Tak terasa
waktu sudah berjalan sejauh setengah tahun lamanya. Sementara aku masih di
sini. Masih harus menghabiskan sisa waktuku di kota besar yang mungkin tak
bersahabat. Aku, seorang murid SMA yang dipaksa jauh dari keluarga. Jauh dari bagian
yang kuanggap penting. Dan lagi, mungkin memang sudah waktunya aku harus
menjalani hidup yang baru.
***
Seperti biasa hari ini juga mendung.
Deretan awan-awan hitam berjejer rapi membentuk lalu lintas yang padat.
Matahari pun masih enggan harus berebut dengan antrian panjang yang ketika
marah akan menimbulkan masalah. Baru jam enam pagi. Ini hari pertamaku setelah
libur beberapa hari. Berjalan menyusuri gang kecil dengan tas terselempang di
bahu. Ujung gang mulai terlihat, tempatku biasa menunggu angkutan kota. Aku
menunggu lalu segera masuk setelah benda warna kuning itu berhenti di depanku.
Hanya itu.
Deretan ruang kelas membentuk
persegi. Tiga lapangan olahraga, melingkup seolah menjadi pos-pos penjaga. Di
bagian depan, tergelar lapangan bulu tangkis yang masih beraromakan cat. Tanah
merah memenuhi seluruh bagian dari lapangan voli yang berjejer rapi dengan
lapangan upacara. Di barisan terakhir akan terlihat bentangan lapangan basket.
Hari ini masih terlalu pagi, jam
06.20. Duduk di bangku kedua dari depan, meletakan tas, lalu memandang tulisan
yang masih tersisa di papan. Aku mengamati tulisan-tulisan itu cukup lama.
Cukup lama sampai kelas yang semula tak berpenghuni kini sudah memiliki banyak
tuan. Kutarik pandanganku menjauh dari papan. Percuma saja. Tidak akan ada yang
berubah. Tidak akan.
Matahari mulai mengarahkan sinarnya
ke celah-celah pohon dan merambat ke dalam. Pelajaran dimulai. Aku memang
menyiapkan pena dan buku, tapi keduanya sama sekali tak bergerak. Pandanganku
sudah semakin parah. Pendengaran? Mungkin memang hanya itu yang bisa
kuandalkan. Selalu berada di dalam ruangan yang memenjarakanmu, sementara kedua
matamu menyaksikan kebebasan orang yang persis berada di sebelahmu. Satu yang
kutunggu dari tujuh jam duduk dengan kekosongan, pulang.
***
“Mei!!” Aku menoleh ke belakang,
mendapati gadis berambut lurus datang ke arahku dengan sepeda kesayangannya.
Aku diam di tempat. Menunggu.
“Apa?” tanyaku singkat.
“Ayo ikut aku beli jaket.”
“Sekarang?” Dia mengangguk. Rambut
ekor kudaku sengaja kubiarkan menari-nari karena terpaan angin. Empat kilometer
tanpa jalan memutar dari sekolah. Deretan pertokoan itulah yang menjadi ujung
perjalanan kami.
Memasuki satu persatu toko. Aku
membantunya memilih satu jaket untuk hadiah ulang tahun pacarnya. Setan hinggap
dan memunculkan kejahilanku. Sikapnya yang seperti anak-anak membuatku suka
mengerjainya. Saat itu aku tertawa. Sejenak melupakan perasaan aneh yang selalu
membelenggu perasaanku. Aku selalu bisa tertawa lepas saat bersamanya, bersama
mereka, teman-temanku. Masuk dan keluar toko berkali-kali tapi belum satu pun
yang dapat menarik perhatiannya, sebut saja dia Aya. Toko terakhir di belokan
jalan dekat bundaran. Aku baru ingat ada distro lumayan besar di sana. Kami
masuk dan mulai memilih. Lagi-lagi memilih. Akhirnya jaket warna biru dengan
camuran hitam di bagian lengan menjadi pilihan gadis itu. Jujur aku senang ini
semua berakhir. Belanja memang bukan hobiku, tapi aku juga tidak bisa menolak
ajakannya. Aku hanya ingin membalas semuanya.
***
Hidupku kembali saat langit beranjak
gelap. Di kamar mandi, kubiarkan sebagian rambut dan wajahku tenggelam di bak
mandi. Aku menyelesaikan mandiku dan bergegas keluar. Rumah ini masih milik
keluargaku. Tinggal di sini sedikit membuatku senang karena tidak akan pernah mendengar
kata seandainya, coba kamu, atau kata-kata perandaian lainnya. Tapi aku juga
kesepian. Duduk memaku di meja belajar. Kertas-kertas yang penuh coretan
berserakan menutupi permukaan meja berlapis kaca. Kuraih dan kujadikan satu
lalu kusimpan rapi di laci kecil. Seseorang itu tengah tersenyum di dalam
pigora. Kuingat jelas saat dia menghiburku. Seseorang yang amat kurindukan.
Mataku beralih pada tumpukan tugas
di pojok meja. Aku mulai mengerjakan itu semua. Sementara ponselku terus
berbunyi dengan lagu yang silih berganti. Untuk sesaat perasaan itu terdesak
oleh soal-soal dan lari entah kemana, meskipun nanti mereka akan kembali.
Malam yang semakin larut memaksaku
untuk membanting tubuhku ke ranjang. Bahkan dalam kondisiku yang sangat lelah,
aku masih harus bertarung dengan kedua mataku yang memberontak. Terlebih karena
perasaan itu telah pulang.
***
“Ini
buat kamu. Maaf aku enggak sengaja,” ucapku penuh penyesalan. Dia tersenyum.
Lesung pipinya yang dalam membuatnya terlihat sangat tampan.
“Enggak pa-pa
kok.” Aku bingung. Jadi kuputusan untuk diam sampai akhirnya tanganku bergerak
sendiri ketika melihatnya merapikan barang-barangnya yang berserakan. “Aku
bantu.”
“Makasih.” Aku
berjalan di sampingnya dengan bagian kecil dari setumpuk bawaannya. Dia tinggi
dan wangi. Meskipun semua bawaannya adalah buku-buku tebal milik perpustakaan,
dia sama sekali tidak terlihat sebagai seorang kutu buku. Sorot mata yang
terlihat hangat itu membuatku merasa nyaman. Aku menyukai orang ini.
“Anak baru?”
tanyaku memecah keheningan. Dia menoleh padaku sekilas lalu kembali ke depan. “Iya.
Aku baru pindah dari Surabaya beberapa hari lalu.”
“Nama kamu siapa?
Aku Meirashanda Emerald. Kamu bisa panggil aku Mei.”
“Kamu ada turunan
bule ya? Aku Kitten. Marchel Kitteno.” Tanpa sadar aku terkekeh sendiri saat
mendengar namanya yang cukup aneh di telingaku. Dan manusia di sebelahku ini
sepertinya menyadari arti dari tawaanku.
“Pasti kamu lagi
ngetawain nama aku yang aneh ya?”
Aku tersentak dan seketika diam. “Hehe, iya, maaf-maaf. Habis namamu
seperti anak kucing,” jawabku cengengesan.
“Memang,”
sahutnya santai. Sama sekali tidak ada nada tersingungg di sana.
Dia menarikku ke
dalam dekapannya. Aku tak henti-hentinya menangis. Mataku sudah begitu merah. Ia terus
mengelus-elus punggungku mencoba menenangkan tapi tak berhasil. Aku justru
semakin menangis kencang.
“Hei jangan makin
nangis. Kamu itu jelek kalo nangis. Sudah cup-cup.” Berkali-kali kuhapus ingusku
dengan tisu. Suaraku tertahan di tenggorokan. Setiap dia bertanya ada apa,
setiap itu pula aku menangis. Bukan aku tidak ingin bercerita. Aku sangat
ingin. Tapi setiap aku akan bercerita, cerita itu membuatku takut sendiri. Kabar
buruk itu begitu mengejutkanku dan aku tidak ingin dia tahu. Cukup satu mimpi
buruk saja yang dia tahu.
“Hustt! Sudah
jangan nangis lagi.” Aku menarik tubuhku ketika dia menarik tangannya untuk
melihat jarum jam pada arlojinya. Ia tersenyum padaku. Menghapus air mataku.
“Jangan nangis lagi. Selamat tahun baru Mei,” katanya pelan dan tak lama
setelah itu kembang api berterbangan menghiasi langit. Dia kemudian berdiri dan
menarikku untuk bergabung dengan kerumunan orang-orang di tengah taman besar
kota.
“David? Kamu
ngapain ke sini? Ini sudah malam banget loh.” Wajahnya terlihat bingung. Kerena
melihatnya, aku pun ikut bingung sendiri. Tiba-tiba tangannya terjulur begitu
saja dengan kotak kecil. Kubolak-balik kotak yang kini bersemayam di tanganku.
“Jangan dibuka
sekarang!” cegahnya ketika ia melihat maksudku. Aku mengangguk ragu. Lagu
Jepang itu kembali meraung dari arah kamarku. Sebuah panggilan masuk.
“Mei,” panggilnya
pelan. Kepalanya menunduk dan semakin membuatku merasakan ada sesuatu yang
ingin ia katakan tapi ia bingung harus mulai dari mana.
“Aku.. Aku pamit
pulang.”
“Ya,” jawabku
kembali ragu. Aku berlari masuk ke kamar, sesaat setelah sepeda motor itu
berbelok di gang depan. One missed call. Private number.
Itulah tulisan-tulisan yang terpampang di bawah gambar telepon rumah kecil. Tak
kupedulikan itu. Rasa penasaran menggerogoti otakku untuk segera membuka kotak
yang baru saja kuterima. Mataku terbelalak. Sedikit membulat dari bentuk
aslinya. Sebuah gantungan ponsel berbentuk lumba-lumba dari kaca berwarna biru
muda dan kertas kecil yang terselip di bawahnya.
Terima kasih
kamu sudah pernah ada dalam bagian cerita hidupku.
Aku tak pernah tahu, aku berada
dalam posisi apa di hidupmu.
Tapi buat aku, kamu memiliki tempat
yang khusus.
Maaf kalau aku harus pergi dengan
sikap pecundang seperti ini.
Mulai sekarang kamu bukan milik aku
lagi.
Bukan-bukan. Memangnya sejak kapan
kamu jadi milik aku? Hahaha …
Hidup ini indah. Sayang kita belum
menemukannya.
Cari. Jangan nangis lagi. Aku yakin
kamu bisa nemuin kebahagiaanmu.
Tersenyum. Percayalah Tuhan ada
bersama kita.
***
“Kitten!!!” Suara teriakanku
bercampur dengan suara musik yang terus berputar semalaman. Aku meringkuk.
Mendekap erat kedua kakiku yang masih gemetar. Air mata ini terasa begitu
dingin saat membasahi kedua lututku. Deringan jam beker tak kuhiraukan. Aku
masih terus menangis sampai sinar matahari masuk menerobos jendela yang
tertutup gorden gelap dan memaksaku untuk segera masuk ke kamar mandi.
Rutinitas seperti hari-hari yang
sudah berlalu. Tak ada yang istimewa. Pergi ke sekolah. Duduk, mendengarkan,
mengerjakan, tertawa, dan pulang. Membosankan. Sepulang sekolah, aku duduk
menghadap foto orang itu. Foto yang kuambil diam-diam tanpa sepengetahuannya. Coretan-coretan
itu kembali menghirup udara bebas setelah cukup lama terpenjara dalam gelapnya
laci kecil. Kubaca dari awal. Berharap dengan begitu aku bisa menemukan
kelanjutan dari tulisanku dengan tepat. Aku
munafik!, kata-kata itu tiba-tiba terbesit dalam pikiranku.
“Apa yang aku tahu tentang
kebahagiaan? Apa yang aku tahu tentang cinta? Dan apa yang aku tahu tentang
keluarga?”
“Cerita-cerita omong kosong semua
yang kubuat. Bagaimana aku bisa menulis cerita tentang sepasang kekasih kalau
aku sendiri selalu berharap orang yang menghilang itu kembali. Orang yang
meninggalkan memori yang membuatku menderita dengan perasaanku sendiri.
Bagaimana aku bisa menulis cerita tentang kakak beradik seperti ini? Padahal
aku selalu merasa jauh tertinggal dan tak akan pernah sejajar dengan kakakku
sendiri. Aku selalu hidup dalam cerita fiksiku sendiri. Penyakit mata ini.
Leukimia ini. Bagaimana bisa aku melihat keindahan itu? Melihat saja semakin
lama semakin susah. Aku rindu saat-saat itu. Aku rindu,” runtukku yang
kutorehkan pada tulisanku.
Tanpa kusadari amarah itu tiba-tiba
menyerang. Membuatku membuang seluruh kertas itu ke belakang. Kuangkat kakiku
lalu kudekap keduanya. Dan aku kembali pada fase terbawah dalam hidupku. Cari. Jangan nangis lagi. Aku yakin kamu
bisa nemuin kebahagiaanmu. Tersenyum. Percayalah Tuhan ada bersama kita. Kata-kata
dalam mimpi itu kembali terlintas dalam benakku. Mencambukku dengan keras.
Menghentikan isakkan tangisku seketika.
“Jangan konyol!” keluhku. Aku
beranjak ke pigora yang tergantung di dinding yang penuh dengan
poster-poster. Tersenyum. Percayalah Tuhan ada bersama kita. Menatap lekat-lekat empat orang yang tersenyum lepas termasuk
aku di dalamnya. Laki-laki itu merangkul kami berdua. Kumisnya yang tebal dan
dia sendiri tidak berniat untuk mencukurnya. Sementara wanita itu terlihat
sedang memanggil kami dari balik panggangan. Jemariku mengepal keras. Tubuhku
menegang.
“Kebahagiaan itu sungguh ada kan?
Aku ingin melihat, meskipun hanya sekali. Aku ingin melihat sebelum aku
kehilangan pengelihatan ini.”
***
Aya menghapus air matanya lalu
melipat bagian ujung halaman. Rasti, cahya, dan Lidya memeluknya erat. Mereka
bertiga sama mengeluarkan air mata seperti Aya. Namun sebisa mungkin mereka
menahannya. Mereka ingin menguatkan diri mereka sekaligus teman mereka yang
terlihat sangat kehilangan.
“Ini tulisan Mei, Ras. Dia pernah
bilang kalo dia lagi nulis kisah nyata. Aku pikir itu cuman tentang dia sama Si
Kitten itu, tapi ternyata semua. Kenapa dia enggak pernah bilang kalo dia punya
penyakit lain? Apa dia enggak percaya sama kita? Kenapa juga penyakitnya enggak
mau mengalah sebentar lagi. Mengalah agar Mei bisa ngerasain apa itu
kebahagiaan lebih lama.” Aya menangis sesegukan. Rasti dan Lidya hanya bisa
saling pandang. Mereka juga bingung harus bicara apa.
“Dia cuman enggak mau bikin kita
sedih ataupun khawatir. Dia enggak punya maksud lain kok. Terlebih mungkin ini
yang terbaik. Dari pada dia tersiksa dengan penyakitnya. Dia harus nahan
penyakitnya lebih lama dan itu malah makin menyiksa dia. Semua sudah diatur
sama Tuhan. Sudah ya,” hibur Cahya. Pundaknya naik turun seirama dengan tarikan
nafasnya yang tak beraturan. Gadis berkuncir satu itu terus memeluk buku
setebal tiga ratus halaman dalam pelukan teman-temannya.
SELESAI ..
6 komentar:
Keren
kasian banget si mei
tp yang jelas dia udah nemuin kebahagiaannya sebelum dia 'pergi' :D
emang bener ya ada penyakit kanker mata?
Baru denger saya:p
eh si kitten ntu cew/cow
gendernya gak jelas
*plakk
keep write yaa:)
makasih ya udah dibaca + dikomen :)
keren
makasih ya komentarnya :D silahkan baca postingan tahun 2013 yang lain juga. terima kasih :)
T.T
`t
kenapa kok nangis? terharu ya? hehehehe :P
Posting Komentar