Minggu, 13 April 2014

Under Sea

            Ia tersenyum santai menikmati jari-jari kecil yang mengusap, melipat-lipat kulitnya, memberi tekanan di titik-titik tertentu. Ketika sesuatu yang dingin bergerak sedikit demi sedikit memenuhi bagian belakang tubuhnya, pundaknya reflek bergerak ke atas.
            “Nikmatnya,” desahnya pelan. Memanjakan diri sejenak itu memang menyenangkan. Namun tiba-tiba ia mengerang. Pundaknya melorot ke bawah berusaha menghindar dari tekanan rasa sakit yang menyerangnya begitu saja.
            “Hoi! Hoi! Bangun!!” Gadis berambut pendek itu membuka matanya perlahan. Siluet lampu kamar membuatnya tidak begitu jelas melihat siapa orang yang sedang merunduk di depan tubunya. Beberapa saat ketika pengelihatannya telah sempurna, ia mendengus kesal. Memberi satu tinjuan pelan ke lengan kakaknya. “Berhentilah mengganggu mimpi-mimpiku kak!” rengeknya.

            “Iya-iya. Aku akan berhenti kalau kau bisa bangun tepat waktu. Lihat, sekarang jam berapa?” Avrora membanting tubuhnya ke samping. Menatap lurus jam berbentuk lollipop yang bertengger di atas meja belajarnya. “Jam delapan?!” Mata itu membulat seketika. Selimut ia sibakkan, lalu melompat seperti hewan yang baru dilepaskan dari ikat rantai. Daniel hanya menggeleng. Mencoba membiasakan diri untuk kebiasaan yang tidak pernah hilang dari adiknya.
            “Stop!!” Daniel menahan pundak adiknya. Sudah hampir ke lima kalinya, Avrora melewati Daniel tanpa tujuan. Hanya sekedar jalan bolak-balik dengan handuk yang membelah di lehernya.
            “Kau mau apa? Astaga,” keluhnya sambil menutup matanya dengan tangan kanannya yang bebas. “Mau ambil baju, mandi terus ke studio,” jawab Avrora polos.
            “Astaga. Sampai kapan aku harus selalu membangunkanmu lalu mengatakan hari ini hari apa? Aku tidak menyangka bisa punya adik sepayah dirimu.” Daniel membuka sedikit matanya. Mengintip reaksi yang akan dibuat Avrora. Kalah. Seharusnya Daniel sudah terbiasa dengan adik kecilnya yang tidak punya kepekaan lebih. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Ia menyerah. Menggerak tangannya pertanda menyuruh gadis itu pergi dari hadapannya.
            “Mandilah lalu segera turun. Dan satu lagi, hari ini studiomu libur.”
                                                                            ***
            Daniel Petra. Laki-laki penggemar basket yang sangat menyayangi adik semata wayangnya, Avrora Amora. Baginya hanya gadis yang tengah berjalan beberapa langkah di depannya inilah hartanya yang paling berharga. Kedua orang tua mereka sudah tiada dan meninggalkan kekayaan yang luar biasa. Dan itu menjadi tanggung jawab tersendiri sebagai anak tertua dan pemegang kekuasaan terbesar. Tapi bukan disitu alasan sebenarnya. Bukan karena dia lebih tua lima tahun daripada Avrora. Bukan karena dia anak laki-laki. Dan bukan karena Avrora tidak begitu tertarik untuk meneruskan usaha milik orang tuanya. Tapi karena satu masalah, penyakitnya. Entah apa nama penyakit itu. Daniel, Avrora, bahkan pihak rumah sakitpun belum tahu. Ada masalah pada hormon perkembangan psikisnya. Bukan autis. Tapi sikapnya yang berubah-ubah dan condong kekanak-kanakan. Ia akan mudah lupa dengan sesuatu yang membuatnya amat tertekan, seperti trauma. Dan ketika ia berusaha untuk lebih berpikir dewasa, berpikir terlalu serius sedikit saja, maka ia akan pingsan dan lupa akan semuanya untuk waktu yang cukup lama. Sebagai contohnya, ia lupa bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal. Sementara Daniel sendiri tidak pernah berusaha mengatakan kembali bahwa mereka sudah hidup sebagai anak yatim piatu. Laki-laki itu hanya mengatakan orang tua mereka sedang berlibur di tempat yang amat menyenangkan.
            “Hei,” panggil Daniel. Avrora memutar badannya. Berjalan sambil menghadap kakaknya.
            “Berhenti. Kau bisa menabrak orang kalau berjalan begitu.”
            “Tenang tidak aka–” BRAK! Belum selesai ia menyelesaikan ucapannya. Satu orang sudah menjadi korban. “Daiki?” seru Daniel tak percaya. Laki-laki itu mendongak lalu memutar bola matanya ke gadis yang tengah membungkuk membersihkan jaket hitamnya dari tumpahan es krim.
            “Daniel?” Daniel menjulurkan tangannya. Dengan sedikit tenaga, Daniel menarik tubuh kekar itu. “Terima kasih,” ucapnya kemudian. Daniel hanya menggerakkan kepalanya sekilas.
            “Aku minta maaf. Aku sungguh minta maaf.” Daiki menatap Daniel penuh pertanyaan. Sementara Daniel tidak membalas permohonan itu. Dia menjejalkan kedua tangannya di saku jaket sambil memalingkan wajahnya. “Bisa kita lanjutkan jalan-jalannya? Kalau kau mau ikut, boleh.”
            “Ahh, tidak, terima kasih. Aku masih ada keperluan untuk konser tunggalku. Mungkin lain kali.” Daiki kembali memakai topinya. Sambil menunduk seolah berusaha menghindar dari kejaran pembunuh bayaran, ia pergi dan menghilang setelah kotak dingin itu menelannya.

            “BALI?!!” teriak Avrora sejadi-jadinya dan buru-buru ia bekap mulutnya sendiri setelah sadar banyak pasang mata yang menoleh padanya. Daniel menunduk malu. Seharusnya ia juga sudah harus terbiasa dengan sikap adiknya yang satu ini. Tapi ia juga selalu kalah. Ia benar-benar tunduk dengan adiknya. Ia tunduk karena ia terlalu menyayangi adik kecilnya. Daniel mengangguk. Avrora membuat suara panjang dengan mulutnya yang dibuat bundar seperti huruf o.
            “Tadi pagi kau bermimpi kan?” Avrora mengangguk cepat. “Aku bermimpi sedang dipijat dan itu nikmat sekali. Tapi semua berakhir tanpa klimaks gara-gara kakak.”
            “Maaf-maaf. Tapi sebentar lagi kau akan menikmati sensasi pijatmu yang sebenarnya. Besok kita berangkat. Aku sudah urus semuanya.” Avrora hanya mengangguk-angguk sambil menyedot jus jeruk di depannya.
            “Kau mendengarkanku?”
            “Tentu. Aku mendengarkanmu sekaligus membayangkan kenikmatan dipijat.” Daniel menghela nafas panjang. Dia benar-benar suka di pijat, akunya dalam hati.
                                                                            ***
            23.10 WITA sudah termasuk tiga puluh menit perjalanan dari Bandara Ngurah Rai. Sesampainya di kamar, Daniel langsung merebahkan Avrora. Wajahnya terlihat begitu lelah, tidak jauh beda dengan apa yang ia rasakan. Terlebih ia masih harus menggendong Avrora sebelum beranjak ke kamarnya sendiri yang berada tidak jauh dari sana. Hari juga sudah terlalu larut malam. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia berbaring di kursi santai di beranda kamarnya. Menikmati suara deburan ombak dan cahaya bulan yang kian malam kian terang. Lelah tubuhnya dalam sekejap mengalahkan keinginannya untuk menikmati indahnya langit malam di Bali sedikit lebih lama.
            Ia menggerakkan tubuhnya ke arah yang berlawanan. Aroma terapi yang dipasang di kamarnya membuatnya sadar bahwa ia bukan lagi berada di atas pesawat melainkan sudah tiba di daratan lain yang terpisahkan oleh hamparan air yang luas. “Aa, sudah sampai ya?”

            Daiki masih menikamti secangkir minuman hangat miliknya sambil duduk santai di bambu berayun. Menikmati suasana malam yang dingin akibat udara pantai yang dengan siapnya menusuk-nusuk permukaan kulit sampai ke dalam tulang. Bambu berayun yang tergantung tepat di bawah rumah pohon di kawasan The Pirates Bay membuat Daiki dengan mudahnya mendapatkan inspirasi konsep untuk konser tunggalnya. Tapi ada yang mengganggunya. Pikirannya tiba-tiba terpecah. Tabrakan itu. Ia masih tidak percaya kenapa gadis itu bersikap seolah-oleh mereka tidak saling kenal. Padahal jelas mereka saling kenal. Malah sangat kenal.
                                                                            ***
            Langit masih terlalu gelap. Bahkan bulan baru saja merubah warnanya menjadi putih. Mungkin sebentar lagi. Jejak kaki itu terbentuk dan terhapus seiring ombak yang merapat ke pesisir pantai. Ia terus berjalan, menunggu sampai matahari merubah warna langit menjadi kuning keemasan sebelum akhirnya membiru.
            Ia duduk bersila di atas pasir putih yang halus. Menatap lurus cahaya yang mulai terlihat. Sesekali ia membenarkan kerah jaketnya agar lebih menyembunyikan lehernya. Deretan pohon kepala saling bergoyang bersama iringan suara angin.
            “Hei,” sapa seseorang tiba-tiba. Avrora menoleh dengan sedikit mendongak lalu kembali memfokuskan pandangannya pada bulatnya matahari.
            “Hei juga. Kau juga mau melihat matahari terbit?”
Laki-laki itu menggeleng. “Bukan. Aku ingin bertemu denganmu dan bicara suatu hal.” Ia mengamat-amati wajah di depannya. Wajahnya menggambarkan seolah ia sedang menunggu sebuah kebahagiaan. Menantikan sebuah keindahan. Ada yang ia tunggu disana. Ada yang dia pikirkan dan dia harapkan untuk pulang. Tapi sayang laki-laki itu tidak ingin menanyakannya lebih jauh.
            “Apa kau benar-benar tidak ingat aku? Atau kau hanya menghukumku?” Avrora menoleh lalu memiringkan kepalanya. Rambutnya jatuh ke sebelah kanan. “Menghukummu? Memang apa salahmu? Dan lagi, apa kita pernah bertemu kecuali saat di supermarket itu ya?”
            Dia hanya belum bisa melupakan sakit hatinya. Kata-kata itu muncul kembali. Membuatnya sedikit bertahan untuk tidak memaksa gadis itu mengingat dirinya. Terlebih itu semua juga kesalahannya. “Entahlah, tapi bagaimana kalau ternyata kita memang pernah bertemu?” tanyanya pelan. Avrora hanya tersenyum. Senyumnya semakin berkembang ketika matahari mulai beranjak naik. Sementara disisi lain ada yang sedang menunggu jawaban atas pertanyaannya.
            Daniel turun, melewati satu demi satu anak tangga bebatuaan yang sengaja dirancang seperti ular. Berlenggak-lenggok di sisi tebing dengan bambu yang diikat tali berwarna hitam sebagai pembatasnya. Dari tempatnya, ia bisa melihat indahnya pemandangan dari tempat yang lebih tinggi. Ia menyipit. Sebenarnya ia tidak terlalu yakin bahwa yang tengah duduk berdua disana adalah adiknya dan seseorang yang ia kenal, Daiki. Kakinya bergerak ke bawah agar bisa melihat lebih jelas. “Dasar,” keluhnya. Senyuman tersungging dengan lembut dan ia mengurungkan niatnya untuk mengajak gadis itu sarapan. “Biarlah, mungkin ini lebih baik.”
            Matahari benar-benar sudah meninggi. Avrora kembali berfantasi. Setelah lelah menghabiskan baterai kameranya, Avrora menikmati debur ombak dan desauan angin pepohonan di atas kursi santai yang tersedia di pinggir pantai. Segelas es jeruk dengan hiasana satu lingkaran penuh potongan jeruk orange asli sebagai pemanis. Bayang-bayang yang tidak atau lebih tepatnya bayangan yang sudah lama ia lupakan akhir-akhir ini sering muncul dan mengganggunya. Membuatnya hidup di dalam mimpi buruk yang ia ciptakan sendiri.
            “Hei, dasar kau ini.” Ia menjentikkan jarinya di kening Avrora. Membuat gadis itu mengernyit. Bibirnya maju beberapa senti. Daniel tertawa sembari menyelempitkan kedua lengannya di antara lutut dan leher gadis berkaos kuning dan celana jins pendek. Avrora tersentak.
            “Kak, turunin!! Aku malu.”
            “Aaa?” godanya. Laki-laki itu tak peduli. Lagipula Avrora juga tidak seratus persen memberi penolakan. Mereka berdua pergi ke Benihara. Restoran yang terkenal dengan masakan Jepangnya. Sesuatu yang sangat disukai Avrora. Dengan antusias Avrora mengamati setiap gerakan koki yang sedang meracik teppanyaki. Ia sudah tidak sabar menikmati masakan yang disajikan langsung dari atas panci. Memilih bagian luar di dekat pepohonan yang masih satu rumpun dengan kelapa. Suasana tenang, birunya langit semakin menyatu dengan aroma lezat dari potongan sayur, tofu, dan udang yang tengah diramu. Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, mereka berdua menyantap hidangan tersebut.  “Nanti malam sepertinya bakal ada acara. Mau keluar?” tawar Daniel sebelum memasukan potongan daging ke mulutnya.
            “Boleh. Untuk apa jauh-jauh ke Bali kalau cuman diam di kamar?”
                                                                            ***
            “Sepuluh menit lagi acara dimulai. Bersiap-siaplah.” Laki-laki itu mengangguk sambil melempar senyuman. Konser tunggalnya kali ini memiliki konsep yang berbeda. Biasanya ia akan melakukan pertunjukan di dalam gedung megah dengan pengaturan soundsistem yang spektakuler. Namun kali ini dia meminta pada managernya untuk membuat acara konser yang berbeda. Ia ingin di tempat terbuka. Ia ingin konser yang lebih santai. Ia ingin suasana pantai, ketenangan, romantisme, dan kebersamaan tercipta di dalam acaranya. Laki-laki bermata tajam itu menghembuskan nafanya berat sebelum bergerak memutar knop pintu dan keluar.
            The Pirates Bay. Perkampungan bajak laut yang sangat disukainya. Terlebih karena konsepnya adalah salah satu karakter favorit Daiki. Laki-laki itu memang sangat menyukai semua yang berhubungan dengan bajak laut. Bahkan waktu kecil ia pernah bercita-cita sebagai seorang bajak laut sebelum berbelok ke jalur yang sangat jauh berbeda. Musisi. Viewer, lampu sorot, api unggun,  lampion-lampion yang tersebar hampir diseluruh rumah pohon membuat malam itu menjadi malam yang lebih eksotis.  Daniel menggenggam jemari Avrora erat. Menjaganya agar tidak jauh-jauh dari dirinya. Duduk bersantai di tenda terbuka. Ditangannya yang sudah bebas dari tangan besar Daniel, dengan penuh kuasa membawa sepiring Fried Ice Cream. Taburan gula halus, coretan-coretan cokelat cair yang menyatu dengan astor sekaligus buah ceri merah dengan sukses membuat es krim itu menggoda Avrora. Tidak mungkin ia menundanya lagi. Sesuap demi sesuap ia menikmati es krim yang melumer di dalam mulutnya. Kenikmatan yang tak terbantahkan lagi. Alunan musik yang keluar dari lubang saxophone semakin membuat malam itu terkesan berbeda. Terlebih karena ia sedikit bisa mengingat hal yang sudah lama hilang dari pikirannya. Aku akan selalu membuatmu bahagia, pikirnya sekilas. Pikiran yang tanpa sadar membuat sudut bibirnya tertarik dan menarik perhatian gadis disebelahnya.
            “Apa kau masih lupa dengan laki-laki itu?” selidik Daniel tiba-tiba. Ia menggerakkan dagunya, menunjukan siapa yang menjadi topik pembicaraannya sekarang. Avrora mengikuti. Laki-laki itu menoleh tepat di manik mata Avrora. Memainkan saxophone yang seolah hanya ditujukan padanya. Rona merah terbentuk dengan perlahan. Meskipun hanya lampu remang yang menyinari, Daniel bisa melihat dengan jelas kalau adiknya tengah terpesona. Daiki, musisi yang luar biasa. Ia menggelengkan kepalanya. Menyerah. “Hei, es krimmu,” seru Daniel sengaja. Avrora yang sadar bahwa baru saja ia menautkan pandangannya pada satu garis lurus yang sama dengan seseorang di seberang sana. Ia menunduk malu.
            Hari semakin malam. Pengunjung pun semakin ramai. Rumah-rumah pohon, tenda terbuka, kursi berayun, atau bahkan kursi-kursi yang disediakan hampir semuanya terisi penuh. Kini giliran harmonika yang bermain. Tapi sebelum itu, ada yang ia cari. Daiki melempar pandangannya ke segala arah. Ke kanan lalu balik ke kiri, ke atas dan kembali membuangnya ke depan, jauh ke depan. Dan tepat disana, ia menumbukkan kedua matanya pada gadis berambut pendek dengan dress santai selutut berwarna biru muda yang lembut. Ia tersenyum. Sepersekian detik ia sempat tertegun karena gadis itu juga tersenyum padanya. Kali ini Daiki bersyukur bahwa pada kenyataannya ia masih bisa mendapatkan sneyuman itu setelah kesalahannya dulu. Turun dari kursi putar. Ia berlari kecil menjemput sang putri dan membawanya ke atas panggung. Menyuruhnya duduk di kursi yang baru saja di sediakan. “Lagu ini saya ciptakan khusus untuk gadis yang tengah duduk di samping saya sekarang ini,” katanya dalam bahasa Inggris.
            Udara yang ia tiupkan melalui lubang harmonika keluar dan berubah menjadi suara yang tak sekedar bunyi tiupan angin, melainkan alunan-alunan lembut yang menyentuh. Hanya campuran dari nada-nada tapi mampu membuat Avrora menangkupkan kedua telapak tangannya. Menutup mulutnya yang hampir saja menganga. Berusaha menahan airmata yang gagal ia tahan. Ia menangis. Daiki terkejut. Ia tak menyangka gadis ini akan menangis. Apa mungkin ia sudah ingat tentang lagu itu? Atau untuk kesekian kalinya ia hanya tersentuh.
            Di tempat lain, Daniel berusaha menenangkan gejolak batinnya ketika melihat Avrora meneteskan airmata. Ia mencoba bernegosiasi dengan dirinya sendiri bahwa itu airmata kebahagiaan bukan kesedihan atau airmata seperti beberapa tahun lalu.
                                                                            ***
            Bukan hal sulit. Ia hanya perlu datang ke receptionist lalu menanyakan dimana kamar Daiki Brent. Selesai. Daiki berhenti beberapa langkah dari pintu kamar hotelnya. Laki-laki berkaos putih dengan celana pendek selutut tengah bersandar di depan pintu kamarnya. Melipat kedua tangannya di depan dada. Daiki mendekat. Menyadari orang yang ditunggunya sudah datang. Ia menarik tubuhnya ke depan. “Bisa kita bicara sebentar?” Daiki kaget lalu dengan kikuk menyuruhnya masuk.
                                                                            ***
            “Kau bisa menyelam?” tanya Daiki kemudian. Avrora mengangguk. Ia menikmati halusnya pasir yang menyentuh kakinya, lembutnya angin yang membelai sela-sela rambutnya. “Bagaimana kalau kita menyelam hari ini? Aku ingin menunjukan sesuatu dan kuharap kau akan suka.” Avrora terlihat menimbang-nimbang. Mengetuk-etuk dagunya lalu berkata, “Baiklah.” Satu senyuman merekah di wajah Daiki.
            Di kejauhan, ia menghabiskan waktunya dengan bersantai di pondok kecil di pesisir pantai. Daniel menyandarkan punggungnya di salah satu tiang kayu sambil membaca buku favoritnya. Tulisan ‘de Opera’ yang terpampang di kayu cokelat dengan plitur sebagai pemercantik kawasan yang tepat untuk bersantai sejenak. “Akhirnya. Kenapa tidak dari dulu dia melakukannya? Dasar. Laki-laki bodoh,” gumamnya lalu tertawa pelan. Ia membalik kertas ke halaman berikutnya, tak lama setelah pelayan meninggalkannya dengan segelas minuman segar. “Ini dia–”
            BYUUR …
            Mereka berdua mulai menyelam. Daiki mengurangi kecepatannya agar bisa berada di belakang Avrora yang terlihat sangat menikmati wisata bawah laut. Matanya tak kunjung berkedip ketika melewati sekawanan ikan-ikan kecil. Melihat indahnya terumbu karang yang terawat. Gelembung-gelembung oksigen keluar lalu membumbung tinggi.

            “Dia tidak pernah membencimu.”
            “Hha?” Daiki tak percaya dengan apa yang dia dengar. Tidak mungkin Avrora, gadis yang sudah disakitinya tidak membencinya.
            “Apa maksudmu?” Daniel berjalan ke beranda kamar Daiki. Bersandar pada kusen pintu yang terbuka. Sudah waktunya. Sejujurnya ia juga baru menyadari bahwa selama ini Avrora tidak pernah membenci Daiki. Gadis itu tidak benar-benar melupakannya. Mungkin benar dia sakit hati. Namun rasa sayangnya melebihi kemampuan penyakitnya untuk menghilangkan memori tentang sesuatu yang menyakitkan. Rasa sayangnya melebihi dia untuk pingsan dan melupakan segalanya dalam sekejap mata. “Dia membencimu tapi tidak benar-benar membencimu. Sudahlah, kau tidak perlu berbohong lagi. Kau hanya perlu mengakuinya dan selesai.”

            Kau benar Dane, aku hanya perlu mengakuinya, batinnya. Daiki mempercepat gerakan kakinya. Ia memberi isyarat agar Avrora mengikutinya. Dan gadis itu menurut. Rahangnya yang mulai menegang perlahan mengendur. Ia bisa lebih santai. Gerakan kaki Avrora perlahan melambat, sementara Daiki malah lebih cepat kemudian berputar arah. Menghadapnya. Dengan satu gerakan manis, ia sedikit jongkok, membuka kotak kecil dan menujukkan perasaanya. Kain putih bertuliskan ‘Will you marry me?’ yang diikat dengan tali, seketika membekukan seluruh tubuh Avrora. Untuk beberapa saat hanya suara dari tabung oksigen yang terdengar. Ketika sadar, gadis itu berenang ke atas membuat Daiki sedikit tersentak, kemudian cepat-cepat ia susul.
            Daiki melepas selang oksigen dari mulutnya, mengikuti apa yang baru saja di lakukan Avrora. “Ada apa? Apa kau tak suka?” desak Daiki penuh kekecewaan. Avrora hanya diam. Dia menunggu sesuatu. Kau hanya perlu mengakuinya dan selesai. Ucapan Daniel menyadarkan Daiki. Ia menarik nafas lalu menghembuskan. “Maaf sudah membohongimu. Dulu aku meninggalkanmu begitu saja bukan karena aku tidak menyayangimu tapi karena aku belum siap. Saat itu aku terlalu pengecut untuk menerima kekuranganmu. Aku memang laki-laki jahat tak berperasan dan berpemikiran sempit. Tapi aku juga tidak berani mengatakan kata selesai. Sekarang aku sadar, apa salahnya berbeda? Dan kenapa harus menjadi orang yang sama dengan yang lainnya? Avrora, aku minta maaf.”
            “Sudah bicaranya?” Daiki mendongak dari tunduknya. Avrora bisa melihat ada penyesalan, kekecewaan, kesedihan, dan kesepian di kedua mata hitam Daiki.
            “Hukum aku. Hukum aku atas kesalahanku,” pinta lirih Daiki. Ia tidak sanggup menatap mata Avrora seperti saat di bawah laut tadi. “Itu memang rencanaku. Aku memang akan menghukumu.” Avrora bergerak mendekat. Ia merangkul kedua tangannya di leher Daiki. Mendekatkan mulutnya di telinga laki-laki itu dan berbisik, “Aku mau menikah denganmu. Itu hukumanmu. Dengan begitu kau akan selalu dihantui rasa penyesalan.” Daiki tersentak. Reflek ia mundur ke belakang. Sentakan yang cukup kuat membuat Avrora melepaskan rangkulannya.
            “Terserahlah. Mungkin itu memang hukuman yang tepat.” Ia menyerah. Avrora tertawa lepas. Ada gumpalan airmata di sudut matanya.  “Aa, aku minta maaf karena aku benar-benar lupa bahwa itu kau. Aku tidak mengingatmu sama sekali dan baru ingat saat acara konsermu. Lagu itu yang mengingatkanku. Maaf,” akunya dengan wajah tak bersalah. Daiki hanya mampu memasang wajah memaklumi. Tapi lepas dari itu, ia merasa benar-benar lega. Batu yang mengganjal perasaannya selama ini, hancur sudah.
            SELESAI …

Tidak ada komentar: