Kipas angin masih berputar dilangit –
langit ruang musik. Memainkan satu persatu tuts hitam putih yang berjajar rapi
diatas piano kayu berwarna coklat. Terletak di pojok ruangan. Selalu mencuri
perhatian setiap orang yang masuk pertama kali. Daya tariknya menjadi kunci
ketenangan ruang musik paling atas di kampus seni swasta ini. Aku terdiam. Aku
tak menyangka, kemampuannya berkembang sehebat ini. Aku merasa dia telah jauh
berubah. Dia terlihat seperti
seorang pianis professional.
“Ken!”
panggilnya dengan suara tinggi. Aku terhentak kaget. Ku tarik senar ke enam
cukup kencang. Segera ku alihkan pandanganku ke Maura, seseorang yang kukatakan
mirip pianis berbakat. “ada apa sapi?” jawabku pelan. “kamu kenapa? Ngelamun?
Aku gak denger satupun nada dari gitarmu”, aku hanya tertawa garing. Aku sering
memanggilnya dengan sebutan sapi, entah kenapa, sejak aku duduk di bangku smp,
aku sudah memanggilnya sapi. Mungkin karna tubuhnya yang gempal dan nama
panggilannya maw mow mow sapi. Entahlah.