Ia
tersenyum santai menikmati jari-jari kecil yang mengusap, melipat-lipat
kulitnya, memberi tekanan di titik-titik tertentu. Ketika sesuatu yang dingin
bergerak sedikit demi sedikit memenuhi bagian belakang tubuhnya, pundaknya
reflek bergerak ke atas.
“Nikmatnya,”
desahnya pelan. Memanjakan diri sejenak itu memang menyenangkan. Namun
tiba-tiba ia mengerang. Pundaknya melorot ke bawah berusaha menghindar dari
tekanan rasa sakit yang menyerangnya begitu saja.
“Hoi! Hoi!
Bangun!!” Gadis berambut pendek itu membuka matanya perlahan. Siluet lampu
kamar membuatnya tidak begitu jelas melihat siapa orang yang sedang merunduk di
depan tubunya. Beberapa saat ketika pengelihatannya telah sempurna, ia mendengus
kesal. Memberi satu tinjuan pelan ke lengan kakaknya. “Berhentilah mengganggu
mimpi-mimpiku kak!” rengeknya.
“Iya-iya.
Aku akan berhenti kalau kau bisa bangun tepat waktu. Lihat, sekarang jam
berapa?” Avrora membanting tubuhnya ke samping. Menatap lurus jam berbentuk
lollipop yang bertengger di atas meja belajarnya. “Jam delapan?!” Mata itu
membulat seketika. Selimut ia sibakkan, lalu melompat seperti hewan yang baru
dilepaskan dari ikat rantai. Daniel hanya menggeleng. Mencoba membiasakan diri
untuk kebiasaan yang tidak pernah hilang dari adiknya.
“Stop!!”
Daniel menahan pundak adiknya. Sudah hampir ke lima kalinya, Avrora melewati
Daniel tanpa tujuan. Hanya sekedar jalan bolak-balik dengan handuk yang
membelah di lehernya.
“Kau mau
apa? Astaga,” keluhnya sambil menutup matanya dengan tangan kanannya yang
bebas. “Mau ambil baju, mandi terus ke studio,” jawab Avrora polos.
“Astaga.
Sampai kapan aku harus selalu membangunkanmu lalu mengatakan hari ini hari apa?
Aku tidak menyangka bisa punya adik sepayah dirimu.” Daniel membuka sedikit
matanya. Mengintip reaksi yang akan dibuat Avrora. Kalah. Seharusnya Daniel
sudah terbiasa dengan adik kecilnya yang tidak punya kepekaan lebih. Wajahnya
datar tanpa ekspresi. Ia menyerah. Menggerak tangannya pertanda menyuruh gadis
itu pergi dari hadapannya.
“Mandilah
lalu segera turun. Dan satu lagi, hari ini studiomu libur.”
***
Daniel
Petra. Laki-laki penggemar basket yang sangat menyayangi adik semata wayangnya,
Avrora Amora. Baginya hanya gadis yang tengah berjalan beberapa langkah di
depannya inilah hartanya yang paling berharga. Kedua orang tua mereka sudah
tiada dan meninggalkan kekayaan yang luar biasa. Dan itu menjadi tanggung jawab
tersendiri sebagai anak tertua dan pemegang kekuasaan terbesar. Tapi bukan
disitu alasan sebenarnya. Bukan karena dia lebih tua lima tahun daripada Avrora.
Bukan karena dia anak laki-laki. Dan bukan karena Avrora tidak begitu tertarik
untuk meneruskan usaha milik orang tuanya. Tapi karena satu masalah,
penyakitnya. Entah apa nama penyakit itu. Daniel, Avrora, bahkan pihak rumah sakitpun
belum tahu. Ada masalah pada hormon perkembangan psikisnya. Bukan autis. Tapi
sikapnya yang berubah-ubah dan condong kekanak-kanakan. Ia akan mudah lupa
dengan sesuatu yang membuatnya amat tertekan, seperti trauma. Dan ketika ia
berusaha untuk lebih berpikir dewasa, berpikir terlalu serius sedikit saja,
maka ia akan pingsan dan lupa akan semuanya untuk waktu yang cukup lama.
Sebagai contohnya, ia lupa bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal. Sementara
Daniel sendiri tidak pernah berusaha mengatakan kembali bahwa mereka sudah
hidup sebagai anak yatim piatu. Laki-laki itu hanya mengatakan orang tua mereka
sedang berlibur di tempat yang amat menyenangkan.
“Hei,”
panggil Daniel. Avrora memutar badannya. Berjalan sambil menghadap kakaknya.
“Berhenti. Kau
bisa menabrak orang kalau berjalan begitu.”
“Tenang
tidak aka–” BRAK! Belum selesai ia menyelesaikan ucapannya. Satu orang sudah
menjadi korban. “Daiki?” seru Daniel tak percaya. Laki-laki itu mendongak lalu
memutar bola matanya ke gadis yang tengah membungkuk membersihkan jaket
hitamnya dari tumpahan es krim.
“Daniel?”
Daniel menjulurkan tangannya. Dengan sedikit tenaga, Daniel menarik tubuh kekar
itu. “Terima kasih,” ucapnya kemudian. Daniel hanya menggerakkan kepalanya
sekilas.
“Aku minta
maaf. Aku sungguh minta maaf.” Daiki menatap Daniel penuh pertanyaan. Sementara
Daniel tidak membalas permohonan itu. Dia menjejalkan kedua tangannya di saku
jaket sambil memalingkan wajahnya. “Bisa kita lanjutkan jalan-jalannya? Kalau
kau mau ikut, boleh.”
“Ahh,
tidak, terima kasih. Aku masih ada keperluan untuk konser tunggalku. Mungkin
lain kali.” Daiki kembali memakai topinya. Sambil menunduk seolah berusaha
menghindar dari kejaran pembunuh bayaran, ia pergi dan menghilang setelah kotak
dingin itu menelannya.
“BALI?!!”
teriak Avrora sejadi-jadinya dan buru-buru ia bekap mulutnya sendiri setelah
sadar banyak pasang mata yang menoleh padanya. Daniel menunduk malu. Seharusnya
ia juga sudah harus terbiasa dengan sikap adiknya yang satu ini. Tapi ia juga
selalu kalah. Ia benar-benar tunduk dengan adiknya. Ia tunduk karena ia terlalu
menyayangi adik kecilnya. Daniel mengangguk. Avrora membuat suara panjang
dengan mulutnya yang dibuat bundar seperti huruf o.
“Tadi pagi
kau bermimpi kan?” Avrora mengangguk cepat. “Aku bermimpi sedang dipijat dan
itu nikmat sekali. Tapi semua berakhir tanpa klimaks gara-gara kakak.”
“Maaf-maaf.
Tapi sebentar lagi kau akan menikmati sensasi pijatmu yang sebenarnya. Besok
kita berangkat. Aku sudah urus semuanya.” Avrora hanya mengangguk-angguk sambil
menyedot jus jeruk di depannya.
“Kau
mendengarkanku?”
“Tentu. Aku
mendengarkanmu sekaligus membayangkan kenikmatan dipijat.” Daniel menghela
nafas panjang. Dia benar-benar suka di
pijat, akunya dalam hati.
***
23.10 WITA
sudah termasuk tiga puluh menit perjalanan dari Bandara Ngurah Rai. Sesampainya
di kamar, Daniel langsung merebahkan Avrora. Wajahnya terlihat begitu lelah,
tidak jauh beda dengan apa yang ia rasakan. Terlebih ia masih harus menggendong
Avrora sebelum beranjak ke kamarnya sendiri yang berada tidak jauh dari sana.
Hari juga sudah terlalu larut malam. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia
berbaring di kursi santai di beranda kamarnya. Menikmati suara deburan ombak
dan cahaya bulan yang kian malam kian terang. Lelah tubuhnya dalam sekejap
mengalahkan keinginannya untuk menikmati indahnya langit malam di Bali sedikit
lebih lama.
Ia
menggerakkan tubuhnya ke arah yang berlawanan. Aroma terapi yang dipasang di
kamarnya membuatnya sadar bahwa ia bukan lagi berada di atas pesawat melainkan
sudah tiba di daratan lain yang terpisahkan oleh hamparan air yang luas. “Aa,
sudah sampai ya?”
Daiki masih
menikamti secangkir minuman hangat miliknya sambil duduk santai di bambu
berayun. Menikmati suasana malam yang dingin akibat udara pantai yang dengan
siapnya menusuk-nusuk permukaan kulit sampai ke dalam tulang. Bambu berayun yang
tergantung tepat di bawah rumah pohon di kawasan The Pirates Bay membuat Daiki
dengan mudahnya mendapatkan inspirasi konsep untuk konser tunggalnya. Tapi ada
yang mengganggunya. Pikirannya tiba-tiba terpecah. Tabrakan itu. Ia masih tidak
percaya kenapa gadis itu bersikap seolah-oleh mereka tidak saling kenal.
Padahal jelas mereka saling kenal. Malah sangat kenal.
***
Langit
masih terlalu gelap. Bahkan bulan baru saja merubah warnanya menjadi putih.
Mungkin sebentar lagi. Jejak kaki itu terbentuk dan terhapus seiring ombak yang
merapat ke pesisir pantai. Ia terus berjalan, menunggu sampai matahari merubah
warna langit menjadi kuning keemasan sebelum akhirnya membiru.
Ia duduk
bersila di atas pasir putih yang halus. Menatap lurus cahaya yang mulai
terlihat. Sesekali ia membenarkan kerah jaketnya agar lebih menyembunyikan
lehernya. Deretan pohon kepala saling bergoyang bersama iringan suara angin.
“Hei,” sapa
seseorang tiba-tiba. Avrora menoleh dengan sedikit mendongak lalu kembali
memfokuskan pandangannya pada bulatnya matahari.
“Hei juga.
Kau juga mau melihat matahari terbit?”
Laki-laki itu menggeleng. “Bukan. Aku ingin bertemu denganmu
dan bicara suatu hal.” Ia mengamat-amati wajah di depannya. Wajahnya
menggambarkan seolah ia sedang menunggu sebuah kebahagiaan. Menantikan sebuah
keindahan. Ada yang ia tunggu disana. Ada yang dia pikirkan dan dia harapkan
untuk pulang. Tapi sayang laki-laki itu tidak ingin menanyakannya lebih jauh.
“Apa kau
benar-benar tidak ingat aku? Atau kau hanya menghukumku?” Avrora menoleh lalu
memiringkan kepalanya. Rambutnya jatuh ke sebelah kanan. “Menghukummu? Memang
apa salahmu? Dan lagi, apa kita pernah bertemu kecuali saat di supermarket itu
ya?”
Dia hanya belum bisa melupakan sakit
hatinya. Kata-kata itu muncul kembali. Membuatnya sedikit bertahan untuk
tidak memaksa gadis itu mengingat dirinya. Terlebih itu semua juga
kesalahannya. “Entahlah, tapi bagaimana kalau ternyata kita memang pernah
bertemu?” tanyanya pelan. Avrora hanya tersenyum. Senyumnya semakin berkembang
ketika matahari mulai beranjak naik. Sementara disisi lain ada yang sedang
menunggu jawaban atas pertanyaannya.
Daniel
turun, melewati satu demi satu anak tangga bebatuaan yang sengaja dirancang
seperti ular. Berlenggak-lenggok di sisi tebing dengan bambu yang diikat tali
berwarna hitam sebagai pembatasnya. Dari tempatnya, ia bisa melihat indahnya
pemandangan dari tempat yang lebih tinggi. Ia menyipit. Sebenarnya ia tidak
terlalu yakin bahwa yang tengah duduk berdua disana adalah adiknya dan
seseorang yang ia kenal, Daiki. Kakinya bergerak ke bawah agar bisa melihat
lebih jelas. “Dasar,” keluhnya. Senyuman tersungging dengan lembut dan ia
mengurungkan niatnya untuk mengajak gadis itu sarapan. “Biarlah, mungkin ini
lebih baik.”
Matahari
benar-benar sudah meninggi. Avrora kembali berfantasi. Setelah lelah
menghabiskan baterai kameranya, Avrora menikmati debur ombak dan desauan angin pepohonan
di atas kursi santai yang tersedia di pinggir pantai. Segelas es jeruk dengan
hiasana satu lingkaran penuh potongan jeruk orange asli sebagai pemanis. Bayang-bayang
yang tidak atau lebih tepatnya bayangan yang sudah lama ia lupakan akhir-akhir
ini sering muncul dan mengganggunya. Membuatnya hidup di dalam mimpi buruk yang
ia ciptakan sendiri.
“Hei, dasar
kau ini.” Ia menjentikkan jarinya di kening Avrora. Membuat gadis itu
mengernyit. Bibirnya maju beberapa senti. Daniel tertawa sembari menyelempitkan
kedua lengannya di antara lutut dan leher gadis berkaos kuning dan celana jins
pendek. Avrora tersentak.
“Kak,
turunin!! Aku malu.”
“Aaa?”
godanya. Laki-laki itu tak peduli. Lagipula Avrora juga tidak seratus persen
memberi penolakan. Mereka berdua pergi ke Benihara. Restoran yang terkenal
dengan masakan Jepangnya. Sesuatu yang sangat disukai Avrora. Dengan antusias
Avrora mengamati setiap gerakan koki yang sedang meracik teppanyaki. Ia sudah
tidak sabar menikmati masakan yang disajikan langsung dari atas panci. Memilih
bagian luar di dekat pepohonan yang masih satu rumpun dengan kelapa. Suasana
tenang, birunya langit semakin menyatu dengan aroma lezat dari potongan sayur,
tofu, dan udang yang tengah diramu. Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi,
mereka berdua menyantap hidangan tersebut. “Nanti malam sepertinya bakal ada acara. Mau
keluar?” tawar Daniel sebelum memasukan potongan daging ke mulutnya.
“Boleh.
Untuk apa jauh-jauh ke Bali kalau cuman diam di kamar?”
***
“Sepuluh
menit lagi acara dimulai. Bersiap-siaplah.” Laki-laki itu mengangguk sambil
melempar senyuman. Konser tunggalnya kali ini memiliki konsep yang berbeda.
Biasanya ia akan melakukan pertunjukan di dalam gedung megah dengan pengaturan
soundsistem yang spektakuler. Namun kali ini dia meminta pada managernya untuk
membuat acara konser yang berbeda. Ia ingin di tempat terbuka. Ia ingin konser
yang lebih santai. Ia ingin suasana pantai, ketenangan, romantisme, dan
kebersamaan tercipta di dalam acaranya. Laki-laki bermata tajam itu
menghembuskan nafanya berat sebelum bergerak memutar knop pintu dan keluar.
The Pirates
Bay. Perkampungan bajak laut yang sangat disukainya. Terlebih karena konsepnya
adalah salah satu karakter favorit Daiki. Laki-laki itu memang sangat menyukai
semua yang berhubungan dengan bajak laut. Bahkan waktu kecil ia pernah
bercita-cita sebagai seorang bajak laut sebelum berbelok ke jalur yang sangat
jauh berbeda. Musisi. Viewer, lampu
sorot, api unggun, lampion-lampion yang
tersebar hampir diseluruh rumah pohon membuat malam itu menjadi malam yang
lebih eksotis. Daniel menggenggam jemari
Avrora erat. Menjaganya agar tidak jauh-jauh dari dirinya. Duduk bersantai di tenda
terbuka. Ditangannya yang sudah bebas dari tangan besar Daniel, dengan penuh
kuasa membawa sepiring Fried Ice Cream. Taburan gula halus, coretan-coretan
cokelat cair yang menyatu dengan astor sekaligus buah ceri merah dengan sukses
membuat es krim itu menggoda Avrora. Tidak mungkin ia menundanya lagi. Sesuap
demi sesuap ia menikmati es krim yang melumer di dalam mulutnya. Kenikmatan
yang tak terbantahkan lagi. Alunan musik yang keluar dari lubang saxophone semakin membuat malam itu
terkesan berbeda. Terlebih karena ia sedikit bisa mengingat hal yang sudah lama
hilang dari pikirannya. Aku akan selalu
membuatmu bahagia, pikirnya sekilas. Pikiran yang tanpa sadar membuat sudut
bibirnya tertarik dan menarik perhatian gadis disebelahnya.
“Apa kau
masih lupa dengan laki-laki itu?” selidik Daniel tiba-tiba. Ia menggerakkan
dagunya, menunjukan siapa yang menjadi topik pembicaraannya sekarang. Avrora
mengikuti. Laki-laki itu menoleh tepat di manik mata Avrora. Memainkan saxophone yang seolah hanya ditujukan
padanya. Rona merah terbentuk dengan perlahan. Meskipun hanya lampu remang yang
menyinari, Daniel bisa melihat dengan jelas kalau adiknya tengah terpesona.
Daiki, musisi yang luar biasa. Ia menggelengkan kepalanya. Menyerah. “Hei, es
krimmu,” seru Daniel sengaja. Avrora yang sadar bahwa baru saja ia menautkan
pandangannya pada satu garis lurus yang sama dengan seseorang di seberang sana.
Ia menunduk malu.
Hari
semakin malam. Pengunjung pun semakin ramai. Rumah-rumah pohon, tenda terbuka,
kursi berayun, atau bahkan kursi-kursi yang disediakan hampir semuanya terisi
penuh. Kini giliran harmonika yang bermain. Tapi sebelum itu, ada yang ia cari.
Daiki melempar pandangannya ke segala arah. Ke kanan lalu balik ke kiri, ke
atas dan kembali membuangnya ke depan, jauh ke depan. Dan tepat disana, ia
menumbukkan kedua matanya pada gadis berambut pendek dengan dress santai
selutut berwarna biru muda yang lembut. Ia tersenyum. Sepersekian detik ia
sempat tertegun karena gadis itu juga tersenyum padanya. Kali ini Daiki
bersyukur bahwa pada kenyataannya ia masih bisa mendapatkan sneyuman itu
setelah kesalahannya dulu. Turun dari kursi putar. Ia berlari kecil menjemput
sang putri dan membawanya ke atas panggung. Menyuruhnya duduk di kursi yang
baru saja di sediakan. “Lagu ini saya ciptakan khusus untuk gadis yang tengah
duduk di samping saya sekarang ini,” katanya dalam bahasa Inggris.
Udara yang
ia tiupkan melalui lubang harmonika keluar dan berubah menjadi suara yang tak
sekedar bunyi tiupan angin, melainkan alunan-alunan lembut yang menyentuh.
Hanya campuran dari nada-nada tapi mampu membuat Avrora menangkupkan kedua
telapak tangannya. Menutup mulutnya yang hampir saja menganga. Berusaha menahan
airmata yang gagal ia tahan. Ia menangis. Daiki terkejut. Ia tak menyangka
gadis ini akan menangis. Apa mungkin ia sudah ingat tentang lagu itu? Atau
untuk kesekian kalinya ia hanya tersentuh.
Di tempat
lain, Daniel berusaha menenangkan gejolak batinnya ketika melihat Avrora
meneteskan airmata. Ia mencoba bernegosiasi dengan dirinya sendiri bahwa itu
airmata kebahagiaan bukan kesedihan atau airmata seperti beberapa tahun lalu.
***
Bukan hal
sulit. Ia hanya perlu datang ke receptionist
lalu menanyakan dimana kamar Daiki Brent. Selesai. Daiki berhenti beberapa
langkah dari pintu kamar hotelnya. Laki-laki berkaos putih dengan celana pendek
selutut tengah bersandar di depan pintu kamarnya. Melipat kedua tangannya di
depan dada. Daiki mendekat. Menyadari orang yang ditunggunya sudah datang. Ia
menarik tubuhnya ke depan. “Bisa kita bicara sebentar?” Daiki kaget lalu dengan
kikuk menyuruhnya masuk.
***
“Kau bisa
menyelam?” tanya Daiki kemudian. Avrora mengangguk. Ia menikmati halusnya pasir
yang menyentuh kakinya, lembutnya angin yang membelai sela-sela rambutnya.
“Bagaimana kalau kita menyelam hari ini? Aku ingin menunjukan sesuatu dan
kuharap kau akan suka.” Avrora terlihat menimbang-nimbang. Mengetuk-etuk dagunya
lalu berkata, “Baiklah.” Satu senyuman merekah di wajah Daiki.
Di
kejauhan, ia menghabiskan waktunya dengan bersantai di pondok kecil di pesisir
pantai. Daniel menyandarkan punggungnya di salah satu tiang kayu sambil membaca
buku favoritnya. Tulisan ‘de Opera’ yang terpampang di kayu cokelat dengan
plitur sebagai pemercantik kawasan yang tepat untuk bersantai sejenak. “Akhirnya.
Kenapa tidak dari dulu dia melakukannya? Dasar. Laki-laki bodoh,” gumamnya lalu
tertawa pelan. Ia membalik kertas ke halaman berikutnya, tak lama setelah
pelayan meninggalkannya dengan segelas minuman segar. “Ini dia–”
BYUUR …
Mereka
berdua mulai menyelam. Daiki mengurangi kecepatannya agar bisa berada di
belakang Avrora yang terlihat sangat menikmati wisata bawah laut. Matanya tak
kunjung berkedip ketika melewati sekawanan ikan-ikan kecil. Melihat indahnya
terumbu karang yang terawat. Gelembung-gelembung oksigen keluar lalu membumbung
tinggi.
“Dia tidak
pernah membencimu.”
“Hha?”
Daiki tak percaya dengan apa yang dia dengar. Tidak mungkin Avrora, gadis yang
sudah disakitinya tidak membencinya.
“Apa
maksudmu?” Daniel berjalan ke beranda kamar Daiki. Bersandar pada kusen pintu
yang terbuka. Sudah waktunya. Sejujurnya ia juga baru menyadari bahwa selama
ini Avrora tidak pernah membenci Daiki. Gadis itu tidak benar-benar
melupakannya. Mungkin benar dia sakit hati. Namun rasa sayangnya melebihi
kemampuan penyakitnya untuk menghilangkan memori tentang sesuatu yang
menyakitkan. Rasa sayangnya melebihi dia untuk pingsan dan melupakan segalanya
dalam sekejap mata. “Dia membencimu tapi tidak benar-benar membencimu.
Sudahlah, kau tidak perlu berbohong lagi. Kau hanya perlu mengakuinya dan
selesai.”
Kau benar Dane, aku hanya perlu mengakuinya,
batinnya. Daiki mempercepat gerakan kakinya. Ia memberi isyarat agar Avrora
mengikutinya. Dan gadis itu menurut. Rahangnya yang mulai menegang perlahan
mengendur. Ia bisa lebih santai. Gerakan kaki Avrora perlahan melambat,
sementara Daiki malah lebih cepat kemudian berputar arah. Menghadapnya. Dengan
satu gerakan manis, ia sedikit jongkok, membuka kotak kecil dan menujukkan
perasaanya. Kain putih bertuliskan ‘Will you marry me?’ yang diikat dengan
tali, seketika membekukan seluruh tubuh Avrora. Untuk beberapa saat hanya suara
dari tabung oksigen yang terdengar. Ketika sadar, gadis itu berenang ke atas
membuat Daiki sedikit tersentak, kemudian cepat-cepat ia susul.
Daiki
melepas selang oksigen dari mulutnya, mengikuti apa yang baru saja di lakukan
Avrora. “Ada apa? Apa kau tak suka?” desak Daiki penuh kekecewaan. Avrora hanya
diam. Dia menunggu sesuatu. Kau hanya
perlu mengakuinya dan selesai. Ucapan Daniel menyadarkan Daiki. Ia menarik
nafas lalu menghembuskan. “Maaf sudah membohongimu. Dulu aku meninggalkanmu
begitu saja bukan karena aku tidak menyayangimu tapi karena aku belum siap.
Saat itu aku terlalu pengecut untuk menerima kekuranganmu. Aku memang laki-laki
jahat tak berperasan dan berpemikiran sempit. Tapi aku juga tidak berani
mengatakan kata selesai. Sekarang aku sadar, apa salahnya berbeda? Dan kenapa
harus menjadi orang yang sama dengan yang lainnya? Avrora, aku minta maaf.”
“Sudah
bicaranya?” Daiki mendongak dari tunduknya. Avrora bisa melihat ada penyesalan,
kekecewaan, kesedihan, dan kesepian di kedua mata hitam Daiki.
“Hukum aku.
Hukum aku atas kesalahanku,” pinta lirih Daiki. Ia tidak sanggup menatap mata
Avrora seperti saat di bawah laut tadi. “Itu memang rencanaku. Aku memang akan
menghukumu.” Avrora bergerak mendekat. Ia merangkul kedua tangannya di leher
Daiki. Mendekatkan mulutnya di telinga laki-laki itu dan berbisik, “Aku mau
menikah denganmu. Itu hukumanmu. Dengan begitu kau akan selalu dihantui rasa
penyesalan.” Daiki tersentak. Reflek ia mundur ke belakang. Sentakan yang cukup
kuat membuat Avrora melepaskan rangkulannya.
“Terserahlah.
Mungkin itu memang hukuman yang tepat.” Ia menyerah. Avrora tertawa lepas. Ada
gumpalan airmata di sudut matanya. “Aa,
aku minta maaf karena aku benar-benar lupa bahwa itu kau. Aku tidak mengingatmu
sama sekali dan baru ingat saat acara konsermu. Lagu itu yang mengingatkanku.
Maaf,” akunya dengan wajah tak bersalah. Daiki hanya mampu memasang wajah
memaklumi. Tapi lepas dari itu, ia merasa benar-benar lega. Batu yang
mengganjal perasaannya selama ini, hancur sudah.
SELESAI …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar