Jumat, 25 April 2014

Aku Juga

“Awas!!” teriaknya. Kedua kakinya dengan reflek bergerak. Ia berlari lalu mendorong Vila yang tanpa sengaja membuat gadis itu terbentur tiang lampu jalan. Masih ditambah Gilang yang tak bisa mengerem kecepatan kakinya, membuat lengan gadis itu harus menerima badan besar seketika.
            “Aw!” Vila menggosok-gosok lengan atasnya. Menatap dengan jengkel laki-laki disebelahnya. “Makasih,” sahutnya dongkol. Gilang mendengus, kemudian tanpa sadar tangan kanannya mengacak-acak rambut gadis yang terlihat sangat kesakitan. Dua tiga empat detik kemudian, Gilang baru sadar kalau ada luka di dahi Vila. Itu pasti karena benturan barusan.
            “Kepala kamu sakit?” tanyanya sambil menunjuk-nunjuk dahinya sendiri. Vila mengangguk. Sesekali ia mencoba menyentuh lukanya. Gilang menatap gadis itu penuh rasa kasihan. Jari telunjuknya dengan hati-hati mencoba menyibakan poni yang menutupi luka yang tidak terlalu serius itu. Hanya sedikit memar dan ada sedikit darah yang keluar. Gilang mengambil sapu tangan dari saku celana belakangnya. Pelan-pelan ia membersihkan darah di dahi Vila tanpa permisi. Orang-orang berlalu lalang memperhatikan mereka. Bagaimana tidak, baru saja Vila hampir menjadi korban tabrakan. Bagaimana mereka tidak diperhatikan banyak orang kalau setiap Gilang menyentuh lukanya dengan sapu tangan, Vila pasti berteriak atau mengerang padahal mereka masih berada di pinggir jalan raya.
            “Hussttt!!” desis Gilang dengan nada sedikit mengancam. Vila memukul-mukul tangan Gilang yang terus membersihkan darah di dahi Vila sambil sesekali meniup-niup kecil di daerah lukanya. Jujur saja, siapa yang merasa tidak salah tingkah kalau diperlakukan seperti itu? Vila pun merasakannya. Jantungnya berdebar kuat setiap hembusan nafas Gilang menyentuh kulit wajahnya.

            “Sakit,” pekiknya.
            “Maaf-maaf. Ayo ke apartemenku dulu. Aku kompres kepalamu. Apartemenku juga enggak jauh dari sini kok.” Vila menurut. Tidak jarang Vila lupa bahwa kepalanya terluka, dengan santainya ia membetulkan poninya yang tertiup angin dengan jari-jarinya. Lalu sepersekian detik setelahnya, ia akan kembali mengerang. Mengipas-ngipasi lukanya dengan telapak tangannya.
            “Sepertinya ponimu mengganggu. Kamu punya jepit atau bandana atau apa aja yang bisa buat ikat poni kamu biar enggak kena lukamu?” Vila menggeleng. Laki-laki itu berhenti. Ia memutar tubuh gadis itu menghadap ke arahnya. Karbondioksida yang dihasilkan paru-paru Gilang menerpa persis di wajah Vila, ketika laki-laki itu melepas dasinya lalu menjadikannya bandana untuk menahan agar poninya tertahan di atas. Dan untuk sekali lagi jantungnya memompa darah lebih cepat dari garis normal.
                                                                            ***
            Vila masih mengutuk dirinya sendiri yang bodoh. Kejadian tadi sore di apartemen Gilang membuatnya benar-benar malu. Tidak ada kemarahan di mata Gilang saat dia tahu kalau tumpukan buku-buku itu tengah dijelujuri dengan jari telunjuk panjang milik Vila. Tidak ada kemarahan di suara Gilang ketika Gilang menceritakan siapa pemilik nama Bella. Dan tidak ada kemarahan sedikitpun untuk Vila, sahabatnya.
            Di sofa panjang, Gilang duduk menghadap Vila yang menyilangkan kedua kakinya di atas ranjang milik Gilang. Moka panas masih mengepul menutupi wajahnya. Aromanya memenuhi seisi ruangan gara-gara AC lupa ia nyalakan. Dia pasti sedih, batin Vila kemudian, sehabis Gilang menyelesaikan ceritanya. Ekspresinya benar-benar lelah dan penuh kepedihan.
            “Aargh!! Vila bodoh!!” runtuknya sambil mengacak-acak rambutnya sendiri dan nyaris melukai dahinya yang belum sembuh.
                                                                            ***
            Sepanjang perjalanan ke kampus Vila hanya menunduk dan mengekor di belakang Gilang. Gilang yang mulai merasa risih, akhirnya menghentikan langkahnya. Ia berbalik. Vila pun dengan kikuk juga ikut mneghentikan langkahnya tanpa mendongak. Di kepalanya masih terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum ia jawab. Di dalam hatinya masih banyak perasaan-perasaan janggal yang belum bisa ia luruskan. Sejak kejadian Gilang menceritakan semua masa lalunya dengan perempuan bernama Bella, laki-laki itu terlihat lebih murung dari pada biasanya. Sorot matanya lebih redup. Sorot mata yang menandakan rasa kepedihan dan terluka yang mendalam.
            “Hei, kamu kenapa? Sakit?” Punggung tangannya menyentuh kening Vila dengan hati-hati agar tak menyentuh memar di kepalanya. Vila menggeleng keras.
            “Aku enggak sakit,” ia diam sejenak, “Gilang, apa kamu bahagia kalau bisa ketemu Bella lagi? Meskipun, ini kalau ya, dia sudah punyanya seseorang?” lanjutnya ragu. Vila memberanikan diri menatap mata cokelat itu. Ia hanya diam mematung. Gilang berbalik. Memunggunginya dan berlalu begitu saja. Melihat punggung itu semakin jauh meninggalkannya, Vila semakin merasa laki-laki itu terluka. Dan itu semua adalah kesalahannya, karena dirinyalah yang menggali kembali jurang itu. Bahwa dirinyalah yang mendorong Gilang kembali ke dasar jurang setelah laki-laki itu berhasil berpegangan pada bibir jurang. Kesimpulan terakhir adalah dia yang harus menarik Gilang kembali dan menutup jurang itu rapat-rapat.
                                                                            ***
            “Jangan pernah kamu datang lagi!! Aku benci kamu!!” teriak Bella  di depan pintu rumahnya. Pintu kayu putih itu ia banting keras, sekeras penolakan atas kedatangan Gilang. Anak kecil bercelana pendek abu-abu itu hanya bisa terperangah. Diam berdiri dengan tubuhnya yang kaku di balik pagar kayu. Ia ingin menangis mendengar ucapan teman kecilnya tapi ia tidak bisa. Ia terlalu terkejut. Ia tidak pernah menyangka semuanya akan berakhir seperti ini. Ia tidak menyangka ketika ia berusaha melindungi gadis itu dari pedihnya mengetahui teman yang hanya menggunaka topeng, ia justru harus merasakan pedihnya kehilangan teman itu sendiri. Tapi biarlah. Gilang kecilpun pergi dan berjanji tidak akan datang lagi.
            Kenangan itu begitu menekan dadanya. Ia seperti susah bernafas. Dadanya terasa sesak. Di ulang tahun Bella ke dua belas, ia menghajar Bima dan Tomi, dua orang yang berteman hanya untuk memanfaatkan kebaikan Bella. Gilang, laki-laki itu tidak pernah terima bahkan sampai sekarang. Baginya, Bella adalah segalanya. Perempuan berponi itu yang menunjukkan arti teman padanya. Tapi kenapa justru dia sendiri yang mudah tertipu oleh kepalsuan yang mengatasnamakan teman.
            Deringan ponsel memecah lamunannya di kantin yang lumayan sepi. Satu pesan singkat yang berhasil membelalakan kedua matanya. Teh botol itu ia habiskan cepat.
            “Apa maksudnya? Apa-apaan ini?!” runtuknya. Ia melesat pergi ke tempat yang tertulis di layar ponselnya. Pikirannya campur aduk.  Dari balik tiang beton, Vila mengamat-amati gerak-gerik Gilang. Sudahkah ia masuk dalam rencananya?  Dan sejurus kemudian sudut bibirnya terangkat. Dilihat dari segi manapun, memang sudah terjaring.
                                                                            ***
            Kakinya bergerak cepat. Kepalanya clingukan ke segala arah. Tangannya tak henti-hentinya menekan tombol-tombol lalu menarik ke telinganya. Hanya suara panjang yang ia dengar. Kamar tujuh puluh. Pintu berkaca itu akhirnya bisa ia temukan. Gilang menghela nafas leganya. Ia benar-benar panik saat mendapatkan kabar bahwa Vila mengalami kecelakaan. Kejadian seperti ini memang mungkin saja terjadi, terlebih Vila adalah orang yang ceroboh. Tapi hal diluar dugaan terjadi. Orang yang terbaring disana bukan Vila tapi Bella.
            “Bohong!!” gumam Gilang. Ia mematung. Mendadak menghentikan niatnya untuk membuka pintu itu. Tapi ada dorongan yang tidak dimengertinya memaksa agar pintu itu terbuka. Dan terbuka.
            “Hei Bella,” sapanya kaku. Astaga, ia tidak menyangka pada akhirnya ia masuk dan menyapa gadis itu lebih dulu. Perasaan itu masih saja menguasainya.
            “Gilang? Kamu?” Gilang bisa menangkap ekspresi kaget dari gadis yang tengah terbalut selang infus di depannya. Ia buru-buru mundur sambil menggerak-gerakan kedua tangannya. “Aa, maaf-maaf. Aku bukannya mau melanggar janjiku, tapi kakiku bergerak sendiri. Aku akan keluar.” Bella masih diam. Ketika Gilang berbalik, jalannya terhalang oleh laki-laki dengan postur tubuhnya sedikit lebih besar.
            “Maaf,” ucap lelaki itu. Selangkah ia bergerak ke kiri. “Kamu siapa?” tanyanya kemudian. Gilang tersadar. Ia tersenyum lalu memosisikan dirinya agar enak saat berbicara.
            “Hanya orang asing. Salah masuk kamar. Maaf.”
            “Bukan. Dia teman masa kecilku,” sela Bella. Laki-laki berpostur tubuh besar itu semakin tidak mengerti. Apa mungkin dia? Pikirannya langsung melesat pada cerita Bella beberapa bulan lalu. Cerita tentang masa kecilnya. Dadanya terasa sesak lagi. kepalanya sakit dan ia benar-benar bingung dengan apa yang harus ia lakukan sekarang. Tetap bertahan disana atau keluar.
            “Aku permisi.” Pintu itu kembali tertutup. Kakinya masih berdiam di sana. Di balik dinding itu. Kakinya masih menahannya untuk lebih lama di sana. Kakinya menahan untuk sekali lagi agar hatinya bisa memastikan sesuatu. Gilang menghela nafas pelan beberapa kali. Memutar badannya sedikit, agar sudut matanya mampu menangkap apa yang tengah terjadi di dalam. Tanpa menunggu waktu yang lama, mata itu menutup, kembali ke posisi awalnya. Di dinding hijau itu, Gilang menahan tubuhnya. Ia menahan agar tubuhnya tak jatuh. Waktu yang benar-benar tepat. Tepat untuk menghancurkan hatinya sekaligus.
            Air mata itu menetes. Ia membekap mulutnya sendiri. Ia mungkin sama hancurnya dengan laki-laki di seberang sana. Atau mungkin ia lebih hancur. Tapi kakinya tak sekuat itu. Ia jatuh tersungkur. Hatinya benar-benar tidak sanggup lagi menahan perihnya melihat orang yang dicintai menangis untuk orang lain. Ia tidak menyangka, apa yang dia lakukan justru membuat orang itu semakin hancur.
                                                                            ***
            Lengkap sudah. Gilang menjauh. Bahkan kata-kata itu begitu menyakitkan. Hujan mengguyur lapangan basket dengan hebatnya. Laki-laki yang tengah terluka itu berdiri persis di garis shoot bebas. Tidak ada bola basket. Ia hanya menatap ring dengan tatapan kosong.
            “Gilang.. A-a-aku.. Aku minta maaf.” Vila menatap punggung besar yang biasanya terlihat kokoh itu kini seolah akan hancur hanya dengan menyentuhnya, bahkan hanya dengan satu jari pun. “Apa semua itu rencanamu?”
            Vila tertohok. Derai hujan yang semakin lebat seperti musik yang menggambarkan suasana tegang diantara mereka. Tidak ada sepatah katapun di antara mereka. Semuanya saling diam. Vila berharap ia bisa melihat wajah itu lagi, senyum itu lagi, mata itu lagi, meskipun ia akan sakit lagi. Karena ia tahu, posisi dirinya di hati orang itu tidak lebih dari sekedar sahabat. Posisi dengan level lebih tinggi sudah terkunci rapat untuk satu orang. Dan orang itu yang menghancurkannya beberapa hari yang lalu.
            “Seharusnya kamu berhenti ikut campur urusanku.”
            “Hha?” Vila mengepalkan kedua tangannya di belakang. Gilang memutar kakinya seratus delapan puluh derajat. Mereka berdua berhadapan.
            “Aku tahu kita bersahabat. Aku tahu kita dekat. Tapi ada hal-hal tertentu yang enggak bisa kamu campuri sesuka hatimu. Jangan pernah ikut campur sesuatu yang kamu enggak tahu!!” Suara itu bernada pelan tapi begitu menusuk.
            “Maaf. Tapi setidaknya kamu bilang kalau kamu suka dia!!” Satu kalimat sukses Vila keluarkan. Padahal satu kalimat itu adalah kalimat yang bagi dirinya sendiri sulit ia lakukan. Sesungguhnya ia sangat tahu betapa susahnya itu.
            “Kamu enggak ada di sana. Kamu enggak tahu gimana ekspresinya. Gimana ekspresi bencinya dia waktu lihat wajahku. Dan gimana ekspresi bahagianya dia saat orang itu mencium keningnya.” Gilang menarik nafasnya berat. Ia tidak ingin menyalahkan gadis ini sepenuhnya, tapi ia juga tidak bisa tidak marah.
            “Aku harap kamu bisa mengerti. Aku tahu mereka belum jadian. Aku sudah selidiki itu. Meskipun begitu–”
            “Kalau begitu, nyatakan perasaanmu. Bilang kalau kamu suka sama dia. Bilang kalau kamu bersikap seperti itu karena mereka bukan teman yang baik,” potong Vila. Rentetan kata-katanya membuat Gilang tercengang. Ia tidak menyangka gadis ini akan bicara seperti itu. Terlebih apa itu? Bagian matanya menemukan air yang berbeda ikut membasahi wajah Vila.
            “Selesaikan semuanya! Jangan biarkan salah paham ini terus berlanjut! Lalu kembalilah menjadi Gilang yang dulu dan saat kamu kembali, aku akan berhenti mencampuri semua urusan pribadimu.”
            “Ternyata kamu masih belum mengerti. Ya sudahlah, mulai sekarang jangan pernah campuri urusanku lagi. Kamu benar-benar menyebalkan!! Pergilah!!” serunya lalu berpaling dan menatap ring itu lagi. Lagi-lagi Gilang menghela nafas. Tidak ada suara langkah yang ia dengar. Ia melirik sinis. Perempaun itu masih mematung di sana. Amarah menguasai sepenuhnya. Tubuhnya yang mengigil tidak menggerakan sedikit pun niat di hati Gilang untuk membawanya pergi dari guyuran hujan. Ia benar-benar meninggalkannya sendirian.
            Jarum jam terus berputar di pergelangannya. Matahari senja pun sudah lama tertutup awan. Langit abu-abu yang masih menyisahkan tetesan-tetesan airnya pun baru saja berubah menjadi lebih gelap. Ia tersungkur. Bajunya yang semula longgar, kini memperlihatkan lekuk tubuhnya. Genangan air yang semula semata kaki, kini sudah mulai menyusut. Rambutnya lepek. Wajahnya lusuh. Tubuhnya menggigil hebat. Tapi saraf kakinya tidak mendapat perintah sama sekali untuk beranjak dari tempat itu.

Mulai sekarang jangan pernah campuri urusanku lagi. Kamu benar-benar menyebalkan!! Pergilah!!
            Kata-kata itu untuk kesekian kalinya menyelinap di dalam pikirannya. Dia sangat enggan untuk pergi dari sana. Kata-kata itu benar-benar menikmati rumah barunya.
            “Aku mengerti Lang. Aku mengerti karena aku juga merasakan hal yang sama. Kamu tidak akan menyakitinya karena kamu mencintainya. Meskipun kamu harus membunuh perasaanmu sendiri, setidaknya kamu ingin bisa melihat orang yang kamu sayangi tersenyum. Iya kan Lang?”
                                                                            ***

Tidak ada komentar: