Pagi ini adalah hari yang istimewa untukku yang mungkin
bagi orang lain tidak. Hari dimana aku akan di interview di sebuah kantor
berita. Keinginan yang teramat besar untukku sejak kecil. Ya, menjadi seorang
reporter atau pembaca berita yang sering muncul di televisi. Bagiku pekerjaan
itu terlihat keren. Dengan baju rapi, bicara tegas, terlihat begitu berwibawa
dan berintelektual tinggi. Itu pemikiran masa kecil yang aku bawa hingga
sekarang. Sedikit memalukan, tapi aku suka.
Kano, pacarku yang amat setia. Perkenalan dua tahun
lalu sejak kepindahannya dari Jepang. Sampai saat ini pun aku masih bingung,
apa yang membuatnya memilihku? Jelas-jelas banyak gadis cantik dan lebih cerdas
yang selalu memberikan perhatian istimewa yang lebih padanya. Apa ini jodoh? Pintu mobil sebelah kiri
terbuka. Aku segera masuk, memakai sabuk pengaman, dan tersenyum padanya. Dia
laki-laki yang dewasa, bertanggung jawab, pekerja keras, masih ditambah tampan
pula. Aku selalu berharap hubunganku kali ini bisa sampai ditahap yang serius.
Maaf, tapi aku tidak ingin mengulang kisah lama yang menyakitkan itu lagi. “Kita
berangkat?” ucapnya yang membuyarkan semua pikiranku. Aku mengangguk mengiyakan.
Dengan satu tarikan pindah gigi, Kano memacu mobilnya cepat. Saat bersamanya
terkadang aku merasa seperti bersama dewa kematian yang siap mencabut nyawaku
kapan saja. Cara mengemudinya yang tak bisa berubah sejak dulu.
Sepuluh menit sebelum wawancara dimulai. Kano menghentikan mobilnya tepat di depan
pintu masuk koridor pertama. Dengan buru-buru aku langsung keluar tanpa
mengucapkan selamat jalan atau sekedar hati-hati. Menutup pintu lalu berlari
dan hilang di balik pintu kaca. Ada yang tertinggal. Aku merasa ada yang tertinggal.
Sambil berlari menuju ruang test wawancara, aku terus mengingat-ingat hal apa
yang kulupakan. Kano!! Otakku berhasil menemukan sesuatu yang membuat kakiku
berhenti seketika. Beberapa detik aku diam seperti patung di depan pintu masuk.
Menenangkan diri sejenak, menarik nafas dan membuang jauh-jauh tentang masalah
Kano.
Suara oak-an burung terdengar jelas ketika aku duduk
bersantai sambil menyeruput jus di jalan setapak dekat rumah. Hari yang melelahkan. Lagi-lagi aku menghela
nafas panjang. Sekali lagi. Tanpa kusadari Kano sudah ikut berjalan di sampingku
dengan baju kerjanya.
“Gagal?” sapanya sesaat setelah aku menyadari hawa
keberadaannya. Aku menggelelng lemas, menoleh sekilas, lalu kembali ke gelas
plastik dalam genggamanku.
“Kalau menggeleng berarti bukan, lalu kenapa?” Dari
sudut mata, aku bisa melihat ekspresi wajahku yang acak-acakkan. Mulutku mengulum.
Entah kenapa aku merasa sangat tidak berselera bahkan hanya untuk menjawab
pertanyaannya.
“Dimana mobilmu?” Mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Aku tahu kamu lagi banyak pikiran. Aku parkir di rumah
dan menyusulmu kemari. Jadi ada apa?” tanyanya lagi. Usahaku tak bertahan lama.
Pada akhirnya aku memang harus mengatakannya, tak ada salahnya, toh ini bukan
kabar yang begitu buruk.
“Kabarnya baru nanti malam lewat telepon,” jelasku
singkat. Sore semakin menjadi. Kini semuanya tampak gelap hanya lampu-lampu
pinggir jalan yang terus menyala. Kano masih di sampingku dan mengantarku sampai
di rumah.
“Kamu mau pulang atau mau mampir dulu?” tanyaku di depan
pintu pagar. Dia tersenyum manis dan menandakan sebuah penolakan lembut.
Genggaman tangan itu kulepaskan perlahan dan membiarkannya pergi, lalu hilang
termakan gelapnya malam.
Selesai membersihkan badan, aku duduk sendiri di meja
makan. Menopangkan dagu sambil kumainkan mulut ke depan dan ke samping. Mata
saya terus mengawasi layar ponsel dengan cemas. Mengetuk-ngetukan kuku-kuku
panjang di meja. Berganti posisi kemana saja, sampai membawa camilan mendekat
untuk mengusir kejenuhan menunggu jam delapan malam yang tak kunjung datang.
Saat itu aku benar-benar frustasi. Belum tekanan batinku sendiri yang sudah
menyandang gelar pengganguran selama enam bulan lebih, masih ditambah beban
malu saat di ajak Kano pergi ke tempat rekan bisnisnya, lalu ditanya: dimana
tempat kerjamu? Sungguh saat itu menjadi saat yang paling memalukan dan
menyakitkan. Rentetan pertanyaan itu muncul lagi dalam benakku seketika,
membuatku semakin was-was, gugup, dan segalanya yang berhubungan dengan
perasaan yang tak menentu. Tak lama kemudian ponsel berdering cukup kencang.
Secepat kilat kuraih ponsel dan menjawabnya. Aku hanya mengganguk-angguk tanpa
berbicara apapun. Menutup telepon, dan berteriak sekencang mungkin.
***
“Hari
pertama di tempat kerja,” ucapku penuh semangat saat menginjakan kaki pertama
kali sebagai seorang pegawai bukan calon pegawai. Melambaikan tangan ke dalam
mobil lalu berbalik dan masuk. Tugas pertama yang kuterima, membuat laporan
berita dari hasil wawancara, terdengar mudah, tapi sama sekali tidak pada
kenyataannya. Aku bertanggung jawab besar atas artikel berita yang kuketik di
atas keyboard komputer. Awal yang cukup sulit tapi harus bisa diatasi. Tidak
akan lagi memalukan diriku sendiri dan orang yang telah mendukungku sampai
sekarang, Kano.
Berartikel-artikel sudah kukerjakan di hari pertama
kali kerja, dan hasilnya cukup memuaskan, itu yang dikatakan laki-laki berkumis
tebal, Mr. Bem. Hari yang pertama memuaskan. Katanya tadi, sungguh
menyenangkan. Akan mempertahankan itu,
batinku. Melanjutkan pekerjaan yang sama sampai jam empat sore dengan seling
setengah jam untuk makan siang. Duduk lama di kursi bukan salah satu hal yang lupa
untuk kuperhitungkan.
Di depan pintu masuk, aku berdiri sambil memainkan sepatu
vantofel yang kurasa sama sekali tidak cocok di kakiku yang brutal. Tak sampai
lima belas menit, suara klakson yang sangat familiar di telingaku sudah berada
di depanku. Kaca jendela berlahan terbuka, senyum manis itu terukir jelas
diwajah orang yang sangat kutunggu. Duduk di jok samping dengan kaca sedikit
dibuka, aku memerhatikan glamornya malam saat ini. Merasakan betapa lelahnya
pulang setelah bekerja. Saat itu aku baru menyadari betapa lelahnya Kano selama
ini, dan betapa egoisnya aku yang selalu memintanya menemaniku setiap malam.
Di warung pinggir jalan, kami berhenti hanya sekedar
untuk makan dan melepas lelah berdua. Satu lalapan gurami dan teh hangat
menjadi menu makan malam pilihanku, dan sepiring nasi goreng udang dan lemon
fresh berada tepat di tengah-tengah kedua tangan Kano. Disela-sela makan, aku memberanikan diri untuk
mengatakan sesuatu pada kano yang aku pikir mungkin itu akan membuatnya marah
atau apa, tapi aku harus bilang.
“Saya ingin belajar?” aku membuka suara. Dia menarik
pandangannya dari piring bulat di depannya. “Belajar? Belajar apa?”
“Belajar menyetir mobil?” ucapku ragu-ragu. Alhasil dia
malah tertawa. Mulutnya terbuka lebar. Kewibawaannya seakan hilang begitu saja
saat aku melihat tawanya itu. Tawa mirip alien yang mau memangsa.
“Ada yang lucu?”
“Tidak. Tidak ada. Apa yang membuatmu ingin belajar?
Apa aku kurang tepat waktu untuk menjemputmu dan mengantarmu?”
“Bukan,” aku diam sesaat lalu melanjutkan, “aku hanya
tidak mau bergantung terus-terusan sama kamu. Aku juga ingin mandiri. Bisa melakukan
semuanya sendiri. Aku takut suatu saat nanti, disaat kamu bosan, kamu membuangku
begitu saja seperti cerita yang ada di sinetron-sinetron.” Kano kembali tertawa
dan itu hampir membuatnya tersedak.
“Jangan tertawa lagi!!” Dia memperhatikan wajah saya
yang mulai tak berselera. Membalik sendok dan garpunya, lalu meraih tangan
saya. “Apa pun. Apa pun itu, asal itu bisa membuatmu lebih baik dari sekarang,
aku akan dukung, termasuk belajar menyetir seperti katamu tadi.” Aku senang mendengar
itu semua. Dia memang selalu mendukung semua keinginanku selama itu masih bisa
diterima oleh akal sehat dan bukan tindakan negatif, dia pasti mendukung.
Itulah salah satu alasan aku ingin selalu bersamanya.
Merebahkan badan di kursi panjang di halaman belakang.
Segelas teh hangat tersanding di samping lengan kursi. Aku membuka pekerjaan
yang belum sempat selesai tadi dan harus kubawa pulang. Mulai memeriksa poin-poin
dalam sebuah video rekaman dan mengubahnya ke dalam bentuk artikel. Jarum jam
terus berputar mendekati angka sepuluh malam. Kamar seolah mulai memanggilku
untuk segera masuk dan beristirahat, terasa horror. Aku bergegas pergi ke kamar
mandi di samping dapur, membasuh muka beberapa kali, mengeringkannya, dan
kembali ke tempat semula. Belum lama semenjak aku kembali dari dapur, angin
malam terasa begitu menyegat, saya pun membereskan pekerjaan saya dan
melanjutkannya di meja makan.
***
Seperti biasa Kano menjemput dan mengatarkanku ke
tempat kerja dengan setia. Semua perhatian itu yang membuatku sangat takut
kalau harus kehilangannya. Pergi ke ruang pimpinan lalu menyerahkan pekerjaan
semalam. Harap-harap cemas merasuki tubuh dan pikiranku. berandai-andai kalau
sampai pekerjaan yang kubuat salah. Apa yang akan kulakukan. Mr. Bem tersenyum
ke arahku, tapi Aku tetap tak bisa menerka apa maksud dari senyuman manusia
berkumis tebal itu. Dia menggerakan tangannya menyuruhku agar keluar. Aku keluar
setengah takut bercampur lega. Berjalan cepat ke meja kerja, duduk, menarik
nafas untuk mengurangi rasa deg-degan yang masih menggelayuti perasaanku. Telepon
berdering kencang, memecah kegiatan refleksi yang kubuat seketika. gagang
telepon kubawa mendekat ke telinga. “Selamat pagi,” sapaku pertama kali. “Baik
pak,” ucapku saat mengakhiri pembicaraan. Aku beranjak dari kursi, menjelajahi
ruangan untuk mencari keberadaan sosok Mili, wanita cantik berambut hitam sembur
merah.
“Apa kamu sudah lama menjadi reporter berita?” tanyaku
di tengah perjalanan.
“Ya, sudah lima tahun lebih.”
“Apa selalu jadi reporter?”
“Tidak juga, kadang aku juga jadi sepertimu, menulis
berita dari hasil liputan, tapi aku lebih suka bekerja sebagai seorang reporter
daripada seorang juru tulis sepertimu, kenapa?” ia balik bertanya.
“Ahh bukan apa-apa. Ngomong-ngomong kenapa kamu lebih
suka jadi seorang reporter? Apa karena bisa pergi kemana-mana?” tanyaku lagi lebih
penasaan.
“Mungkin iya, tapi bukan karena itu. Aku lebih suka
jadi reporter karena menurutku, dengan aku jadi seorang reporter aku bisa
berinteraksi dengan banyak orang, yang mungkin berbeda daerah, budata, atau
lainnya.” Aku terkagum melihat sosok di sebelahku yang begitu terlihat
berwibawa. Apa aku juga bisa seperti dia?
Menurutku, Mili adalah orang yang asik dan enak untuk diajak berdiskusi atau sekedar
bicara santai belaka. Perjalanan mendekati selesai, TKP peristiwa perampokan
itu sudah terlihat di ujung jalan besar ini. Dengan sigap, Mili meraih alat
perekamnya, serta rentetan pertanyaan yang dari tadi dipersiapkannya. Aku
mengikuti Mili dari belakang, beberapa saat aku tertinggal di belakang dengan
jarak yang cukup jauh, tapi aku berupaya mempercepat langkah kaki saya.
Berdesak-desakan, sudah tentu itu terjadi. Berubut
dengan reporter lain serta polisi juga sudah pasti terjadi disini. Aku teringat
pesan Mili sebelum keluar, kuatkan
kakimu, jangan sampai terjatuh atau reputasimu akan rusak. Sebisanya aku
menguatkan posisiku dan terus berada di dekat Mili serta crew yang lain tanpa
mengorbankan profesikudengan bersikap pesimis dan tak tanggap.
Menghabiskan waktu di lapangan, sekitar setengah tiga
sore, aku baru bisa duduk di kursi kerja ini lagi. Menyesap teh hangat yang
baru di letakkan oleh office boy yang
namanya pun aku tidak tahu. Leher terasa kaku. Begitu juga dengan badan.
Berusaha sekuat tenaga menahan desakan orang-orang yang sama-sama mengeraskan
badan mereka. Ponselku berputar di depan tumpukan berkas, satu pesan dari Kano,
‘ada yang ingin aku bicarakan, nanti
sepulang kerja aku jemput kamu, jika ada kerja lembur tolong tolak, meski aku
tahu pegawai baru sepertimu tidak mungkin mendapatkan kerja lembur’.
Tiba-tiba berbagai pertanyaan muncul dalam pikiranku. Apa yang ingin Kano
bicarakan?
***
Kano membawaku ke tempat pertama kali kami bertemu,
bandara. Sekujur tubuhku seketika mendingin. Kano menunjukan ekspresi
keseriusan yang dalam. Meraih ke dua tanganku ke depan dadanya. Jarak diantara
kami saat itu benar-benar dekat. Nafasnya pun terdengar jelas saat berhembus.
Kano menatapku lekat-lekat. Ada kebingungan yang ingin dia sampaikan.
“Mungkin semuanya akan berakhir atau mungkin akan tetap
bertahan, semuanya tergantung kamu,” ucapnya tiba-tiba. Aku masih memilih untuk
diam. Aku menunggunya bicara. Melihat reaksiku, ia pun melanjutkan. “Malam ini
aku harus pergi ke Australia, ada urusan disana.”
“Berapa lama?” tanyaku datar.
“Mungkin sekitar lima atau enam tahun, atau juga bisa
lebih dari itu.” Aku terdiam, menunduk lemas. Mulutku terkunci rapat saat itu.
Rentetan pertanyaan sebenarnya ingin kutanyakan tapi sia-sia.
“Tapi jangan khawatir, kita masih bisa berhungungan
dengan internet, fax, atau yang lainnya, itu pun kalau kamu masih ingin
bertahan,” hiburnya buru-buru.
“Lalu bagaimana dengan janjimu yang akan mengajariku
menyetir?”
“Aku tahu kamu hebat, tanpa aku pun kamu pasti bisa.”
“Lalu bagaimana jika suatu saat nanti, saat aku
menelponmu, bukan kamu yang menjawab melainkan mesin otomatis yang menyebalkan
itu?” desakku dengan air mata yang mulai keluar. Ada rasa sakit. Seketika aku
merasa bahwa kejadian itu akan terulang lagi. tapi aku juga tidak bisa
menahannya. Aku juga tidak ingin menjadi orang yang egois. Tapi ini
menyakitkan. Kenapa harus sekarang?
“Aku akan berusaha aku yang akan menjawabnya.” Aku
masih menunduk. Otakku terasa kosong. Tatapan mata yang hangat itu tidak akan
pernah kulihat lagi untuk waktu yang cukup lama. Dalam satu gerakan cepat, Kano
memelukku. Membuatku merasakan dekapan yang sanggup membuatku merasa selalu
terlindungi. Dan disanalah kesedihanku membuncah. Sudah tidak bisa kutahan
lagi. Aku tidak ingin dia pergi.
“Lalu apa yang ingin kamu katakan sejujurnya?” bisikku
dengan nada getir.
“Biarkan aku pergi! Setelah kamu melihat pesawat
melintas di langit, mungkin itu adalah pesawatku. Aku tunggu kabar darimu selama
dua tahun, dihitung setelah kepergianku. Jika kamu masih ingin bersamaku,
beritahu aku. Tapi jika kamu ingin mengubur semuanya, kirimkan aku kartu
pernikahanmu. Aku pasti akan datang dan memberimu ucapan selamat berbahagia.”
Aku tersentak. Kata-kata itu begitu menyakitkan. Bagaimana bisa dengan mudahnya
dia menyuruhku memilih dua pilihan itu. Pilihan yang jelas tidak mungkin
kupilih. Tapi baru saja aku mengatakan bahwa aku tidak ingin dia pergi,
sekarang dia malah mengatakan bahwa dia akan pergi. Semuanya sudah tak bisa
kutahan lagi. Perasaan itu hancur sudah.
“Apa kamu terima perjanjian ini?” tanya Kano lembut. Kutarik
tubuhku lepas dalam dekapannya. Sekuat tenaga, kubalas menatap kedua mata itu.
“Lalu denganku? Bagaimana kalau disana kamu telah menikah
dengan orang lain dan melupakan perjanjian ini?” Kano tersenyum penuh keyakinan.
Senyum itu. Aku menutup mataku. Senyum itu tidak akan pernah kulihat lagi.
“Jangan khawatir, aku akan membentengi hatiku selama
dua tahun ke depan. Sama halnya dengan aku membentengi hatiku selama dua tahun
saat bersamamu. Jadi?” Aku pun hanya mengganguk pasrah. Aku berharap apa yang
dikatakannya barusan benar adanya.
Setengah jam berlalu sudah sejak pesawat itu lepas
landas. “Dimulai dari sekarang, ya kan, Kano?” gumamku pelan. Di tempat ini, di
bandara ini, pertama kali saya bertemu dengan Kano. Berawal dari sebuah perkenalan
singkat dan berjalan baik-baik saja selama dua tahun, tapi disini jugalah, aku
dan Kano harus berpisah. Dia pergi, menempuh jarak bermil-mil dari tempatku
berdiri sekarang. Aku memang memutuskan untuk melakukan hal yang sama dengan
Kano. Aku berusaha membentengi hatiku. Tapi satu yang mengganggu pikiranku
adalah apa setelah dua tahun ke depan, aku masih memiliki harapan agar dia
kembali atau aku harus melihat masa depan dengan melupaknya?
SELESAI ..
3 komentar:
mirip kisahmu san.. hehehe.. :D
owh ya, td aq baca disana ada kata 'berlahan'apa nggk seharusnya 'perlahan'?
trus masi bnyk kata yg sdikit mlenceng, misalkan harusnya 'siap' eh malah 'sipa', maklum lah klo itu, cuma salah2 kecil doank, tapi ceritamu bagus san..
:) serius..
~Tiara~
hehehe, kalau itu berarti ada kesalahan teknis. padahal udah aku koreksi masih aja ada yang salah. tapi makasih ya udah dibaca :)
Kisahnya mengharukan,
alurnya juga bagus.
keren deh, :D
Posting Komentar