Kipas angin masih berputar dilangit –
langit ruang musik. Memainkan satu persatu tuts hitam putih yang berjajar rapi
diatas piano kayu berwarna coklat. Terletak di pojok ruangan. Selalu mencuri
perhatian setiap orang yang masuk pertama kali. Daya tariknya menjadi kunci
ketenangan ruang musik paling atas di kampus seni swasta ini. Aku terdiam. Aku
tak menyangka, kemampuannya berkembang sehebat ini. Aku merasa dia telah jauh
berubah. Dia terlihat seperti
seorang pianis professional.
“Ken!”
panggilnya dengan suara tinggi. Aku terhentak kaget. Ku tarik senar ke enam
cukup kencang. Segera ku alihkan pandanganku ke Maura, seseorang yang kukatakan
mirip pianis berbakat. “ada apa sapi?” jawabku pelan. “kamu kenapa? Ngelamun?
Aku gak denger satupun nada dari gitarmu”, aku hanya tertawa garing. Aku sering
memanggilnya dengan sebutan sapi, entah kenapa, sejak aku duduk di bangku smp,
aku sudah memanggilnya sapi. Mungkin karna tubuhnya yang gempal dan nama
panggilannya maw mow mow sapi. Entahlah.
“Ken,
makan yuk! Aku udah laper nih”
“bukannya
kita masih ada setengah jam lagi ya di kelas ini?”
Dia menggeleng, meninggalkan pianonya
dan berjalan kearahku, “ayok..” rengeknya mirip anak kecil yang ingin dibelikan
mainan. Sikap rengekannya itu yang selalu menghipnotisku. Menolak pun aku
sulit. Aku mengganguk, mengikuti langkahnya dari belakang sambil menjejalkan
sebelah tanganku di saku celana dan membiarkan sebelahnya lagi tetap berada di rangkulan
Maura.
--
Kantin
lumayan cukup penuh tapi tak harus sampai berdesak – desakan. Cukup mengantri
beberapa menit. Snack ukuran sedang dan teh botol masing – masing dua, ku
pilih, ku bayar, dan berbalik kearah jam lima. Ku sodorkan tiba – tiba di depan
wajahnya yang melamun. “ada masalah?” dia menggeleng, tapi aku tau ada yang ia
tutupi, “cepat ceritakan! Aku tau. kamu lupa kalau aku punya indra
penerawangan?!”, spontan kedua tangannya langsung menyilang di dadanya dengan
muka kaget lalu sesaat setelah itu melepaskannya begitu saja sambil tertawa
gila. Maura, dia sahabatku yang aneh, gila, dan selalu menyenangkan. Aku dan
dirinya sudah bersahabat sejak bayi, mungkin didalam kandungan kami juga sudah
bersahabat. 20 tahun kami selalu bersama – sama, terlihat membosankan. Bisa
dibayangkan, selama itu selalu melihat dua manusia yang sama. Bertemu ditempat
dan waktu yang sama pula. Tiba – tiba ku ingat akan sesuatu hal yang cukup
menggelikan, saat Maura gak lolos seleksi di sma yang sama. Dia menangis, kalau
ingatanku belum terganggu, mungkin sekitar satu minggu atau lebih dia menangis.
Sempat ku dengar juga dari ibunya, kalau dia mogak sekolah kalau tidak satu
sekolah denganku. Maura memang orang gila, semua keinginannya harus dituruti,
untungnya dia gak tumbuh menjadi anak yang manja. “hey! Kenn!” teriaknya
didepan mukaku. Kenangan itu hilang sudah.
“kamu
senyum – senyum sendiri? Kamu mikir mesum ya?” tuduhnya blak – blakan
Ku tarik hidungnya yang pesek. Maura
mengerang kesakitan dan berusaha melepaskan hidungnya dari tanganku, “Ken!!
Lepas! Lepas! Sakit...”. . aku tertawa melihat wajahnya yang aneh dengan hidung
pesek merah mirip badut, “salah sendiri ngomong seenaknya, siapa juga yang
mikir mesum?! Aku lagi mikirin kamu!”, “aku? Wahh Ken baik, beneran mikirin
aku?” ucapnya dengan gaya dilebih – lebihkan seperti biasanya. “kamu mikirin
apa tentang aku?”
“masih
ingat waktu kamu gak lolos seleksi sma, kamu nangis, pingin satu sekolah sama
aku, sampai – sampai mogok sekolah. Terus akhirnya di tahun pelajaran pertama
semester dua kamu pindah. Ingat?”, “I..ya, lalu?”
“rasanya
aneh aja, sampai segitunya kamu mau bareng aku, apa kamu gak bosan? Sd, smp,
sma, kampus, sampai jurusannya pun sama, gak bosan?”
“bosan?
Mana mungkin aku bosan satu sekolah sama sahabatku sendiri. Mau tau kenapa aku
gak mungkin bosan?”, aku mengangguk sambil menjejalkan makanan ke mulutku yang
kosong.
“satu,
karna kita udah ditakdirkan bersama, dua, kita itu bersahabat, tiga, aku sudah
terbiasa sama kamu, empat, bisa ada yang aku marah – marahi, aku ajak menggila,
bisa buat temen curhat dikampus, lima, …”, aku hanya mengangguk – ngangguk tak
berarti sambil terus menghabiskan snackku dan menunggunya melanjutkan
alasannya,“karna aku ganteng” usulku asal, “iya, ehh? Enggak! Apanya
yang ganteng? Mukamu mirip mixer gitu dibilang ganteng” tolaknya mentah – mentah.
Aku terkekeh, perutku terkocok habis
“Ohh
iya, alasan ke limaku karna sikapmu yang kepedean, iya iya!”
“hanya
itu?” tanyaku sok serius, Maura diam. Ia berpikir lagi, takut kalau ada yang
tertinggal. “apa?”, “ya, sudah lupakan. Ayo pulang! Sudah gak ada jam kuliah
lagi kan?”. Maura menggangguk dan berlari mengikuti langkahku yang cukup lebar.
Sepanjang perjalanan ke tempat parkir, Maura masih saja menanyakan hal yang
mengganggu pikirannya.
***
Pertunjukan
musik kurang dua bulan lagi, tapi pengganti
Mario sebagai pemegang saxophone belum
juga ada. Alat musik itu cukup rumit jadi belum ada yang berani mengambil
posisi yang sudah lama kosong. Keahlianku memainkan alat musik itu pun masih
jauh dibawah sempurna. Maura sama sekali tak memperdulikan isi ruangan yang
bingung dengan nasip saxophone, dia
tetap asik sendiri dengan pianonya. Pintu terbukan, seorang mahasiswa masuk,
sekilas dia terlihat memang sorang seniman. Hanya mengenakan kaos oblong,
celana trining biasa dan sepatu kets ditekuk belakang. Terlihat maskulin.
“aku
yang pegang alat musik itu!” ucapnya santai tapi tegas. Maura berhenti, suara
piano hilang, aku menoleh kearahnya, dugaanku benar. Maura juga sama dengan
mahasiswi lainnya, terpesona oleh Tom. “apa ada yang keberatan?” tanyanya memecah
keheningan. Mrs. Crist maju, mendekat kearah Tom lalu mengatakan selamat bergabung
dengan symbol menyerahkan saxophone.
--
Maura
mengandeng tanganku seperti biasa sambil diayunkan ke depang dan ke belakang
bak anak kecil. Aku sudah memaklumi sikap kekanak – kanakannya yang memang
sering kali membuatku merasa malu. Tapi biarlah, itulah Maura. Sapiku. “pi,
nanti ke toko buku dulu ya?”, “mau beli buku apa?” balasnya, “buku …”, “iya
..iya.. nanti aku tunggu di parkiran” teriaknya sambil berlari pergi. “mau
kemana?” pikirku. Senyumku
mengiringi kepergianku dari koridor kampus. Headphone kupasang, kunyalakan
ponselku yang sudah kuhubungkan sebelumnya. Mataku menyipit menangkap sosok
manusia bulat mirip sapi, Maura?. Aku tak peduli, itu urusannya, mungkin lebih
baik nanti saja. Aku terus berjalan santai tanpa ambil pusing. Masuk ke mobil,
mengatur posisi jok sedikit kebelakang.
Senja mulai datang saat aku bangun dari
tidurku. Aku gelagapan. Mengembalikan posisi jok ke bentuk semula. Suasana
kampus sepi, kosong omblong. Ku nyalakan mesin dan meninggalkan kampus. Ponsel kutarik dari saku jaket, empat pesan
dan lebih dari sepuluh miscall, semuanya dari Maura. “sial! Berarti aku beneran
ketiduran. Segitu capeknya kah aku, sampai bisa ketiduran begitu mudahnya”
gerutuku. Seketika itu aku menghubungi Maura, setelah menunggu beberapa detik akhirnya Maura menjawab dengan semburan
pedasnya, “APAA?!”, “maaf, Maura aku ketiduran dimobil, kenapa kamu gak gedor –
gedor kaca mobil seperti biasanya?”
“UDAHHH!
Udah berkali – kali aku gedor – gedor tapi kamu masih aja tidur pules, ditambah
kamu pake headphone, jelas aja kagak denger!” omelnya
“maaf,
maaf sapi. Ehh iya, kanu pulang sama siapa tadi?”
“sama
Tom!” balasnya singkat
“Tom?
Tom anak baru itu? Kalian udah akrab ya? Cepet banget?”
“ehh
Ken, mampir ke rumahku ya, aku mau cerita” pintanya dengan nada suara yang
sudah berubah total. Mungkin ini saat yang tepat untuk minta maaf. Aku memacu
mobilku lebih cepat.
--
Hal
yang paling aku sukai saat kerumah Maura adalah bisa melihat sia – sisa matahari tenggelam, suasana senja begitu terasa diatas balkon kamarnya. Aku melipat kedua
tanganku dipagar besi pembatas balkon. Menunggu
Maura datang dari dapur dan bercerita.berpindah tempat ke kursi kayu putih, aku
memejamkan mataku menikmati suasana senja
yang terasa berbeda hari ini. “makanannya datang tuan” ucapnya sambil
meletakkan piring yang penuh dengan kue yang terlihat baru keluar dari oven.
“mau cerita apa? Jangan sampai ceritamu gak menarik!”, aku mendengarkan cerita
dengan seksama, Maura terlihat lucu
saat menceritakan kedekatannya dengan Tom, sesekali ia menutup mukanya sambil
ketawa cekikikan sendiri, dan kembali melanjutkan ceritanya. “ceritanya yang
panjang atau kamu yang melebih – lebihkan biar panjang?” potongku iseng.
“maksudmu?” tanyanya setengah cemberut. Aku tertawa dan kembali menarik
hidungnya, “lihat! Langit sampai
berubah gelap selama kamu bercerita. Apa kurang panjang ceritamu? Dua jam
lebih, inti yang kutangkap hanya perkenalanmu dengan Tom. Hanya itu kan?”, Maura
menggerakkan kepalanya setuju. “aku pulang, minta kuenya satu lagi”, “hey Ken!
Kue – kueku
kamu habiskan sendiri awas kau!!” Maura
mengejarku, aku melarikan diri darinya dan buru – buru masuk ke mobil. Dari
spion kaca mobil yang berjalan, samar aku melihat Maura tersenyum.
***
Hari
kedua puluh sejak Tom masuk menjadi anggota pertunjukan musik diantara aku dan
Maura, selama itu pula, Maura terus memintaku datang kerumahnya untuk
mendengarkan semua rentetan cerita tentang Tom yang pada ujungnya selalu bisa
aku simpulkan, Maura menyukai Tom. Hal gila yang dilakukan Maura yang lain
adalah mengajakku bertaruh setelah hari pertunjukan itu, Tom akan meyatakan
perasaannya atau enggak?, dan aku bertaruh ENGGAK!!.
“apa
sapi … kosong mungkin, kenapa? .. Buat apa?.. Kantin ini cukup luas,
disebelahku juga masih ada yang kosong? … Lalu buat .. iya iya iya” aku menutup
pembicaraan. Ku buking satu meja kosong di kantin, di otakku penuh tanda tanya
untuk apa, tapi ada sedikit perkiraan itu juga untuk Tom. Tak sampai lama, Tom
dan Maura datang, mereka berpegangan tangan seperti halnya kami berdua tapi terlihat berbeda bukan seperti sahabat.
Maura mengedipkan mata kearahku sambil mengacungkan jempolnya. Aku tersenyum hambar. Dari tempat dudukku aku
mengawasi tingkah Maura yang sepertinya begitu terobsesi memenangkan taruhan
kami, ditambah lagi melihat Tom yang
begitu popular, membuat Maura semakin terobsesi memilikinya. Salah satu sifat
Maura setengah baik dan setengah buruk, setelah ia mengklaim hal itu sebagai
obsesinya, dia pasti berjuang mati – matian untuk obsesinya itu.
‘Sepertinya aku yang bakalan menang, kamu
tahu sekarang Tom bilang suka ke aku hahahaha :D’ pesan singkat Maura. Kedekatannya dengan Tom
membuatku merasakan hal yang aneh, aku merasa kehilangan sosok sahabatku,
sahabat yang selama 20 tahun selalu disampingku. Tapi aku tahu, dia bukan
milikku, dia hanya sahabatku. Sahabat yang harus aku dukung semua keputusannya
selama itu baik. Aku hanya ingin dia bahagia, lebih dari bahagia saat
bersamaku.
--
“Ken,
ada Maura dibawah. Mama mau pergi dulu, cepat turun kasihan Maura udah nunggu”
panggil ibuku, dari balik pintu sambil sesekali mengetuk pintu. Aku turun dengan
jaket merah yang ku tenteng. Anak tangga satu persatu ku loncati, Maura terlihat manis.
“hey
sapi, udah siap pergi?” sapaku sumringah.
“Ken,
maaf ya, sepertinya aku gak bisa nemenin kamu” jawabnya ragu – ragu
“ada
janji sama Tom?” tebakku. Sungguh, aku berharap bukan jawab iya yang keluar
dari mulutnya. “Ken, maaf” rengeknya lagi sambil memegang tanganku
“jadi
benar, udah ada janji sama Tom?”. Aku tersenyum
palsu. Rambutnya yang rapi ku acak – acak, “pergilah, aku bisa sendiri”
“tapi Ken …”
“udah
sana, aku bisa sendiri. Ingat kita masih bertaruh. Kamu gak mau kalah sama aku
kan?” , “makasih ya”. Maura mencium pipiku lalu pergi. Aku sungguh gak nyangka
kalau Maura sampai menciumku. Tapi senyum dibibirku berlahan hilang. Ku katubku
mulutku rapat – rapat, aku tahu itu hanya ciuman persahabatan.
--
Suara
musik berhentak keras di telingaku. Lampu – lampu klub menerangi beberapa sudut
gelap klub beberapa detik. Ku tenggak alkohol beberapa kali. Aku merasa ada
setan yang mengajakku kemari, pikiranku ruwet. Apa ini pelampiasanku? “apa yang
aku dapetin dengan sikapku yang gak jelas gini? Aku harus kembali. Sadar Ken! Maura
hanya sahabatmu. Dia berhak milih, milih Tom bukan kamu. Ken, kamu harus bisa
ngelupain perasaanmu. Lupakan Maura.
Kembali ke asalmu, cita – citamu sebagai pemain gitar terkenal. Jangan
tingglkan dia karna kamu merasa kecewa. Kubur perasaanmu Ken. Keluar dari tempat berengsek ini. Maura ada diluar
sana, dia tersenyum nunggu kamu yang
dulu!” gerutuku sendiri, sambil menegak minuman terakhir digelas kecilku.
***
Latihan
terakhir. Ruang musik penuh suara alunan musik dari berbagai alat, menyatu
dengan pas. Begitu harmonis. Aku merasa, aku yang menghilang sudah kembali ke
tempat asalku. Musik. Inilah asalku. Saat bersama musik, masalahku terasa
hilang, melihat Maura dan Tom pun aku sanggup mengontrol emosiku dan fokus
dengan latihan yang menyenangkan ini. Semua berakhir besok. Perjalanan latihan
ini akan bermuara besok.
Aku
dan Maura cukup ahli bermain musik dan menganalisi lagu, tapi kami sama sekali
gak bisa nyiptain lagu apa lagi bernyanyi. Sama sekali tidak!.
--
“Ken…”
suara teriakan yang cukup familiar. Aku menoleh, “Maura?”. Maura menarik
tanganku kearah lantai dua. “Sapi, kamu mau ngapain?”, “udah ikut aja!”. Gak
ada pilihan, aku mengikutinya. Sesampainya di balkon, aku melihat lukisan
seseorang yang ku kenal, dari tetesan kopi. Ini karya Maura yang jarang
diasahnya lagi. Warnanya tumpuk tindih tapi masih terlihat wahh. “ini kan ..”,
“iya, ini Tom. Kamu lupa wajah Tom, Ken?”. Tanpa sadar aku menegepalkan tangan
kananku yang disadari Maura beberapa saat.”kamu marah Ken? Kamu marah karna itu
bukan wajahmu melainkan wajah Tom?”, aku diam. Mulutku terkatub rapat. “aku
ingin melihat mimpi itu terwujud. Aku melihat
semuanya dilukisan ini, aku tahu sekarang, aku tahu betapa kamu menyukai Tom.
Awalnya aku pikir ini cuman obsesi belakamu. Aku juga sempat mikir kalau semua
ini hanya demi pertaruhan gilamu. Tapi aku salah, kamu benar – benar
menyukainya. Mulai sekarang, Ken yang mulai menyukaimu akan menghilang. DanKen
akan kembali ke tempat asalnya, sebagai sahabat untuk Maura, sapi Ken” ucapku
lirih. Aku berbalik. Aku tak percaya, kata – kataku barusan membuat Maura
menangis. Wajahnya merah . aku berusaha tersenyum
setulus – tulusnya. “Ken, kamu ternyata …”, “udah, gak usah dipikirin. Aku
bohong soal perasaanku. Ini mau kamu
kasihkan ke Tom? Okeh, aku yang nyiapin segalanya” ucapku selengekan, menarik
hidungnya, lalu pergi.
***
Sekitar
dua puluh menit lebih diatas pangung, berhasil membuat seluruh keringatku
keluar. Energiku habis seketika itu. Ini pertama kalinya aku berdiri dipanggung
besar dan memainkan alat musik. Meskipun ini berkelompok tapi gugup terus
menghantuiku.
Selesai
pertunjukan, aku segera mencari Maura untuk menagih taruhan kami, karna aku rasa
akulah yang menang. Tapi dimana pun aku gak berhasil menemukannya. Sampai di kursi
taman diluar gedung, aku melihat Tom bersimpuh sambil memegang tangan kanan
Maura. Jujur. Aku munafik saat itu. Aku gak sepenuhnya bisa menghilang. Meski
aku sudah berusaha tapi perasaan
itu. Sudahlah!. Aku pergi. Pergi dari tempat persembunyianku. Menenangkan diri
di bangku taman yang berlawanan arah.
--
09.00 PM
“dorr!!”,
“jangan ngelamun ntar dimasukin setan!” ledek Maura
“kamu
kok ada disini? Bukannya kamu udah pulang ya?” tanyaku asal
Maura tertawa, sepertinya dia tahu. Tapi
biarlah kalau memang iya, toh aku enggak ganggu dia ini. Pikirku santai. “aku
belum pulang, aku nyariin kamu. Ehh malah taunya disini. Ngapain?”
“membuang
pikiran dan kenangan”
“kenangan
itu jangan dibuang, sesuatu hanya bisa utuh selamanya hanya didalam kenangan”,
“kalau buruk? Apa juga harus diingat?” sindirku
“mungkin.
Karna dari pahit kita jadi tahu manis”
“dasar,
sok bijak kamu” balasku sambil menjitak kepalanya. Kami berdua tertawa hanya
untuk beberapa lalu kami sama – sama diam. Membisu.
“Ken,
apa tiket kepergian Ken yang diam – diam menyukaiku bisa dibatalkan?”
“maksudmu?”
aku penasaran.
“hemm..
aku nolak Tom. Aku sadar saat Tom nembak aku tadi, aku malah bilang, aku mau
Ken. Tom sadar, terus dibilang, mungkin yang kamu suka itu sebenernya Ken bukan
aku, gitu”
“lalu
kamu nurutin omongan Tom, terus kamu kesini gitu?”
“bukan.
Aku ngerasa kehilangan sahabat. Aku gak mau kehilangan orang seperti kamu.
Banyak sahabat yang bisa menjadi pacar, tapi menurut aku kamu itu pacar yang
tetep bisa menjadi sahabat. Itu pun kalau tiketnya belum kamu beli?”
“aku
belum beli tiketnya. Baru aja akau mau ke stasiun buat beli tiketnya. Kamu mau
ikut?”, “maksudnya?”, “aku mau ke rumah nenekku diluar kota, kamu mau ikut
sapi?”, “jadi kita?” tanyanya ulang. “kita masih bersama sebagai sahabat sekaligus
kekasih”. Maura tersenyum. Sedangkan aku hanya tersenyum tipis dan memalingkan
pandanganku. Ku tarik tangannya meninggalkan bangku kayu itu sendirian.
***
BY: INSAN
GUMELAR CIPTANING GUSTI
@san_fairydevil
#YUI17Melodies
Tema 7 #MelodiHijauOranye
Theme Song : YUI - You
Tema 7 #MelodiHijauOranye
Theme Song : YUI - You
Tidak ada komentar:
Posting Komentar