Selasa, 29 April 2014

Mingen



Lari!! Cepat Lari!!
Ayah!! Ibu!!
Lari!! Apapun yang terjadi lari!!!
            “Aaaa!!” ia berteriak sejadi-jadinya. Keringat mengucur deras melalui setiap lubang pori-pori di tubuhnya. Membuat kaos putihnya basah. Jantungnya kembali bergebup kencang seirama dengan alunan nafasnya yang berantakan. Lingkaran terang bulan purnama terlihat dari balik jendela. Tirai menari-nari, sedikit memperlihatkan dunia luar malam ini. Malam yang sama seperti dua belas tahun lalu. Dalam satu malam sebagian besar kehidupannya lenyap.
            “Ben, apa kau baik-baik saja?” Laki-laki itu kembali terperanjat. Mengerjapakan matanya beberapa kali, sosok mungil berdiri di ambang pintu dengan wajah khawatir seperti biasa. Perlahan gadis itu masuk, meskipun dengan ragu. Mata bulatnya yang bening dapat melihat dengan jelas kalau laki-laki yang tengah duduk di atas ranjang itu, baru saja teringat kenangan buruk.
“Tenanglah, kau baik-baik saja. Itu hanya mimpi.” Dalam dekapannya, gadis itu bisa merasakan getaran yang begitu hebat menyelubungi setiap sisi tubuh Ben.
“Aku akan selalu disampingmu. Tenanglah,” sambung gadis itu.

                                                                       ***
            Vlod duduk dengan santainya di kursi kebesarannya. Castilnya yang megah tidak membuatnya menjadi pribadi yang sombong. Dia malah tumbuh menjadi pemimpin yang tegas, tenang, cerdik, dan bijaksana. Seorang vampire darah murni dari dua yang tersisa. Dirinya dan Nill, saudara kembarnya.
            Vlod memang lebih suka untuk bersikap tenang saat menunggu musuh abadi mereka datang. Berbeda dengan Nill dan Alice, ketua kelompok vampire darah mingen. Alice terpilih karena dia adalah keturunan langsung dari vampire darah murni dan manusia. Sementara yang lain seperti Velix dan Scott, mereka adalah vampire darah mingen kelas bawah karena gigitan para vampire darah murni yang lepas kendali.
            “Hey, apa yang kau lakukan?! Para zombie sebentar lagi akan menyerbu castil, dan kau masih diam? Duduk manis disana?!” teriak Nill sambil menudingkan jari telunjuk ke arah Vlod yang hanya tersenyum. Vlod berdiri, melepas jubahnya dan menggantinya dengan pakaian tempur yang sudah disediakan.
            “Tenanglah, bulan purnama baru sempurna sebentar lagi. Dan yang bisa melawan mereka hanya kita berdua dan Alice. Kau ingat, saat bulan purnama, para vampire darah mingen kelas bawah tidak memiliki kekuatan sedikitpun, kecuali para vampire darah mingen asli, seperti Alice.” Alice mengangguk-angguk membenarkan ucapan Vlod.
DUUUUAAAAARRRRR!!!!!
            “Mereka datang!!” Para vampire darah mingen kelas bawah berlarian menuju ruang bawah tanah. Bagaimanapun mereka tidak berguna saat ini, dan yang bisa mereka lakukan saat ini hanya menyusun rencana sampai saat penyerangan balasan tiba. Dimana bulan tidak pada titiknya.
                                                                       ***
            “Untuk yang kemarin malam, terima kasih. Terima kasih kau bersedia tidur disampingku,” ucap Ben malu-malu. Pembuluh darah di wajahnya membesar, membuat wajahnya berubah merah padam. Liby tersenyum simpul, menganggukan kepalanya.
            “Bukan masalah. Kemarin kau sangat mengkhawatirkan. Terlebih,”
            “Apa?” Ben menjulurkan tangannya ke depan, mengambil sup yang baru saja Liby letakkan. “kita sudah tinggal bersama hampir dua belas tahun. Tapi aku merasa belum bisa mengerti dirimu yang sebenarnya.” Kini giliran Ben yang tertawa penuh arti. Dihabiskannya sup itu segera sebelum mereka berdua pergi ke sekolah.

            Hari sudah berganti, matahari sudah meninggi, dan para zombie juga sudah meninggalkan castil dengan kekalahan yang sama. Malam bulan purnama adalah sumber kekuatan untuk vampire darah murni. Kekuatan yang jauh lebih besar dari pada para zombie yang terbentuk hanya dari manusia yang tergigit vampire darah mingen kelas bawah. Mahluk yang sangat rendah.
            Seluruh pasukan vampire darah mingen kelas bawah sudah siap dengan rencana penyerbuan mereka, tapi tidak dengan Velix yang memilih diam memandangi langit yang cerah tapi dirasanya sangat berbeda.
            “Ada apa? Tidak seperti biasa kau mematung disini?” sindir Scott. Velix memutar kepalanya sekilas lalu kembali menghadap langit.
            “Sampai kapan perang ini terjadi? Aku kasihan melihat manusia yang menjadi korban pertempuran antara vampire dan Zombie.” Scott tertawa lebar. Dalam pikirannya bergeliat, sejak kapan sahabatnya berubah menjadi seorang vampire yang peduli pada manusia.
            “Sampai vampire darah murni tidak menggigit manusia dan menyebabkan kita ada. Atau sampai ada darah yang lain, darah yang rasanya selezat darah manusia saat kita lepas kendali,” jawab Scott serius. Velix berusaha menelan kembali ludahnya yang seketika terasa berat. Jakunnya naik turun lama sekali.
            “Apa kau ingat dengan manusia bernama Liby? Manusia yang kita temui beberapa hari sebelum malam bulan purnama kemarin? Kau ingat dia dengan siapa?”
            “Ya,” sahut Velix datar. “Aku merasa ada yang aneh dengan Vlod setiap malam bulan purnama akan datang. Dia selalu bertemu dengan gadis itu, menjaganya.”
            “Mungkin Vlod suka. Kalau kau penasaran, tanyakan saja. Kurasa Vlod akan menjawab dengan senang hati.”

            Di meja paling ujung deretan paling atas, penuh dengan selebaran-selebaran yang sebentar lagi akan memenuhi setiap sudut sekolah. Ben hanya duduk manis dengan minuman kaleng ditangannya. Memperhatikan setiap gerakan tangan Liby yang dengan cepat menyusun selebaran-selebaran itu menjadi susuanan yang urut.
            “Ada apa?” celetuk Liby merasa diperhatikan. “Tidak ada. Aku hanya ragu dengan rencanamu. Kau ingat, bulan Oktober adalah pertengahan musim gugur dan pertarungan antara vampire dan zombie pasti terjadi lagi. Kenapa harus ada kota seperti Graecia?”
            “Kenapa? Apa di kota ini kau merasa tidak bahagia?” Liby menghentikan pekerjaannya, menopang dagu, menatap Ben. Pemuda itu mengernyitkan dahinya dalam. “Bagiku Graecia adalah kota yang aneh. Kota dimana para manusia, vampire, dan zombie hidup berdampingan.”
            “Bukannya itu bagus? Setidaknya para vampire melindungi manusia dari zombie.” Ben menghela nafas. “Tapi siapa yang menciptakan para zombie terkutuk itu? Mereka adalah para vampire itu sendiri. Vampire darah mingen kelas bawah.” Ia mengatupkan kembali mulutnya. Menelan kembali semua perkataan yang sudah memenuhi ujung lidahnya. Liby merasakan ada sorot mata yang berubah. Ada amarah yang besar pada diri Ben setiap mereka membahas vampire ataupun zombie. Liby merasakan akan ada luka lama yang terbuka, seperti kenangan masa kecilnya dulu. Dan, dia tidak ingin itu terjadi.
                                                                       ***
            Api menggeliat mengikuti tiupan angin. Membakar ranting menjadi serbuk abu yang berterbangan. Liby duduk sendirian memandang bulan yang masih bulat utuh. Pintu-pintu tenda sudah ditutup dengan rapat. Batang pohon ash juga sudah dipasang di sekitar perkemahan. Tidak lupa, potongan daun ek yang mereka simpan di dalam tenda mereka masing-masing. Batang pohon ash dan daun ek, akan melindungi mereka dari ancaman zombie. Tanaman itu akan menghamburkan aroma daging lezat para manusia dari penciuman para mahluk menjijikan itu.
            Ujung jubah hitam itu menyentuh tanah. Menerbangan dedaunan kering yang berserakan. Liby menoleh sekilas dan melempar senyum termanisnya. Lalu dalam hitungan sepersekian detik, ia sudah merobohkan kepalanya dalam pangkuan mahluk yang baru saja datang.
            “Maaf memintamu datang kemari. Entah kenapa, aku merasa mereka akan datang,” aku Liby setengah berbisik. Rambut hitamnya terurai, menutupi sebagian sisi wajahnya.
            “Tidak apa-apa. Aku juga sedang merindukanmu dan ingin bertemu denganmu.” Mahluk itu tersenyum dengan lembutnya, membuatnya menjadi vampire yang sangat tampan. “Ada apa?” lanjutnya setelah melihat raut wajah Liby yang tiba-tiba saja berubah.
            “Bisakah aku berubah menjadi vampire darah murni sepertimu?” tanya Liby tanpa ragu. Vlod memasang wajah tenangnya. Menarik tubuh Liby untuk duduk tegap menghadapnya. Kedua tangan Liby kini tersembunyi dengan hangat di balik telapak tangan Vlod. “Sayangnya tidak. Meskipun aku ingin merubahmu menjadi vampire darah murni sepertiku, tapi takdirmu adalah menjadi dirimu seperti saat ini.”
            Roulet, orang kepercayaan Zurg, Si raja zombie, tengah berdiri dengan air liur yang keluar dari sela-sela giginya yang berantakan. Mengawasi seluruh daging lezat yang sedang tidak bertuan. Tenda paling ujung menjadi pusat perhatian Roulet. Kuku tajamnya mencuat keluar. Melompat seperti seekor katak. Lompatan yang hebat. Hanya dalam tiga kali lompatan, ia sudah berada di depan tenda.
            AAAAAAA………!!!
Ben mengambil pedangnya dan keluar. Mencari sumber teriakan yang baru saja ia dengar. Ia sangat yakin bahwa itu bukan sekedar mimpi, tapi memang ada yang berteriak. Seluruh peserta perkemahan yang sudah kembali bertuan, tetap bersembunyi di dalam tenda masing-masing dan mulai membentuk lingkaran dengan daun ek.
            Ia terlambat. Zombie itu sudah tergeletak dengan darah hitam membelah dadanya. Di sampingnya, ada tubuh yang sama tak bernyawanya.
            “Apa maksudnya ini?!!” teriak Ben. Liby memutar kepalanya ke belakang. Mendapati sosok laki-laki dengan pedang dan kemarahannya.
            “Roulet datang. Dan sepertinya Shion lupa dengan batang pohon ash miliknya.  Jadi, Roulet bisa mencium aroma tubuh manusianya.” Ben mengepalkan tangan kirinya yang bebas, sementara tangan kanannya semakin kuat mencengkram tangkai pedangnya. “Lalu dia?!” sorot matanya menunjuk tajam ke arah Vlod.
            “Aku datang kemari karena permintaan seseorang yang berharga. Liby.” Ben membelalak. Ia amat linglung dengan semua ini. Sejak kapan Liby dan Vlod sedekat ini. Apa maksudnya orang yang berharga? Dia tahu kalau Liby sangat mengagumi keberadaan vampire yang terkesan melindungi manusia, tapi bagaimanapun yang menciptakan para zombie adalah mereka.
            “Ahh iya, aku sudah menyuruh Alice datang kemari dan menghapus semua ingatan mengerikan dalam pikiran peserta yang lain.”
            “Lalu saat mereka bertanya, kemana Shion, apa yang harus kukatakan?” sambar Liby. Vlod tersenyum, menarik dagunya sedikit ke atas. “Mereka akan lupa, bahwa mereka pernah memiliki teman bernama Shion. Jadi tenanglah.” Ben tertawa. Vlod menatap tajam wajah Ben yang memasang wajah menghina.
            “Itu yang membuatku tidak pernah suka dengan kalian,” kata Ben datar. Mereka berdua diam. Melihat Ben tertunduk seolah emosinya telah menguap dan meninggalkan sebuah cerita menyedihkan.
            “dengan mudahnya menghapus setiap kenangan seseorang akan orang lain. Itu salah mereka yang tinggal di tempat seperti ini. Mereka harusnya paham bahwa bahaya selalu mengancam mereka. Saat satu persatu manusia mulai menghilang karena ulah vampire ataupun zombie, akan datang manusia-manusia yang baru. Dari segi manapun pihak manusialah yang dirugikan,” lanjutnya.
            “Kau laki-laki yang cerdas. Memang tidak salah pilih. Setiap mahluk memiliki jalan hidup mereka masing-masing. Saat vampire darah murni mengalami kehausan dan kelaparan yang sangat hebat, mereka menjadi buas, menyerang manusia dan membuat mereka yang tergigit menjadi vampire darah mingen. Tapi itu jarang terjadi. Vampire darah murni memiliki kekuatan khusus untuk mengendalikan kebuasan mereka.”
            “Aku tidak peduli dengan ceritamu. Yang aku pedulikan, bisakah kalian membuat para manusia berhenti menjadi zombie?!”
                                                                       ***
            Selimut tebal membungkus tubuhnya. Secangkir teh hangat perlahan ikut menghangatkan tubuhnya dari dalam. Musim gugur kali ini bercuaca lebih dingin dari biasanya. Liby meringkuk di samping tempat tidur. Membuang pandangannya keluar jendela. Memandangi satu persatu daun yang berjatuhan. Berawal dari hijau, menguning, melepaskan diri dari ranting, dan melayang bebas tertiup angin.
            Apa dia marah? Apa dia sudah tahu kebohonganku? Aku harap jangan. Aku masih ingin bersamanya. Apakah ini juga termasuk dari takdirku? Otaknya mulai merumuskan pemikiran-pemikiran yang tak jelas asal-usulnya.
            “Apa yang sebenarnya terjadi dengannya? Dua belas tahun lalu. Ada apa dengan dua belas tahun lalu?” gumamnya kemudian.
            “Apa kau ingin tahu?” Suara itu. Liby sontak buru-buru memutar tubuhnya. Laki-laki yang sedari tadi mengganggu pikirannya, kini bersandar di pintu dengan tangan kanan yang dijejalkan di dalam saku celana. Liby mengangguk. Laki-laki itu berjalan santai, duduk disampingnya, dan mulai bercerita.

Dus Belas Tahun lalu…
            Matahari tenggelam dengan menyisahkan guratan merah di langit. Belum terlalu malam sampai bintang harus menampakan dirinya. Ben dan adiknya, Jen, duduk berdua di depan perapian. Menghangatkan kedua telapak tangan mereka yang sudah terbungkus sarung tangan warna biru. Ben begitu menyayangi adik kecilnya. Melakukan apa saja hanya untuk memastikan bahwa Jen baik-baik saja.
            Brakk!! Tubuh penuh darah muncul dari pintu yang terbuka. Kedua anak kecil itu terbelalak. Tubuh mereka gemetar dengan hebatnya. Keadaan yang begitu mencekam. Kedua orang tua mereka jatuh ke lantai, berusaha sekuat tenaga merangkak mendekati kedua anak mereka yang masih mematung.
            “Lari!! Cepat Lari!!” teriak laki-laki tua dengan luka di bagian kaki.
            “Ayah!! Ibu!!” jerit Ben dan Jen bersamaan. Air mata berlinang tidak terkontrol. Membanjiri seluruh pipi merah kedua anak kecil itu.
“Lari!! Apapun yang terjadi lari!!!” teriak ibu mereka kemudian setelah melihat bayangan mahluk mengerikan mendekat. Ben yang berusia lima tahun, segera menarik adiknya pergi lewat pintu belakang. Entah kemana kaki akan membawa mereka berdua pergi. Entah selamat atau tidak, yang jelas ia harus membawa adiknya lari dan lari.
Di tengah guyuran salju yang semakin lama semakin lebat, Jen mulai kehilangan kesadarannya. Tubuhnya membiru. Jaket dan syal milik Ben yang sudah berpindah ketubuhnya pun belum mampu menghangatkan badannya seperti tadi.
“Bersabarlah. Ayo lari atau mahluk mengerikan itu akan menemukan kita.”
“Kakak, aku sudah tidak kuat. Kakiku membeku. Kakak saja yang pergi, selamatkan diri kakak. Kakak harus selamat,” tolak Jen tak bertenaga. Ben sadar, ia tidak akan mungkin kuat jika harus menggendong adiknya, karena usianya yang juga terlalu muda saat itu. Tapi, ia juga tidak akan meninggalkan adiknya sendirian di tempat berbahaya seperti ini.
“Lari kak, lari!! Jangan sampai kakak mati di tempat seperti ini. Aku sayang kakak.”

Ben menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Ia merogoh dan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sarung tangan. “Ini milik Jen. Ini yang dipakai Jen saat dia meninggal.” Wajahnya berubah sedih. Liby melingkarkan tangannya dibalik kepala Ben. Menariknya agar jatuh di pundaknya.
“Jadi itu alasan kau membenci zombie? Tapi kenapa kau juga membenci vampire?” selidik Liby penasaran. Merasa nyaman, Ben malah membenarkan posisi kepalanya.
“Setelah berhasil kabur, aku tinggal sendirian di rumah ini. Saat itu aku juga bertemu denganmu yang terlihat seperti gelandangan. Entah itu tersesat atau kau memang melarikan diri. Aku tidak peduli. Yang aku pedulikan bahwa kau bukan salah satu dari mereka.” Ben memasukan kembali sarung tangan biru ke dalam saku celananya, lalu berkata, “Bertahun-tahun aku mencari informasi tentang zombie-zombie keparat itu. Dan aku menemukan sesuatu. Menemukan dari mana asal mereka sebenarnya.”
“Dari mana?”
“Gigitan vampire darah mingen.” Liby sedikit terperanjat mendengar ucapan Ben yang terakhir. Sebisa mungkin ia mencoba menenangkan dirinya sendiri.
“Ingin berdansa?” ajak Liby tiba-tiba. Ben mengernyitkan dahi menatap Liby yang tersenyum. “Ayolah, sekali saja,” paksa Liby yang membuat Ben tidak berkutik.
Kedua tangan Ben bertaut dengan sempurna di pinggang Liby. Sementara lehernya sudah didiami oleh tangan mungil milik gadis di hadapannya. Jarak mereka semakin mendekat. Suasana yang dingin memicu reaksi kimia di tubuh mereka berdua. Bibir Ben mendarat dengan sempurna di bibir Liby yang hangat. Kejadian itu berjalan cukup lama, dan entah kenapa, mereka berdua justru mempererat jarak di antara mereka berdua. Satu tahun lagi, apa aku masih bisa berada dalam jarak sedekat ini bersama laki-laki ini? batin Liby.
“Maaf, tapi kurasa tidak,” gumam Vlod dari atas ranjangnya. Buku-buku di jemarinya memutih seiring kepalan tangannya yang menguat. Terkadang ia membenci kekuatannya sendiri. Ia benci harus melihat apa yang tidak ingin dia lihat. Harus mendengar isi hati dari apa yang tidak ingin dia dengar.
                                                                       ***
            Graecia kembali gempar. Liby menghilang. Para pasukan zombie kini tidak hanya menyerang castil tapi juga ke kota. Ia tidak mempunyai banyak waktu. Ia harus segera mencari Liby. Meskipun ini adalah yang paling dikutuknya, tapi mau tidak mau ia harus meminta bantuan Vlod.
            Castil itu jauh lebih sepi dari biasanya. Ben melesat mencari ruangan Vlod yang pernah ditunjukan Liby dulu. Perasaan menyakitkan menyerang batinnya dengan sempurna. Tanpa sadar pedang yang semula gagah berada di tangannya, kini meluncur dengan bebas ke lantai marmer mewah. Dari balik kepala seseorang, Liby membuka kedua matanya. Dua taring tajam, tertancam dengan jantan di lehernya.
            “Ben?” gumamnya. Seketika vampire itu melepaskan taringnya, lalu memutar, menatap Ben yang masih tak mengerti di ambang pintu. Tubuh Liby jatuh, terkulai lemah kehabisan darah.
            “Maaf Ben, kau harus melihat kejadian ini. Sudah tidak ada waktu untuk menunggu selama satu tahun lagi,” ucap Vlod yang langsung menggerakan sel saraf otaknya. Ucapan-ucapan aneh yang sering dilontarkan Liby, sudah terjawab dengan pernyataan Vlod barusan.
            “Jadi, Liby adalah vampire?” Vlod mengangguk.
            “Brengsek!! Kau gadis yang licik! Setelah kau tahu bahwa aku sangat membenci vampire, kau membuatku jatuh cinta padamu, dan sekarang kau menunjukan siapa dirimu sebenarnya. Permainan yang sempurna!!” Kemarahannya menggelegak hebat. Mata Ben yang semula bertaut tajam, kini membulat. Ada airmata yang keluar dari pelupuk mata Liby. Airmata yang baru pertama ia lihat selama dua belas tahun bersama. Tersadarkan, ia mengambil pedangnya dan seketika pergi. Ada gejelok yang memenuhi seluruh pikiran Vlod saat melihat adik satu ayah dengannya menangis tertunduk. Harus ada yang ia lakukan. Urat-urat mencuat dengan jelasnya dalam kepalan tangannya.

            Pikirannya yang awut-awutan membuatnya semakin asal saat bertarung dengan para zombie. Pelipisnya pecah. Perut bagian kirinya robek karena cakaran kuku mahluk berliur. Ia mulai berkunang-kunang. Pikirannya terlalu dikuasai dengan kenyataan bahwa Liby adalah seorang vampire. Mahluk yang dibencinya setelah zombie. Hati kecilnya terluka hebat. Sekarang ia harus membenci seseorang yang ia sayangi karena kenangan pahit yang terus menghantuinya.
            “Kita harus bicara!!” sergah Vlod yang tiba-tiba muncul di hadapan Ben. Ben membuang muka dan pergi begitu saja. Ia tidak ingin berurusan dengan para vampire. Kesalahan yang besar. Mulut Vlod berkomat-kamit membanca sebuah mantra pengekang.
            “Apa yang kau lakukan?!” teriak Ben geram.
Vlod tak memperdulikan geraman Ben. “Apa kau benar-benar menyayanginya?”
            “Ya, tapi itu dulu saat dia masih menjadi manusia bukan vampire pembunuh seperti kalian.” Vlod menghela nafas. Vampire tampan itu menciptakan sebuah perisai yang membuat mereka tidak terlihat oleh para zombie, sehingga mereka bisa bicara dengan bebas.
            “Sayangnya, vampire cantik itu juga mencintaimu. Dia adikku. Yang bisa melawan zombie di saat seperti ini hanyalah vampire darah murni dan vamire darah mingen asli. Dan Liby adalah satu dari keturunan vampire darah mingen asli.”
            “Dia bukan vampire darah murni? Kalau begitu ubahlah dia menjadi manusia seutuhnya kembali,” tantang Ben. Vlod memijat tulang hidungnya. “Sayangnya itu hanya bisa kami lakukan bagi vampire darah mingen yang berasal dari manusia, atau yang sering kami sebut sebagai vampire mingen kelas bawah. Itupun jika mereka ingin kembali menjadi manusia. Sementara Liby bukan manusia. Dia terlahir dari pernikahan vampire darah murni dan seorang manusia.” Ben masih menatapnya dengan tatapan tajam membenci.
            “Lalu apa maksudmu? Dan kenapa kau meninggalkannya sendiri?”
            “Aku harus membangkitkan kekuatannya lagi yang sempat terkunci. Selama ini dia menjadi manusia karena aku menekan seluruh kekuatannya. Tapi dia bukan manusia sesungguhnya. Dia sekarang tertidur karena kehabisan darah. Dia harus beristirahat untuk pertempuran sebentar lagi.”
            “Vlod gawat!! Liby hilang!! Liby di culik oleh Zurg. Dia ingin membalas dendam kematian Roulet dengan Liby,” teriak Alice dan Nill. Velix dan Scott mengikuti mereka berdua dari belakang, yang entah kenapa mereka berdua berani untuk keluar.
                                                                       ***
            Ia diikat seperti tengah disalib. Rambutnya acak-acakan. Pakaiannya sudah tidak begitu membentuk, ada robekan dimana-mana. Airmata keluar tanpa henti. Pikirannya terlalu kacau untuk mengeluarkan kekuatannya terlebih tubuhnya memang masih belum kuat. Lima vampire itu akhirnya datang. Nill menepuk pundak Vlod. Menggerakan kepalanya ke arah Liby yang tersalib, menunduk tak berdaya. Kemarahannya semakin meninggi terlebih saat sudut matanya menangkap ada sisa-sisa air liur yang ia kenali berada di sekitar perut Liby yang terbuka.
            “Apa yang kau lakukan?!!” teriak Vlod seketika. Zurg tersenyum licik, menunjukan wajahnya yang mengerikan.
            “Tidak ada, aku hanya menikmati bagian tubuh yang lezat. Bagian yang belum dinikmati siapapun.”
            “Apa maksudmu?! Dasar mahluk menjijikan!!” Vlod yang dikenal tenang, kini sangat emosi. Alice dan yang lain merasakan ada aura kekuatan yang besar keluar menyelimuti tubuh Vlod.
            “Aku ingin menikmati bibir vampire manis ini, tapi sayang sudah ada aroma manusia disana. Jadi aku mencari bagian yang belum tersentuh.” Zurg menjulurkan lidahnya yang penuh air liur busuk.
            Tangannya mulai gatal, Vlod maju dan mulai menyerang Zurg yang dibantu oleh empat vampire lainnya. Dengan kekuatannya yang hanya sedikit, samar-samar Liby melihat sekaligus mencari sosok yang sangat ia tunggu kehadirannya. Pertarungan terus berlanjut, Velix dan Scott tumbang lebih dulu. Disusul Alice yang kehabisan tenaga. Di tengah pertarungnya Nill merasakan ada yang aneh. Tidak mungkin Alice dengan mudah dikalahkan.
            “Dia menghisap kekuatan kita. Dia pasti sudah meminum sari dari pohon hawthorm,” seru Nill yang membuat Zurg tertawa, karena kartunya berhasil dibaca.
            “Ya, kau benar. Kekuatan gadis itu juga sudah aku hisap semua. Dan sekarang giliran kalian berdua.” Tawa liciknya menjadi-jadi dan semakin membuat Vold maupun Nill geram.
            “Kakak!!!” pekik Liby melihat kedua kakak tirinya jatuh tersungkur bersamaan. Nill terluka parah. Sekuat tenaga Vlod berusaha melindungi Liby yang meronta-ronta ingin berlari ke tempatnya.
            “Sudah cukup! Biar aku saja yang mati asal jangan kakak. Kakak pergi, selamatkan manusia yang lain. Cepat kak! Ayo pergi!!” teriak Liby dengan suaranya yang bergetar. Dari balik pintu, Ben mendengar perkataan Liby dan langsung teringat kejadian dimana adiknya menyuruhnya untuk lari. Apakah semua adik selalu bersikap begitu?, pikirnya. Ben muncul seperti seorang pahlawan dimata Liby. Sementara Vlod hanya tersenyum menang. Laki-laki itu berlari dengan pedang yang diluruskan disamping pinggangnya. “Dasar mahluk menjijikan!! MATILAH KAU!!!”
            “Ke-ke-kenapa bisa?” tanya Zurg terbata-bata. Ujung mata pedang menembus pinggungnya. “Kau lupa, tanaman hawthorm memang membuat kalian lebih kuat dari para vampire. Tapi efek dari tanaman itu masih kalah dengan tanaman ash yang bisa membuat setiap bagian tubuh kalian meleleh. Itu sebabnya kalian tidak bisa menyentuh tanaman ini.”
            “Jadi kau melumuri pedangmu dengan tanaman ash?” Ben mengangguk sombong. Ditarik pedangnya meninggalkan badan yang perlahan hancur. Ben mengulurkan tangan ke arah Vlod, dan langsung disambut baik olehnya.
            “Bebaskan dia,” bisik Vlod kemudian.
            “Memang itu tujuanku.”
            Airmata itu sudah kering. Liby sama sekali tak bisa berkedip saat orang yang sangat dicintainya datang mendekat sebagai penyelamat. Ahh bukan, mungkin dia akan membunuhku disini, pikirnya kemudian menampik asumsi yang sebelumnya ia buat.
            Kedua tali yang melilit pergelangan tangannya terlepas. Tubuhnya jatuh dalam tangkapan tangan Ben. Dia tidak membunuhku? Apa dia memaafkanku?
            “Berhetilah berpikir macam-macam. Aku tidak akan membunuhmu, tidak juga memaafkanmu,” ucap Ben lembut. Liby mengerling curiga, menatap mata Ben yang menggoda.
            “Jadi untuk apa kau kemari? Bukannya kau membenciku karena aku vampire?”
Ben mengangguk. “Aku memang membencimu karna kau vampire. Tapi aku tidak membencimu karena kau menyukaiku. Seorang vampire menyukai manusia, bukankah aku terlihat seperti orang pilihan? Aku menjadi sadar setelah berbicara empat mata dengan Vlod beberapa saat lalu sebelum datang kemari,” Ben memutar pandangannya ke Vlod yang tengah mendudukkan Alice dalam pelukannya.
            “katanya semua mahluk itu ditakdirkan untuk memilih, begitupun manusia dan vampire. Bagiku, manusia selalu mempunyai banyak pilihan tapi hanya boleh mengambil satu pilihan lalu meyakininya dan tidak menoleh ke belakang.”
            “Dan kau tahu apa pilihanku?” sambungnya setelah berhenti beberapa saat.
            “Apa?” jawab Liby dengan perasaan campur aduk.
            “Aku memilih untuk menjadi vampire sepertimu.” Ben kembali tersenyum menggoda, membuat wajahnya terlihat tampan bak pangeran untuk Liby. “Kenapa?”
            “Waktu yang dimiliki manusia itu terlalu singkat, mereka akan segera pergi setelah waktu mereka habis. Sementara vampire, mereka memiliki waktu yang lebih panjang. Dan aku ingin lebih lama berada disampingmu, melebihi waktu yang kupunya sebagai manusia. Aku juga ingin mengetahui rahasiamu yang lain. Lalu,” Ben menatap mata Liby dalam-dalam. Tatapan yang membuat jantung gadis itu melonjak hebat. Vlod, Nill, dan yang lainnya hanya tersenyum melihat apa yang tengah terjadi di seberang.
            “aku ingin membuat bibir ini menjadi milikku satu-satunya.”

SELESAI ..


3 komentar:

Blogger Medan - aizeindra.id mengatakan...

keyen, kok bisa yaaa

Insan Gumelar Ciptaning Gusti mengatakan...

Hehe, makasih sudah mampir :) Apanya yang kok bisa?

Insan Gumelar Ciptaning Gusti mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.