanan
yang sangat menggemaskan membuat Sheila ingin segera menyantapnya tapi tidak
ingin merusaknya.
“Aa, bicara soal Nanta, kamu sudah pernah ketemu sama dia?”
tanya Sheila sambil menikmati dorayaki dan saus strawberry yang meluber di mulutnya.
Kaoru menggeleng. Itu wajar. Sejak mereka berdua berteman, niat Sheila yang
ingin balik memperkenalkan Kaoru dengan Nanta selalu gagal, padahal Kaoru sudah
sering membawa Ben.
“Oru, maaf ya, aku tidak bermaksud menyembunyikannya. Aku
juga ingin memperkenalkannya denganmu. Sebagai gantinya, berhubung dia juga
sudah pulang, bagaimana kalau sabtu besok kita pergi berempat?”
“Usulan yang bagus. Baiklah.”
***
Hari ini cukup cerah, perkiraan
cuaca yang tadi ditontonnya di berita tidak meleset seperti biasanya. Amane
duduk di kursi panjang sambil menghadap ke layar besar di depannya. Suara bell
dan ketukan pintu silih berganti memanggil agar pintu segera di buka. Amane
turun dari singgasananya, berderap menuju pintu yang terus berisik.
“Selamat malam. Ahh Ben-niichan, mau jemput neechan ya?” tebak Amane yang masih berdiri diambang pintu.
Tersadar dengan ketidaksopanannya, buru-buru ia membungkukkan badan cukup
dalam. “Maaf.”
“Hey, apa yang kamu lakukan? Untuk
apa bilang maaf?” Amane mengangkat badannya, mempersilahkan Ben masuk karena
Kaoru baru saja pergi dan akan segera kembali.
“Ehm ano niichan, memangnya kalian mau makan malam dimana?”
“Entahlah. Kemarin sore Kaoru mengirimiku
pesan, katanya dia ingin aku ikut dengannya diacaranya Sheila.”
“Sheila-neechan?!” koreksi Amane. Ben mengangguk. Mengambil gelas berisi
jus jeruk yang baru saja Amane siapkan untuknya. Jarum di arloji miliknya terus
berputar melewati beberapa angka untuk menemui angka yang baru. Sekitar pukul
delapan malam, Kaoru kembali. Masuk, dan langsung melakukan hal yang sama
seperti Amane, membungkuk dalam pada Ben sambil mengucapkan kata maaf. Ben yang
merasa malu sekaligus tersanjung karena mendapat perlakukan seperti itu,
memutuskan untuk segera berangkat dari pada harus melihat Kaoru yang terus
membungkuk karna merasa bersalah.
Meja nomer dua puluh enam. Dua
manusia sudah duduk di sana, menanti satu pasangan lainnya. Hanya ada segelas
air putih yang sudah dipesannya terlebih dulu sampai orang yang mereka tunggu
datang.
“Sheila-chan, maaf aku terlambat,” seru Kaoru dengan nada bersalah. Sheila
memasang wajah marah yang membuat Kaoru semakin diliputi rasa tidak enak, tapi
buru-buru dibuangnya ekspresi itu. Ia tertawa terkekeh ketika melihat reaksi
Kaoru yang dengan mudahnya tertipu.
“Sudahlah, kalian baru terlambat
lima belas menit. Bukan waktu yang lama, Jadi silahkan duduk, kamu juga Ben.” Sheila
memergoki Nanta yang terus memperhatikan Kaoru dengan mata yang penuh
pertanyaan. Dan Sheila paham, itu tatapan yang sama seperti dirinya dulu saat
melihat Kaoru pertama kali. Sheila membenarkan dan mengakui kalau Kaoru memang
mempunyai sisi dalam dirinya yang dapat menarik perhatian orang lain dan
membuatnya semakin penasaran sehingga ingin selalu bersamanya.
“Aku Nanta.” Ia menjulurkan
tangannya pada Kaoru yang sedang sibuk memilih makanan. Gadis itu sedikit
kaget, menutup buku yang tengah dibacanya lalu menjabat tangan Nanta. “Aku
Kaoru Mizuki,” aku Kaoru dengan dialek yang berubah, lebih pada pengucapan
dalam bahasa Jepang. Nanta melepas jabatan tangannya dengan Kaoru dan berganti
pada Ben.
“Maaf, apa kamu asli keturunan orang
Jepang?”
Kaoru
mengangguk. “Ya, ayahku adalah orang Jepang, Mamoto Mizuki. Sementara ibuku orang
Indonesia campuran Belanda, Mareta Debora Mizuki,” terang Kaoru merinci. Untuk
ketiga kalinya, pelayan laki-laki itu datang menanyakan menu apa yang ingin di
pesan. Sheila memilih Tokoroten dan Yakitori, lalu secara bersamaan Kaoru
dan Nanta mengucapkan Hiyashi Chuka Ramen
sebagai pesanan mereka. Mereka berdua saling pandang lalu tertawa malu.
“Aa Ben, kamu mau pesan apa?” tanya
Kaoru menyadari hanya dia yang belum memesan makanan sama sekali.
“Entahlah, aku bingung.” Ia menimbang-nimbang
apa yang harus ia pilih. Ia juga merasa tidak enak dengan pelayan yang masih
setia berdiri dengan buku dan bolpoin. Tapi jika ia salah pilih, ia akan lebih
malu karena berusaha memakan apa yang tidak bisa masuk ke perutnya. Aku sudah sering mendengar nama ini, mungkin
ini lebih baik.
“Ehm, maaf lama. Baiklah, aku pesan
Terriyaki.”
Tak harus menunggu lama, pesanan
mereka pun datang. Kaoru menepuk tangannya sekali sambil bersua,
“Ittadakimasu.” Dua orang menjawab dengan cara yang sama dan waktu yang sama. Hanya
Ben yang tidak membalas, karena hanya dia yang tidak mengerti harus menjawab
dengan kata atau kalimat apa.
***
Sejak pertemuan mereka di kedai
Sakuranbo beberapa hari lalu, kini menghadirkan perasaan sedikit aneh di antara
mereka. Di sebuah bangku kecil dekat taman kota, Kaoru duduk termenung
sendirian wajahnya diselimuti perasaan gelisah. Tiba-tiba motor putih berhenti
di depannya. “Kaoru?” sapa Nanta sambil memarkirkan sepedanya.
“Aku boleh duduk disini?” Kaoru
hanya mengangguk.
“Kamu lagi apa?” Sejenak tak ada
jawaban dari Kaoru, tapi akhirnya Nanta dapat mencairkan suasana dengan obrolan
yang menyenangkan. Suasana akrab terjadi di antara mereka. Saat Kaoru
memperhatikan Nanta yang sedang asik bercerita, tiba-tiba Kaoru teringat kebersamaannya
bersama Shino dulu. Kaoru merasakan banyak kemiripan tentang Shino di diri
Nanta. Senyuman manis pun terukir di wajah Kaoru.
“Kamu kenapa Ru? Kok senyum-senyum
sendiri? Ada yang aneh ya?” Kaoru hanya menggelengkan kepalanya sambil tetap tersenyum.
Sesaat kemudian, Ben datang dengan mobil merahnya. Melihat kedatangan Ben,
Nanta pun beranjak pergi.
“Nanta? Kamu kok ada di sini?” tanya
Ben heran. Nanta hanya tersenyum dan pergi. Sesaat setelah Nanta pergi, Ben pun
duduk di sebelah Kaoru sambil mengacak-acak rambut pendek Kaoru.
***
Nanta lebih sering menghabiskan
waktu dengan Kaoru ketimbang Sheila, pacarnya sendiri. Nanta adalah tipikal
laki-laki yang tidak suka dikekang dan diatur untuk urusan teman. Tapi pada
awalnya Sheila tidak begitu memperdulikan persoalan itu, tapi sekarang, setelah
teman yang sering ditemuinya adalah Kaoru, Sheila merasa cemburu. Ia tidak
begitu suka Nanta terlalu dekat dengan sahabatnya. Ia selalu berusaha
menghalangi Nanta setiap ingin bertemu dengan Kaoru, dan hal itu dirasakan
Nanta sehingga membuatnya marah karena merasa Sheila mulai tidak percaya
dengannya.
Pertengkaran itu terjadi lagi. Nanta
membentak Sheila hebat ketika Sheila tiba-tiba muncul dan merecoki percakapan
Nanta dan Kaoru di perpustakaan umum. Kaoru hanya bisa diam melihat hal itu.
Saat itu untungnya perpustakaan cukup sepi sehingga tidak akan ada yang menegur
mereka.
“Sudah kukatakan, aku paling tidak
suka dengan pacar yang terlalu protektif. Apa kamu sadar dengan sikapmu yang
seperti ini berarti kamu sudah tidak percaya denganku dan dia, sahabatmu
sendiri?!” bentak Nanta yang membuat Sheila diam dengan linangan air mata. Ia
berbalik lalu berlari meninggalkan perpustakaan, sementara Nanta kembali duduk
ke tempatnya semula. Ia mengatur kembali nafasnya yang sempat berantakan.
“Seharusnya kamu mengejarnya
sekarang. Bukan duduk disini.” Nanta menggeleng, mengaitkan jemarinya lalu
menatap Kaoru. “Dia harus bisa bersikap dewasa.”
Di tempat lain, Sheila meluapkan
semua tangisannya di pundak Ben, orang yang pertama kali ia temui saat
meraung-raung di tepian danau. Tangisnya masih tetap terisak setiap ia menceritakan
apa yang terjadi dari sebelum sampai setelah Nanta membentaknya. Sejujurnya, Ben
juga merasakan ada yang berbeda dengan sikap Nanta pada gadisnya. Tapi ia juga
sadar bahwa mereka memang cocok. Mungkin segalanya, dari kesukaan, tujuan dalam
hidup mereka, dan kebiasaan mereka yang banyak memiliki kemiripan. Selama ini
yang bisa dia lakukan hanya diam dan meyakinkan hatinya bahwa Kaoru bukan gadis
seperti itu.
***
Hujan mereda. Pertengkaran di antara
Nanta dan Sheila semakin parah dan akhirnya mereka memilih untuk putus.
Membuang kisah perjuangan mereka selama tiga tahun. Ben dan Kaoru sebisa
mungkin menghibur Sheila. Karena dalam relung hatinya, Kaoru merasa perpisahan
Sheila dengan Nanta disebabkan olehnya.
Terkadang karena urusan mendesak
dengan ibunya, Kaoru yang sudah terlanjur janji untuk menemani Sheila,
memutuskan untuk meminta bantuan Ben. Ia memintanya untuk menemani Sheila jika
ia mempunyai waktu luang.
Tanpa ada pikiran yang macam-macam,
Ben selalu mengiyakan permintaan Kaoru. Sama seperti saat ini. Ben menemani
Sheila jalan-jalan untuk beberapa alasan tertentu. Saat mereka sedang asik
mengobrol tiba-tiba Sheila teringat bahwa ia harus membeli buku untuk mata
kuliahnya besok.
“Ben, bisa antar aku ke toko buku
sekarang?” pintanya merasa tidak enak, tapi justru Ben merasa sangat antusias.
“Baiklah. Ayo.” Ia memacu mobilnya
cepat menyusuri jalan yang mulai sepi di sekitar perumahan tempat tinggal
Sheila. Melewati tugu bertulisan The
Brilliant Greenland. Ben memutar database
miliknya, memikirkan jalan mana yang paling efisien untuk ia pilih dan akhirnya
ia membanting kemudi ke jalan utama.
Toko buku itu masih terbuka dengan
lebarnya. Ada perpanjangan jam buka khusus untuk satu minggu terakhir. Mereka
berdua masuk. Menjelajahi setiap buku di bagian Teknologi Informasi. Jari telunjuknya berhenti di buku setebal dua
ratusan halaman. Merasa tertarik, ia mengambil dan membawanya bersama buku-buku
yang lain ke kasir. Ben hanya mengikuti Sheila dari belakang. Selesai melakukan
transaksi, Ben mengambil alih semua kantong belanjaan dari tangan Sheila
seketika. Sheila memincing heran melihat perlakuan Ben terhadapnya akhir-akhir
ini. “Tidak perlu, aku bisa sendiri.”
“Sudahlah, berikan padaku semua
kantong itu.”
***
Saat itu ia mungkin sedang dirasuki
iblis atau mahluk jahat lainnya. Ia jelas tahu kalau Kaoru masih menjadi milik
Ben, meskipun mereka sudah jarang jalan bersama. Dan hampir setiap hari, Kaoru
menghabiskan waktunya bersama dirinya di berbagai acara. Di acara Kokoro Matsuri, Nanta mengatakan satu
kalimat pernyataan bahwa ia menyukai Kaoru. Ia mengatakan itu dengan jelas,
beberapa saat sebelum kembang pai diluncurkan.
Dalam relungnya yang paling dalam
sebenarnya ia merasakan ada kecocokan yang lebih terhadap Nanta ketimbang Ben.
Ia juga merasakan kenyamanan yang berbeda. Rasa nyaman dan aman yang lebih
istimewa. Tapi ia tidak ingin mengakuinya. Ia tidak ingin menyakiti Ben.
“Jadi?” tanya Nanta memastikan.
“Maaf Nan, apa kamu lupa, bagaimana
dengan Ben?”
“Aku akan bicara dengannya.”
“Jangan!!” tolak Kaoru buru-buru. Ia
menjadi salah tingkah dengan sikap Nanta yang terlalu berani megambil resiko.
“Biar aku saja,” lanjutnya pelan
kemudian. Nanta melihatnya. Laki-laki itu melihat ada keraguan di mata Kaoru
saat ia mengatakan kalimat barusan. Ia juga tidak menyangka bisa mengambil
resiko besar seperti ini. Ia sadar akan banyak masalah yang timbul dan ini
tentang hati. Tentang perasaan seseorang. Sesuatu yang tidak bisa dibuat
main-main.
***
Gadis berkuncir dua itu melempar
seluruh konsentrasinya untuk mencari seorang laki-laki di kampus yang amat
sangat luas. Ponselnya selalu mengeluarkan suara yang sama. Ben, kamu dimana?
“Hey, ada apa?” bisik Ben dari
belakang. Membuat Kaoru berputar dan hampir jatuh, untung dengan cepat Ben
menangkap tangannya yang terayun.
“Hampir saja. Aku tebak, apa kamu
ingin kita putus?” Kaoru tertohok. Dari mana ia tahu? Tidak mungkin Nanta mengatakan
itu semua lebih dulu. Lalu bagaimana bisa? Bagaiman ia tahu bahwa tujuannya
datang kemari memang memintanya untuk memutuskan dirinya? Namun tiba-tiba Ben
terkekeh. Ia menepuk pundak Kaoru beberapa kali. Kaoru masih berusaha menerka
apa yang sedang dipikirkannya. Apa itu hanya iseng belaka atau memang ia sudah
tahu.
“Jadi apa?” selidik Ben santai.
“A-Aku.. Aku–”
“Dia ingin kamu mutusin dia,” potong
Nanta tiba-tiba. Bola mata Kaoru membulat melihat apa yang baru saja Nanta
lakukan. Ia seperti menyiram bensin di atas api. Ben tertunduk lesu. Ia
memandang Nanta dan Kaoru secara bergantian. Angin berhembus di antara meraka
bertiga.
“Kalau Kaoru bisa bahagia denganmu,
maka pergilah. Aku harap kita semua bisa saling bahagia dengan pilihan kita
masing-masing.” Mendengar itu, Nanta tersenyum lega. Begitu pula Kaoru.
Meskipun ia senang, ia merasa ada yang aneh. Semudah itu? Secepat itu? Ia
benar-benar tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan laki-laki yang sekarang
sudah menjadi mantannya. Ben berjalan mendekat. Memeluk Kaoru sambil berbisik,
“Sebelum kamu minta maaf, aku ingin minta maaf lebih dulu. Maaf. Aku harap
semoga kamu bahagia.” Ben melepaskan pelukannya. Membiarkan Nanta membawanya
pergi. Menghilang dengan raut wajah yang sulit dijelaskan.
“Selamat siang, sayang. Mau makan
sekarang?” Ben menoleh lalu mengangguk menanggapi ajakkan gadis yang baru saja
datang.
SELESAI
..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar