Aku hanya
bisa mengangguk saat Bion bertanya, apakah aku baru saja menangis. Kurasa ini
akibat dari suasana hatiku yang buruk belakangan ini. Dia hanya mematung,
memfokuskan pandangannya ke arahku. Setiap kubaca pesan di ponselku, air mataku
selalu tidak terkendali. Kututup wajahku yang buruk dengan kedua tanganku. Tidak
lama kemudian aku merasakan badanku tertarik ke samping dan menempel di pundak yang
kuat, aku tahu, itu adalah pundak Bion.
“Aku
merindukannya. Aku sangat merindukannya,” ucapku pelan dan bergetar. Dadaku
terasa sesak saat berusaha mengatakan kata ‘merindukannya’.
“Aku
mengerti. Aku juga pernah merasakannya.” Apa dia sedang berbohong untuk
menghiburku? Kurasa tidak. Dia tidak pernah berbohong, tapi akulah yang selalu
berbohong. Bahkan masalah besar itu. Tangan besar yang dengan lembut mengelus
kepalaku sekarang ini, memang pernah merasakan hal yang sekarang aku rasakan. Sebuah
kerinduan yang sangat menyiksa. Sejak kecil, ayah, ibu, dan kakak laki-lakinya
meninggal karena kecelakaan, dan sekarang dia sendiri. Mungkin aku lebih
beruntung karena mungkin masih bisa bertemu dengan mereka suatu hari nanti.
Suatu hari, entah kapan, entah dimana, dan bagaimana caranya. Tapi untuk
sekarang, bolehkan aku menangis? Kepalaku terlalu sakit dengan semua tekanan
yang aku rasakan. Aku harap aku diizinkan.
***
Ponsel
kumainkan di sudut kamar yang mulai berdebu. Kamar yang tidak terlalu besar dan
penuh dengan barang-barang. Lemari tiga pintu yang menjulang, hampir menyentuh
langit-langit. Tempat tidur untuk satu orang, meja belajar, dan lemari kecil
lima susun berwarna biru.
Aku duduk
bersila dan membuang pandanganku keluar jendela, pintu sengaja kubuka agar
orang lain mengerti apa yang aku rasakan. Terlihat konyol, memang. Perlahan, sinar
matahari menerobos masuk dan membanjiri seisi ruangan. Sinar yang membuat
mataku sedikit menyipit. Kutarik kedua lututku mendekat, kupeluk, dan aku
kembali menangis seperti drama keluarga yang mengharukan. Otakku tak mampu memberi perintah agar sudut
mataku berhenti mengeluarkan cairan yang tidak pernah habis.
“Aku rindu. Aku butuh liburan. Aku ingin sekolah lagi. Aku
kesepian. Aku bosan. Aku– ” Belum sempat aku mengeluarkan semua perkataan dalam
mulutku, aku sudah dikejutkan oleh suara ketukan kaca jendela. Berdiri
seseorang yang aneh, orang yang sulit aku mengerti jalan pikirannya.
“Butuh
pundak?” tawarnya pelan setengah menggoda. Aku tersenyum simpul lalu beranjak
keluar menemuinya. Berjalan-jalan santai menuju kedai kopi di sekitar rumahku. “Kepalamu
masih sakit?” Aku menopang keningku, mengiyakan pertanyaannya barusan. Dia
mendesah, desahan yang cukup kuat. Kemudian ia mendorong kursinya ke belakang
dan memutari meja. Kedua tangannya menjulur ke depan meraih kepalaku lalu
memijatnya. Dia sama sekali tidak malu atau risih dengan pandangan pengunjung
lain yang tiba-tiba melihat ke arah kami. Jujur, aku malu. Secangkir kopi hitam
kental dibiarkannya menguap melepas kalor begitu saja di seberang meja.
Selama
Bion memijat kepalaku, tentu saja aku terus memandang wajahnya, karena duduk kami
yang saling berhadapan. Keningnya yang tertutup poni, warna matanya yang sama
hitamnya dengan warna rambut, kulitnya yang putih, hidungnya yang mirip papan seluncur
di taman bermain, dan tatapannya yang tidak pernah berubah, selalu dalam.
Laki-laki ini sebenaranya jauh lebih kesepian dari pada aku, tapi kenapa dia
tidak menangis? Apa karna dia laki-laki? Tapi apa salahnya kalau laki-laki
menangis? Mereka tidak akan dianggap lemah hanya karna menangis kan? Kalau
tidak, untuk apa Tuhan menciptakan kantong air mata disudut mata laki-laki?
Kugenggam
pergelangan tangannya, menghentikan kedua jarinya menari memutar di atas
pelipis mataku. “Sudah, aku sudah lebih baik. Terima kasih,” seruku pelan,
berusaha membuang pikiran yang baru saja merayap masuk ke otakku. Bion menarik
cangkir itu mendekat. Ia masih saja menyesap kopinya yang sudah dingin seperti
kopi itu baru saja dihidangkan oleh pelayan.
“Itu
sudah dingin, pesanlah secangkir kopi baru. Kali ini aku yang bayar.”
“Tidak
perlu. Ini masih nikmat. Panas atau dinginnya kopi mungkin berpengaruh pada
rasanya, tapi tidak pada kenikmatannya. Kenikmatan itu bisa kita buat sendiri
dengan bagaimana cara kita menikmatinya.”
“Ha ha
ha.. Kau bukan bicara tentang kopi kan? Yah, mungkin memang aku yang salah.”
Aku membuang muka ke luar jendela. Sementara dia masih menopang kepalanya
dengan punggung tangan, setidaknya itu yang aku lihat dari bayangan yang
memantul melalui kaca. Dentingan pisau di meja sebelah memecahkan es yang
membekukanku sesaat. “Memang, aku yakin kau pasti paham. Tapi aku ragu, kalau
kepalamu sudah lebih baik, sini aku pijat lagi.” Ia mengambil posisi seperti
tadi lengkap dengan senyumannya.
“Ahh,
sudah. Aku mau pulang.” Dalam satu sentakan aku mendorong kursi ke belakang dan
langsung berdiri, nyaris membuatku hampir terjungkal. Berderap ke pintu geser
lebih dulu sebelum Bion melihat wajahku yang seketika merah.
***
19 MEI.
Aku meremas perutku erat-erat. Raungan suara perut yang semakin mengeras,
sukses membuatku berharap bumi terbelah dan menelanku. Kue dengan sepasang
angka di atasnya, menopang api yang dari tadi terus bergoyang. Bukannya tidak
ada makanan yang bisa kumakan untuk mengganjal cacing-cacing di perut, tapi aku
ingin memotong dan memakan kue istimewa ini dengan orang itu. Aku bosan. Aku
bosan sendirian. Aku ingin bermain seperti mereka, dua anak kecil yang berebut
bola sambil berteriak-teriak penuh kesenangan.
“Astaga,
kenapa kepalaku selalu sakit?” desahku keras yang tanpa sengaja memadamkan dua
sulutan api. Asap putih membumbung tinggi, lalu menghilang. Aku mendesah sekali
lagi. Meskipun ada dua manusia yang sering menyebut diri mereka sebagai orang
tua, aku tetap merasa sendirian. Mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka
sendiri-sendiri.
“Kalau butuh liburan, ayo!” katanya dari luar
jendela seperti biasa dengan senyum cerah yang menghiasi wajahnya yang menarik.
Deretan gigi yang putih semakin membuatnya terlihat sempurna. Aku membalas
senyumannya meski hanya senyum palsu sebelum bangkit dari tempat tidur. Tidak
akan ada yang sadar kalaupun aku pergi. Mereka akan mengira aku sedang tidur
cantik selama pintu ini tertutup.
Melewati
jalan yang hanya cukup untuk dilewati satu mobil, Bion menggoncengku dengan
sepada motor antiknya. Dia sama sekali tidak peduli dengan ucapan orang lain
tentang sepedanya, baginya bukan baru atau lama tapi berguna atau tidak. Kadang
dengan bangga, dia berani bertaruh, dia bertaruh jika harga sepeda motornya
jauh lebih mahal daripada harga sepeda motor Jack, teman sekelasnya yang lebih
cerewet dari perempuan.
Suara
kicauan burung yang memenuhi pinggir jalan terdengar tidak semerdu saat duduk
menghabiskan waktu di pinggir sungai sambil memandangi matahari yang mulai
kembali turun. Entah apa yang dipikirkan Bion, tapi dia lebih suka lewat jalan
sempit dikawasan pasar burung daripada jalan raya yang lebih cepat. Aku
mendorong jok belakang sepedanya, bukan karena mogok, tapi di pasar burung ini,
tidak ada kendaraan yang boleh dinaiki. Ini menjadi alasan kenapa aku heran
Bion suka melewati jalan ini.
“Jadi
masalahmu apa? Aku yakin ini bukan hanya karena kakakmu kan?” katanya setelah
kami duduk, melepas lelah. Aku mengangguk. “Mungkin aku hanya lelah.” Raut
wajahnya masih sama, lalu tiba-tiba dia tersenyum.
“Kau
mungkin butuh pundak.” Dia menarik kepalaku untuk bersandar di pundaknya. Aku
hanya tertawa, menggeser posisi dudukku agar mendapat tempat yang nyaman dalam rangkulannya.
Tangan kirinya yang melingkar di belakang punggungku, menepuk-nepuk lenganku
pelan seolah ingin menidurkanku dalam alunan suara merdunya. Ia menggumamkan
nada lagu kesukaannya, lagu yang katanya bisa menenangkan pikirannya.
Dua anak
kecil itu berlari ke arah kami, sepertinya mereka kembar. Dilihat dari manapun
mereka memang mirip. “Aku rasa yang laki-laki adalah kakaknya.” Aku menegakkan
badanku, selagi Bion membungkuk untuk mengambil bola biru yang menggelinding
dan berhenti di antara kedua kakinya. Mereka semakin dekat, suara hentakan
sepatu mereka bercampur dengan suara serangga yang terdengar tidak
beraturan. Aku tersenyum, sedikit
bergeser agar mereka berdua bisa duduk di antara kami. Bion menyodorkan permen
kapas miliknya dan aku buru-buru mengikutinya. Noni dan Adit, itu nama mereka.
Saat orang-orang melihat kami, mereka semua tersenyum dan kadang tanpa segan
berkata pada Bion: anak-anak yang manis, kalian pasti bahagia. Aku tersentak,
apa yang baru saja orang ini katakan? Bahkan kalaupun itu benar, usiaku baru 21
tahun, terlalu muda. Bion tertawa, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas bersamaan.
“Terima kasih, saya harap begitu.”
Bion
masih dengan tawanya menoleh ke arahku. “Apa aku salah?” tanyanya setelah
ibu-ibu pembawa tas kulit coklat itu pergi. Noni dan Adit kini ikut menatapku,
sebelum akhirnya wanita berusia sekitar tiga puluh tahun dengan rambut dikuncir
ekor kuda berdiri tidak jauh dari tempat kami berempat. Noni dan Adit langsung
loncat dan memeluk wanita itu, permen kapas jelas langsung menempel pada
ujung-ujung baju ibu mereka. “Mama, aku diberi permen ini sama kakak itu,” aku
Noni dengan mata berbinar-binar.
“Sudah
bilang terima kasih belum?” Seperti mendapat ultimatum, kedua anak itu langsung
berputar dan menatap kami, melepaskan pelukan dari ibu mereka. Bersamaan mereka
memasang wajah paling menggemaskan, “Terima kasih kakak.”
“Kapan-kapan
main lagi ya?” lanjut Adit dengan antusias.
“Siap
bos!!” sahut Bion menirukan cara Adit berbicara, ditambah dengan meletakkan
tangannya di samping pelipis mata seperti orang sedang memberi hormat.
Senja
mulai menghilang, bahkan coretan warna merah sudah memudar sejak tadi, perlahan
berubah menjadi warna ungu yang lama-kelamaan menghitam. Lampu di tepi sungai
secara otomatis mulai menyala. Kami berdua masih duduk di posisi dan jarak yang
sama seperti saat Noni dan Adit masih berada di tengah-tengah kami. Bion
menyilangkan kedua tangannya, memenjamkan mata dan mulai melakukan kebiasaannya
seperti biasa, kebiasaan yang sering kusebut dengan bertapa.
Aku
memainkan kakiku, menyilangkannya lalu melepaskannya lagi. Sesekali
menendang-nendang tanah untuk mengusir rasa bosanku menunggunya kembali.
“Mau makan?” Aku memutar kepalaku seketika. Dia
sudah berdiri membelakangi lampu bulat, memberikan bayangan panjang ke arahku.
“Sudah
kembali? Kau pikir aku harus menunggumu berapa lama sampai kau kembali dari
pertapaanmu, Tuan Bion?” sindirku yang sama sekali tidak dipedulikannya. Dia
malah memilih menghela nafas panjang sambil meregangkan tubuhnya, melirik
sekilas lalu menarik tanganku erat seolah dia sedang tegang. Tapi kenapa dia
harus tegang?
“Lalu?”
Aku balik bertanya, “Lalu, apa masalahmu? Kau tampak berbeda,” lanjutku. Dia
meletakan sendok persis di sebelah garpu seperti tatanan semula. Mengaitkan
kesepuluh jemarinya dan menatapku, “Beda? Apa yang berbeda?”
“Semuanya.
Caramu, sikapmu, tingkahmu, kebiasaanmu, bahkan cara jalanmu.” Aku tidak
menyangka kalau dia akan memasang senyuman itu. Biasanya dia akan tertawa lalu
memukul kepalaku kalau ucapanku mulai melantur. Dia menganggukan kepalanya
beberapa kali, menunjukan seolah ia setuju.
“Jadi
selama ini, kau selalu memperhatikan dan menghafalkan setiap gerakanku?”
“Sudah
berapa lama aku mengenalmu?! Itu bukan waktu yang sebentar untuk mengenal
kebiasaanmu,” tukasku.
“Lalu
sudah berapa lama kau mengenal orang tuamu? Pasti waktu yang lebih lama dari pada
kau mengenalku kan?” Bion melempar tatapannya yang tajam, sorot mata yang mampu
mengunci mulutku agar tidak mengelak atau berbohong. Aku tertegun. Jantungku berdegub lebih cepat
dan nafasku berubah tidak beraturan.
“Jawab
aku, dan aku akan mengatakan apa masalahku.” Pengunjung kafe silih berganti
berdatangan. Meja di sebelahku yang awalnya diduduki sepasang remaja sekarang
berubah menjadi satu keluarga yang salah satu anaknya mengingatkanku pada Adit,
tapi bedanya anak itu lebih besar. Begitupun meja di belakang Bion, sudah tiga
kali berganti pemilik, sementara aku belum menemukan jawaban yang tepat. Disisi
lain meja, Bion masih setia menunggu jawaban keluar dari mulutku.
“Berapa
lama aku harus menunggu kau selesai mengamati pengunjung yang datang lalu kau
baru akan mengatakan jawabanmu, Nona April?” katanya sembari tersenyum tipis,
mengingatkanku akan perkataanku tadi. Aku membalas senyumannya dengan senyuman
singkat lalu kutenggak air putih dari dalam gelas. Tenggorokanku seakan sangat
kering. Aku mencoba menenangkan pikiranku sendiri meskipun aku masih bisa
merasakan tanganku bergetar.
“Aku
sudah mengenal mereka selama 21 tahun. Tapi hanya sebatas mengenal, hanya
merasa tahu bahwa mereka orang tuaku. Tapi aku tidak bisa memahami dan mengenal
siapa mereka sebenarnya,” aku memijat-mijat kepalaku yang tiba-tiba terasa
sakit, lalu melanjutkan, “aku bukan kakakku yang bisa mengiyakan atau menolak
keinginan mereka. Aku tidak pernah bilang iya, tapi aku juga tidak bisa menolaknya.
Kau tahu, aku ini seperti manekin yang menurut akan dibuat seperti apa oleh
pemilik toko.” Aku harap, sekarang dia bisa mengerti apa yang aku rasakan.
Benar-benar berhenti bertanya apa masalahku.
***
Diluar
dugaanku, pembicaraan minggu lalu itu belum selesai. Aku masih belum bisa
membungkam mulutnya. Di perpustakan kampus, satu-satunya tempat untuk
mendapatkan ketenangan. Sinar matahari yang masuk dari celah-celah jendela
membuat ruangan ini terlihat lebih menenangkan. Sesekali diputarkan lagu-lagu ballat sebagai teman membaca. Buku-buku
yang belum sempat dikembalikan ke asalnya menumpuk setinggi menara kembar.
Bahkan untuk melihat wajah orang itu, aku harus memfokuskan mataku di antara kedua
menara.
Agar
tidak terlalu mencolok, aku sesekali memalingkan konsentrasiku ke komputer
jinjingku. Dan aku langsung menelan ludahku berat, saat melihat folder yang
seharusnya sudah aku hapus itu, masih ada. Mungkin semua ketakutan,
kekhawatiranku selama ini berasal dari folder ini. Sudah kuputuskan aku harus
menghapusnya dan menganggap aku tidak pernah mengetahui semua ini. Tombol hapus
di aplikasi penghapus file permanent kupilih. “Selamat tinggal.”
“Selamat
tinggal? Untuk apa?” Suara itu menghancurkan konsentrasiku. Mouse kuarahkan ke sembarang tempat untuk
menyembunyikan aplikasi tersebut. Setenang mungkin, aku mengatur nafasku, lalu
menoleh ke arahnya.
“Sejak
kapan kau berdisi disitu?”
“Sejak
kapan ya?” Dia memutar bola matanya, lalu menggeser tempat duduk dan bersantai
sambil membuka novel detektif seperti biasa. “Sejak kau memilih tombol hapus
lalu berkata ‘selamat tinggal’. Memangnya itu folder apa?”
“Bukan
apa-apa. Bukan hal penting. Hanya sampah, dan akan segera kuhapus,” jawabku
sekenanya. Terdengar jelas jawaban itu dari seseorang yang ingin melarikan diri
dari persidangan. Aku tidak berani membalas tatapan matanya, aku justru
berusaha mencari kesempatan untuk bisa melihatnya lagi, Garry. Setelah aku tahu
siapa Garry, aku selalu ingin berada didekatnya, memanggil namanya,
bercengkrama santai, atau bahkan duduk disebelahnya tanpa canggung. Tapi mungkinkah,
hal itu akan terjadi? Jika kulakukan itu, dia pasti mengira aku adalah seniornya
yang aneh. Aku hanya takut dia terusik dan menjauh, meskipun jarak kami memang
jauh.
“Hey, apa
yang kau lamunkan? Aku kemari ingin melanjutkan percakapan waktu itu. Kurasa
aku belum bisa menemukan jawabanmu yang sebenarnya.”
“Aku akan
menceritakan semuanya, semuanya. Tapi nanti, setelah aku menemukan mereka yang
sebenarnya. Mereka yang mengetahui masalaluku.”
“Siapa
yang kau maksud?” Ia berdiri, mencondongkan badannya ke arahku. Ujung hidungnya
yang mancung nyaris menyentuh ujung hidungku. Matanya menerawang jauh ke dalam
mataku seolah mencari jawaban. Mungkin dia sudah tidak sabar, dia memang sudah
terlalu lama menunggu. Sudah dua tahun, dia selalu bertanya ‘apa masalahku’. Aku
berusaha pergi, tapi tidak bisa, cengkramannya terlalu kuat menahan pundakku.
Jadi saat ini, aku hanya bisa menunduk sambil menyembunyikan rasa ketakutanku
yang semakin besar. Aku rasa apa yang aku dan dia rasakan itu sama, bahwa
tubuhku memang gemetar. “Kau menyukainya? Katakan apa kau menyukai laki-laki
diseberang sana?!” suaranya meninggi. Cukup keras untuk membuatku ketakutan.
“Ya.”
“Kau
menyayanginya? Benar-benar menyayanginya?”
“Tentu.”
Seketika aku bisa merasakan otot-otot pundakku kembali normal. Aliran darah
seolah kembali lancar. Aku mengangkat kepalaku, melihat dirinya yang sudah
berdiri sedikit lebih jauh dariku. Perasaan apa ini? Kenapa berbeda? Dia
seperti bukan sosok yang aku kenal, dia kembali menjadi Bion saat pertama kali
kami bertemu. Saat dirinya masih terlalu dingin dan pendiam.
“Baiklah.
Aku tidak akan mengganggumu dengan pertanyaan yang akan menyudutkanmu. Kuharap
kau menemukan orang yang kau maksud dan kembali ceria.”
***
Kurasa
ini waktunya. Aku ingin menyelesaikan ini semua. Menyelesaikannya segera,
seminggu lagi orang itu datang dan aku ingin menyambutnya dengan diriku yang
baru. Aku berdiri di depan pagar besi tinggi. Rumah besar yang tertutup dari
ramainya lingkungan sekitar. Semua berkas itu sudah berada di dalam tas di punggungku.
Kukumpulkan semua kekuatan dan keyakinanku bahwa hari ini aku pasti berhasil,
di dalam tali tas yang kugenggam erat ini.
Jari
telunjukku menekan tombol bell
beberapa kali dan akhirnya ada seorang laki-laki paruh baya keluar beserta
seekor anak anjing jenis German Shepherd
di belakangnya. Tidak heran jika rumah ini memiliki anjing jenis ini. tapi
sayang ukuran tubuhnya masih kecil, mungkin mereka baru memilikinya atau ini
anak dari anjing mereka sebelumnya. Anjing itu terlihat jinak, tidak menyerang
atau menggonggong saat bertemu orang asing di dekatnya. “Siapa? Ada apa?”
Perhatianku akan anjing itu menguap, dan aku segera kembali pada tujuan utamaku
kemari.
“Benar
ini rumah Nyonya Elika Primadona? Kalau benar, boleh saya bertemu dengannya?’
Laki-laki tua itu menelanjangiku dari bawah ke atas lalu kembali ke bawah.
Seakan dia sudah terbiasa melakukan hal ini saat ada yang ingin bertemu dengan
wanita itu. Dia terlihat berpikir keras, memutuskan apakah aku boleh bertemu
dengan wanita di dalam rumah ini atau tidak. Tak lama, dia menggerakan kakinya
kebelakang, memberi isyarat agar hewan peliharaannya menyingkir, memberikan
jalan, begitupun dirinya sendiri. “Silahkan.”
Aku
berhenti, menunggunya menutup pintu dan menunjukan jalan di depanku. Rumah yang
luar biasa. Halaman rumput yang luas, bangunan bergaya Eropa, kolam air mancur
lengkap dengan taman bunganya. Jalan setapak memisahkan rumah induk dan rumah
kecil disebelah kanannya.
“Mari
ikut saya.”
“Hah?
Ba-baik,” jawabku buru-buru sambil menahan malu karena ketahuan sedang
memperhatikan sekeliling rumah yang benar-benar menakjubkan.
Inikah wanita yang bernama Erika Primadona?
Diakah wanita itu?, pikirku. Meja kaca memisahkan tempat dudukku dengan
mereka. Laki-laki itu duduk di sebelah wanita yang terlihat sangat lemah, syal
melilit di lehernya, jaket tebal membungkus tubuhnya yang kecil, kaca mata baca
masih bertengger ditulang hidungnya, sedikit merosot ke bawah, dan seekor anak
anjing– kalau tidak salah– jenis Pomeranian
di atas pangkuannya. Aku
merapatkan kakiku, meletakan kedua tangan di atas pangkuan, menunggu salah satu
dari tuan rumah memulai bicara, setidaknya bertanya apa tujuanku datang kemari.
“Apa yang
membawa anak manis tapi terlihat kesepian sepertimu datang kemari?” Akhirnya,
aku tersenyum sebelum menjawab, “Saya ingin bertemu dengan Erika Primadona. Apa
saya bisa bertemu dengannya?” Laki-laki dan wanita itu seketika berubah murung.
Laki-laki itu menarik cerutu lepas dari mulutnya, menjepitkan di antara dua
jemari, asapnya membumbung ke atas. Sementara wanita ini berkali-kali
membenarkan kacamata bacanya seperti tidak nyaman, badan kecilnya gemetar. Aku
mengeluarkan beberapa lembar berkas, berisi informasi-informasi yang ingin
kutanyakan kebenarannya. Tuan rumah wanita lebih dulu mengambil kertas-kertas
tersebut dari pada yang laki-laki. Membacanya dengan teliti, sesekali ia
melebarkan matanya lalu dengan cepat mengembalikan ke ukuran semula.
“Apa kau
lahir tanggal 6 April, 21 tahun lalu?”
“Ya. Memangnya
ada apa?”
“Kalau
begitu sayang,” ia meletakan kembali kertas-kertas itu, mendorongnya lebih
dekat denganku, “orang yang kau cari tidak ada. Dan maaf, saya bukan orang itu.
Saya Sesilia dan dia adalah Henu Bramantiko. Aku rasa kau tahu siapa dia
daripada saya.” Laki-laki yang bernama Henu itu hanya duduk diam, pasrah, dan
sepertinya siap untuk menjawab semua bahkan menjelaskannya jika aku meminta.
Aku menahan rasa kecewaku dengan berharap kalau Henu Bramantiko, bisa
menjelaskannya. Dia membuka matanya, menatapku dengan mata sendu penuh
kesedihan.
“Orang
yang kau cari itu sudah meninggal 21 tahun lalu tanggal 7 April. Suaminya,
Angga Bramantiko dilanda tekanan yang berat. Sehari setelah melahirkan anak
pertama mereka, istri yang paling dicintainya meninggal. Tiga bulan setelah
itu, anak yang paling didambakannya dan kenangan terakhir dari istrinya hilang.
Berkali-kali ia sempat ingin bunuh diri tapi selalu gagal. Lalu,” ia meletakan
cerutunya di asbak putih lalu kembali bersandar, “ia memutuskan menikah dengan
wanita ini, Sesilia.” Aku mengalihkan pandanganku ke Sesilia, rahangnya
bergerak, aku yakin dia sedang menahan sesuatu dengan giginya. Entah apa itu,
yang jelas pasti berasal dari masalalunya.
“Jadi apakah
Anda, ayah dari Angga Bramantiko? Kalau iya, kemana anak Anda sekarang?” Dia
mengangguk beberapa kali. Mengambil kembali cerutunya dan ia hisap.
“Dia
meninggal setahun lalu. Pernikahannya dengan Sesilia, dikaruniai seorang anak
laki-laki yang bernama Garry.” Aku menghela nafas panjang, sesuai yang aku
perkirakan, dia memang saudaraku. Lengkap sudah perasaan bercampur di dalam
hatiku. Aku menyapu air mata yang hampir keluar dari pelupuk mata secepat
mungkin. Berusaha tampak tegar meskipun aku tetap berakhir sia-sia.
“Berarti
Anda kakek saya? Ayah dari ayah saya?”
“Ya.
Jangan salahkan ayahmu. Dia sudah mencarimu bertahun-tahun, sampai dia
meninggalpun dia masih ingin menemukanmu. Maafkan dia. Jangan membencinya.”
“Tidak
mungkin. Saya kemari hanya ingin tahu, apakah mereka berdua memang orang tua
kandung saya atau bukan. Ya, meskipun mereka sudah tidak ada, saya tetap
bahagia. Lalu,” Erika mengangkat kepalanya, membalas tatapan mataku, “anak
Anda, Garry. Dia adalah mahasiswa yang rajin. Anda pantas bangga padanya.”
“Sepertinya
kau memang sudah mendapatkan banyak informasi. Dan jangan khawatir, dia sudah
tahu kalau sebenarnya dia mempunyai kakak tiri. Dia sedang mencarimu. Jika kau
tidak keberatan, sapalah dia sebagai seorang saudara.”
“Tentu.”
***
Awalnya
aku pikir semuanya sudah selesai. Aku pikir semuanya sudah berhasil kuselesaikan
tanpa membuat banyak hati terluka. Aku dan Gary sudah saling menyapa, bicara,
dan untuk beberapa kali kesempatan dia bahkan sempat mengantarku pulang. Beberapa
kali kesempatan pula, aku tinggal di rumah kakekku. Aku pikir setelah aku
berhasil mengetahui siapa diriku sebenarnya, aku bisa bersikap lebih menyayangi
mereka. Saat bertemu dengannya, aku pikir dialah orang yang pertama kali
menyelamatkan hidupku meskipun aku lupa bagaimana kejadian pastinya. Hubunganku
dengan orang tua angkatku pun berangsur membaik.
Tapi aku
salah, aku melukai hati orang yang paling aku sayangi. Setelah dia pergi dari
perpustakan saat itu, sampai sekarang sekalipun aku belum pernah melihatnya
lagi. Duduk di jembatan kayu yang membelah sungai besar. Airnya begitu jernih,
batu-batu besar memecah kuatnya arus. Kutiup bunga yang sekilas terlihat
seperti dandelion, tapi kurasa bukan,
itu hanyalah bunga liar.
“Apa kau
merindukanku?” Aku membelalak, dia berdiri sambil membuka tangannya lebar
dengan senyuman yang tidak bisa kulupakan. Kulempar tubuhku dalam dekapannya.
“Tidak.
Aku tidak merindukanmu. Tapi aku sangat merindukanmu. Sangat.”
“Ya, aku
tahu. Kau pasti akan merindukan pangeran sepertiku.” Aku menarik diri dari
pelukkannya lalu kembali duduk, dia mengikutiku. Duduk persis di sebelahku.
Kedua kaki kami mengayun-ayun bebas di bawah. Sementara daguku menempel di tali
tampar jembatan, aku menceritakan semua masalahku. Aku sudah berjanji akan
menceritakan semuanya setelah masalah ini kuanggap selesai. Dia hanya diam, tidak
memotong perkataanku sama sekali.
“Begitulah.
Maaf, tidak memberitahumu.”
“Tidak
masalah, karena sekarang kau sudah menepati janjimu. Dan aku merasa lega,
sangat lega. Setidaknya kau menyayangi Garry dalam maksud lain.”
“Ahh iya,”
jawabku singkat.
“Keluarga
bukan tentang darah siapa yang mengalir di dalam tubuhmu. Tapi siapa yang kau sayangi
dan menyayangimu,” ucapnya bijak.
“Dan iya,
apa kau memberitahu keluarga barumu kalau kau sudah tahu identitasmu yang sebenarnya?”
Aku menggeleng lemah. “Biarlah, aku juga ingin mempunyai sebuah rahasia
sendiri. Yah meskipun aku sudah membaginya denganmu. Aku harap mereka tidak akan
pernah tahu.”
SELESAI ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar