FIRST DAY
Benarkah ini sudah jam enam pagi?
Aku sudah setengah jam berdiri dengan bahu penuh beban di pinggir jalan. Mataku
memandang jauh ke ujung kanan dan kiri jalan. Semua tampak gelap, sepi, dan
penuh kabut. Lampu kendaraan yang terang terkesan tak mampu memecah kepekatan
kabut hari ini. Tubuhku menggidik sesekali menahan dingin yang terus menerpa
tubuhku. Kota aneh, pikirku sekilas.
Ya, aku baru saja tiba dari luar kota. Hobiku sebagai fotografer memaksaku
mencari lokasi-lokasi yang berbeda. Daripada tempat wisata, aku lebih suka
pergi ke tempat yang ekstrim, tempat yang kata orang menakutkan, berbahaya,
penuh teror, atau apalah itu. Aku tak peduli.
Kuletakkan tas ranselku di pinggir
jalan sebagai alasku duduk, kulihat jarum jam di tanganku baik-baik, memastikan
apa benar ini sudah jam enam atau sebenarnya masih jam empat pagi. Beberapa
detik mataku terpaku di jam hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.
Kutarik kembali pandanganku ke jalan yang masih sama, satu angkot pun tak kunjung
datang. Kabut tebal ini sungguh mengganggu, pengelihatanku sama sekali buruk
dalam situasi seperti ini. Ransel besar kuletakkan kembali diatas punggungku
dan akhirnya kuputuskan untuk berjalan daripada terus menunggu sesuatu yang tak
kunjung datang.
Ku rebahkan tubuhku yang sudah
lelah dibuntalan kapas yang keras.
“Ini bukan rumah, ini lebih pantas
disebut kamar!” gerutuku. Ruangan berukuran sekitar 3X2, mereka katakan sebagai
rumah kontrakan. Tapi sejauh mata memandang semua rumah di kota ini memang
berukuran kurang lebih seperti ini. Lalu bagaimana mereka tinggal? Ku benamkan
kepalaku dibalik selimut. Kupikir, mungkin saat hari sedikit lebih siang, saat
kabut-kabut itu sudah sedikit menghilang, aku baru bisa mendapatkan foto-foto
yang bagus.
***
SECOND DAY
Mataku masih sulit di buka,
perjalannan ini begitu menguras tenagaku. Meskipun aku sudah menggantinya
dengan beberapa botol air, suplemen vitamin, dan berpiring-piring makanan,
tetap saja rasa lelah ini tak kunjung menghilang dari pundakku. Setengah sadar
aku bangkit, melepaskan tubuhku dari balutan selimut, dan berjalan keluar.
Kamar mandi umum. Hanya itu yang ada. Kakiku yang belum sempurna harus terpaksa
berlari ke ruang kecil yang sangat penting bagiku untuk saat ini. Kota ini
memang aneh. Apa daerah seperti ini layak disebut kota? Ku buang pikiran asalku
jauh-jauh bersama guyuran air yang begitu segar saat menerpa tubuh dan
rambutku.
Selesai. Kuikat sepatuku seperti
biasa. Kutenteng kamera begitu saja ditanganku tanpa takut terjatuh atau apalah,
seolah kamera itu sangat murah, semurah harga lollipop yang sedang memutar di
dalam mulutku. Kususuri jalan beraspal yang penuh lubang dan dibatasi tanah
kering berwarna cokelat. Aku mulai memainkan lensa kamera, peduli apa dengan
kabut yang sedari tadi belum juga hilang. Sempat terlintas dibenakku, apa ini
kota kabut yang mirip seperti desa-desa ninja yang sering ku tonton di
televisi?
“Tidak terlalu buruk.” Kataku
pelan sambil melihat hasil jepretan cahaya mobil yang melintas ditengah kabut
yang sengaja kuambil dengan mode fokus. Ponsel ku tarik dari saku celana, satu
panggilan masuk dari private number.
Menyebalkan.
“Hallo…” sapaku pertama kali.
Untuk beberapa saat aku sama sekali tak mendengar balasan dari seberang, apa
telingaku yang bermasalah? Tapi tidak– menang belum ada jawaban. “Hallo siapa?”
seruku sekali lagi. Ku sabarkan diriku untuk menunggu beberapa detik lagi
sampai benar-benar kututup dan kukembalikan ke dalam saku celana.
Perjalanan membosankan ini
terpaksa kulanjutkan sendiri. Bob, teman satu perkumpulan fotograferku yang
sudah berjanji akan menemaniku disini tidak bisa datang. Pendarahan akibat
tabrakan serius membuatnya mendekam diruang ICU, dan aku masih belum bisa
menjenguknya karna terjebak dikota yang kurasa ada hal yag menarik nanti.
***
Laptop kunyalakan lalu kuhubungkan
dengan kameraku. Seperti biasa setelah seharian ku menjelajahi satu persatu
jalan dan mencari sesuatu yang pantas untuk ku jadikan hasil karyaku dan ku
abadikan. Di malam harinya semua hasil itu pasti ku pindah ke laptop, sekedar
untuk mem-back-up. Selesai dengan
urusanku yang singkat, modem kutancapkan di plot
usb di sisi kanan. Berharap di kota ini masih mengenal yang namanya
teknologi, apa itu signal dan internet. Tapi kalau tadi saja aku bisa menerima telepon
masuk berarti mungkin ada signal untuk internet.
Lingkaran loading itu terus berputar tanpa henti. Aku sudah mulai lelah
menunggu, berbaring dan memainkan mouse
berharap tanpilan webku segera
terbuka.
“Hallo? Ini siapa? Jangan
bercanda!” bentakku. Mungkinkah aku
diteror di kota ini? Tapi apa salahku?, pikirku. Segera kututup ponselku.
Bukan suara manusia seperti yang ku harapkan, tapi aku mendengar suara angin
yang bertiup kencang. Seolah ponsel atau gagang telepon sengaja diletakkan di
tempat yang berangin. Dekat kipas angin, pinggir jalan, pantai, atau sengaja
ditiup. Tapi untuk apa? Ku cabut modemku, ku matikan, dan meringkuk disudut
tempat tidur. Ini bukan liburan yang aku maksudku, benar tempat ekstrim tapi bukan tempat se-ekstrim ini, tempat yang membuatku
merasa ada yang mengawasi sekaligus melarangku pergi dari sini.
Bangkit, duduk bersila. Kuteguk
segelas air putih. Seperti bertapa tapi lebih tepat di bilang menenangkan
pikiran. Itulah yang kulakukan sekarang. Aku percaya, ini bukan hantu, setan,
atau mahluk sejenisnya seperti cerita horror pada umumnya, ini pasti ulah
manusia gila, kurang kerjaan, atau punya dendam pribadi denganku.
“Dendam pribadi?” teriakku
tiba-tiba.
“Dendam? Apa mungkin renkarnasi
itu ada? Mungkinkah aku mempunyai dendam di kehidupanku sebelumnya? Atau itu
dendam seseorang di kehidupanku sekarang?” Kuacak-acak sendiri rambutku.
Meditasiku gagal total. Kubanting tubuhku, dan kututup wajahku dengan bantal.
***
THIRD DAY
“Darah..” teriakku histeris. Saat
terbangun, keringatku bercucuran. Kepala, rambut, sampai bajuku basah kuyup.
Mimpi itu terasa nyata. Amat nyata. Ku jejalkan kakiku ke dalam sepatu dan
buru-buru meraih kamera lalu melesat pergi. Tak ada waktu untuk sekedar mandi
atau mencuci muka. Sebelum ingatan tempat itu hilang, aku harus cepat pergi
kesana. Jalannya tergambar jelas beserta arahnya.
Langkahku terhenti di depan rumah
tua besar, cukup membuat bulu kudukku berdiri ditengah pagi tanpa sinar
matahari. Kubenarkan letak kaca mataku. Ku bidikan kameraku satu persatu yang
tanpa sadar membawaku ke dalam rumah. Menakjubkan. Aku melihat kehidupan lain
disini, sebuah keluarga kecil yang bahagia. Seorang anak kecil yang tengah lari
memutari sofa putih di dalam rumah. Apa aku mimpi? Rumah ini bersih. Aku berjalan
keluar rumah dan memperhatikan bangunan rumah itu dari luar sekali lagi–
bangunan tua penuh sampah. Tapi kenapa di dalamnya bersih? Terlalu bersih? Aku yang tidak sadar
atau memang mereka tidak menyadari kedatanganku.
Sekuat mentalku, aku memberanikan
diri masuk ke dalam rumah yang membuat kepalaku pusing tujuh keliling, penuh
tanda tanya. Aku tercekik. Sosok gadis itu berdiri dengan sebuah buku
ditangannya. Berkepang dua, dengan kacamata besar. Wajahnya… .Ku gosok-gosok
mataku berkali-kali dan kutampar pipiku
sendiri. Wajah itu sama, masih sama. Segera ku bidikkan kamera ke
arahnya, dia tersenyum seperti mengerti bahwa ia sedang difoto. Senyumnya
terlihat cantik, dan membuatnya semakin terkesan anggun.
***
THE LAST DAY
Kepalaku sudah cukup sakit dengan
keanehan yang terjadi selama aku berada di kota ini. Mulai dari hari pertama
datang, kota penuh kabut bahkan saat jam dua belas siang sekaligus. Lalu
mimpi-mimpi aneh yang menghantuiku setiap malam, membuatku mandi keringat
setiap bangun tidur. Bercak darah sebagai ending
disetiap mimpi. Mengunjungi tempat-tempat nyata yang selalu ada, setiap
kudatangi di hari yang sama lalu menghilang di hari berikutnya. Dan yang aneh,
siapa wanita cantik itu, wajahnya mirip denganku sepuluh tahun lalu. Tepatnya
saat aku berumur dua belas tahun. Apa iya itu aku? Tapi aku sama sekali belum
pernah ke kota ini.
Deretan misteri itu masih belum
terselesai, sekarang masalah foto-foto yang berjejer di hadapanku. Untung
disini masih ada tempat cetak foto jadi aku bisa mencetak semua hasil fotoku
agar lebih mudah kuamati. Kujejer satu persatu foto dimulai dari waktu
pengambilannya. Aku mencoba mencari benang merahnya yang akan kusambungkan
dengan mimpi-mimpi mengerikanku selama kurang lebih delapan hari terakhir.
Otakku untuk menganalisis jauh banget dibawah Sherlock Holmes. “Bagaimana ini?”
Sekali lagi kucoba berkonsentrasi. Ku ingat-ingat, apa benar aku belum pernah
ke tempat itu sama sekali atau aku saja yang sudah lupa.
Malam semakin larut, rasa kantuk
sudah menyelimutiku untuk segera tidur tapi mataku menolak keras. Masalah ini
terlalu rumit. Meskipun kuputuskan pulang dan kembali ke kota yang lebih normal
daripada ini, aku pasti masih saja memikirkannya dan pada akhirnya kembali ke
kota ini. Ponselku berdering, Private
Number muncul jelas dilayar ponsel,
“Hallo.. Siapa ini?”
“Aku masalalumu Jane. Obsesimu
membawamu pada ketakutan dan kebingunganmu sendiri. Selamanya kamu tak akan
pernah tahu siapa aku, sebelum kamu tahu siapa kamu.”
“Apa maksudmu? Jangan coba-coba
menerorku!” gertakku
“Meskipun kamu sudah pergi dari
sini, ingatlah kenangan pasti akan selalu menyertaimu. Terbebas dari kenangan
apa itu, menyenangkan ataupun menyakitkan, indah ataupun menyeramkan.”
“Hai tunggu!! …” Kubanting ponselku
ke samping. Aku benar-benar muak dengan semua ini. Siapa aku dimasalalu, apa
aku seorang penjahat, buronan, atau seorang biarawati, atau apa? Aku
benar-benar gila disini. Terlalu bagus kalau aku sanggup bertahan lebih lama
disini. Apapun yang terjadi setelah aku kembali, meskipun nantinya aku harus
kembali kesini, yang jelas saat itu aku tidak sendirian seperti sekarang.
***
Sinar terang menerpa mataku. Ku
buka mataku sedikit menyipit. Kugunakan tanganku untuk menghalau sinar yang
datang kearahku. Samar-samar kudengar suara orang-orang yang ku kenal. Lebih
ramai dari kemarin malam.
“Jane…!!” Seseorang memenggil
namaku. Aku masih belum sepenuhnya sadar. Kutarik badanku dan kusaksikan
semuanya berubah.
Aku sudah barada ditempat yang
lebih baik, jauh lebih baik dari kemarin. Kulihat, semua orang yang kukenal
disekelilingku. Saling tertawa dan sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.
Mataku membelalak melihat laptopku yang terbuka, foto-foto yang kemarin kuambil
dan kusimpan terbuka. Gadis itu, gadis yang mengaku sebagai masalaluku
terpampang jelas dilayar laptopku.
“Jane, kamu dapat foto gadis ini
darimana? Bukannya perjalanannya masih besok ya? Tapi kok kamu sudah dapat
fotonya?” tanya laki-laki bertubuh jangkung padaku bertubi-tubi.
“Bob?” Kutampar laki-laki itu
cukup keras dan membuatnya mengernyit kesakitan sambil mengelus-elus pipinya.
“Sialan! Apa maksudmu nampar-nampar?”
“Kamu bukannya lagi diruang ICU
ya?”
“Woy!! Bangun! Sejak kapan aku
masuk ruang ICU? Daritadi aku disini. Kamu itu daritadi tidur enggak
bangun-bangun. Aku bangunin, kamu malah ngiggo enggak jelas. Keringat kamu juga
banyak banget. Tapi kamu sama sekali enggak bisa dibangunin.”
“Sekarang jam berapa?”
“Jam lima sore. Kamu sudah tidur
sekitar enam jam.”
“Terakhir aku yang aku lakuin?”
“Kamu lupa ingatan ya?”
“Sudah jawab! Apa terakhir aku
nulis atau hanya ngelamun?”
“Terakhir, kamu cuman nulis
seperti biasa terus kamu ngelihatin kameramu seperti mencari inspirasi terus
kamu tidur. Tapi yang aku herankan, darimana kamu dapet foto gadis itu?”
Jangankan dia, aku saja masih bingung. Teori seperti apa yang aku mengerti
“Memangnya dia siapa?”
“Dia korban pembunuhan berantai,
dari kecil dia cuman tinggal bertiga dengan orang tuanya. Tapi waktu usia dua
belas tahun, dia dan semua keluarganya dibunuh. Ya mirip kamulah, waktu umur
dua belas tahun, kamu juga tinggal orang tuamu kan karna kecelakaan?” Aku
mengangguk. Secepat kilat, kuambil kamera di dalam tas dan kulihat foto-foto
hasil jepretanku. Semuanya hilang. Kosong. Hanya foto gadis itu yang tersisa.
Padahal jelas-jelas ku ingat, sebelum ku ambil foto gadis itu, aku sudah banyak
mengabil gambar-gambar lain. Gambar rumah tua itupun hilang. Apa iya ini cuman
mimpi? Tapi rasanya terlalu nyata. Dan kenapa hanya foto gadis itu yang ada?
Sedangkan yang lainnya …
zzz
4 komentar:
Nice gan . lanjutkan ^_^
nice story :) coba aja dikirimin ke majalah2 gitu pasti bakal seneng karya kita bisa dibaca sama banyak orang ^^
@Anonim : makasih :)
@Mita Anandayu : makasih :) niatnya juga gitu. tapi masih belum nemu majalahnya. maunya aku kirim ke penerbit buku, jadi kumpulan cerpen gitu. hehehe :D
asyik, seru..
`t
Posting Komentar