Lari!! Cepat Lari!!
Ayah!! Ibu!!
Lari!! Apapun yang terjadi
lari!!!
“Aaaa!!” ia berteriak
sejadi-jadinya. Keringat mengucur deras melalui setiap lubang pori-pori di tubuhnya.
Membuat kaos putihnya basah. Jantungnya kembali bergebup kencang seirama dengan
alunan nafasnya yang berantakan. Lingkaran terang bulan purnama terlihat dari
balik jendela. Tirai menari-nari, sedikit memperlihatkan dunia luar malam ini.
Malam yang sama seperti dua belas tahun lalu. Dalam satu malam sebagian besar
kehidupannya lenyap.
“Ben, apa
kau baik-baik saja?” Laki-laki itu kembali terperanjat. Mengerjapakan matanya
beberapa kali, sosok mungil berdiri di ambang pintu dengan wajah khawatir
seperti biasa. Perlahan gadis itu masuk, meskipun dengan ragu. Mata bulatnya
yang bening dapat melihat dengan jelas kalau laki-laki yang tengah duduk di
atas ranjang itu, baru saja teringat kenangan buruk.
“Tenanglah, kau baik-baik saja. Itu hanya mimpi.” Dalam
dekapannya, gadis itu bisa merasakan getaran yang begitu hebat menyelubungi
setiap sisi tubuh Ben.
“Aku akan selalu disampingmu. Tenanglah,” sambung gadis itu.
***
Vlod duduk
dengan santainya di kursi kebesarannya. Castilnya yang megah tidak membuatnya
menjadi pribadi yang sombong. Dia malah tumbuh menjadi pemimpin yang tegas,
tenang, cerdik, dan bijaksana. Seorang vampire darah murni dari dua yang
tersisa. Dirinya dan Nill, saudara kembarnya.
Vlod memang
lebih suka untuk bersikap tenang saat menunggu musuh abadi mereka datang. Berbeda
dengan Nill dan Alice, ketua kelompok vampire darah mingen. Alice terpilih karena dia adalah keturunan langsung dari
vampire darah murni dan manusia. Sementara yang lain seperti Velix dan Scott,
mereka adalah vampire darah mingen kelas bawah karena gigitan para vampire
darah murni yang lepas kendali.
“Hey, apa
yang kau lakukan?! Para zombie sebentar lagi akan menyerbu castil, dan kau
masih diam? Duduk manis disana?!” teriak Nill sambil menudingkan jari telunjuk
ke arah Vlod yang hanya tersenyum. Vlod berdiri, melepas jubahnya dan
menggantinya dengan pakaian tempur yang sudah disediakan.
“Tenanglah,
bulan purnama baru sempurna sebentar lagi. Dan yang bisa melawan mereka hanya
kita berdua dan Alice. Kau ingat, saat bulan purnama, para vampire darah mingen kelas bawah tidak memiliki
kekuatan sedikitpun, kecuali para vampire darah mingen asli, seperti Alice.” Alice mengangguk-angguk membenarkan ucapan
Vlod.
DUUUUAAAAARRRRR!!!!!
“Mereka
datang!!” Para vampire darah mingen kelas
bawah berlarian menuju ruang bawah tanah. Bagaimanapun mereka tidak berguna
saat ini, dan yang bisa mereka lakukan saat ini hanya menyusun rencana sampai
saat penyerangan balasan tiba. Dimana bulan tidak pada titiknya.
***
“Untuk yang
kemarin malam, terima kasih. Terima kasih kau bersedia tidur disampingku,” ucap
Ben malu-malu. Pembuluh darah di wajahnya membesar, membuat wajahnya berubah merah
padam. Liby tersenyum simpul, menganggukan kepalanya.
“Bukan
masalah. Kemarin kau sangat mengkhawatirkan. Terlebih,”
“Apa?” Ben
menjulurkan tangannya ke depan, mengambil sup yang baru saja Liby letakkan.
“kita sudah tinggal bersama hampir dua belas tahun. Tapi aku merasa belum bisa
mengerti dirimu yang sebenarnya.” Kini giliran Ben yang tertawa penuh arti. Dihabiskannya
sup itu segera sebelum mereka berdua pergi ke sekolah.
Hari sudah
berganti, matahari sudah meninggi, dan para zombie juga sudah meninggalkan
castil dengan kekalahan yang sama. Malam bulan purnama adalah sumber kekuatan
untuk vampire darah murni. Kekuatan yang jauh lebih besar dari pada para zombie
yang terbentuk hanya dari manusia yang tergigit vampire darah mingen kelas bawah. Mahluk yang sangat
rendah.
Seluruh
pasukan vampire darah mingen kelas
bawah sudah siap dengan rencana penyerbuan mereka, tapi tidak dengan Velix yang
memilih diam memandangi langit yang cerah tapi dirasanya sangat berbeda.
“Ada apa?
Tidak seperti biasa kau mematung disini?” sindir Scott. Velix memutar kepalanya
sekilas lalu kembali menghadap langit.
“Sampai
kapan perang ini terjadi? Aku kasihan melihat manusia yang menjadi korban
pertempuran antara vampire dan Zombie.” Scott tertawa lebar. Dalam pikirannya
bergeliat, sejak kapan sahabatnya berubah menjadi seorang vampire yang peduli
pada manusia.
“Sampai vampire
darah murni tidak menggigit manusia dan menyebabkan kita ada. Atau sampai ada
darah yang lain, darah yang rasanya selezat darah manusia saat kita lepas
kendali,” jawab Scott serius. Velix berusaha menelan kembali ludahnya yang
seketika terasa berat. Jakunnya naik turun lama sekali.
“Apa kau ingat
dengan manusia bernama Liby? Manusia yang kita temui beberapa hari sebelum
malam bulan purnama kemarin? Kau ingat dia dengan siapa?”
“Ya,” sahut
Velix datar. “Aku merasa ada yang aneh dengan Vlod setiap malam bulan purnama
akan datang. Dia selalu bertemu dengan gadis itu, menjaganya.”
“Mungkin
Vlod suka. Kalau kau penasaran, tanyakan saja. Kurasa Vlod akan menjawab dengan
senang hati.”
Di meja
paling ujung deretan paling atas, penuh dengan selebaran-selebaran yang
sebentar lagi akan memenuhi setiap sudut sekolah. Ben hanya duduk manis dengan
minuman kaleng ditangannya. Memperhatikan setiap gerakan tangan Liby yang
dengan cepat menyusun selebaran-selebaran itu menjadi susuanan yang urut.
“Ada apa?”
celetuk Liby merasa diperhatikan. “Tidak ada. Aku hanya ragu dengan rencanamu.
Kau ingat, bulan Oktober adalah pertengahan musim gugur dan pertarungan antara
vampire dan zombie pasti terjadi lagi. Kenapa harus ada kota seperti Graecia?”
“Kenapa? Apa di kota ini kau merasa
tidak bahagia?” Liby menghentikan pekerjaannya, menopang dagu, menatap Ben.
Pemuda itu mengernyitkan dahinya dalam. “Bagiku Graecia adalah kota yang aneh.
Kota dimana para manusia, vampire, dan zombie hidup berdampingan.”
“Bukannya itu bagus? Setidaknya para
vampire melindungi manusia dari zombie.” Ben menghela nafas. “Tapi siapa yang
menciptakan para zombie terkutuk itu? Mereka adalah para vampire itu sendiri. Vampire
darah mingen kelas bawah.” Ia mengatupkan kembali mulutnya. Menelan
kembali semua perkataan yang sudah memenuhi ujung lidahnya. Liby merasakan ada
sorot mata yang berubah. Ada amarah yang besar pada diri Ben setiap mereka
membahas vampire ataupun zombie. Liby merasakan akan ada luka lama yang
terbuka, seperti kenangan masa kecilnya dulu. Dan, dia tidak ingin itu terjadi.
***
Api menggeliat mengikuti tiupan
angin. Membakar ranting menjadi serbuk abu yang berterbangan. Liby duduk
sendirian memandang bulan yang masih bulat utuh. Pintu-pintu tenda sudah
ditutup dengan rapat. Batang pohon ash juga sudah dipasang di sekitar perkemahan.
Tidak lupa, potongan daun ek yang mereka simpan di dalam tenda mereka
masing-masing. Batang pohon ash dan daun ek, akan melindungi
mereka dari ancaman zombie. Tanaman itu akan menghamburkan aroma daging lezat
para manusia dari penciuman para mahluk menjijikan itu.
Ujung jubah hitam itu menyentuh
tanah. Menerbangan dedaunan kering yang berserakan. Liby menoleh sekilas dan
melempar senyum termanisnya. Lalu dalam hitungan sepersekian detik, ia sudah
merobohkan kepalanya dalam pangkuan mahluk yang baru saja datang.
“Maaf memintamu datang kemari. Entah
kenapa, aku merasa mereka akan datang,” aku Liby setengah berbisik. Rambut
hitamnya terurai, menutupi sebagian sisi wajahnya.
“Tidak apa-apa. Aku juga sedang
merindukanmu dan ingin bertemu denganmu.” Mahluk itu tersenyum dengan
lembutnya, membuatnya menjadi vampire yang sangat tampan. “Ada apa?” lanjutnya
setelah melihat raut wajah Liby yang tiba-tiba saja berubah.
“Bisakah aku berubah menjadi vampire
darah murni sepertimu?” tanya Liby tanpa ragu. Vlod memasang wajah tenangnya.
Menarik tubuh Liby untuk duduk tegap menghadapnya. Kedua tangan Liby kini
tersembunyi dengan hangat di balik telapak tangan Vlod. “Sayangnya tidak.
Meskipun aku ingin merubahmu menjadi vampire darah murni sepertiku, tapi
takdirmu adalah menjadi dirimu seperti saat ini.”
Roulet, orang kepercayaan Zurg, Si
raja zombie, tengah berdiri dengan air liur yang keluar dari sela-sela giginya
yang berantakan. Mengawasi seluruh daging lezat yang sedang tidak bertuan.
Tenda paling ujung menjadi pusat perhatian Roulet. Kuku tajamnya mencuat
keluar. Melompat seperti seekor katak. Lompatan yang hebat. Hanya dalam tiga
kali lompatan, ia sudah berada di depan tenda.
AAAAAAA………!!!
Ben
mengambil pedangnya dan keluar. Mencari sumber teriakan yang baru saja ia
dengar. Ia sangat yakin bahwa itu bukan sekedar mimpi, tapi memang ada yang
berteriak. Seluruh peserta perkemahan yang sudah kembali bertuan, tetap
bersembunyi di dalam tenda masing-masing dan mulai membentuk lingkaran dengan
daun ek.
Ia terlambat. Zombie itu sudah
tergeletak dengan darah hitam membelah dadanya. Di sampingnya, ada tubuh yang
sama tak bernyawanya.
“Apa maksudnya ini?!!” teriak Ben.
Liby memutar kepalanya ke belakang. Mendapati sosok laki-laki dengan pedang dan
kemarahannya.
“Roulet datang. Dan sepertinya Shion
lupa dengan batang pohon ash miliknya.
Jadi, Roulet bisa mencium aroma tubuh manusianya.” Ben mengepalkan
tangan kirinya yang bebas, sementara tangan kanannya semakin kuat mencengkram
tangkai pedangnya. “Lalu dia?!” sorot matanya menunjuk tajam ke arah Vlod.
“Aku datang kemari karena permintaan
seseorang yang berharga. Liby.” Ben membelalak. Ia amat linglung dengan semua
ini. Sejak kapan Liby dan Vlod sedekat ini. Apa maksudnya orang yang berharga?
Dia tahu kalau Liby sangat mengagumi keberadaan vampire yang terkesan
melindungi manusia, tapi bagaimanapun yang menciptakan para zombie adalah
mereka.
“Ahh iya, aku sudah menyuruh Alice
datang kemari dan menghapus semua ingatan mengerikan dalam pikiran peserta yang
lain.”
“Lalu saat mereka bertanya, kemana
Shion, apa yang harus kukatakan?” sambar Liby. Vlod tersenyum, menarik dagunya
sedikit ke atas. “Mereka akan lupa, bahwa mereka pernah memiliki teman bernama
Shion. Jadi tenanglah.” Ben tertawa. Vlod menatap tajam wajah Ben yang memasang
wajah menghina.
“Itu yang membuatku tidak pernah
suka dengan kalian,” kata Ben datar. Mereka berdua diam. Melihat Ben tertunduk
seolah emosinya telah menguap dan meninggalkan sebuah cerita menyedihkan.
“dengan mudahnya menghapus setiap
kenangan seseorang akan orang lain. Itu salah mereka yang tinggal di tempat
seperti ini. Mereka harusnya paham bahwa bahaya selalu mengancam mereka. Saat
satu persatu manusia mulai menghilang karena ulah vampire ataupun zombie, akan
datang manusia-manusia yang baru. Dari segi manapun pihak manusialah yang dirugikan,”
lanjutnya.
“Kau laki-laki yang cerdas. Memang
tidak salah pilih. Setiap mahluk memiliki jalan hidup mereka masing-masing. Saat
vampire darah murni mengalami kehausan dan kelaparan yang sangat hebat, mereka
menjadi buas, menyerang manusia dan membuat mereka yang tergigit menjadi
vampire darah mingen. Tapi itu jarang terjadi. Vampire darah murni
memiliki kekuatan khusus untuk mengendalikan kebuasan mereka.”
“Aku tidak peduli dengan ceritamu.
Yang aku pedulikan, bisakah kalian membuat para manusia berhenti menjadi
zombie?!”
***
Selimut tebal membungkus tubuhnya. Secangkir teh hangat
perlahan ikut menghangatkan tubuhnya dari dalam. Musim gugur kali ini bercuaca
lebih dingin dari biasanya. Liby meringkuk di samping tempat tidur. Membuang
pandangannya keluar jendela. Memandangi satu persatu daun yang berjatuhan.
Berawal dari hijau, menguning, melepaskan diri dari ranting, dan melayang bebas
tertiup angin.
Apa dia marah? Apa dia sudah tahu
kebohonganku? Aku harap jangan. Aku masih ingin bersamanya. Apakah ini juga
termasuk dari takdirku? Otaknya mulai merumuskan pemikiran-pemikiran yang
tak jelas asal-usulnya.
“Apa yang sebenarnya
terjadi dengannya? Dua belas tahun lalu. Ada apa dengan dua belas tahun lalu?”
gumamnya kemudian.
“Apa kau
ingin tahu?” Suara itu. Liby sontak buru-buru memutar tubuhnya. Laki-laki yang
sedari tadi mengganggu pikirannya, kini bersandar di pintu dengan tangan kanan
yang dijejalkan di dalam saku celana. Liby mengangguk. Laki-laki itu berjalan
santai, duduk disampingnya, dan mulai bercerita.
Dus Belas Tahun lalu…
Matahari
tenggelam dengan menyisahkan guratan merah di langit. Belum terlalu malam
sampai bintang harus menampakan dirinya. Ben dan adiknya, Jen, duduk berdua di
depan perapian. Menghangatkan kedua telapak tangan mereka yang sudah terbungkus
sarung tangan warna biru. Ben begitu menyayangi adik kecilnya. Melakukan apa
saja hanya untuk memastikan bahwa Jen baik-baik saja.
Brakk!!
Tubuh penuh darah muncul dari pintu yang terbuka. Kedua anak kecil itu
terbelalak. Tubuh mereka gemetar dengan hebatnya. Keadaan yang begitu mencekam.
Kedua orang tua mereka jatuh ke lantai, berusaha sekuat tenaga merangkak mendekati
kedua anak mereka yang masih mematung.
“Lari!!
Cepat Lari!!” teriak laki-laki tua dengan luka di bagian kaki.
“Ayah!!
Ibu!!” jerit Ben dan Jen bersamaan. Air mata berlinang tidak terkontrol.
Membanjiri seluruh pipi merah kedua anak kecil itu.
“Lari!! Apapun yang terjadi lari!!!” teriak ibu mereka
kemudian setelah melihat bayangan mahluk mengerikan mendekat. Ben yang berusia
lima tahun, segera menarik adiknya pergi lewat pintu belakang. Entah kemana
kaki akan membawa mereka berdua pergi. Entah selamat atau tidak, yang jelas ia
harus membawa adiknya lari dan lari.
Di tengah guyuran salju yang semakin lama semakin lebat, Jen
mulai kehilangan kesadarannya. Tubuhnya membiru. Jaket dan syal milik Ben yang
sudah berpindah ketubuhnya pun belum mampu menghangatkan badannya seperti tadi.
“Bersabarlah. Ayo lari atau mahluk mengerikan itu akan
menemukan kita.”
“Kakak, aku sudah tidak kuat. Kakiku membeku. Kakak saja
yang pergi, selamatkan diri kakak. Kakak harus selamat,” tolak Jen tak
bertenaga. Ben sadar, ia tidak akan mungkin kuat jika harus menggendong
adiknya, karena usianya yang juga terlalu muda saat itu. Tapi, ia juga tidak
akan meninggalkan adiknya sendirian di tempat berbahaya seperti ini.
“Lari kak, lari!! Jangan sampai kakak mati di tempat seperti
ini. Aku sayang kakak.”
Ben menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Ia
merogoh dan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sarung tangan. “Ini milik
Jen. Ini yang dipakai Jen saat dia meninggal.” Wajahnya berubah sedih. Liby
melingkarkan tangannya dibalik kepala Ben. Menariknya agar jatuh di pundaknya.
“Jadi itu alasan kau membenci zombie? Tapi kenapa kau juga
membenci vampire?” selidik Liby penasaran. Merasa nyaman, Ben malah membenarkan
posisi kepalanya.
“Setelah berhasil kabur, aku tinggal sendirian di rumah ini.
Saat itu aku juga bertemu denganmu yang terlihat seperti gelandangan. Entah itu
tersesat atau kau memang melarikan diri. Aku tidak peduli. Yang aku pedulikan
bahwa kau bukan salah satu dari mereka.” Ben memasukan kembali sarung tangan
biru ke dalam saku celananya, lalu berkata, “Bertahun-tahun aku mencari
informasi tentang zombie-zombie keparat itu. Dan aku menemukan sesuatu.
Menemukan dari mana asal mereka sebenarnya.”
“Dari mana?”
“Gigitan vampire darah mingen.”
Liby sedikit terperanjat mendengar ucapan Ben yang terakhir. Sebisa mungkin ia
mencoba menenangkan dirinya sendiri.
“Ingin berdansa?” ajak Liby tiba-tiba. Ben mengernyitkan
dahi menatap Liby yang tersenyum. “Ayolah, sekali saja,” paksa Liby yang
membuat Ben tidak berkutik.
Kedua tangan Ben bertaut dengan sempurna di pinggang Liby.
Sementara lehernya sudah didiami oleh tangan mungil milik gadis di hadapannya.
Jarak mereka semakin mendekat. Suasana yang dingin memicu reaksi kimia di tubuh
mereka berdua. Bibir Ben mendarat dengan sempurna di bibir Liby yang hangat.
Kejadian itu berjalan cukup lama, dan entah kenapa, mereka berdua justru
mempererat jarak di antara mereka berdua. Satu
tahun lagi, apa aku masih bisa berada dalam jarak sedekat ini bersama laki-laki
ini? batin Liby.
“Maaf, tapi kurasa tidak,” gumam Vlod dari atas ranjangnya.
Buku-buku di jemarinya memutih seiring kepalan tangannya yang menguat.
Terkadang ia membenci kekuatannya sendiri. Ia benci harus melihat apa yang
tidak ingin dia lihat. Harus mendengar isi hati dari apa yang tidak ingin dia
dengar.
***
Graecia
kembali gempar. Liby menghilang. Para pasukan zombie kini tidak hanya menyerang
castil tapi juga ke kota. Ia tidak mempunyai banyak waktu. Ia harus segera
mencari Liby. Meskipun ini adalah yang paling dikutuknya, tapi mau tidak mau ia
harus meminta bantuan Vlod.
Castil itu
jauh lebih sepi dari biasanya. Ben melesat mencari ruangan Vlod yang pernah
ditunjukan Liby dulu. Perasaan menyakitkan menyerang batinnya dengan sempurna.
Tanpa sadar pedang yang semula gagah berada di tangannya, kini meluncur dengan
bebas ke lantai marmer mewah. Dari balik kepala seseorang, Liby membuka kedua
matanya. Dua taring tajam, tertancam dengan jantan di lehernya.
“Ben?”
gumamnya. Seketika vampire itu melepaskan taringnya, lalu memutar, menatap Ben
yang masih tak mengerti di ambang pintu. Tubuh Liby jatuh, terkulai lemah
kehabisan darah.
“Maaf Ben,
kau harus melihat kejadian ini. Sudah tidak ada waktu untuk menunggu selama
satu tahun lagi,” ucap Vlod yang langsung menggerakan sel saraf otaknya.
Ucapan-ucapan aneh yang sering dilontarkan Liby, sudah terjawab dengan
pernyataan Vlod barusan.
“Jadi, Liby
adalah vampire?” Vlod mengangguk.
“Brengsek!!
Kau gadis yang licik! Setelah kau tahu bahwa aku sangat membenci vampire, kau
membuatku jatuh cinta padamu, dan sekarang kau menunjukan siapa dirimu
sebenarnya. Permainan yang sempurna!!” Kemarahannya menggelegak hebat. Mata Ben
yang semula bertaut tajam, kini membulat. Ada airmata yang keluar dari pelupuk
mata Liby. Airmata yang baru pertama ia lihat selama dua belas tahun bersama.
Tersadarkan, ia mengambil pedangnya dan seketika pergi. Ada gejelok yang
memenuhi seluruh pikiran Vlod saat melihat adik satu ayah dengannya menangis
tertunduk. Harus ada yang ia lakukan. Urat-urat mencuat dengan jelasnya dalam
kepalan tangannya.
Pikirannya
yang awut-awutan membuatnya semakin asal saat bertarung dengan para zombie.
Pelipisnya pecah. Perut bagian kirinya robek karena cakaran kuku mahluk
berliur. Ia mulai berkunang-kunang. Pikirannya terlalu dikuasai dengan
kenyataan bahwa Liby adalah seorang vampire. Mahluk yang dibencinya setelah
zombie. Hati kecilnya terluka hebat. Sekarang ia harus membenci seseorang yang
ia sayangi karena kenangan pahit yang terus menghantuinya.
“Kita harus
bicara!!” sergah Vlod yang tiba-tiba muncul di hadapan Ben. Ben membuang muka
dan pergi begitu saja. Ia tidak ingin berurusan dengan para vampire. Kesalahan
yang besar. Mulut Vlod berkomat-kamit membanca sebuah mantra pengekang.
“Apa yang kau
lakukan?!” teriak Ben geram.
Vlod tak memperdulikan geraman Ben. “Apa kau benar-benar
menyayanginya?”
“Ya, tapi
itu dulu saat dia masih menjadi manusia bukan vampire pembunuh seperti kalian.”
Vlod menghela nafas. Vampire tampan itu menciptakan sebuah perisai yang membuat
mereka tidak terlihat oleh para zombie, sehingga mereka bisa bicara dengan
bebas.
“Sayangnya,
vampire cantik itu juga mencintaimu. Dia adikku. Yang bisa melawan zombie di saat
seperti ini hanyalah vampire darah murni dan vamire darah mingen asli. Dan Liby adalah satu dari keturunan vampire darah mingen asli.”
“Dia bukan
vampire darah murni? Kalau begitu ubahlah dia menjadi manusia seutuhnya
kembali,” tantang Ben. Vlod memijat tulang hidungnya. “Sayangnya itu hanya bisa
kami lakukan bagi vampire darah mingen
yang berasal dari manusia, atau yang sering kami sebut sebagai vampire mingen
kelas bawah. Itupun jika mereka ingin kembali menjadi manusia. Sementara Liby
bukan manusia. Dia terlahir dari pernikahan vampire darah murni dan seorang
manusia.” Ben masih menatapnya dengan tatapan tajam membenci.
“Lalu apa
maksudmu? Dan kenapa kau meninggalkannya sendiri?”
“Aku harus
membangkitkan kekuatannya lagi yang sempat terkunci. Selama ini dia menjadi
manusia karena aku menekan seluruh kekuatannya. Tapi dia bukan manusia
sesungguhnya. Dia sekarang tertidur karena kehabisan darah. Dia harus
beristirahat untuk pertempuran sebentar lagi.”
“Vlod
gawat!! Liby hilang!! Liby di culik oleh Zurg. Dia ingin membalas dendam
kematian Roulet dengan Liby,” teriak Alice dan Nill. Velix dan Scott mengikuti
mereka berdua dari belakang, yang entah kenapa mereka berdua berani untuk
keluar.
***
Ia diikat
seperti tengah disalib. Rambutnya acak-acakan. Pakaiannya sudah tidak begitu
membentuk, ada robekan dimana-mana. Airmata keluar tanpa henti. Pikirannya
terlalu kacau untuk mengeluarkan kekuatannya terlebih tubuhnya memang masih
belum kuat. Lima vampire itu akhirnya datang. Nill menepuk pundak Vlod.
Menggerakan kepalanya ke arah Liby yang tersalib, menunduk tak berdaya.
Kemarahannya semakin meninggi terlebih saat sudut matanya menangkap ada sisa-sisa
air liur yang ia kenali berada di sekitar perut Liby yang terbuka.
“Apa yang
kau lakukan?!!” teriak Vlod seketika. Zurg tersenyum licik, menunjukan wajahnya
yang mengerikan.
“Tidak ada,
aku hanya menikmati bagian tubuh yang lezat. Bagian yang belum dinikmati
siapapun.”
“Apa
maksudmu?! Dasar mahluk menjijikan!!” Vlod yang dikenal tenang, kini sangat
emosi. Alice dan yang lain merasakan ada aura kekuatan yang besar keluar
menyelimuti tubuh Vlod.
“Aku ingin
menikmati bibir vampire manis ini, tapi sayang sudah ada aroma manusia disana.
Jadi aku mencari bagian yang belum tersentuh.” Zurg menjulurkan lidahnya yang
penuh air liur busuk.
Tangannya
mulai gatal, Vlod maju dan mulai menyerang Zurg yang dibantu oleh empat vampire
lainnya. Dengan kekuatannya yang hanya sedikit, samar-samar Liby melihat
sekaligus mencari sosok yang sangat ia tunggu kehadirannya. Pertarungan terus
berlanjut, Velix dan Scott tumbang lebih dulu. Disusul Alice yang kehabisan
tenaga. Di tengah pertarungnya Nill merasakan ada yang aneh. Tidak mungkin
Alice dengan mudah dikalahkan.
“Dia
menghisap kekuatan kita. Dia pasti sudah meminum sari dari pohon hawthorm,” seru Nill yang membuat Zurg
tertawa, karena kartunya berhasil dibaca.
“Ya, kau
benar. Kekuatan gadis itu juga sudah aku hisap semua. Dan sekarang giliran
kalian berdua.” Tawa liciknya menjadi-jadi dan semakin membuat Vold maupun Nill
geram.
“Kakak!!!”
pekik Liby melihat kedua kakak tirinya jatuh tersungkur bersamaan. Nill terluka
parah. Sekuat tenaga Vlod berusaha melindungi Liby yang meronta-ronta ingin
berlari ke tempatnya.
“Sudah
cukup! Biar aku saja yang mati asal jangan kakak. Kakak pergi, selamatkan
manusia yang lain. Cepat kak! Ayo pergi!!” teriak Liby dengan suaranya yang
bergetar. Dari balik pintu, Ben mendengar perkataan Liby dan langsung teringat
kejadian dimana adiknya menyuruhnya untuk lari. Apakah semua adik selalu bersikap begitu?, pikirnya. Ben muncul
seperti seorang pahlawan dimata Liby. Sementara Vlod hanya tersenyum menang.
Laki-laki itu berlari dengan pedang yang diluruskan disamping pinggangnya.
“Dasar mahluk menjijikan!! MATILAH KAU!!!”
“Ke-ke-kenapa
bisa?” tanya Zurg terbata-bata. Ujung mata pedang menembus pinggungnya. “Kau
lupa, tanaman hawthorm memang membuat
kalian lebih kuat dari para vampire. Tapi efek dari tanaman itu masih kalah
dengan tanaman ash yang bisa membuat
setiap bagian tubuh kalian meleleh. Itu sebabnya kalian tidak bisa menyentuh
tanaman ini.”
“Jadi kau
melumuri pedangmu dengan tanaman ash?”
Ben mengangguk sombong. Ditarik pedangnya meninggalkan badan yang perlahan
hancur. Ben mengulurkan tangan ke arah Vlod, dan langsung disambut baik
olehnya.
“Bebaskan
dia,” bisik Vlod kemudian.
“Memang itu
tujuanku.”
Airmata itu
sudah kering. Liby sama sekali tak bisa berkedip saat orang yang sangat
dicintainya datang mendekat sebagai penyelamat. Ahh bukan, mungkin dia akan membunuhku disini, pikirnya kemudian
menampik asumsi yang sebelumnya ia buat.
Kedua tali
yang melilit pergelangan tangannya terlepas. Tubuhnya jatuh dalam tangkapan
tangan Ben. Dia tidak membunuhku? Apa dia
memaafkanku?
“Berhetilah
berpikir macam-macam. Aku tidak akan membunuhmu, tidak juga memaafkanmu,” ucap
Ben lembut. Liby mengerling curiga, menatap mata Ben yang menggoda.
“Jadi untuk
apa kau kemari? Bukannya kau membenciku karena aku vampire?”
Ben mengangguk. “Aku memang membencimu karna kau vampire.
Tapi aku tidak membencimu karena kau menyukaiku. Seorang vampire menyukai
manusia, bukankah aku terlihat seperti orang pilihan? Aku menjadi sadar setelah
berbicara empat mata dengan Vlod beberapa saat lalu sebelum datang kemari,” Ben
memutar pandangannya ke Vlod yang tengah mendudukkan Alice dalam pelukannya.
“katanya
semua mahluk itu ditakdirkan untuk memilih, begitupun manusia dan vampire.
Bagiku, manusia selalu mempunyai banyak pilihan tapi hanya boleh mengambil satu
pilihan lalu meyakininya dan tidak menoleh ke belakang.”
“Dan kau
tahu apa pilihanku?” sambungnya setelah berhenti beberapa saat.
“Apa?”
jawab Liby dengan perasaan campur aduk.
“Aku memilih
untuk menjadi vampire sepertimu.” Ben kembali tersenyum menggoda, membuat
wajahnya terlihat tampan bak pangeran untuk Liby. “Kenapa?”
“Waktu yang
dimiliki manusia itu terlalu singkat, mereka akan segera pergi setelah waktu
mereka habis. Sementara vampire, mereka memiliki waktu yang lebih panjang. Dan
aku ingin lebih lama berada disampingmu, melebihi waktu yang kupunya sebagai
manusia. Aku juga ingin mengetahui rahasiamu yang lain. Lalu,” Ben menatap mata
Liby dalam-dalam. Tatapan yang membuat jantung gadis itu melonjak hebat. Vlod,
Nill, dan yang lainnya hanya tersenyum melihat apa yang tengah terjadi di
seberang.
“aku ingin
membuat bibir ini menjadi milikku satu-satunya.”
SELESAI ..
3 komentar:
keyen, kok bisa yaaa
Hehe, makasih sudah mampir :) Apanya yang kok bisa?
Posting Komentar