“Awas!!” teriaknya. Kedua kakinya dengan reflek bergerak. Ia
berlari lalu mendorong Vila yang tanpa sengaja membuat gadis itu terbentur
tiang lampu jalan. Masih ditambah Gilang yang tak bisa mengerem kecepatan
kakinya, membuat lengan gadis itu harus menerima badan besar seketika.
“Aw!” Vila
menggosok-gosok lengan atasnya. Menatap dengan jengkel laki-laki disebelahnya.
“Makasih,” sahutnya dongkol. Gilang mendengus, kemudian tanpa sadar tangan
kanannya mengacak-acak rambut gadis yang terlihat sangat kesakitan. Dua tiga
empat detik kemudian, Gilang baru sadar kalau ada luka di dahi Vila. Itu pasti
karena benturan barusan.
“Kepala
kamu sakit?” tanyanya sambil menunjuk-nunjuk dahinya sendiri. Vila mengangguk.
Sesekali ia mencoba menyentuh lukanya. Gilang menatap gadis itu penuh rasa kasihan.
Jari telunjuknya dengan hati-hati mencoba menyibakan poni yang menutupi luka
yang tidak terlalu serius itu. Hanya sedikit memar dan ada sedikit darah yang
keluar. Gilang mengambil sapu tangan dari saku celana belakangnya. Pelan-pelan
ia membersihkan darah di dahi Vila tanpa permisi. Orang-orang berlalu lalang
memperhatikan mereka. Bagaimana tidak, baru saja Vila hampir menjadi korban
tabrakan. Bagaimana mereka tidak diperhatikan banyak orang kalau setiap Gilang menyentuh
lukanya dengan sapu tangan, Vila pasti berteriak atau mengerang padahal mereka
masih berada di pinggir jalan raya.
“Hussttt!!”
desis Gilang dengan nada sedikit mengancam. Vila memukul-mukul tangan Gilang
yang terus membersihkan darah di dahi Vila sambil sesekali meniup-niup kecil di
daerah lukanya. Jujur saja, siapa yang merasa tidak salah tingkah kalau
diperlakukan seperti itu? Vila pun merasakannya. Jantungnya berdebar kuat
setiap hembusan nafas Gilang menyentuh kulit wajahnya.
“Sakit,”
pekiknya.
“Maaf-maaf.
Ayo ke apartemenku dulu. Aku kompres kepalamu. Apartemenku juga enggak jauh
dari sini kok.” Vila menurut. Tidak jarang Vila lupa bahwa kepalanya terluka,
dengan santainya ia membetulkan poninya yang tertiup angin dengan jari-jarinya.
Lalu sepersekian detik setelahnya, ia akan kembali mengerang. Mengipas-ngipasi
lukanya dengan telapak tangannya.
“Sepertinya
ponimu mengganggu. Kamu punya jepit atau bandana atau apa aja yang bisa buat
ikat poni kamu biar enggak kena lukamu?” Vila menggeleng. Laki-laki itu
berhenti. Ia memutar tubuh gadis itu menghadap ke arahnya. Karbondioksida yang
dihasilkan paru-paru Gilang menerpa persis di wajah Vila, ketika laki-laki itu
melepas dasinya lalu menjadikannya bandana untuk menahan agar poninya tertahan
di atas. Dan untuk sekali lagi jantungnya memompa darah lebih cepat dari garis
normal.
***
Vila masih
mengutuk dirinya sendiri yang bodoh. Kejadian tadi sore di apartemen Gilang
membuatnya benar-benar malu. Tidak ada kemarahan di mata Gilang saat dia tahu
kalau tumpukan buku-buku itu tengah dijelujuri dengan jari telunjuk panjang
milik Vila. Tidak ada kemarahan di suara Gilang ketika Gilang menceritakan
siapa pemilik nama Bella. Dan tidak ada kemarahan sedikitpun untuk Vila,
sahabatnya.
Di sofa
panjang, Gilang duduk menghadap Vila yang menyilangkan kedua kakinya di atas
ranjang milik Gilang. Moka panas masih mengepul menutupi wajahnya. Aromanya
memenuhi seisi ruangan gara-gara AC lupa ia nyalakan. Dia pasti sedih, batin Vila kemudian, sehabis Gilang menyelesaikan
ceritanya. Ekspresinya benar-benar lelah dan penuh kepedihan.
“Aargh!!
Vila bodoh!!” runtuknya sambil mengacak-acak rambutnya sendiri dan nyaris
melukai dahinya yang belum sembuh.
***
Sepanjang
perjalanan ke kampus Vila hanya menunduk dan mengekor di belakang Gilang.
Gilang yang mulai merasa risih, akhirnya menghentikan langkahnya. Ia berbalik.
Vila pun dengan kikuk juga ikut mneghentikan langkahnya tanpa mendongak. Di
kepalanya masih terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum ia jawab. Di
dalam hatinya masih banyak perasaan-perasaan janggal yang belum bisa ia
luruskan. Sejak kejadian Gilang menceritakan semua masa lalunya dengan
perempuan bernama Bella, laki-laki itu terlihat lebih murung dari pada
biasanya. Sorot matanya lebih redup. Sorot mata yang menandakan rasa kepedihan
dan terluka yang mendalam.
“Hei, kamu
kenapa? Sakit?” Punggung tangannya menyentuh kening Vila dengan hati-hati agar
tak menyentuh memar di kepalanya. Vila menggeleng keras.
“Aku enggak
sakit,” ia diam sejenak, “Gilang, apa kamu bahagia kalau bisa ketemu Bella
lagi? Meskipun, ini kalau ya, dia sudah punyanya seseorang?” lanjutnya ragu.
Vila memberanikan diri menatap mata cokelat itu. Ia hanya diam mematung. Gilang
berbalik. Memunggunginya dan berlalu begitu saja. Melihat punggung itu semakin
jauh meninggalkannya, Vila semakin merasa laki-laki itu terluka. Dan itu semua
adalah kesalahannya, karena dirinyalah yang menggali kembali jurang itu. Bahwa
dirinyalah yang mendorong Gilang kembali ke dasar jurang setelah laki-laki itu berhasil
berpegangan pada bibir jurang. Kesimpulan terakhir adalah dia yang harus
menarik Gilang kembali dan menutup jurang itu rapat-rapat.
***
“Jangan
pernah kamu datang lagi!! Aku benci kamu!!” teriak Bella di depan pintu rumahnya. Pintu kayu putih itu
ia banting keras, sekeras penolakan atas kedatangan Gilang. Anak kecil
bercelana pendek abu-abu itu hanya bisa terperangah. Diam berdiri dengan
tubuhnya yang kaku di balik pagar kayu. Ia ingin menangis mendengar ucapan
teman kecilnya tapi ia tidak bisa. Ia terlalu terkejut. Ia tidak pernah
menyangka semuanya akan berakhir seperti ini. Ia tidak menyangka ketika ia
berusaha melindungi gadis itu dari pedihnya mengetahui teman yang hanya
menggunaka topeng, ia justru harus merasakan pedihnya kehilangan teman itu
sendiri. Tapi biarlah. Gilang kecilpun pergi dan berjanji tidak akan datang
lagi.
Kenangan
itu begitu menekan dadanya. Ia seperti susah bernafas. Dadanya terasa sesak. Di
ulang tahun Bella ke dua belas, ia menghajar Bima dan Tomi, dua orang yang
berteman hanya untuk memanfaatkan kebaikan Bella. Gilang, laki-laki itu tidak
pernah terima bahkan sampai sekarang. Baginya, Bella adalah segalanya. Perempuan
berponi itu yang menunjukkan arti teman padanya. Tapi kenapa justru dia sendiri
yang mudah tertipu oleh kepalsuan yang mengatasnamakan teman.
Deringan
ponsel memecah lamunannya di kantin yang lumayan sepi. Satu pesan singkat yang
berhasil membelalakan kedua matanya. Teh botol itu ia habiskan cepat.
“Apa maksudnya?
Apa-apaan ini?!” runtuknya. Ia melesat pergi ke tempat yang tertulis di layar
ponselnya. Pikirannya campur aduk. Dari
balik tiang beton, Vila mengamat-amati gerak-gerik Gilang. Sudahkah ia masuk
dalam rencananya? Dan sejurus kemudian
sudut bibirnya terangkat. Dilihat dari segi manapun, memang sudah terjaring.
***
Kakinya
bergerak cepat. Kepalanya clingukan ke segala arah. Tangannya tak henti-hentinya
menekan tombol-tombol lalu menarik ke telinganya. Hanya suara panjang yang ia
dengar. Kamar tujuh puluh. Pintu berkaca itu akhirnya bisa ia temukan. Gilang
menghela nafas leganya. Ia benar-benar panik saat mendapatkan kabar bahwa Vila
mengalami kecelakaan. Kejadian seperti ini memang mungkin saja terjadi,
terlebih Vila adalah orang yang ceroboh. Tapi hal diluar dugaan terjadi. Orang
yang terbaring disana bukan Vila tapi Bella.
“Bohong!!”
gumam Gilang. Ia mematung. Mendadak menghentikan niatnya untuk membuka pintu
itu. Tapi ada dorongan yang tidak dimengertinya memaksa agar pintu itu terbuka.
Dan terbuka.
“Hei
Bella,” sapanya kaku. Astaga, ia tidak menyangka pada akhirnya ia masuk dan
menyapa gadis itu lebih dulu. Perasaan itu masih saja menguasainya.
“Gilang?
Kamu?” Gilang bisa menangkap ekspresi kaget dari gadis yang tengah terbalut
selang infus di depannya. Ia buru-buru mundur sambil menggerak-gerakan kedua
tangannya. “Aa, maaf-maaf. Aku bukannya mau melanggar janjiku, tapi kakiku
bergerak sendiri. Aku akan keluar.” Bella masih diam. Ketika Gilang berbalik,
jalannya terhalang oleh laki-laki dengan postur tubuhnya sedikit lebih besar.
“Maaf,”
ucap lelaki itu. Selangkah ia bergerak ke kiri. “Kamu siapa?” tanyanya
kemudian. Gilang tersadar. Ia tersenyum lalu memosisikan dirinya agar enak saat
berbicara.
“Hanya
orang asing. Salah masuk kamar. Maaf.”
“Bukan. Dia
teman masa kecilku,” sela Bella. Laki-laki berpostur tubuh besar itu semakin
tidak mengerti. Apa mungkin dia? Pikirannya
langsung melesat pada cerita Bella beberapa bulan lalu. Cerita tentang masa
kecilnya. Dadanya terasa sesak lagi. kepalanya sakit dan ia benar-benar bingung
dengan apa yang harus ia lakukan sekarang. Tetap bertahan disana atau keluar.
“Aku
permisi.” Pintu itu kembali tertutup. Kakinya masih berdiam di sana. Di balik dinding
itu. Kakinya masih menahannya untuk lebih lama di sana. Kakinya menahan untuk
sekali lagi agar hatinya bisa memastikan sesuatu. Gilang menghela nafas pelan
beberapa kali. Memutar badannya sedikit, agar sudut matanya mampu menangkap apa
yang tengah terjadi di dalam. Tanpa menunggu waktu yang lama, mata itu menutup,
kembali ke posisi awalnya. Di dinding hijau itu, Gilang menahan tubuhnya. Ia
menahan agar tubuhnya tak jatuh. Waktu yang benar-benar tepat. Tepat untuk
menghancurkan hatinya sekaligus.
Air mata
itu menetes. Ia membekap mulutnya sendiri. Ia mungkin sama hancurnya dengan
laki-laki di seberang sana. Atau mungkin ia lebih hancur. Tapi kakinya tak
sekuat itu. Ia jatuh tersungkur. Hatinya benar-benar tidak sanggup lagi menahan
perihnya melihat orang yang dicintai menangis untuk orang lain. Ia tidak
menyangka, apa yang dia lakukan justru membuat orang itu semakin hancur.
***
Lengkap
sudah. Gilang menjauh. Bahkan kata-kata itu begitu menyakitkan. Hujan mengguyur
lapangan basket dengan hebatnya. Laki-laki yang tengah terluka itu berdiri
persis di garis shoot bebas. Tidak
ada bola basket. Ia hanya menatap ring dengan tatapan kosong.
“Gilang..
A-a-aku.. Aku minta maaf.” Vila menatap punggung besar yang biasanya terlihat
kokoh itu kini seolah akan hancur hanya dengan menyentuhnya, bahkan hanya dengan
satu jari pun. “Apa semua itu rencanamu?”
Vila
tertohok. Derai hujan yang semakin lebat seperti musik yang menggambarkan
suasana tegang diantara mereka. Tidak ada sepatah katapun di antara mereka.
Semuanya saling diam. Vila berharap ia bisa melihat wajah itu lagi, senyum itu
lagi, mata itu lagi, meskipun ia akan sakit lagi. Karena ia tahu, posisi
dirinya di hati orang itu tidak lebih dari sekedar sahabat. Posisi dengan level
lebih tinggi sudah terkunci rapat untuk satu orang. Dan orang itu yang menghancurkannya
beberapa hari yang lalu.
“Seharusnya
kamu berhenti ikut campur urusanku.”
“Hha?” Vila
mengepalkan kedua tangannya di belakang. Gilang memutar kakinya seratus delapan
puluh derajat. Mereka berdua berhadapan.
“Aku tahu
kita bersahabat. Aku tahu kita dekat. Tapi ada hal-hal tertentu yang enggak
bisa kamu campuri sesuka hatimu. Jangan pernah ikut campur sesuatu yang kamu
enggak tahu!!” Suara itu bernada pelan tapi begitu menusuk.
“Maaf. Tapi
setidaknya kamu bilang kalau kamu suka dia!!” Satu kalimat sukses Vila
keluarkan. Padahal satu kalimat itu adalah kalimat yang bagi dirinya sendiri
sulit ia lakukan. Sesungguhnya ia sangat tahu betapa susahnya itu.
“Kamu
enggak ada di sana. Kamu enggak tahu gimana ekspresinya. Gimana ekspresi
bencinya dia waktu lihat wajahku. Dan gimana ekspresi bahagianya dia saat orang
itu mencium keningnya.” Gilang menarik nafasnya berat. Ia tidak ingin
menyalahkan gadis ini sepenuhnya, tapi ia juga tidak bisa tidak marah.
“Aku harap
kamu bisa mengerti. Aku tahu mereka belum jadian. Aku sudah selidiki itu.
Meskipun begitu–”
“Kalau
begitu, nyatakan perasaanmu. Bilang kalau kamu suka sama dia. Bilang kalau kamu
bersikap seperti itu karena mereka bukan teman yang baik,” potong Vila.
Rentetan kata-katanya membuat Gilang tercengang. Ia tidak menyangka gadis ini
akan bicara seperti itu. Terlebih apa itu? Bagian matanya menemukan air yang
berbeda ikut membasahi wajah Vila.
“Selesaikan
semuanya! Jangan biarkan salah paham ini terus berlanjut! Lalu kembalilah
menjadi Gilang yang dulu dan saat kamu kembali, aku akan berhenti mencampuri semua
urusan pribadimu.”
“Ternyata
kamu masih belum mengerti. Ya sudahlah, mulai sekarang jangan pernah campuri
urusanku lagi. Kamu benar-benar menyebalkan!! Pergilah!!” serunya lalu
berpaling dan menatap ring itu lagi. Lagi-lagi Gilang menghela nafas. Tidak ada
suara langkah yang ia dengar. Ia melirik sinis. Perempaun itu masih mematung di
sana. Amarah menguasai sepenuhnya. Tubuhnya yang mengigil tidak menggerakan
sedikit pun niat di hati Gilang untuk membawanya pergi dari guyuran hujan. Ia
benar-benar meninggalkannya sendirian.
Jarum jam
terus berputar di pergelangannya. Matahari senja pun sudah lama tertutup awan.
Langit abu-abu yang masih menyisahkan tetesan-tetesan airnya pun baru saja
berubah menjadi lebih gelap. Ia tersungkur. Bajunya yang semula longgar, kini
memperlihatkan lekuk tubuhnya. Genangan air yang semula semata kaki, kini sudah
mulai menyusut. Rambutnya lepek. Wajahnya lusuh. Tubuhnya menggigil hebat. Tapi
saraf kakinya tidak mendapat perintah sama sekali untuk beranjak dari tempat
itu.
Mulai sekarang jangan pernah campuri urusanku lagi. Kamu
benar-benar menyebalkan!! Pergilah!!
Kata-kata
itu untuk kesekian kalinya menyelinap di dalam pikirannya. Dia sangat enggan
untuk pergi dari sana. Kata-kata itu benar-benar menikmati rumah barunya.
“Aku
mengerti Lang. Aku mengerti karena aku juga merasakan hal yang sama. Kamu tidak
akan menyakitinya karena kamu mencintainya. Meskipun kamu harus membunuh
perasaanmu sendiri, setidaknya kamu ingin bisa melihat orang yang kamu sayangi
tersenyum. Iya kan Lang?”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar