Sabtu, 26 Januari 2013

Delete OR Save [?]

              Pagi ini adalah hari yang istimewa untukku yang mungkin bagi orang lain tidak. Hari dimana aku akan di interview di sebuah kantor berita. Keinginan yang teramat besar untukku sejak kecil. Ya, menjadi seorang reporter atau pembaca berita yang sering muncul di televisi. Bagiku pekerjaan itu terlihat keren. Dengan baju rapi, bicara tegas, terlihat begitu berwibawa dan berintelektual tinggi. Itu pemikiran masa kecil yang aku bawa hingga sekarang. Sedikit memalukan, tapi aku suka.

              Kano, pacarku yang amat setia. Perkenalan dua tahun lalu sejak kepindahannya dari Jepang. Sampai saat ini pun aku masih bingung, apa yang membuatnya memilihku? Jelas-jelas banyak gadis cantik dan lebih cerdas yang selalu memberikan perhatian istimewa yang lebih padanya. Apa ini jodoh? Pintu mobil sebelah kiri terbuka. Aku segera masuk, memakai sabuk pengaman, dan tersenyum padanya. Dia laki-laki yang dewasa, bertanggung jawab, pekerja keras, masih ditambah tampan pula. Aku selalu berharap hubunganku kali ini bisa sampai ditahap yang serius. Maaf, tapi aku tidak ingin mengulang kisah lama yang menyakitkan itu lagi. “Kita berangkat?” ucapnya yang membuyarkan semua pikiranku. Aku mengangguk mengiyakan. Dengan satu tarikan pindah gigi, Kano memacu mobilnya cepat. Saat bersamanya terkadang aku merasa seperti bersama dewa kematian yang siap mencabut nyawaku kapan saja. Cara mengemudinya yang tak bisa berubah sejak dulu.
              Sepuluh menit sebelum wawancara dimulai.  Kano menghentikan mobilnya tepat di depan pintu masuk koridor pertama. Dengan buru-buru aku langsung keluar tanpa mengucapkan selamat jalan atau sekedar hati-hati. Menutup pintu lalu berlari dan hilang di balik pintu kaca. Ada yang tertinggal. Aku merasa ada yang tertinggal. Sambil berlari menuju ruang test wawancara, aku terus mengingat-ingat hal apa yang kulupakan. Kano!! Otakku berhasil menemukan sesuatu yang membuat kakiku berhenti seketika. Beberapa detik aku diam seperti patung di depan pintu masuk. Menenangkan diri sejenak, menarik nafas dan membuang jauh-jauh tentang masalah Kano.

              Suara oak-an burung terdengar jelas ketika aku duduk bersantai sambil menyeruput jus di jalan setapak dekat rumah.  Hari yang melelahkan. Lagi-lagi aku menghela nafas panjang. Sekali lagi. Tanpa kusadari Kano sudah ikut berjalan di sampingku dengan baju kerjanya.
              “Gagal?” sapanya sesaat setelah aku menyadari hawa keberadaannya. Aku menggelelng lemas, menoleh sekilas, lalu kembali ke gelas plastik dalam genggamanku.
              “Kalau menggeleng berarti bukan, lalu kenapa?” Dari sudut mata, aku bisa melihat ekspresi wajahku yang acak-acakkan. Mulutku mengulum. Entah kenapa aku merasa sangat tidak berselera bahkan hanya untuk menjawab pertanyaannya.
              “Dimana mobilmu?” Mencoba mengalihkan pembicaraan.
              “Aku tahu kamu lagi banyak pikiran. Aku parkir di rumah dan menyusulmu kemari. Jadi ada apa?” tanyanya lagi. Usahaku tak bertahan lama. Pada akhirnya aku memang harus mengatakannya, tak ada salahnya, toh ini bukan kabar yang begitu buruk.
              “Kabarnya baru nanti malam lewat telepon,” jelasku singkat. Sore semakin menjadi. Kini semuanya tampak gelap hanya lampu-lampu pinggir jalan yang terus menyala. Kano masih di sampingku dan mengantarku sampai di rumah.
              “Kamu mau pulang atau mau mampir dulu?” tanyaku di depan pintu pagar. Dia tersenyum manis dan menandakan sebuah penolakan lembut. Genggaman tangan itu kulepaskan perlahan dan membiarkannya pergi, lalu hilang termakan gelapnya malam.
              Selesai membersihkan badan, aku duduk sendiri di meja makan. Menopangkan dagu sambil kumainkan mulut ke depan dan ke samping. Mata saya terus mengawasi layar ponsel dengan cemas. Mengetuk-ngetukan kuku-kuku panjang di meja. Berganti posisi kemana saja, sampai membawa camilan mendekat untuk mengusir kejenuhan menunggu jam delapan malam yang tak kunjung datang. Saat itu aku benar-benar frustasi. Belum tekanan batinku sendiri yang sudah menyandang gelar pengganguran selama enam bulan lebih, masih ditambah beban malu saat di ajak Kano pergi ke tempat rekan bisnisnya, lalu ditanya: dimana tempat kerjamu? Sungguh saat itu menjadi saat yang paling memalukan dan menyakitkan. Rentetan pertanyaan itu muncul lagi dalam benakku seketika, membuatku semakin was-was, gugup, dan segalanya yang berhubungan dengan perasaan yang tak menentu. Tak lama kemudian ponsel berdering cukup kencang. Secepat kilat kuraih ponsel dan menjawabnya. Aku hanya mengganguk-angguk tanpa berbicara apapun. Menutup telepon, dan berteriak sekencang mungkin.
                                                                                ***
             
              “Hari pertama di tempat kerja,” ucapku penuh semangat saat menginjakan kaki pertama kali sebagai seorang pegawai bukan calon pegawai. Melambaikan tangan ke dalam mobil lalu berbalik dan masuk. Tugas pertama yang kuterima, membuat laporan berita dari hasil wawancara, terdengar mudah, tapi sama sekali tidak pada kenyataannya. Aku bertanggung jawab besar atas artikel berita yang kuketik di atas keyboard komputer. Awal yang cukup sulit tapi harus bisa diatasi. Tidak akan lagi memalukan diriku sendiri dan orang yang telah mendukungku sampai sekarang, Kano.
              Berartikel-artikel sudah kukerjakan di hari pertama kali kerja, dan hasilnya cukup memuaskan, itu yang dikatakan laki-laki berkumis tebal, Mr. Bem. Hari yang pertama memuaskan. Katanya tadi, sungguh menyenangkan. Akan mempertahankan itu, batinku. Melanjutkan pekerjaan yang sama sampai jam empat sore dengan seling setengah jam untuk makan siang. Duduk lama di kursi bukan salah satu hal yang lupa untuk kuperhitungkan.

              Di depan pintu masuk, aku berdiri sambil memainkan sepatu vantofel yang kurasa sama sekali tidak cocok di kakiku yang brutal. Tak sampai lima belas menit, suara klakson yang sangat familiar di telingaku sudah berada di depanku. Kaca jendela berlahan terbuka, senyum manis itu terukir jelas diwajah orang yang sangat kutunggu. Duduk di jok samping dengan kaca sedikit dibuka, aku memerhatikan glamornya malam saat ini. Merasakan betapa lelahnya pulang setelah bekerja. Saat itu aku baru menyadari betapa lelahnya Kano selama ini, dan betapa egoisnya aku yang selalu memintanya menemaniku setiap malam.
              Di warung pinggir jalan, kami berhenti hanya sekedar untuk makan dan melepas lelah berdua. Satu lalapan gurami dan teh hangat menjadi menu makan malam pilihanku, dan sepiring nasi goreng udang dan lemon fresh berada tepat di tengah-tengah kedua tangan Kano.  Disela-sela makan, aku memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu pada kano yang aku pikir mungkin itu akan membuatnya marah atau apa, tapi aku harus bilang.
              “Saya ingin belajar?” aku membuka suara. Dia menarik pandangannya dari piring bulat di depannya. “Belajar? Belajar apa?”
              “Belajar menyetir mobil?” ucapku ragu-ragu. Alhasil dia malah tertawa. Mulutnya terbuka lebar. Kewibawaannya seakan hilang begitu saja saat aku melihat tawanya itu. Tawa mirip alien yang mau memangsa.
              “Ada yang lucu?”
              “Tidak. Tidak ada. Apa yang membuatmu ingin belajar? Apa aku kurang tepat waktu untuk menjemputmu dan mengantarmu?”
              “Bukan,” aku diam sesaat lalu melanjutkan, “aku hanya tidak mau bergantung terus-terusan sama kamu. Aku juga ingin mandiri. Bisa melakukan semuanya sendiri. Aku takut suatu saat nanti, disaat kamu bosan, kamu membuangku begitu saja seperti cerita yang ada di sinetron-sinetron.” Kano kembali tertawa dan itu hampir membuatnya tersedak.
              “Jangan tertawa lagi!!” Dia memperhatikan wajah saya yang mulai tak berselera. Membalik sendok dan garpunya, lalu meraih tangan saya. “Apa pun. Apa pun itu, asal itu bisa membuatmu lebih baik dari sekarang, aku akan dukung, termasuk belajar menyetir seperti katamu tadi.” Aku senang mendengar itu semua. Dia memang selalu mendukung semua keinginanku selama itu masih bisa diterima oleh akal sehat dan bukan tindakan negatif, dia pasti mendukung. Itulah salah satu alasan aku ingin selalu bersamanya.

              Merebahkan badan di kursi panjang di halaman belakang. Segelas teh hangat tersanding di samping lengan kursi. Aku membuka pekerjaan yang belum sempat selesai tadi dan harus kubawa pulang. Mulai memeriksa poin-poin dalam sebuah video rekaman dan mengubahnya ke dalam bentuk artikel. Jarum jam terus berputar mendekati angka sepuluh malam. Kamar seolah mulai memanggilku untuk segera masuk dan beristirahat, terasa horror. Aku bergegas pergi ke kamar mandi di samping dapur, membasuh muka beberapa kali, mengeringkannya, dan kembali ke tempat semula. Belum lama semenjak aku kembali dari dapur, angin malam terasa begitu menyegat, saya pun membereskan pekerjaan saya dan melanjutkannya di meja makan.
                                                                                ***
              Seperti biasa Kano menjemput dan mengatarkanku ke tempat kerja dengan setia. Semua perhatian itu yang membuatku sangat takut kalau harus kehilangannya. Pergi ke ruang pimpinan lalu menyerahkan pekerjaan semalam. Harap-harap cemas merasuki tubuh dan pikiranku. berandai-andai kalau sampai pekerjaan yang kubuat salah. Apa yang akan kulakukan. Mr. Bem tersenyum ke arahku, tapi Aku tetap tak bisa menerka apa maksud dari senyuman manusia berkumis tebal itu. Dia menggerakan tangannya menyuruhku agar keluar. Aku keluar setengah takut bercampur lega. Berjalan cepat ke meja kerja, duduk, menarik nafas untuk mengurangi rasa deg-degan yang masih menggelayuti perasaanku. Telepon berdering kencang, memecah kegiatan refleksi yang kubuat seketika. gagang telepon kubawa mendekat ke telinga. “Selamat pagi,” sapaku pertama kali. “Baik pak,” ucapku saat mengakhiri pembicaraan. Aku beranjak dari kursi, menjelajahi ruangan untuk mencari keberadaan sosok Mili, wanita cantik berambut hitam sembur merah.

              “Apa kamu sudah lama menjadi reporter berita?” tanyaku di tengah perjalanan.
              “Ya, sudah lima tahun lebih.”
              “Apa selalu jadi reporter?”
              “Tidak juga, kadang aku juga jadi sepertimu, menulis berita dari hasil liputan, tapi aku lebih suka bekerja sebagai seorang reporter daripada seorang juru tulis sepertimu, kenapa?” ia balik bertanya.
              “Ahh bukan apa-apa. Ngomong-ngomong kenapa kamu lebih suka jadi seorang reporter? Apa karena bisa pergi kemana-mana?” tanyaku lagi lebih penasaan.
              “Mungkin iya, tapi bukan karena itu. Aku lebih suka jadi reporter karena menurutku, dengan aku jadi seorang reporter aku bisa berinteraksi dengan banyak orang, yang mungkin berbeda daerah, budata, atau lainnya.” Aku terkagum melihat sosok di sebelahku yang begitu terlihat berwibawa. Apa aku juga bisa seperti dia? Menurutku, Mili adalah orang yang asik dan enak untuk diajak berdiskusi atau sekedar bicara santai belaka. Perjalanan mendekati selesai, TKP peristiwa perampokan itu sudah terlihat di ujung jalan besar ini. Dengan sigap, Mili meraih alat perekamnya, serta rentetan pertanyaan yang dari tadi dipersiapkannya. Aku mengikuti Mili dari belakang, beberapa saat aku tertinggal di belakang dengan jarak yang cukup jauh, tapi aku berupaya mempercepat langkah kaki saya.
              Berdesak-desakan, sudah tentu itu terjadi. Berubut dengan reporter lain serta polisi juga sudah pasti terjadi disini. Aku teringat pesan Mili sebelum keluar, kuatkan kakimu, jangan sampai terjatuh atau reputasimu akan rusak. Sebisanya aku menguatkan posisiku dan terus berada di dekat Mili serta crew yang lain tanpa mengorbankan profesikudengan bersikap pesimis dan tak tanggap.

              Menghabiskan waktu di lapangan, sekitar setengah tiga sore, aku baru bisa duduk di kursi kerja ini lagi. Menyesap teh hangat yang baru di letakkan oleh office boy yang namanya pun aku tidak tahu. Leher terasa kaku. Begitu juga dengan badan. Berusaha sekuat tenaga menahan desakan orang-orang yang sama-sama mengeraskan badan mereka. Ponselku berputar di depan tumpukan berkas, satu pesan dari Kano, ‘ada yang ingin aku bicarakan, nanti sepulang kerja aku jemput kamu, jika ada kerja lembur tolong tolak, meski aku tahu pegawai baru sepertimu tidak mungkin mendapatkan kerja lembur’. Tiba-tiba berbagai pertanyaan muncul dalam pikiranku. Apa yang ingin Kano bicarakan?
                                                                                ***
              Kano membawaku ke tempat pertama kali kami bertemu, bandara. Sekujur tubuhku seketika mendingin. Kano menunjukan ekspresi keseriusan yang dalam. Meraih ke dua tanganku ke depan dadanya. Jarak diantara kami saat itu benar-benar dekat. Nafasnya pun terdengar jelas saat berhembus. Kano menatapku lekat-lekat. Ada kebingungan yang ingin dia sampaikan.
              “Mungkin semuanya akan berakhir atau mungkin akan tetap bertahan, semuanya tergantung kamu,” ucapnya tiba-tiba. Aku masih memilih untuk diam. Aku menunggunya bicara. Melihat reaksiku, ia pun melanjutkan. “Malam ini aku harus pergi ke Australia, ada urusan disana.”
              “Berapa lama?” tanyaku datar.
              “Mungkin sekitar lima atau enam tahun, atau juga bisa lebih dari itu.” Aku terdiam, menunduk lemas. Mulutku terkunci rapat saat itu. Rentetan pertanyaan sebenarnya ingin kutanyakan tapi sia-sia.
              “Tapi jangan khawatir, kita masih bisa berhungungan dengan internet, fax, atau yang lainnya, itu pun kalau kamu masih ingin bertahan,” hiburnya buru-buru.
              “Lalu bagaimana dengan janjimu yang akan mengajariku menyetir?”
              “Aku tahu kamu hebat, tanpa aku pun kamu pasti bisa.”
              “Lalu bagaimana jika suatu saat nanti, saat aku menelponmu, bukan kamu yang menjawab melainkan mesin otomatis yang menyebalkan itu?” desakku dengan air mata yang mulai keluar. Ada rasa sakit. Seketika aku merasa bahwa kejadian itu akan terulang lagi. tapi aku juga tidak bisa menahannya. Aku juga tidak ingin menjadi orang yang egois. Tapi ini menyakitkan. Kenapa harus sekarang?
              “Aku akan berusaha aku yang akan menjawabnya.” Aku masih menunduk. Otakku terasa kosong. Tatapan mata yang hangat itu tidak akan pernah kulihat lagi untuk waktu yang cukup lama. Dalam satu gerakan cepat, Kano memelukku. Membuatku merasakan dekapan yang sanggup membuatku merasa selalu terlindungi. Dan disanalah kesedihanku membuncah. Sudah tidak bisa kutahan lagi. Aku tidak ingin dia pergi.
              “Lalu apa yang ingin kamu katakan sejujurnya?” bisikku dengan nada getir.
              “Biarkan aku pergi! Setelah kamu melihat pesawat melintas di langit, mungkin itu adalah pesawatku. Aku tunggu kabar darimu selama dua tahun, dihitung setelah kepergianku. Jika kamu masih ingin bersamaku, beritahu aku. Tapi jika kamu ingin mengubur semuanya, kirimkan aku kartu pernikahanmu. Aku pasti akan datang dan memberimu ucapan selamat berbahagia.” Aku tersentak. Kata-kata itu begitu menyakitkan. Bagaimana bisa dengan mudahnya dia menyuruhku memilih dua pilihan itu. Pilihan yang jelas tidak mungkin kupilih. Tapi baru saja aku mengatakan bahwa aku tidak ingin dia pergi, sekarang dia malah mengatakan bahwa dia akan pergi. Semuanya sudah tak bisa kutahan lagi. Perasaan itu hancur sudah.
              “Apa kamu terima perjanjian ini?” tanya Kano lembut. Kutarik tubuhku lepas dalam dekapannya. Sekuat tenaga, kubalas menatap kedua mata itu.
              “Lalu denganku? Bagaimana kalau disana kamu telah menikah dengan orang lain dan melupakan perjanjian ini?” Kano tersenyum penuh keyakinan. Senyum itu. Aku menutup mataku. Senyum itu tidak akan pernah kulihat lagi.
              “Jangan khawatir, aku akan membentengi hatiku selama dua tahun ke depan. Sama halnya dengan aku membentengi hatiku selama dua tahun saat bersamamu. Jadi?” Aku pun hanya mengganguk pasrah. Aku berharap apa yang dikatakannya barusan benar adanya.
              Setengah jam berlalu sudah sejak pesawat itu lepas landas. “Dimulai dari sekarang, ya kan, Kano?” gumamku pelan. Di tempat ini, di bandara ini, pertama kali saya bertemu dengan Kano. Berawal dari sebuah perkenalan singkat dan berjalan baik-baik saja selama dua tahun, tapi disini jugalah, aku dan Kano harus berpisah. Dia pergi, menempuh jarak bermil-mil dari tempatku berdiri sekarang. Aku memang memutuskan untuk melakukan hal yang sama dengan Kano. Aku berusaha membentengi hatiku. Tapi satu yang mengganggu pikiranku adalah apa setelah dua tahun ke depan, aku masih memiliki harapan agar dia kembali atau aku harus melihat masa depan dengan melupaknya?

SELESAI ..

3 komentar:

Anonim mengatakan...

mirip kisahmu san.. hehehe.. :D
owh ya, td aq baca disana ada kata 'berlahan'apa nggk seharusnya 'perlahan'?
trus masi bnyk kata yg sdikit mlenceng, misalkan harusnya 'siap' eh malah 'sipa', maklum lah klo itu, cuma salah2 kecil doank, tapi ceritamu bagus san..
:) serius..
~Tiara~

Insan Gumelar Ciptaning Gusti mengatakan...

hehehe, kalau itu berarti ada kesalahan teknis. padahal udah aku koreksi masih aja ada yang salah. tapi makasih ya udah dibaca :)

Anonim mengatakan...

Kisahnya mengharukan,
alurnya juga bagus.
keren deh, :D