Rabu, 30 Januari 2013

Time AFTER Time



            Kipas angin masih berputar dilangit – langit ruang musik. Memainkan satu persatu tuts hitam putih yang berjajar rapi diatas piano kayu berwarna coklat. Terletak di pojok ruangan. Selalu mencuri perhatian setiap orang yang masuk pertama kali. Daya tariknya menjadi kunci ketenangan ruang musik paling atas di kampus seni swasta ini. Aku terdiam. Aku tak menyangka, kemampuannya berkembang sehebat ini. Aku merasa dia telah jauh berubah. Dia terlihat seperti seorang pianis professional.
              “Ken!” panggilnya dengan suara tinggi. Aku terhentak kaget. Ku tarik senar ke enam cukup kencang. Segera ku alihkan pandanganku ke Maura, seseorang yang kukatakan mirip pianis berbakat. “ada apa sapi?” jawabku pelan. “kamu kenapa? Ngelamun? Aku gak denger satupun nada dari gitarmu”, aku hanya tertawa garing. Aku sering memanggilnya dengan sebutan sapi, entah kenapa, sejak aku duduk di bangku smp, aku sudah memanggilnya sapi. Mungkin karna tubuhnya yang gempal dan nama panggilannya maw mow mow sapi. Entahlah.

              “Ken, makan yuk! Aku udah laper nih”
              “bukannya kita masih ada setengah jam lagi ya di kelas ini?”
Dia menggeleng, meninggalkan pianonya dan berjalan kearahku, “ayok..” rengeknya mirip anak kecil yang ingin dibelikan mainan. Sikap rengekannya itu yang selalu menghipnotisku. Menolak pun aku sulit. Aku mengganguk, mengikuti langkahnya dari belakang sambil menjejalkan sebelah tanganku di saku celana dan membiarkan sebelahnya lagi tetap berada di rangkulan Maura.
--
              Kantin lumayan cukup penuh tapi tak harus sampai berdesak – desakan. Cukup mengantri beberapa menit. Snack ukuran sedang dan teh botol masing – masing dua, ku pilih, ku bayar, dan berbalik kearah jam lima. Ku sodorkan tiba – tiba di depan wajahnya yang melamun. “ada masalah?” dia menggeleng, tapi aku tau ada yang ia tutupi, “cepat ceritakan! Aku tau. kamu lupa kalau aku punya indra penerawangan?!”, spontan kedua tangannya langsung menyilang di dadanya dengan muka kaget lalu sesaat setelah itu melepaskannya begitu saja sambil tertawa gila. Maura, dia sahabatku yang aneh, gila, dan selalu menyenangkan. Aku dan dirinya sudah bersahabat sejak bayi, mungkin didalam kandungan kami juga sudah bersahabat. 20 tahun kami selalu bersama – sama, terlihat membosankan. Bisa dibayangkan, selama itu selalu melihat dua manusia yang sama. Bertemu ditempat dan waktu yang sama pula. Tiba – tiba ku ingat akan sesuatu hal yang cukup menggelikan, saat Maura gak lolos seleksi di sma yang sama. Dia menangis, kalau ingatanku belum terganggu, mungkin sekitar satu minggu atau lebih dia menangis. Sempat ku dengar juga dari ibunya, kalau dia mogak sekolah kalau tidak satu sekolah denganku. Maura memang orang gila, semua keinginannya harus dituruti, untungnya dia gak tumbuh menjadi anak yang manja. “hey! Kenn!” teriaknya didepan mukaku. Kenangan itu hilang sudah.
              “kamu senyumsenyum sendiri? Kamu mikir mesum ya?” tuduhnya blak – blakan
Ku tarik hidungnya yang pesek. Maura mengerang kesakitan dan berusaha melepaskan hidungnya dari tanganku, “Ken!! Lepas! Lepas! Sakit...”. . aku tertawa melihat wajahnya yang aneh dengan hidung pesek merah mirip badut, “salah sendiri ngomong seenaknya, siapa juga yang mikir mesum?! Aku lagi mikirin kamu!”, “aku? Wahh Ken baik, beneran mikirin aku?” ucapnya dengan gaya dilebih – lebihkan seperti biasanya. “kamu mikirin apa tentang aku?”
              “masih ingat waktu kamu gak lolos seleksi sma, kamu nangis, pingin satu sekolah sama aku, sampai – sampai mogok sekolah. Terus akhirnya di tahun pelajaran pertama semester dua kamu pindah. Ingat?”, “I..ya, lalu?”
              “rasanya aneh aja, sampai segitunya kamu mau bareng aku, apa kamu gak bosan? Sd, smp, sma, kampus, sampai jurusannya pun sama, gak bosan?”
              “bosan? Mana mungkin aku bosan satu sekolah sama sahabatku sendiri. Mau tau kenapa aku gak mungkin bosan?”, aku mengangguk sambil menjejalkan makanan ke mulutku yang kosong.
              “satu, karna kita udah ditakdirkan bersama, dua, kita itu bersahabat, tiga, aku sudah terbiasa sama kamu, empat, bisa ada yang aku marah – marahi, aku ajak menggila, bisa buat temen curhat dikampus, lima, …”, aku hanya mengangguk – ngangguk tak berarti sambil terus menghabiskan snackku dan menunggunya melanjutkan  alasannya,“karna aku ganteng” usulku asal, “iya, ehh? Enggak! Apanya yang ganteng? Mukamu mirip mixer gitu dibilang ganteng” tolaknya mentah – mentah. Aku terkekeh, perutku terkocok habis
              “Ohh iya, alasan ke limaku karna sikapmu yang kepedean, iya iya!”
              “hanya itu?” tanyaku sok serius, Maura diam. Ia berpikir lagi, takut kalau ada yang tertinggal. “apa?”, “ya, sudah lupakan. Ayo pulang! Sudah gak ada jam kuliah lagi kan?”. Maura menggangguk dan berlari mengikuti langkahku yang cukup lebar. Sepanjang perjalanan ke tempat parkir, Maura masih saja menanyakan hal yang mengganggu pikirannya.
                                                                            ***
              Pertunjukan musik kurang  dua bulan lagi, tapi pengganti Mario sebagai pemegang saxophone belum juga ada. Alat musik itu cukup rumit jadi belum ada yang berani mengambil posisi yang sudah lama kosong. Keahlianku memainkan alat musik itu pun masih jauh dibawah sempurna. Maura sama sekali tak memperdulikan isi ruangan yang bingung dengan nasip saxophone, dia tetap asik sendiri dengan pianonya. Pintu terbukan, seorang mahasiswa masuk, sekilas dia terlihat memang sorang seniman. Hanya mengenakan kaos oblong, celana trining biasa dan sepatu kets ditekuk belakang. Terlihat maskulin.
              “aku yang pegang alat musik itu!” ucapnya santai tapi tegas. Maura berhenti, suara piano hilang, aku menoleh kearahnya, dugaanku benar. Maura juga sama dengan mahasiswi lainnya, terpesona oleh Tom. “apa ada yang keberatan?” tanyanya memecah keheningan. Mrs. Crist maju, mendekat kearah Tom lalu mengatakan selamat bergabung dengan symbol menyerahkan saxophone.
--
              Maura mengandeng tanganku seperti biasa sambil diayunkan ke depang dan ke belakang bak anak kecil. Aku sudah memaklumi sikap kekanak – kanakannya yang memang sering kali membuatku merasa malu. Tapi biarlah, itulah Maura. Sapiku. “pi, nanti ke toko buku dulu ya?”, “mau beli buku apa?” balasnya, “buku …”, “iya ..iya.. nanti aku tunggu di parkiran” teriaknya sambil berlari pergi. “mau kemana?” pikirku. Senyumku mengiringi kepergianku dari koridor kampus. Headphone kupasang, kunyalakan ponselku yang sudah kuhubungkan sebelumnya. Mataku menyipit menangkap sosok manusia bulat mirip sapi, Maura?. Aku tak peduli, itu urusannya, mungkin lebih baik nanti saja. Aku terus berjalan santai tanpa ambil pusing. Masuk ke mobil, mengatur posisi jok sedikit kebelakang.
              Senja mulai datang saat aku bangun dari tidurku. Aku gelagapan. Mengembalikan posisi jok ke bentuk semula. Suasana kampus sepi, kosong omblong. Ku nyalakan mesin dan meninggalkan kampus.  Ponsel kutarik dari saku jaket, empat pesan dan lebih dari sepuluh miscall, semuanya dari Maura. “sial! Berarti aku beneran ketiduran. Segitu capeknya kah aku, sampai bisa ketiduran begitu mudahnya” gerutuku. Seketika itu aku menghubungi Maura, setelah menunggu beberapa detik akhirnya Maura menjawab dengan semburan pedasnya, “APAA?!”, “maaf, Maura aku ketiduran dimobil, kenapa kamu gak gedor – gedor kaca mobil seperti biasanya?”
              “UDAHHH! Udah berkali – kali aku gedor – gedor tapi kamu masih aja tidur pules, ditambah kamu pake headphone, jelas aja kagak denger!” omelnya
              “maaf, maaf sapi. Ehh iya, kanu pulang sama siapa tadi?”
              “sama Tom!” balasnya singkat
              “Tom? Tom anak baru itu? Kalian udah akrab ya? Cepet banget?”
              “ehh Ken, mampir ke rumahku ya, aku mau cerita” pintanya dengan nada suara yang sudah berubah total. Mungkin ini saat yang tepat untuk minta maaf. Aku memacu mobilku lebih cepat.
--
              Hal yang paling aku sukai saat kerumah Maura adalah bisa melihat sia – sisa matahari tenggelam, suasana senja begitu terasa diatas balkon kamarnya. Aku melipat kedua tanganku dipagar besi pembatas balkon. Menunggu Maura datang dari dapur dan bercerita.berpindah tempat ke kursi kayu putih, aku memejamkan mataku menikmati suasana senja yang terasa berbeda hari ini. “makanannya datang tuan” ucapnya sambil meletakkan piring yang penuh dengan kue yang terlihat baru keluar dari oven. “mau cerita apa? Jangan sampai ceritamu gak menarik!”, aku mendengarkan cerita dengan seksama, Maura terlihat lucu saat menceritakan kedekatannya dengan Tom, sesekali ia menutup mukanya sambil ketawa cekikikan sendiri, dan kembali melanjutkan ceritanya. “ceritanya yang panjang atau kamu yang melebih – lebihkan biar panjang?” potongku iseng. “maksudmu?” tanyanya setengah cemberut. Aku tertawa dan kembali menarik hidungnya, “lihat! Langit sampai berubah gelap selama kamu bercerita. Apa kurang panjang ceritamu? Dua jam lebih, inti yang kutangkap hanya perkenalanmu dengan Tom. Hanya itu kan?”, Maura menggerakkan kepalanya setuju. “aku pulang, minta kuenya satu lagi”, “hey Ken! Kue – kueku
kamu habiskan sendiri awas kau!!” Maura mengejarku, aku melarikan diri darinya dan buru – buru masuk ke mobil. Dari spion kaca mobil yang berjalan, samar aku melihat Maura tersenyum.
                                                                            ***
              Hari kedua puluh sejak Tom masuk menjadi anggota pertunjukan musik diantara aku dan Maura, selama itu pula, Maura terus memintaku datang kerumahnya untuk mendengarkan semua rentetan cerita tentang Tom yang pada ujungnya selalu bisa aku simpulkan, Maura menyukai Tom. Hal gila yang dilakukan Maura yang lain adalah mengajakku bertaruh setelah hari pertunjukan itu, Tom akan meyatakan perasaannya atau enggak?, dan aku bertaruh ENGGAK!!.
              “apa sapi … kosong mungkin, kenapa? .. Buat apa?.. Kantin ini cukup luas, disebelahku juga masih ada yang kosong? … Lalu buat .. iya iya iya” aku menutup pembicaraan. Ku buking satu meja kosong di kantin, di otakku penuh tanda tanya untuk apa, tapi ada sedikit perkiraan itu juga untuk Tom. Tak sampai lama, Tom dan Maura datang, mereka berpegangan tangan seperti halnya kami berdua tapi terlihat berbeda bukan seperti sahabat. Maura mengedipkan mata kearahku sambil mengacungkan jempolnya. Aku tersenyum hambar. Dari tempat dudukku aku mengawasi tingkah Maura yang sepertinya begitu terobsesi memenangkan taruhan kami, ditambah lagi melihat Tom yang begitu popular, membuat Maura semakin terobsesi memilikinya. Salah satu sifat Maura setengah baik dan setengah buruk, setelah ia mengklaim hal itu sebagai obsesinya, dia pasti berjuang mati – matian untuk obsesinya itu.
              ‘Sepertinya aku yang bakalan menang, kamu tahu sekarang Tom bilang suka ke aku hahahaha :D’  pesan singkat Maura. Kedekatannya dengan Tom membuatku merasakan hal yang aneh, aku merasa kehilangan sosok sahabatku, sahabat yang selama 20 tahun selalu disampingku. Tapi aku tahu, dia bukan milikku, dia hanya sahabatku. Sahabat yang harus aku dukung semua keputusannya selama itu baik. Aku hanya ingin dia bahagia, lebih dari bahagia saat bersamaku.
--
              “Ken, ada Maura dibawah. Mama mau pergi dulu, cepat turun kasihan Maura udah nunggu” panggil ibuku, dari balik pintu sambil sesekali mengetuk pintu. Aku turun dengan jaket merah yang ku tenteng. Anak tangga satu persatu ku loncati, Maura terlihat manis.
              “hey sapi, udah siap pergi?” sapaku sumringah.
              “Ken, maaf ya, sepertinya aku gak bisa nemenin kamu” jawabnya ragu – ragu
              “ada janji sama Tom?” tebakku. Sungguh, aku berharap bukan jawab iya yang keluar dari mulutnya. “Ken, maaf” rengeknya lagi sambil memegang tanganku
              “jadi benar, udah ada janji sama Tom?”. Aku tersenyum palsu. Rambutnya yang rapi ku acak – acak, “pergilah, aku bisa sendiri”
               “tapi Ken …”
              “udah sana, aku bisa sendiri. Ingat kita masih bertaruh. Kamu gak mau kalah sama aku kan?” , “makasih ya”. Maura mencium pipiku lalu pergi. Aku sungguh gak nyangka kalau Maura sampai menciumku. Tapi senyum dibibirku berlahan hilang. Ku katubku mulutku rapat – rapat, aku tahu itu hanya ciuman persahabatan.
--
              Suara musik berhentak keras di telingaku. Lampu – lampu klub menerangi beberapa sudut gelap klub beberapa detik. Ku tenggak alkohol beberapa kali. Aku merasa ada setan yang mengajakku kemari, pikiranku ruwet. Apa ini pelampiasanku? “apa yang aku dapetin dengan sikapku yang gak jelas gini? Aku harus kembali. Sadar Ken! Maura hanya sahabatmu. Dia berhak milih, milih Tom bukan kamu. Ken, kamu harus bisa ngelupain perasaanmu. Lupakan Maura. Kembali ke asalmu, cita – citamu sebagai pemain gitar terkenal. Jangan tingglkan dia karna kamu merasa kecewa. Kubur perasaanmu Ken. Keluar dari tempat berengsek ini. Maura ada diluar sana, dia tersenyum nunggu kamu yang dulu!” gerutuku sendiri, sambil menegak minuman terakhir digelas kecilku.
                                                                            ***
              Latihan terakhir. Ruang musik penuh suara alunan musik dari berbagai alat, menyatu dengan pas. Begitu harmonis. Aku merasa, aku yang menghilang sudah kembali ke tempat asalku. Musik. Inilah asalku. Saat bersama musik, masalahku terasa hilang, melihat Maura dan Tom pun aku sanggup mengontrol emosiku dan fokus dengan latihan yang menyenangkan ini. Semua berakhir besok. Perjalanan latihan ini akan bermuara besok.
              Aku dan Maura cukup ahli bermain musik dan menganalisi lagu, tapi kami sama sekali gak bisa nyiptain lagu apa lagi bernyanyi. Sama sekali tidak!.
--
              “Ken…” suara teriakan yang cukup familiar. Aku menoleh, “Maura?”. Maura menarik tanganku kearah lantai dua. “Sapi, kamu mau ngapain?”, “udah ikut aja!”. Gak ada pilihan, aku mengikutinya. Sesampainya di balkon, aku melihat lukisan seseorang yang ku kenal, dari tetesan kopi. Ini karya Maura yang jarang diasahnya lagi. Warnanya tumpuk tindih tapi masih terlihat wahh. “ini kan ..”, “iya, ini Tom. Kamu lupa wajah Tom, Ken?”. Tanpa sadar aku menegepalkan tangan kananku yang disadari Maura beberapa saat.”kamu marah Ken? Kamu marah karna itu bukan wajahmu melainkan wajah Tom?”, aku diam. Mulutku terkatub rapat. “aku ingin melihat mimpi itu terwujud. Aku melihat semuanya dilukisan ini, aku tahu sekarang, aku tahu betapa kamu menyukai Tom. Awalnya aku pikir ini cuman obsesi belakamu. Aku juga sempat mikir kalau semua ini hanya demi pertaruhan gilamu. Tapi aku salah, kamu benar – benar menyukainya. Mulai sekarang, Ken yang mulai menyukaimu akan menghilang. DanKen akan kembali ke tempat asalnya, sebagai sahabat untuk Maura, sapi Ken” ucapku lirih. Aku berbalik. Aku tak percaya, kata – kataku barusan membuat Maura menangis. Wajahnya merah . aku berusaha tersenyum setulus – tulusnya. “Ken, kamu ternyata …”, “udah, gak usah dipikirin. Aku bohong soal perasaanku. Ini mau kamu kasihkan ke Tom? Okeh, aku yang nyiapin segalanya” ucapku selengekan, menarik hidungnya, lalu pergi.
                                                                            ***
              Sekitar dua puluh menit lebih diatas pangung, berhasil membuat seluruh keringatku keluar. Energiku habis seketika itu. Ini pertama kalinya aku berdiri dipanggung besar dan memainkan alat musik. Meskipun ini berkelompok tapi gugup terus menghantuiku.
              Selesai pertunjukan, aku segera mencari Maura untuk menagih taruhan kami, karna aku rasa akulah yang menang. Tapi dimana pun aku gak berhasil menemukannya. Sampai di kursi taman diluar gedung, aku melihat Tom bersimpuh sambil memegang tangan kanan Maura. Jujur. Aku munafik saat itu. Aku gak sepenuhnya bisa menghilang. Meski aku sudah berusaha tapi perasaan itu. Sudahlah!. Aku pergi. Pergi dari tempat persembunyianku. Menenangkan diri di bangku taman yang berlawanan arah.
--
09.00 PM
              “dorr!!”, “jangan ngelamun ntar dimasukin setan!” ledek Maura
              “kamu kok ada disini? Bukannya kamu udah pulang ya?” tanyaku asal
Maura tertawa, sepertinya dia tahu. Tapi biarlah kalau memang iya, toh aku enggak ganggu dia ini. Pikirku santai. “aku belum pulang, aku nyariin kamu. Ehh malah taunya disini. Ngapain?”
              “membuang pikiran dan kenangan”
              “kenangan itu jangan dibuang, sesuatu hanya bisa utuh selamanya hanya didalam kenangan”, “kalau buruk? Apa juga harus diingat?” sindirku
              “mungkin. Karna dari pahit kita jadi tahu manis”
              “dasar, sok bijak kamu” balasku sambil menjitak kepalanya. Kami berdua tertawa hanya untuk beberapa lalu kami sama – sama diam. Membisu.
              “Ken, apa tiket kepergian Ken yang diam – diam menyukaiku bisa dibatalkan?”
              “maksudmu?” aku penasaran.
              “hemm.. aku nolak Tom. Aku sadar saat Tom nembak aku tadi, aku malah bilang, aku mau Ken. Tom sadar, terus dibilang, mungkin yang kamu suka itu sebenernya Ken bukan aku, gitu”
              “lalu kamu nurutin omongan Tom, terus kamu kesini gitu?”
              “bukan. Aku ngerasa kehilangan sahabat. Aku gak mau kehilangan orang seperti kamu. Banyak sahabat yang bisa menjadi pacar, tapi menurut aku kamu itu pacar yang tetep bisa menjadi sahabat. Itu pun kalau tiketnya belum kamu beli?”
              “aku belum beli tiketnya. Baru aja akau mau ke stasiun buat beli tiketnya. Kamu mau ikut?”, “maksudnya?”, “aku mau ke rumah nenekku diluar kota, kamu mau ikut sapi?”, “jadi kita?” tanyanya ulang. “kita masih bersama sebagai sahabat sekaligus kekasih”. Maura tersenyum. Sedangkan aku hanya tersenyum tipis dan memalingkan pandanganku. Ku tarik tangannya meninggalkan bangku kayu itu sendirian.
                                                                           
                                                                            ***


BY: INSAN GUMELAR CIPTANING GUSTI
@san_fairydevil


#YUI17Melodies
Tema 7 #MelodiHijauOranye
Theme Song : YUI - You

Tidak ada komentar: