Selasa, 05 Februari 2013

EMPTY

FIRST DAY                                         
              Benarkah ini sudah jam enam pagi? Aku sudah setengah jam berdiri dengan bahu penuh beban di pinggir jalan. Mataku memandang jauh ke ujung kanan dan kiri jalan. Semua tampak gelap, sepi, dan penuh kabut. Lampu kendaraan yang terang terkesan tak mampu memecah kepekatan kabut hari ini. Tubuhku menggidik sesekali menahan dingin yang terus menerpa tubuhku. Kota aneh, pikirku sekilas. Ya, aku baru saja tiba dari luar kota. Hobiku sebagai fotografer memaksaku mencari lokasi-lokasi yang berbeda. Daripada tempat wisata, aku lebih suka pergi ke tempat yang ekstrim, tempat yang kata orang menakutkan, berbahaya, penuh teror, atau apalah itu. Aku tak peduli.

              Kuletakkan tas ranselku di pinggir jalan sebagai alasku duduk, kulihat jarum jam di tanganku baik-baik, memastikan apa benar ini sudah jam enam atau sebenarnya masih jam empat pagi. Beberapa detik mataku terpaku di jam hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Kutarik kembali pandanganku ke jalan yang masih sama, satu angkot pun tak kunjung datang. Kabut tebal ini sungguh mengganggu, pengelihatanku sama sekali buruk dalam situasi seperti ini. Ransel besar kuletakkan kembali diatas punggungku dan akhirnya kuputuskan untuk berjalan daripada terus menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.
              Ku rebahkan tubuhku yang sudah lelah dibuntalan kapas yang keras.
              “Ini bukan rumah, ini lebih pantas disebut kamar!” gerutuku. Ruangan berukuran sekitar 3X2, mereka katakan sebagai rumah kontrakan. Tapi sejauh mata memandang semua rumah di kota ini memang berukuran kurang lebih seperti ini. Lalu bagaimana mereka tinggal? Ku benamkan kepalaku dibalik selimut. Kupikir, mungkin saat hari sedikit lebih siang, saat kabut-kabut itu sudah sedikit menghilang, aku baru bisa mendapatkan foto-foto yang bagus.
***
              SECOND DAY
              Mataku masih sulit di buka, perjalannan ini begitu menguras tenagaku. Meskipun aku sudah menggantinya dengan beberapa botol air, suplemen vitamin, dan berpiring-piring makanan, tetap saja rasa lelah ini tak kunjung menghilang dari pundakku. Setengah sadar aku bangkit, melepaskan tubuhku dari balutan selimut, dan berjalan keluar. Kamar mandi umum. Hanya itu yang ada. Kakiku yang belum sempurna harus terpaksa berlari ke ruang kecil yang sangat penting bagiku untuk saat ini. Kota ini memang aneh. Apa daerah seperti ini layak disebut kota? Ku buang pikiran asalku jauh-jauh bersama guyuran air yang begitu segar saat menerpa tubuh dan rambutku.
              Selesai. Kuikat sepatuku seperti biasa. Kutenteng kamera begitu saja ditanganku tanpa takut terjatuh atau apalah, seolah kamera itu sangat murah, semurah harga lollipop yang sedang memutar di dalam mulutku. Kususuri jalan beraspal yang penuh lubang dan dibatasi tanah kering berwarna cokelat. Aku mulai memainkan lensa kamera, peduli apa dengan kabut yang sedari tadi belum juga hilang. Sempat terlintas dibenakku, apa ini kota kabut yang mirip seperti desa-desa ninja yang sering ku tonton di televisi?
              “Tidak terlalu buruk.” Kataku pelan sambil melihat hasil jepretan cahaya mobil yang melintas ditengah kabut yang sengaja kuambil dengan mode fokus. Ponsel ku tarik dari saku celana, satu panggilan masuk dari private number. Menyebalkan.
              “Hallo…” sapaku pertama kali. Untuk beberapa saat aku sama sekali tak mendengar balasan dari seberang, apa telingaku yang bermasalah? Tapi tidak– menang belum ada jawaban. “Hallo siapa?” seruku sekali lagi. Ku sabarkan diriku untuk menunggu beberapa detik lagi sampai benar-benar kututup dan kukembalikan ke dalam saku celana.
              Perjalanan membosankan ini terpaksa kulanjutkan sendiri. Bob, teman satu perkumpulan fotograferku yang sudah berjanji akan menemaniku disini tidak bisa datang. Pendarahan akibat tabrakan serius membuatnya mendekam diruang ICU, dan aku masih belum bisa menjenguknya karna terjebak dikota yang kurasa ada hal yag menarik nanti.
***
              Laptop kunyalakan lalu kuhubungkan dengan kameraku. Seperti biasa setelah seharian ku menjelajahi satu persatu jalan dan mencari sesuatu yang pantas untuk ku jadikan hasil karyaku dan ku abadikan. Di malam harinya semua hasil itu pasti ku pindah ke laptop, sekedar untuk mem-back-up. Selesai dengan urusanku yang singkat, modem kutancapkan di plot usb di sisi kanan. Berharap di kota ini masih mengenal yang namanya teknologi, apa itu signal dan internet. Tapi kalau tadi saja aku bisa menerima telepon masuk berarti mungkin ada signal untuk internet.
              Lingkaran loading itu terus berputar tanpa henti. Aku sudah mulai lelah menunggu, berbaring dan memainkan mouse berharap tanpilan webku segera terbuka.
              “Hallo? Ini siapa? Jangan bercanda!” bentakku. Mungkinkah aku diteror di kota ini? Tapi apa salahku?, pikirku. Segera kututup ponselku. Bukan suara manusia seperti yang ku harapkan, tapi aku mendengar suara angin yang bertiup kencang. Seolah ponsel atau gagang telepon sengaja diletakkan di tempat yang berangin. Dekat kipas angin, pinggir jalan, pantai, atau sengaja ditiup. Tapi untuk apa? Ku cabut modemku, ku matikan, dan meringkuk disudut tempat tidur. Ini bukan liburan yang aku maksudku, benar tempat ekstrim tapi bukan tempat se-ekstrim ini, tempat yang membuatku merasa ada yang mengawasi sekaligus melarangku pergi dari sini.
              Bangkit, duduk bersila. Kuteguk segelas air putih. Seperti bertapa tapi lebih tepat di bilang menenangkan pikiran. Itulah yang kulakukan sekarang. Aku percaya, ini bukan hantu, setan, atau mahluk sejenisnya seperti cerita horror pada umumnya, ini pasti ulah manusia gila, kurang kerjaan, atau punya dendam pribadi denganku.
              “Dendam pribadi?” teriakku tiba-tiba.
              “Dendam? Apa mungkin renkarnasi itu ada? Mungkinkah aku mempunyai dendam di kehidupanku sebelumnya? Atau itu dendam seseorang di kehidupanku sekarang?” Kuacak-acak sendiri rambutku. Meditasiku gagal total. Kubanting tubuhku, dan kututup wajahku dengan bantal.
***
              THIRD DAY
              “Darah..” teriakku histeris. Saat terbangun, keringatku bercucuran. Kepala, rambut, sampai bajuku basah kuyup. Mimpi itu terasa nyata. Amat nyata. Ku jejalkan kakiku ke dalam sepatu dan buru-buru meraih kamera lalu melesat pergi. Tak ada waktu untuk sekedar mandi atau mencuci muka. Sebelum ingatan tempat itu hilang, aku harus cepat pergi kesana. Jalannya tergambar jelas beserta arahnya.
              Langkahku terhenti di depan rumah tua besar, cukup membuat bulu kudukku berdiri ditengah pagi tanpa sinar matahari. Kubenarkan letak kaca mataku. Ku bidikan kameraku satu persatu yang tanpa sadar membawaku ke dalam rumah. Menakjubkan. Aku melihat kehidupan lain disini, sebuah keluarga kecil yang bahagia. Seorang anak kecil yang tengah lari memutari sofa putih di dalam rumah. Apa aku mimpi? Rumah ini bersih. Aku berjalan keluar rumah dan memperhatikan bangunan rumah itu dari luar sekali lagi– bangunan tua penuh sampah. Tapi kenapa di dalamnya  bersih? Terlalu bersih? Aku yang tidak sadar atau memang mereka tidak menyadari kedatanganku.
              Sekuat mentalku, aku memberanikan diri masuk ke dalam rumah yang membuat kepalaku pusing tujuh keliling, penuh tanda tanya. Aku tercekik. Sosok gadis itu berdiri dengan sebuah buku ditangannya. Berkepang dua, dengan kacamata besar. Wajahnya… .Ku gosok-gosok mataku berkali-kali dan kutampar pipiku  sendiri. Wajah itu sama, masih sama. Segera ku bidikkan kamera ke arahnya, dia tersenyum seperti mengerti bahwa ia sedang difoto. Senyumnya terlihat cantik, dan membuatnya semakin terkesan anggun.
***
              THE LAST DAY
              Kepalaku sudah cukup sakit dengan keanehan yang terjadi selama aku berada di kota ini. Mulai dari hari pertama datang, kota penuh kabut bahkan saat jam dua belas siang sekaligus. Lalu mimpi-mimpi aneh yang menghantuiku setiap malam, membuatku mandi keringat setiap bangun tidur. Bercak darah sebagai ending disetiap mimpi. Mengunjungi tempat-tempat nyata yang selalu ada, setiap kudatangi di hari yang sama lalu menghilang di hari berikutnya. Dan yang aneh, siapa wanita cantik itu, wajahnya mirip denganku sepuluh tahun lalu. Tepatnya saat aku berumur dua belas tahun. Apa iya itu aku? Tapi aku sama sekali belum pernah ke kota ini.
              Deretan misteri itu masih belum terselesai, sekarang masalah foto-foto yang berjejer di hadapanku. Untung disini masih ada tempat cetak foto jadi aku bisa mencetak semua hasil fotoku agar lebih mudah kuamati. Kujejer satu persatu foto dimulai dari waktu pengambilannya. Aku mencoba mencari benang merahnya yang akan kusambungkan dengan mimpi-mimpi mengerikanku selama kurang lebih delapan hari terakhir. Otakku untuk menganalisis jauh banget dibawah Sherlock Holmes. “Bagaimana ini?” Sekali lagi kucoba berkonsentrasi. Ku ingat-ingat, apa benar aku belum pernah ke tempat itu sama sekali atau aku saja yang sudah lupa.
              Malam semakin larut, rasa kantuk sudah menyelimutiku untuk segera tidur tapi mataku menolak keras. Masalah ini terlalu rumit. Meskipun kuputuskan pulang dan kembali ke kota yang lebih normal daripada ini, aku pasti masih saja memikirkannya dan pada akhirnya kembali ke kota ini. Ponselku berdering, Private Number muncul jelas dilayar ponsel,
              “Hallo.. Siapa ini?”
              “Aku masalalumu Jane. Obsesimu membawamu pada ketakutan dan kebingunganmu sendiri. Selamanya kamu tak akan pernah tahu siapa aku, sebelum kamu tahu siapa kamu.”
              “Apa maksudmu? Jangan coba-coba menerorku!” gertakku
              “Meskipun kamu sudah pergi dari sini, ingatlah kenangan pasti akan selalu menyertaimu. Terbebas dari kenangan apa itu, menyenangkan ataupun menyakitkan, indah ataupun menyeramkan.”
              “Hai tunggu!! …” Kubanting ponselku ke samping. Aku benar-benar muak dengan semua ini. Siapa aku dimasalalu, apa aku seorang penjahat, buronan, atau seorang biarawati, atau apa? Aku benar-benar gila disini. Terlalu bagus kalau aku sanggup bertahan lebih lama disini. Apapun yang terjadi setelah aku kembali, meskipun nantinya aku harus kembali kesini, yang jelas saat itu aku tidak sendirian seperti sekarang.
***
              Sinar terang menerpa mataku. Ku buka mataku sedikit menyipit. Kugunakan tanganku untuk menghalau sinar yang datang kearahku. Samar-samar kudengar suara orang-orang yang ku kenal. Lebih ramai dari kemarin malam.
              “Jane…!!” Seseorang memenggil namaku. Aku masih belum sepenuhnya sadar. Kutarik badanku dan kusaksikan semuanya berubah.
              Aku sudah barada ditempat yang lebih baik, jauh lebih baik dari kemarin. Kulihat, semua orang yang kukenal disekelilingku. Saling tertawa dan sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Mataku membelalak melihat laptopku yang terbuka, foto-foto yang kemarin kuambil dan kusimpan terbuka. Gadis itu, gadis yang mengaku sebagai masalaluku terpampang jelas dilayar laptopku.
              “Jane, kamu dapat foto gadis ini darimana? Bukannya perjalanannya masih besok ya? Tapi kok kamu sudah dapat fotonya?” tanya laki-laki bertubuh jangkung padaku bertubi-tubi.
              “Bob?” Kutampar laki-laki itu cukup keras dan membuatnya mengernyit kesakitan sambil mengelus-elus pipinya. “Sialan! Apa maksudmu nampar-nampar?”
              “Kamu bukannya lagi diruang ICU ya?”
              “Woy!! Bangun! Sejak kapan aku masuk ruang ICU? Daritadi aku disini. Kamu itu daritadi tidur enggak bangun-bangun. Aku bangunin, kamu malah ngiggo enggak jelas. Keringat kamu juga banyak banget. Tapi kamu sama sekali enggak bisa dibangunin.”
              “Sekarang jam berapa?”
              “Jam lima sore. Kamu sudah tidur sekitar enam jam.”
              “Terakhir aku yang aku lakuin?”
              “Kamu lupa ingatan ya?”
              “Sudah jawab! Apa terakhir aku nulis atau hanya ngelamun?”
              “Terakhir, kamu cuman nulis seperti biasa terus kamu ngelihatin kameramu seperti mencari inspirasi terus kamu tidur. Tapi yang aku herankan, darimana kamu dapet foto gadis itu?” Jangankan dia, aku saja masih bingung. Teori seperti apa yang aku mengerti
              “Memangnya dia siapa?”
              “Dia korban pembunuhan berantai, dari kecil dia cuman tinggal bertiga dengan orang tuanya. Tapi waktu usia dua belas tahun, dia dan semua keluarganya dibunuh. Ya mirip kamulah, waktu umur dua belas tahun, kamu juga tinggal orang tuamu kan karna kecelakaan?” Aku mengangguk. Secepat kilat, kuambil kamera di dalam tas dan kulihat foto-foto hasil jepretanku. Semuanya hilang. Kosong. Hanya foto gadis itu yang tersisa. Padahal jelas-jelas ku ingat, sebelum ku ambil foto gadis itu, aku sudah banyak mengabil gambar-gambar lain. Gambar rumah tua itupun hilang. Apa iya ini cuman mimpi? Tapi rasanya terlalu nyata. Dan kenapa hanya foto gadis itu yang ada? Sedangkan yang lainnya …

zzz

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Nice gan . lanjutkan ^_^

Mita Anandayu mengatakan...

nice story :) coba aja dikirimin ke majalah2 gitu pasti bakal seneng karya kita bisa dibaca sama banyak orang ^^

Insan Gumelar Ciptaning Gusti mengatakan...

@Anonim : makasih :)

@Mita Anandayu : makasih :) niatnya juga gitu. tapi masih belum nemu majalahnya. maunya aku kirim ke penerbit buku, jadi kumpulan cerpen gitu. hehehe :D

Anonim mengatakan...

asyik, seru..

`t