Selasa, 29 April 2014

Mungkin Nanti



              Aku hanya bisa mengangguk saat Bion bertanya, apakah aku baru saja menangis. Kurasa ini akibat dari suasana hatiku yang buruk belakangan ini. Dia hanya mematung, memfokuskan pandangannya ke arahku. Setiap kubaca pesan di ponselku, air mataku selalu tidak terkendali. Kututup wajahku yang buruk dengan kedua tanganku. Tidak lama kemudian aku merasakan badanku tertarik ke samping dan menempel di pundak yang kuat, aku tahu, itu adalah pundak Bion.
              “Aku merindukannya. Aku sangat merindukannya,” ucapku pelan dan bergetar. Dadaku terasa sesak saat berusaha mengatakan kata ‘merindukannya’.

              “Aku mengerti. Aku juga pernah merasakannya.” Apa dia sedang berbohong untuk menghiburku? Kurasa tidak. Dia tidak pernah berbohong, tapi akulah yang selalu berbohong. Bahkan masalah besar itu. Tangan besar yang dengan lembut mengelus kepalaku sekarang ini, memang pernah merasakan hal yang sekarang aku rasakan. Sebuah kerinduan yang sangat menyiksa. Sejak kecil, ayah, ibu, dan kakak laki-lakinya meninggal karena kecelakaan, dan sekarang dia sendiri. Mungkin aku lebih beruntung karena mungkin masih bisa bertemu dengan mereka suatu hari nanti. Suatu hari, entah kapan, entah dimana, dan bagaimana caranya. Tapi untuk sekarang, bolehkan aku menangis? Kepalaku terlalu sakit dengan semua tekanan yang aku rasakan. Aku harap aku diizinkan.
                                                                              ***
              Ponsel kumainkan di sudut kamar yang mulai berdebu. Kamar yang tidak terlalu besar dan penuh dengan barang-barang. Lemari tiga pintu yang menjulang, hampir menyentuh langit-langit. Tempat tidur untuk satu orang, meja belajar, dan lemari kecil lima susun berwarna biru.
              Aku duduk bersila dan membuang pandanganku keluar jendela, pintu sengaja kubuka agar orang lain mengerti apa yang aku rasakan. Terlihat konyol, memang. Perlahan, sinar matahari menerobos masuk dan membanjiri seisi ruangan. Sinar yang membuat mataku sedikit menyipit. Kutarik kedua lututku mendekat, kupeluk, dan aku kembali menangis seperti drama keluarga yang mengharukan.  Otakku tak mampu memberi perintah agar sudut mataku berhenti mengeluarkan cairan yang tidak pernah habis.
              “Aku rindu.  Aku butuh liburan. Aku ingin sekolah lagi. Aku kesepian. Aku bosan. Aku– ” Belum sempat aku mengeluarkan semua perkataan dalam mulutku, aku sudah dikejutkan oleh suara ketukan kaca jendela. Berdiri seseorang yang aneh, orang yang sulit aku mengerti jalan pikirannya.
              “Butuh pundak?” tawarnya pelan setengah menggoda. Aku tersenyum simpul lalu beranjak keluar menemuinya. Berjalan-jalan santai menuju kedai kopi di sekitar rumahku. “Kepalamu masih sakit?” Aku menopang keningku, mengiyakan pertanyaannya barusan. Dia mendesah, desahan yang cukup kuat. Kemudian ia mendorong kursinya ke belakang dan memutari meja. Kedua tangannya menjulur ke depan meraih kepalaku lalu memijatnya. Dia sama sekali tidak malu atau risih dengan pandangan pengunjung lain yang tiba-tiba melihat ke arah kami. Jujur, aku malu. Secangkir kopi hitam kental dibiarkannya menguap melepas kalor begitu saja di seberang meja.
              Selama Bion memijat kepalaku, tentu saja aku terus memandang wajahnya, karena duduk kami yang saling berhadapan. Keningnya yang tertutup poni, warna matanya yang sama hitamnya dengan warna rambut, kulitnya yang putih, hidungnya yang mirip papan seluncur di taman bermain, dan tatapannya yang tidak pernah berubah, selalu dalam. Laki-laki ini sebenaranya jauh lebih kesepian dari pada aku, tapi kenapa dia tidak menangis? Apa karna dia laki-laki? Tapi apa salahnya kalau laki-laki menangis? Mereka tidak akan dianggap lemah hanya karna menangis kan? Kalau tidak, untuk apa Tuhan menciptakan kantong air mata disudut mata laki-laki?
              Kugenggam pergelangan tangannya, menghentikan kedua jarinya menari memutar di atas pelipis mataku. “Sudah, aku sudah lebih baik. Terima kasih,” seruku pelan, berusaha membuang pikiran yang baru saja merayap masuk ke otakku. Bion menarik cangkir itu mendekat. Ia masih saja menyesap kopinya yang sudah dingin seperti kopi itu baru saja dihidangkan oleh pelayan.
              “Itu sudah dingin, pesanlah secangkir kopi baru. Kali ini aku yang bayar.”
              “Tidak perlu. Ini masih nikmat. Panas atau dinginnya kopi mungkin berpengaruh pada rasanya, tapi tidak pada kenikmatannya. Kenikmatan itu bisa kita buat sendiri dengan bagaimana cara kita menikmatinya.”
              “Ha ha ha.. Kau bukan bicara tentang kopi kan? Yah, mungkin memang aku yang salah.” Aku membuang muka ke luar jendela. Sementara dia masih menopang kepalanya dengan punggung tangan, setidaknya itu yang aku lihat dari bayangan yang memantul melalui kaca. Dentingan pisau di meja sebelah memecahkan es yang membekukanku sesaat. “Memang, aku yakin kau pasti paham. Tapi aku ragu, kalau kepalamu sudah lebih baik, sini aku pijat lagi.” Ia mengambil posisi seperti tadi lengkap dengan senyumannya.
              “Ahh, sudah. Aku mau pulang.” Dalam satu sentakan aku mendorong kursi ke belakang dan langsung berdiri, nyaris membuatku hampir terjungkal. Berderap ke pintu geser lebih dulu sebelum Bion melihat wajahku yang seketika merah.
                                                                              ***
              19 MEI. Aku meremas perutku erat-erat. Raungan suara perut yang semakin mengeras, sukses membuatku berharap bumi terbelah dan menelanku. Kue dengan sepasang angka di atasnya, menopang api yang dari tadi terus bergoyang. Bukannya tidak ada makanan yang bisa kumakan untuk mengganjal cacing-cacing di perut, tapi aku ingin memotong dan memakan kue istimewa ini dengan orang itu. Aku bosan. Aku bosan sendirian. Aku ingin bermain seperti mereka, dua anak kecil yang berebut bola sambil berteriak-teriak penuh kesenangan.
              “Astaga, kenapa kepalaku selalu sakit?” desahku keras yang tanpa sengaja memadamkan dua sulutan api. Asap putih membumbung tinggi, lalu menghilang. Aku mendesah sekali lagi. Meskipun ada dua manusia yang sering menyebut diri mereka sebagai orang tua, aku tetap merasa sendirian. Mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri-sendiri.
               “Kalau butuh liburan, ayo!” katanya dari luar jendela seperti biasa dengan senyum cerah yang menghiasi wajahnya yang menarik. Deretan gigi yang putih semakin membuatnya terlihat sempurna. Aku membalas senyumannya meski hanya senyum palsu sebelum bangkit dari tempat tidur. Tidak akan ada yang sadar kalaupun aku pergi. Mereka akan mengira aku sedang tidur cantik selama pintu ini tertutup.
              Melewati jalan yang hanya cukup untuk dilewati satu mobil, Bion menggoncengku dengan sepada motor antiknya. Dia sama sekali tidak peduli dengan ucapan orang lain tentang sepedanya, baginya bukan baru atau lama tapi berguna atau tidak. Kadang dengan bangga, dia berani bertaruh, dia bertaruh jika harga sepeda motornya jauh lebih mahal daripada harga sepeda motor Jack, teman sekelasnya yang lebih cerewet dari perempuan.
              Suara kicauan burung yang memenuhi pinggir jalan terdengar tidak semerdu saat duduk menghabiskan waktu di pinggir sungai sambil memandangi matahari yang mulai kembali turun. Entah apa yang dipikirkan Bion, tapi dia lebih suka lewat jalan sempit dikawasan pasar burung daripada jalan raya yang lebih cepat. Aku mendorong jok belakang sepedanya, bukan karena mogok, tapi di pasar burung ini, tidak ada kendaraan yang boleh dinaiki. Ini menjadi alasan kenapa aku heran Bion suka melewati jalan ini.
              “Jadi masalahmu apa? Aku yakin ini bukan hanya karena kakakmu kan?” katanya setelah kami duduk, melepas lelah. Aku mengangguk. “Mungkin aku hanya lelah.” Raut wajahnya masih sama, lalu tiba-tiba dia tersenyum.
              “Kau mungkin butuh pundak.” Dia menarik kepalaku untuk bersandar di pundaknya. Aku hanya tertawa, menggeser posisi dudukku agar mendapat tempat yang nyaman dalam rangkulannya. Tangan kirinya yang melingkar di belakang punggungku, menepuk-nepuk lenganku pelan seolah ingin menidurkanku dalam alunan suara merdunya. Ia menggumamkan nada lagu kesukaannya, lagu yang katanya bisa menenangkan pikirannya.
              Dua anak kecil itu berlari ke arah kami, sepertinya mereka kembar. Dilihat dari manapun mereka memang mirip. “Aku rasa yang laki-laki adalah kakaknya.” Aku menegakkan badanku, selagi Bion membungkuk untuk mengambil bola biru yang menggelinding dan berhenti di antara kedua kakinya. Mereka semakin dekat, suara hentakan sepatu mereka bercampur dengan suara serangga yang terdengar tidak beraturan.  Aku tersenyum, sedikit bergeser agar mereka berdua bisa duduk di antara kami. Bion menyodorkan permen kapas miliknya dan aku buru-buru mengikutinya. Noni dan Adit, itu nama mereka. Saat orang-orang melihat kami, mereka semua tersenyum dan kadang tanpa segan berkata pada Bion: anak-anak yang manis, kalian pasti bahagia. Aku tersentak, apa yang baru saja orang ini katakan? Bahkan kalaupun itu benar, usiaku baru 21 tahun, terlalu muda. Bion tertawa, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas bersamaan. “Terima kasih, saya harap begitu.”
              Bion masih dengan tawanya menoleh ke arahku. “Apa aku salah?” tanyanya setelah ibu-ibu pembawa tas kulit coklat itu pergi. Noni dan Adit kini ikut menatapku, sebelum akhirnya wanita berusia sekitar tiga puluh tahun dengan rambut dikuncir ekor kuda berdiri tidak jauh dari tempat kami berempat. Noni dan Adit langsung loncat dan memeluk wanita itu, permen kapas jelas langsung menempel pada ujung-ujung baju ibu mereka. “Mama, aku diberi permen ini sama kakak itu,” aku Noni dengan mata berbinar-binar.
              “Sudah bilang terima kasih belum?” Seperti mendapat ultimatum, kedua anak itu langsung berputar dan menatap kami, melepaskan pelukan dari ibu mereka. Bersamaan mereka memasang wajah paling menggemaskan, “Terima kasih kakak.”
              “Kapan-kapan main lagi ya?” lanjut Adit dengan antusias.
              “Siap bos!!” sahut Bion menirukan cara Adit berbicara, ditambah dengan meletakkan tangannya di samping pelipis mata seperti orang sedang memberi hormat.

              Senja mulai menghilang, bahkan coretan warna merah sudah memudar sejak tadi, perlahan berubah menjadi warna ungu yang lama-kelamaan menghitam. Lampu di tepi sungai secara otomatis mulai menyala. Kami berdua masih duduk di posisi dan jarak yang sama seperti saat Noni dan Adit masih berada di tengah-tengah kami. Bion menyilangkan kedua tangannya, memenjamkan mata dan mulai melakukan kebiasaannya seperti biasa, kebiasaan yang sering kusebut dengan bertapa.
              Aku memainkan kakiku, menyilangkannya lalu melepaskannya lagi. Sesekali menendang-nendang tanah untuk mengusir rasa bosanku menunggunya kembali.
               “Mau makan?” Aku memutar kepalaku seketika. Dia sudah berdiri membelakangi lampu bulat, memberikan bayangan panjang ke arahku.
              “Sudah kembali? Kau pikir aku harus menunggumu berapa lama sampai kau kembali dari pertapaanmu, Tuan Bion?” sindirku yang sama sekali tidak dipedulikannya. Dia malah memilih menghela nafas panjang sambil meregangkan tubuhnya, melirik sekilas lalu menarik tanganku erat seolah dia sedang tegang. Tapi kenapa dia harus tegang?
              “Lalu?” Aku balik bertanya, “Lalu, apa masalahmu? Kau tampak berbeda,” lanjutku. Dia meletakan sendok persis di sebelah garpu seperti tatanan semula. Mengaitkan kesepuluh jemarinya dan menatapku, “Beda? Apa yang berbeda?”
              “Semuanya. Caramu, sikapmu, tingkahmu, kebiasaanmu, bahkan cara jalanmu.” Aku tidak menyangka kalau dia akan memasang senyuman itu. Biasanya dia akan tertawa lalu memukul kepalaku kalau ucapanku mulai melantur. Dia menganggukan kepalanya beberapa kali, menunjukan seolah ia setuju.
              “Jadi selama ini, kau selalu memperhatikan dan menghafalkan setiap gerakanku?”
              “Sudah berapa lama aku mengenalmu?! Itu bukan waktu yang sebentar untuk mengenal kebiasaanmu,” tukasku.
              “Lalu sudah berapa lama kau mengenal orang tuamu? Pasti waktu yang lebih lama dari pada kau mengenalku kan?” Bion melempar tatapannya yang tajam, sorot mata yang mampu mengunci mulutku agar tidak mengelak atau berbohong.  Aku tertegun. Jantungku berdegub lebih cepat dan nafasku berubah tidak beraturan.
              “Jawab aku, dan aku akan mengatakan apa masalahku.” Pengunjung kafe silih berganti berdatangan. Meja di sebelahku yang awalnya diduduki sepasang remaja sekarang berubah menjadi satu keluarga yang salah satu anaknya mengingatkanku pada Adit, tapi bedanya anak itu lebih besar. Begitupun meja di belakang Bion, sudah tiga kali berganti pemilik, sementara aku belum menemukan jawaban yang tepat. Disisi lain meja, Bion masih setia menunggu jawaban keluar dari mulutku.
              “Berapa lama aku harus menunggu kau selesai mengamati pengunjung yang datang lalu kau baru akan mengatakan jawabanmu, Nona April?” katanya sembari tersenyum tipis, mengingatkanku akan perkataanku tadi. Aku membalas senyumannya dengan senyuman singkat lalu kutenggak air putih dari dalam gelas. Tenggorokanku seakan sangat kering. Aku mencoba menenangkan pikiranku sendiri meskipun aku masih bisa merasakan tanganku bergetar.
              “Aku sudah mengenal mereka selama 21 tahun. Tapi hanya sebatas mengenal, hanya merasa tahu bahwa mereka orang tuaku. Tapi aku tidak bisa memahami dan mengenal siapa mereka sebenarnya,” aku memijat-mijat kepalaku yang tiba-tiba terasa sakit, lalu melanjutkan, “aku bukan kakakku yang bisa mengiyakan atau menolak keinginan mereka. Aku tidak pernah bilang iya, tapi aku juga tidak bisa menolaknya. Kau tahu, aku ini seperti manekin yang menurut akan dibuat seperti apa oleh pemilik toko.” Aku harap, sekarang dia bisa mengerti apa yang aku rasakan. Benar-benar berhenti bertanya apa masalahku.
                                                                              ***
              Diluar dugaanku, pembicaraan minggu lalu itu belum selesai. Aku masih belum bisa membungkam mulutnya. Di perpustakan kampus, satu-satunya tempat untuk mendapatkan ketenangan. Sinar matahari yang masuk dari celah-celah jendela membuat ruangan ini terlihat lebih menenangkan. Sesekali diputarkan lagu-lagu ballat sebagai teman membaca. Buku-buku yang belum sempat dikembalikan ke asalnya menumpuk setinggi menara kembar. Bahkan untuk melihat wajah orang itu, aku harus memfokuskan mataku di antara kedua menara.
              Agar tidak terlalu mencolok, aku sesekali memalingkan konsentrasiku ke komputer jinjingku. Dan aku langsung menelan ludahku berat, saat melihat folder yang seharusnya sudah aku hapus itu, masih ada. Mungkin semua ketakutan, kekhawatiranku selama ini berasal dari folder ini. Sudah kuputuskan aku harus menghapusnya dan menganggap aku tidak pernah mengetahui semua ini. Tombol hapus di aplikasi penghapus file permanent kupilih. “Selamat tinggal.”
              “Selamat tinggal? Untuk apa?” Suara itu menghancurkan konsentrasiku. Mouse kuarahkan ke sembarang tempat untuk menyembunyikan aplikasi tersebut. Setenang mungkin, aku mengatur nafasku, lalu menoleh ke arahnya.
              “Sejak kapan kau berdisi disitu?”
              “Sejak kapan ya?” Dia memutar bola matanya, lalu menggeser tempat duduk dan bersantai sambil membuka novel detektif seperti biasa. “Sejak kau memilih tombol hapus lalu berkata ‘selamat tinggal’. Memangnya itu folder apa?”
              “Bukan apa-apa. Bukan hal penting. Hanya sampah, dan akan segera kuhapus,” jawabku sekenanya. Terdengar jelas jawaban itu dari seseorang yang ingin melarikan diri dari persidangan. Aku tidak berani membalas tatapan matanya, aku justru berusaha mencari kesempatan untuk bisa melihatnya lagi, Garry. Setelah aku tahu siapa Garry, aku selalu ingin berada didekatnya, memanggil namanya, bercengkrama santai, atau bahkan duduk disebelahnya tanpa canggung. Tapi mungkinkah, hal itu akan terjadi? Jika kulakukan itu, dia pasti mengira aku adalah seniornya yang aneh. Aku hanya takut dia terusik dan menjauh, meskipun jarak kami memang jauh.
              “Hey, apa yang kau lamunkan? Aku kemari ingin melanjutkan percakapan waktu itu. Kurasa aku belum bisa menemukan jawabanmu yang sebenarnya.”
              “Aku akan menceritakan semuanya, semuanya. Tapi nanti, setelah aku menemukan mereka yang sebenarnya. Mereka yang mengetahui masalaluku.”
              “Siapa yang kau maksud?” Ia berdiri, mencondongkan badannya ke arahku. Ujung hidungnya yang mancung nyaris menyentuh ujung hidungku. Matanya menerawang jauh ke dalam mataku seolah mencari jawaban. Mungkin dia sudah tidak sabar, dia memang sudah terlalu lama menunggu. Sudah dua tahun, dia selalu bertanya ‘apa masalahku’. Aku berusaha pergi, tapi tidak bisa, cengkramannya terlalu kuat menahan pundakku. Jadi saat ini, aku hanya bisa menunduk sambil menyembunyikan rasa ketakutanku yang semakin besar. Aku rasa apa yang aku dan dia rasakan itu sama, bahwa tubuhku memang gemetar. “Kau menyukainya? Katakan apa kau menyukai laki-laki diseberang sana?!” suaranya meninggi. Cukup keras untuk membuatku ketakutan.
              “Ya.”
              “Kau menyayanginya? Benar-benar menyayanginya?”
              “Tentu.” Seketika aku bisa merasakan otot-otot pundakku kembali normal. Aliran darah seolah kembali lancar. Aku mengangkat kepalaku, melihat dirinya yang sudah berdiri sedikit lebih jauh dariku. Perasaan apa ini? Kenapa berbeda? Dia seperti bukan sosok yang aku kenal, dia kembali menjadi Bion saat pertama kali kami bertemu. Saat dirinya masih terlalu dingin dan pendiam.
              “Baiklah. Aku tidak akan mengganggumu dengan pertanyaan yang akan menyudutkanmu. Kuharap kau menemukan orang yang kau maksud dan kembali ceria.”
                                                                              ***
              Kurasa ini waktunya. Aku ingin menyelesaikan ini semua. Menyelesaikannya segera, seminggu lagi orang itu datang dan aku ingin menyambutnya dengan diriku yang baru. Aku berdiri di depan pagar besi tinggi. Rumah besar yang tertutup dari ramainya lingkungan sekitar. Semua berkas itu sudah berada di dalam tas di punggungku. Kukumpulkan semua kekuatan dan keyakinanku bahwa hari ini aku pasti berhasil, di dalam tali tas yang kugenggam erat ini.
              Jari telunjukku menekan tombol bell beberapa kali dan akhirnya ada seorang laki-laki paruh baya keluar beserta seekor anak anjing jenis German Shepherd di belakangnya. Tidak heran jika rumah ini memiliki anjing jenis ini. tapi sayang ukuran tubuhnya masih kecil, mungkin mereka baru memilikinya atau ini anak dari anjing mereka sebelumnya. Anjing itu terlihat jinak, tidak menyerang atau menggonggong saat bertemu orang asing di dekatnya. “Siapa? Ada apa?” Perhatianku akan anjing itu menguap, dan aku segera kembali pada tujuan utamaku kemari.
              “Benar ini rumah Nyonya Elika Primadona? Kalau benar, boleh saya bertemu dengannya?’ Laki-laki tua itu menelanjangiku dari bawah ke atas lalu kembali ke bawah. Seakan dia sudah terbiasa melakukan hal ini saat ada yang ingin bertemu dengan wanita itu. Dia terlihat berpikir keras, memutuskan apakah aku boleh bertemu dengan wanita di dalam rumah ini atau tidak. Tak lama, dia menggerakan kakinya kebelakang, memberi isyarat agar hewan peliharaannya menyingkir, memberikan jalan, begitupun dirinya sendiri. “Silahkan.”
              Aku berhenti, menunggunya menutup pintu dan menunjukan jalan di depanku. Rumah yang luar biasa. Halaman rumput yang luas, bangunan bergaya Eropa, kolam air mancur lengkap dengan taman bunganya. Jalan setapak memisahkan rumah induk dan rumah kecil disebelah kanannya.
              “Mari ikut saya.”
              “Hah? Ba-baik,” jawabku buru-buru sambil menahan malu karena ketahuan sedang memperhatikan sekeliling rumah yang benar-benar menakjubkan.

              Inikah wanita yang bernama Erika Primadona? Diakah wanita itu?, pikirku. Meja kaca memisahkan tempat dudukku dengan mereka. Laki-laki itu duduk di sebelah wanita yang terlihat sangat lemah, syal melilit di lehernya, jaket tebal membungkus tubuhnya yang kecil, kaca mata baca masih bertengger ditulang hidungnya, sedikit merosot ke bawah, dan seekor anak anjing– kalau tidak salah– jenis Pomeranian di atas pangkuannya. Aku merapatkan kakiku, meletakan kedua tangan di atas pangkuan, menunggu salah satu dari tuan rumah memulai bicara, setidaknya bertanya apa tujuanku datang kemari.
              “Apa yang membawa anak manis tapi terlihat kesepian sepertimu datang kemari?” Akhirnya, aku tersenyum sebelum menjawab, “Saya ingin bertemu dengan Erika Primadona. Apa saya bisa bertemu dengannya?” Laki-laki dan wanita itu seketika berubah murung. Laki-laki itu menarik cerutu lepas dari mulutnya, menjepitkan di antara dua jemari, asapnya membumbung ke atas. Sementara wanita ini berkali-kali membenarkan kacamata bacanya seperti tidak nyaman, badan kecilnya gemetar. Aku mengeluarkan beberapa lembar berkas, berisi informasi-informasi yang ingin kutanyakan kebenarannya. Tuan rumah wanita lebih dulu mengambil kertas-kertas tersebut dari pada yang laki-laki. Membacanya dengan teliti, sesekali ia melebarkan matanya lalu dengan cepat mengembalikan ke ukuran semula.
              “Apa kau lahir tanggal 6 April, 21 tahun lalu?”
              “Ya. Memangnya ada apa?”
              “Kalau begitu sayang,” ia meletakan kembali kertas-kertas itu, mendorongnya lebih dekat denganku, “orang yang kau cari tidak ada. Dan maaf, saya bukan orang itu. Saya Sesilia dan dia adalah Henu Bramantiko. Aku rasa kau tahu siapa dia daripada saya.” Laki-laki yang bernama Henu itu hanya duduk diam, pasrah, dan sepertinya siap untuk menjawab semua bahkan menjelaskannya jika aku meminta. Aku menahan rasa kecewaku dengan berharap kalau Henu Bramantiko, bisa menjelaskannya. Dia membuka matanya, menatapku dengan mata sendu penuh kesedihan.
              “Orang yang kau cari itu sudah meninggal 21 tahun lalu tanggal 7 April. Suaminya, Angga Bramantiko dilanda tekanan yang berat. Sehari setelah melahirkan anak pertama mereka, istri yang paling dicintainya meninggal. Tiga bulan setelah itu, anak yang paling didambakannya dan kenangan terakhir dari istrinya hilang. Berkali-kali ia sempat ingin bunuh diri tapi selalu gagal. Lalu,” ia meletakan cerutunya di asbak putih lalu kembali bersandar, “ia memutuskan menikah dengan wanita ini, Sesilia.” Aku mengalihkan pandanganku ke Sesilia, rahangnya bergerak, aku yakin dia sedang menahan sesuatu dengan giginya. Entah apa itu, yang jelas pasti berasal dari masalalunya.
              “Jadi apakah Anda, ayah dari Angga Bramantiko? Kalau iya, kemana anak Anda sekarang?” Dia mengangguk beberapa kali. Mengambil kembali cerutunya dan ia hisap.
              “Dia meninggal setahun lalu. Pernikahannya dengan Sesilia, dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Garry.” Aku menghela nafas panjang, sesuai yang aku perkirakan, dia memang saudaraku. Lengkap sudah perasaan bercampur di dalam hatiku. Aku menyapu air mata yang hampir keluar dari pelupuk mata secepat mungkin. Berusaha tampak tegar meskipun aku tetap berakhir sia-sia.
              “Berarti Anda kakek saya? Ayah dari ayah saya?”
              “Ya. Jangan salahkan ayahmu. Dia sudah mencarimu bertahun-tahun, sampai dia meninggalpun dia masih ingin menemukanmu. Maafkan dia. Jangan membencinya.”
              “Tidak mungkin. Saya kemari hanya ingin tahu, apakah mereka berdua memang orang tua kandung saya atau bukan. Ya, meskipun mereka sudah tidak ada, saya tetap bahagia. Lalu,” Erika mengangkat kepalanya, membalas tatapan mataku, “anak Anda, Garry. Dia adalah mahasiswa yang rajin. Anda pantas bangga padanya.”
              “Sepertinya kau memang sudah mendapatkan banyak informasi. Dan jangan khawatir, dia sudah tahu kalau sebenarnya dia mempunyai kakak tiri. Dia sedang mencarimu. Jika kau tidak keberatan, sapalah dia sebagai seorang saudara.”
              “Tentu.”
                                                                              ***
              Awalnya aku pikir semuanya sudah selesai. Aku pikir semuanya sudah berhasil kuselesaikan tanpa membuat banyak hati terluka. Aku dan Gary sudah saling menyapa, bicara, dan untuk beberapa kali kesempatan dia bahkan sempat mengantarku pulang. Beberapa kali kesempatan pula, aku tinggal di rumah kakekku. Aku pikir setelah aku berhasil mengetahui siapa diriku sebenarnya, aku bisa bersikap lebih menyayangi mereka. Saat bertemu dengannya, aku pikir dialah orang yang pertama kali menyelamatkan hidupku meskipun aku lupa bagaimana kejadian pastinya. Hubunganku dengan orang tua angkatku pun berangsur membaik.
              Tapi aku salah, aku melukai hati orang yang paling aku sayangi. Setelah dia pergi dari perpustakan saat itu, sampai sekarang sekalipun aku belum pernah melihatnya lagi. Duduk di jembatan kayu yang membelah sungai besar. Airnya begitu jernih, batu-batu besar memecah kuatnya arus. Kutiup bunga yang sekilas terlihat seperti dandelion, tapi kurasa bukan, itu hanyalah bunga liar.
              “Apa kau merindukanku?” Aku membelalak, dia berdiri sambil membuka tangannya lebar dengan senyuman yang tidak bisa kulupakan. Kulempar tubuhku dalam dekapannya.
              “Tidak. Aku tidak merindukanmu. Tapi aku sangat merindukanmu. Sangat.”
              “Ya, aku tahu. Kau pasti akan merindukan pangeran sepertiku.” Aku menarik diri dari pelukkannya lalu kembali duduk, dia mengikutiku. Duduk persis di sebelahku. Kedua kaki kami mengayun-ayun bebas di bawah. Sementara daguku menempel di tali tampar jembatan, aku menceritakan semua masalahku. Aku sudah berjanji akan menceritakan semuanya setelah masalah ini kuanggap selesai. Dia hanya diam, tidak memotong perkataanku sama sekali.
              “Begitulah. Maaf, tidak memberitahumu.”
              “Tidak masalah, karena sekarang kau sudah menepati janjimu. Dan aku merasa lega, sangat lega. Setidaknya kau menyayangi Garry dalam maksud lain.”
              “Ahh iya,” jawabku singkat.
              “Keluarga bukan tentang darah siapa yang mengalir di dalam tubuhmu. Tapi siapa yang kau sayangi dan menyayangimu,” ucapnya bijak.
              “Dan iya, apa kau memberitahu keluarga barumu kalau kau sudah tahu identitasmu yang sebenarnya?” Aku menggeleng lemah. “Biarlah, aku juga ingin mempunyai sebuah rahasia sendiri. Yah meskipun aku sudah membaginya denganmu. Aku harap mereka tidak akan pernah tahu.”
             
SELESAI ..

Tidak ada komentar: