Minggu, 20 Januari 2013

Life Smiling

Tak terasa waktu sudah berjalan sejauh setengah tahun lamanya. Sementara aku masih di sini. Masih harus menghabiskan sisa waktuku di kota besar yang mungkin tak bersahabat. Aku, seorang murid SMA yang dipaksa jauh dari keluarga. Jauh dari bagian yang kuanggap penting. Dan lagi, mungkin memang sudah waktunya aku harus menjalani hidup yang baru.

                                                                            ***
            Seperti biasa hari ini juga mendung. Deretan awan-awan hitam berjejer rapi membentuk lalu lintas yang padat. Matahari pun masih enggan harus berebut dengan antrian panjang yang ketika marah akan menimbulkan masalah. Baru jam enam pagi. Ini hari pertamaku setelah libur beberapa hari. Berjalan menyusuri gang kecil dengan tas terselempang di bahu. Ujung gang mulai terlihat, tempatku biasa menunggu angkutan kota. Aku menunggu lalu segera masuk setelah benda warna kuning itu berhenti di depanku. Hanya itu.
            Deretan ruang kelas membentuk persegi. Tiga lapangan olahraga, melingkup seolah menjadi pos-pos penjaga. Di bagian depan, tergelar lapangan bulu tangkis yang masih beraromakan cat. Tanah merah memenuhi seluruh bagian dari lapangan voli yang berjejer rapi dengan lapangan upacara. Di barisan terakhir akan terlihat bentangan lapangan basket.
            Hari ini masih terlalu pagi, jam 06.20. Duduk di bangku kedua dari depan, meletakan tas, lalu memandang tulisan yang masih tersisa di papan. Aku mengamati tulisan-tulisan itu cukup lama. Cukup lama sampai kelas yang semula tak berpenghuni kini sudah memiliki banyak tuan. Kutarik pandanganku menjauh dari papan. Percuma saja. Tidak akan ada yang berubah. Tidak akan.
            Matahari mulai mengarahkan sinarnya ke celah-celah pohon dan merambat ke dalam. Pelajaran dimulai. Aku memang menyiapkan pena dan buku, tapi keduanya sama sekali tak bergerak. Pandanganku sudah semakin parah. Pendengaran? Mungkin memang hanya itu yang bisa kuandalkan. Selalu berada di dalam ruangan yang memenjarakanmu, sementara kedua matamu menyaksikan kebebasan orang yang persis berada di sebelahmu. Satu yang kutunggu dari tujuh jam duduk dengan kekosongan, pulang.
                                                                            ***
            “Mei!!” Aku menoleh ke belakang, mendapati gadis berambut lurus datang ke arahku dengan sepeda kesayangannya. Aku diam di tempat. Menunggu.
            “Apa?” tanyaku singkat.
            “Ayo ikut aku beli jaket.”
            “Sekarang?” Dia mengangguk. Rambut ekor kudaku sengaja kubiarkan menari-nari karena terpaan angin. Empat kilometer tanpa jalan memutar dari sekolah. Deretan pertokoan itulah yang menjadi ujung perjalanan kami.
            Memasuki satu persatu toko. Aku membantunya memilih satu jaket untuk hadiah ulang tahun pacarnya. Setan hinggap dan memunculkan kejahilanku. Sikapnya yang seperti anak-anak membuatku suka mengerjainya. Saat itu aku tertawa. Sejenak melupakan perasaan aneh yang selalu membelenggu perasaanku. Aku selalu bisa tertawa lepas saat bersamanya, bersama mereka, teman-temanku. Masuk dan keluar toko berkali-kali tapi belum satu pun yang dapat menarik perhatiannya, sebut saja dia Aya. Toko terakhir di belokan jalan dekat bundaran. Aku baru ingat ada distro lumayan besar di sana. Kami masuk dan mulai memilih. Lagi-lagi memilih. Akhirnya jaket warna biru dengan camuran hitam di bagian lengan menjadi pilihan gadis itu. Jujur aku senang ini semua berakhir. Belanja memang bukan hobiku, tapi aku juga tidak bisa menolak ajakannya. Aku hanya ingin membalas semuanya.
                                                                            ***
            Hidupku kembali saat langit beranjak gelap. Di kamar mandi, kubiarkan sebagian rambut dan wajahku tenggelam di bak mandi. Aku menyelesaikan mandiku dan bergegas keluar. Rumah ini masih milik keluargaku. Tinggal di sini sedikit membuatku senang karena tidak akan pernah mendengar kata seandainya, coba kamu, atau kata-kata perandaian lainnya. Tapi aku juga kesepian. Duduk memaku di meja belajar. Kertas-kertas yang penuh coretan berserakan menutupi permukaan meja berlapis kaca. Kuraih dan kujadikan satu lalu kusimpan rapi di laci kecil. Seseorang itu tengah tersenyum di dalam pigora. Kuingat jelas saat dia menghiburku. Seseorang yang amat kurindukan.
            Mataku beralih pada tumpukan tugas di pojok meja. Aku mulai mengerjakan itu semua. Sementara ponselku terus berbunyi dengan lagu yang silih berganti. Untuk sesaat perasaan itu terdesak oleh soal-soal dan lari entah kemana, meskipun nanti mereka akan kembali.
            Malam yang semakin larut memaksaku untuk membanting tubuhku ke ranjang. Bahkan dalam kondisiku yang sangat lelah, aku masih harus bertarung dengan kedua mataku yang memberontak. Terlebih karena perasaan itu telah pulang.
                                                                            ***
            “Ini buat kamu. Maaf aku enggak sengaja,” ucapku penuh penyesalan. Dia tersenyum. Lesung pipinya yang dalam membuatnya terlihat sangat tampan.
            “Enggak pa-pa kok.” Aku bingung. Jadi kuputusan untuk diam sampai akhirnya tanganku bergerak sendiri ketika melihatnya merapikan barang-barangnya yang berserakan. “Aku bantu.”
            “Makasih.” Aku berjalan di sampingnya dengan bagian kecil dari setumpuk bawaannya. Dia tinggi dan wangi. Meskipun semua bawaannya adalah buku-buku tebal milik perpustakaan, dia sama sekali tidak terlihat sebagai seorang kutu buku. Sorot mata yang terlihat hangat itu membuatku merasa nyaman. Aku menyukai orang ini.
            “Anak baru?” tanyaku memecah keheningan. Dia menoleh padaku sekilas lalu kembali ke depan. “Iya. Aku baru pindah dari Surabaya beberapa hari lalu.”
            “Nama kamu siapa? Aku Meirashanda Emerald. Kamu bisa panggil aku Mei.”
            “Kamu ada turunan bule ya? Aku Kitten. Marchel Kitteno.” Tanpa sadar aku terkekeh sendiri saat mendengar namanya yang cukup aneh di telingaku. Dan manusia di sebelahku ini sepertinya menyadari arti dari tawaanku.
            “Pasti kamu lagi ngetawain nama aku yang aneh ya?”
Aku tersentak dan seketika diam. “Hehe, iya, maaf-maaf. Habis namamu seperti anak kucing,” jawabku cengengesan.
            “Memang,” sahutnya santai. Sama sekali tidak ada nada tersingungg di sana.

            Dia menarikku ke dalam dekapannya. Aku tak henti-hentinya menangis.  Mataku sudah begitu merah. Ia terus mengelus-elus punggungku mencoba menenangkan tapi tak berhasil. Aku justru semakin menangis kencang.
            “Hei jangan makin nangis. Kamu itu jelek kalo nangis. Sudah cup-cup.” Berkali-kali kuhapus ingusku dengan tisu. Suaraku tertahan di tenggorokan. Setiap dia bertanya ada apa, setiap itu pula aku menangis. Bukan aku tidak ingin bercerita. Aku sangat ingin. Tapi setiap aku akan bercerita, cerita itu membuatku takut sendiri. Kabar buruk itu begitu mengejutkanku dan aku tidak ingin dia tahu. Cukup satu mimpi buruk saja yang dia tahu.
            “Hustt! Sudah jangan nangis lagi.” Aku menarik tubuhku ketika dia menarik tangannya untuk melihat jarum jam pada arlojinya. Ia tersenyum padaku. Menghapus air mataku. “Jangan nangis lagi. Selamat tahun baru Mei,” katanya pelan dan tak lama setelah itu kembang api berterbangan menghiasi langit. Dia kemudian berdiri dan menarikku untuk bergabung dengan kerumunan orang-orang di tengah taman besar kota.

            “David? Kamu ngapain ke sini? Ini sudah malam banget loh.” Wajahnya terlihat bingung. Kerena melihatnya, aku pun ikut bingung sendiri. Tiba-tiba tangannya terjulur begitu saja dengan kotak kecil. Kubolak-balik kotak yang kini bersemayam di tanganku.
            “Jangan dibuka sekarang!” cegahnya ketika ia melihat maksudku. Aku mengangguk ragu. Lagu Jepang itu kembali meraung dari arah kamarku. Sebuah panggilan masuk.
            “Mei,” panggilnya pelan. Kepalanya menunduk dan semakin membuatku merasakan ada sesuatu yang ingin ia katakan tapi ia bingung harus mulai dari mana.
            “Aku.. Aku pamit pulang.”
            “Ya,” jawabku kembali ragu. Aku berlari masuk ke kamar, sesaat setelah sepeda motor itu berbelok di gang depan. One missed call. Private number. Itulah tulisan-tulisan yang terpampang di bawah gambar telepon rumah kecil. Tak kupedulikan itu. Rasa penasaran menggerogoti otakku untuk segera membuka kotak yang baru saja kuterima. Mataku terbelalak. Sedikit membulat dari bentuk aslinya. Sebuah gantungan ponsel berbentuk lumba-lumba dari kaca berwarna biru muda dan kertas kecil yang terselip di bawahnya.
            Terima kasih kamu sudah pernah ada dalam bagian cerita hidupku.
            Aku tak pernah tahu, aku berada dalam posisi apa di hidupmu.
            Tapi buat aku, kamu memiliki tempat yang khusus.
            Maaf kalau aku harus pergi dengan sikap pecundang seperti ini.
            Mulai sekarang kamu bukan milik aku lagi.
            Bukan-bukan. Memangnya sejak kapan kamu jadi milik aku? Hahaha …
            Hidup ini indah. Sayang kita belum menemukannya.
            Cari. Jangan nangis lagi. Aku yakin kamu bisa nemuin kebahagiaanmu.
            Tersenyum. Percayalah Tuhan ada bersama kita.
                                                                            ***
            “Kitten!!!” Suara teriakanku bercampur dengan suara musik yang terus berputar semalaman. Aku meringkuk. Mendekap erat kedua kakiku yang masih gemetar. Air mata ini terasa begitu dingin saat membasahi kedua lututku. Deringan jam beker tak kuhiraukan. Aku masih terus menangis sampai sinar matahari masuk menerobos jendela yang tertutup gorden gelap dan memaksaku untuk segera masuk ke kamar mandi.
            Rutinitas seperti hari-hari yang sudah berlalu. Tak ada yang istimewa. Pergi ke sekolah. Duduk, mendengarkan, mengerjakan, tertawa, dan pulang. Membosankan. Sepulang sekolah, aku duduk menghadap foto orang itu. Foto yang kuambil diam-diam tanpa sepengetahuannya. Coretan-coretan itu kembali menghirup udara bebas setelah cukup lama terpenjara dalam gelapnya laci kecil. Kubaca dari awal. Berharap dengan begitu aku bisa menemukan kelanjutan dari tulisanku dengan tepat. Aku munafik!, kata-kata itu tiba-tiba terbesit dalam pikiranku.
            “Apa yang aku tahu tentang kebahagiaan? Apa yang aku tahu tentang cinta? Dan apa yang aku tahu tentang keluarga?”
            “Cerita-cerita omong kosong semua yang kubuat. Bagaimana aku bisa menulis cerita tentang sepasang kekasih kalau aku sendiri selalu berharap orang yang menghilang itu kembali. Orang yang meninggalkan memori yang membuatku menderita dengan perasaanku sendiri. Bagaimana aku bisa menulis cerita tentang kakak beradik seperti ini? Padahal aku selalu merasa jauh tertinggal dan tak akan pernah sejajar dengan kakakku sendiri. Aku selalu hidup dalam cerita fiksiku sendiri. Penyakit mata ini. Leukimia ini. Bagaimana bisa aku melihat keindahan itu? Melihat saja semakin lama semakin susah. Aku rindu saat-saat itu. Aku rindu,” runtukku yang kutorehkan pada tulisanku.
            Tanpa kusadari amarah itu tiba-tiba menyerang. Membuatku membuang seluruh kertas itu ke belakang. Kuangkat kakiku lalu kudekap keduanya. Dan aku kembali pada fase terbawah dalam hidupku. Cari. Jangan nangis lagi. Aku yakin kamu bisa nemuin kebahagiaanmu. Tersenyum. Percayalah Tuhan ada bersama kita. Kata-kata dalam mimpi itu kembali terlintas dalam benakku. Mencambukku dengan keras. Menghentikan isakkan tangisku seketika.
            “Jangan konyol!” keluhku. Aku beranjak ke pigora yang tergantung di dinding yang penuh dengan poster-poster.  Tersenyum. Percayalah Tuhan ada bersama kita. Menatap lekat-lekat empat orang yang tersenyum lepas termasuk aku di dalamnya. Laki-laki itu merangkul kami berdua. Kumisnya yang tebal dan dia sendiri tidak berniat untuk mencukurnya. Sementara wanita itu terlihat sedang memanggil kami dari balik panggangan. Jemariku mengepal keras. Tubuhku menegang.
            “Kebahagiaan itu sungguh ada kan? Aku ingin melihat, meskipun hanya sekali. Aku ingin melihat sebelum aku kehilangan pengelihatan ini.”
                                                                            ***
            Aya menghapus air matanya lalu melipat bagian ujung halaman. Rasti, cahya, dan Lidya memeluknya erat. Mereka bertiga sama mengeluarkan air mata seperti Aya. Namun sebisa mungkin mereka menahannya. Mereka ingin menguatkan diri mereka sekaligus teman mereka yang terlihat sangat kehilangan.
            “Ini tulisan Mei, Ras. Dia pernah bilang kalo dia lagi nulis kisah nyata. Aku pikir itu cuman tentang dia sama Si Kitten itu, tapi ternyata semua. Kenapa dia enggak pernah bilang kalo dia punya penyakit lain? Apa dia enggak percaya sama kita? Kenapa juga penyakitnya enggak mau mengalah sebentar lagi. Mengalah agar Mei bisa ngerasain apa itu kebahagiaan lebih lama.” Aya menangis sesegukan. Rasti dan Lidya hanya bisa saling pandang. Mereka juga bingung harus bicara apa.
            “Dia cuman enggak mau bikin kita sedih ataupun khawatir. Dia enggak punya maksud lain kok. Terlebih mungkin ini yang terbaik. Dari pada dia tersiksa dengan penyakitnya. Dia harus nahan penyakitnya lebih lama dan itu malah makin menyiksa dia. Semua sudah diatur sama Tuhan. Sudah ya,” hibur Cahya. Pundaknya naik turun seirama dengan tarikan nafasnya yang tak beraturan. Gadis berkuncir satu itu terus memeluk buku setebal tiga ratus halaman dalam pelukan teman-temannya.
                                                                           
SELESAI ..


           

6 komentar:

Ayu Damayanti mengatakan...

Keren
kasian banget si mei
tp yang jelas dia udah nemuin kebahagiaannya sebelum dia 'pergi' :D

emang bener ya ada penyakit kanker mata?
Baru denger saya:p

eh si kitten ntu cew/cow
gendernya gak jelas
*plakk

keep write yaa:)

Insan Gumelar Ciptaning Gusti mengatakan...

makasih ya udah dibaca + dikomen :)

Unknown mengatakan...

keren

Insan Gumelar Ciptaning Gusti mengatakan...

makasih ya komentarnya :D silahkan baca postingan tahun 2013 yang lain juga. terima kasih :)

Anonim mengatakan...

T.T

`t

Insan Gumelar Ciptaning Gusti mengatakan...

kenapa kok nangis? terharu ya? hehehehe :P