Kamis, 07 Februari 2013

I Loved Yesterday

 
Aku mencintai kehidupanku yang lalu, mengharapkan kehidupan itu dapat kembali. Benar, aku mencintai hari-hariku yang telah berlalu, hari-hariku kemarin. Menurutku, kemarin lebih menyenangkan daripada sekarang ataupun besok, yang masih menjadi misteri. Enam belas tahun lalu. Ya, kurang satu tahun lagi umurku genap tujuh belas tahun. Dalam relung jauhku, aku bertanya: Apa sudah yang kulakukan dalam enam belas tahun hidupku? Kupeluk erat kedua kakiku yang mulai gemetar berinjak pada kehidupan.
            Kutenggelamkan wajahku dalam washtafel. Kubuang pikiran pendekku di perjalanan keluar dari kamar mandi sekolah. Apa yang akan kudapatkan setelah ini?
Seperti biasa, aku tersenyum hanya untuk menutupi kesedihan dan ketidaktahuanku akan dunia ini. Benarkah, di sekolah ini aku bisa menemukan hidupku? Aku tertawa membayangkan pikiranku sendiri. Kamar mandi semakin jauh kutinggalkan bersama wajahku yang mulai mengering.
***

            “Rasi bintang itu terlihat begitu jelas kan?” ucap Sha pelan. Aku menoleh, mengikuti pandangan matanya yang turus terfokus ke langit. Aku duduk di samping kursi rodanya. Puncak pegunungan ini memang tempat yang menyenangkan untuk melihat bintang, apalagi jika langit secerah malam ini.
            “Boleh aku tanya?”
            “Silahkan,” balasnya. Untuk beberapa saat, pertanyaan yang sempat hilang belum juga kembali. Aku terlalu fokus memerhatikan Sha yang tak mengedipkan matanya sedikitpun setiap melihat rasi bintang itu terlihat sempurna.
            “Apa?” tanyanya ulang setengah menoleh ke arahku.
            “Apa arti rasi bintang itu? Apa menurutmu rantai bintang itu begitu istimewa?”
            “Kamu orang ke tiga yang menayakan hal itu?”
            “Siapa orang pertama dan kedua?”
            “Yang pertama pemilik panti asuhan ini,” Sha tersenyum tipis, lalu melanjutkan jawabannya, “dan yang kedua, Mario. Dia orang yang kusayangi.”
            “Dimana dia? Dan apa arti bintang-bintang itu?”
            “Menjadi bintang bersama ayah, ibu, dan adikku di langit.”
Hahh! Aku terdiam, tertawa dalam hatiku. Bukan tertawa atas jawaban Sha, tapi tertawa atas diriku sendiri yang bodoh. Sha, dia teman dekatku– mungkin. Entah kenapa, aku lebih nyaman saat di puncak belakang panti asuhan ini. Orang tuaku lengkap, begitu menyayangiku, apa yang ku mau selalu kudapatkan. Di sekolah pun sama, teman, popularitas, nilai, sahabat, semua kudapatkan. Bisa dibilang, aku beruntung. Tapi kenapa? Kenapa aku selalu merasa kurang, kurang akan sesuatu. Aku selalu merasa ada hal yang belum aku miliki, tapi apa?
            Aku berdiri, dia menoleh padaku sekilas. Seakan malu, aku memilih untuk menyendiri di dalam kamar yang sudah mereka siapkan untukku. Maklumlah aku terlalu sering berkunjung kemari.
            Kututup pintu kamarku. Tirai jendela kutarik sedikit ke samping, dari kamarku pun bintang-bintang itu tetap terlihat indah tapi tak sebegitu indah. Benarkah, mereka yang telah pergi akan menjadi bintang dan akan terangkai dalam bentuk rasi yang indah? Atau terbang melalui pelangi menuju surga atau neraka? Ku campakkan tirai dan kubanting tubuhku ke sofa panjang.
***

            Telunjukku bermain di punggung-punggung buku yang berjajar rapi di perpustakaan sekolah. Deretan yang sering membuat teman-temanku mati berdiri. Tapi menururtku, ini hanya akan membuatku pingsan, sekedar pingsan. Buku setebal lima ratus sampai delapan ratusan halaman ini sebisa mungkin harus ku kuasai. Semua ini demi Sha.
            Beberapa eksemplar buku berserakan di atas meja. Ku buka satu persatu halaman dan ku cermati bagian demi bagiannya, lalu ku catat dalam catatan kecilku. Menurutku keren kalau aku bisa memahami buku kematian ini. Tebalnya sungguh bisa membuat orang mati. Ku lepas kacamataku setelah rasa sakit hinggap di pangkal hidungku. Langit mulai memerah dengan corak oren sebagai pelengkap. Ku sandarkan kepalaku di punggung kursi. Terasa nyaman. Duduk sendiri dengan pemandangan langit yang jarang kuperhatikan. Sangat indah.
            Ku habiskan waktuku hari ini dengan mendekap di dalam perpustakaan. Kesunyian menemaniku sebagai sahabat yang baik. Kutinggalkan buku- buku tebal mematikan di tempat terakhir, hanya catatanku yang aku bawa.

            “Yah, aku ingin bicara. Ada waktu?” tanyaku sesaat setelah bergabung dengan mereka di ruang tengah. “Ada apa?” Aku terdiam, ku pandangi wajah dua orang tua di depanku yang begitu menanti kelanjutan ucapanku. Ku hela nafas panjangku.
            “Ada apa? Kenapa kamu menghela nafas?” tanya ayahku yang mulai kehilangan kesabarannya. “Aku ingin pindah jurusan kuliah,” jawaku tegas
            “Apa kamu sudah gila? Ada apa dengan jurusanmu yang sekarang?”
            “Nothing.”
            “Lalu? Apa nilaimu menurun? Tidak kan?”
            “Aku mulai merasa hidupku bukan disana, tapi di tempat lain. Ya, aku rasa di tempat lain, hidupku yang sebenarnya. Aku ingin pindah ke jurusan kedokteran.”
            “Lalu bagaimana dengan kuliahmu yang kurang satu semester lagi? Apa semua itu akan kamu buang? Ini bukan masalah uang atau apa, tapi semua akan kembali nol dan kamu harus mengulangnya lagi.”
            “Ya, aku tahu itu. Semua memang akan kembali nol.” Pembicaraan ini berakhir dengan diamnya orang tua berkaca mata. Ku tinggalkan mereka yang masih saling membisu. Sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

            Tuhan, apa pilihanku kali ini benar? Sanggupkah aku memulai semuanya kembali setelah keberhasilanku yang sudah mendekati akhir, tapi semua harus ku tinggalkan demi keputusanku yang baru. Tapi aku bukan pemimpi seperti apa yang ada dipikiran mereka. Mungkin aku jenius dalam bidang pelajaran dengan kelas akselerasi yang kutempati dulu sebagai buktinya, tapi aku terlalu bodoh dan masih saja bodoh dengan semua kehidupan ini, aku mencintai hidupku yang kemarin.

            Kututup buku usang yang selalu kubawa kemana-mana. Mungkin itu kitab untukku. Aku gila, benar-benar gila. Piringan hitam kado dari nenekku bermutar merdu dikamarku. Aku tak peduli, saat ibuku mulai dengan omelannya saat kamarku tiba-tiba berubah, bernuansa mencekam saat silinder pejal itu berputar.
***

            Kuputuskan sudah, jurusan ini yang kuambil dan jurusan lama itu kubuang. Biarlah menjadi usaha lamaku yang terkubur dalam. Ini pilihanku yang baru dan kuharap aku bisa mendapatkan kehidupanku setelah aku berhasil dengan pilihanku yang kuambil tiba-tiba. Kedokteran. Inilah yang kupilih, aku pun ingin menjadi berguna untuk orang lain. Membuat orang lain tersenyum bahagia, dan dengan itu mungkin aku juga bisa tersenyum.
            Sepulang kuliah, aku kembali ke rumah keduaku. Panti asuhan. Seperti biasa, aku langsung pergi ke halaman belakang. Ku lihat sosok perempuan cantik yang duduk termenung di atas kursi roda yang dingin. Aku berlari ke arahnya.
            “Hey Sha,” sapaku. Dia hanya tersenyum, itu responnya untukku. Sampai sekarang, aku belum tahu kenapa dia duduk di kursi roda, kecelakaan kah? Atau karna penyakit yang menyerang sarafnya. Angin berhembus cukup kencang. Terasa bebas. Kulihat burung-burung yang terbang mengitari langit biru. Kutelentangkan badanku, pandanganku lurus keatas.
            “Apa keputusanmu?”
            “Kedokteran.”
            Buku kusam yang terikat rapi dengan pita putih yang warnanya mulai kekuning-kuningan, diberikannya padaku. Aku heran. “Ini untukmu, buku ini penyemangatku selama ini. Aku ingin kamu juga menyimpannya. Mungkin dengan buku ini, kita akan selalu bersama. Aku ingin, sampai kapanpun kita akan menjadi teman atau saudara. Saudara benarkah bisa?” Aku masih belum mengerti dengan apa maksud Sha. Ada apa dengan Sha? Buku itu sudah ada di tanganku, memang, Tapi aku belum berani membuka, meskipun itu hanya sekedar pitanya.
***

            Kematian itu terasa tiba-tiba. Rantai kehidupan ini benar-benar terjadi. Kematian dan kehidupan itu sangat indah, bukan? Saat kau bisa melihat seseorang berjalan di atas pelangi menuju surga atau neraka, pikirku dari dulu. Aku masih anak-anak. Seorang anak kecil yang tersesat di sebuah pola dan tak bisa mengurainya.
            Jas putih ini sudah kupakai. Sudah kubuktikan, aku bukan pemimpi. Aku pejuang atas hidupku sendiri. Diusia ini, aku berhasil menaklukan dunia. Saat ku ingat, semua menertawakanku atas alasanku melakukan ini. Saat ku katakan hadiah apa yang ingin ku dapatkan, mereka selalu tertawa. Mungkin mereka berpikir aku bisa dengan mudah mendapatkannya, tapi seseorang mengatakan satu hal yang sedikit membuatku tersenyum: Sebenarnya dia bisa melakukannya dengan mudah, tapi apa yang dia dapatkan? Tidak ada. Tapi dengan dia melakukannya dengan susah payah, dengan usahanya sendiri, pasti dia mendapatkan perasaan bangga, kepuasan atas usahanya sendiri. Dia pun bisa berkata, ini hasil dari kerja kerasku.

                                                                            SELESAI …




Tidak ada komentar: