Aku mencintai kehidupanku
yang lalu, mengharapkan kehidupan itu dapat kembali. Benar, aku mencintai hari-hariku
yang telah berlalu, hari-hariku kemarin. Menurutku, kemarin lebih menyenangkan
daripada sekarang ataupun besok, yang masih menjadi misteri. Enam belas tahun
lalu. Ya, kurang satu tahun lagi umurku genap tujuh belas tahun. Dalam relung
jauhku, aku bertanya: Apa sudah yang kulakukan dalam enam belas tahun hidupku?
Kupeluk erat kedua kakiku yang mulai gemetar berinjak pada kehidupan.
Kutenggelamkan
wajahku dalam washtafel. Kubuang pikiran pendekku di perjalanan keluar dari kamar
mandi sekolah. Apa yang akan kudapatkan setelah ini?
Seperti biasa, aku
tersenyum hanya untuk menutupi kesedihan dan ketidaktahuanku akan dunia ini.
Benarkah, di sekolah ini aku bisa menemukan hidupku? Aku tertawa membayangkan
pikiranku sendiri. Kamar mandi semakin jauh kutinggalkan bersama wajahku yang
mulai mengering.
***
“Rasi bintang itu terlihat begitu jelas kan?” ucap Sha
pelan. Aku menoleh, mengikuti pandangan matanya yang turus terfokus ke langit.
Aku duduk di samping kursi rodanya. Puncak pegunungan ini memang tempat yang
menyenangkan untuk melihat bintang, apalagi jika langit secerah malam ini.
“Boleh aku tanya?”
“Silahkan,” balasnya. Untuk beberapa saat, pertanyaan
yang sempat hilang belum juga kembali. Aku terlalu fokus memerhatikan Sha yang
tak mengedipkan matanya sedikitpun setiap melihat rasi bintang itu terlihat
sempurna.
“Apa?” tanyanya ulang setengah menoleh ke arahku.
“Apa arti rasi bintang itu? Apa menurutmu rantai bintang
itu begitu istimewa?”
“Kamu orang ke tiga yang menayakan hal itu?”
“Siapa orang pertama dan kedua?”
“Yang pertama pemilik panti asuhan ini,” Sha tersenyum
tipis, lalu melanjutkan jawabannya, “dan yang kedua, Mario. Dia orang yang
kusayangi.”
“Dimana dia? Dan apa arti bintang-bintang itu?”
“Menjadi bintang bersama ayah, ibu, dan adikku di langit.”
Hahh! Aku terdiam, tertawa
dalam hatiku. Bukan tertawa atas jawaban Sha, tapi tertawa atas diriku sendiri
yang bodoh. Sha, dia teman dekatku– mungkin. Entah kenapa, aku lebih nyaman
saat di puncak belakang panti asuhan ini. Orang tuaku lengkap, begitu
menyayangiku, apa yang ku mau selalu kudapatkan. Di sekolah pun sama, teman,
popularitas, nilai, sahabat, semua kudapatkan. Bisa dibilang, aku beruntung.
Tapi kenapa? Kenapa aku selalu merasa kurang, kurang akan sesuatu. Aku selalu
merasa ada hal yang belum aku miliki, tapi apa?
Aku berdiri, dia menoleh padaku sekilas. Seakan malu, aku
memilih untuk menyendiri di dalam kamar yang sudah mereka siapkan untukku.
Maklumlah aku terlalu sering berkunjung kemari.
Kututup pintu kamarku. Tirai jendela kutarik sedikit ke samping,
dari kamarku pun bintang-bintang itu tetap terlihat indah tapi tak sebegitu
indah. Benarkah, mereka yang telah pergi akan menjadi bintang dan akan
terangkai dalam bentuk rasi yang indah? Atau terbang melalui pelangi menuju
surga atau neraka? Ku campakkan tirai dan kubanting tubuhku ke sofa panjang.
***
Telunjukku bermain di punggung-punggung buku yang berjajar
rapi di perpustakaan sekolah. Deretan yang sering membuat teman-temanku mati
berdiri. Tapi menururtku, ini hanya akan membuatku pingsan, sekedar pingsan.
Buku setebal lima ratus sampai delapan ratusan halaman ini sebisa mungkin harus
ku kuasai. Semua ini demi Sha.
Beberapa eksemplar
buku berserakan di atas meja. Ku buka satu persatu halaman dan ku cermati
bagian demi bagiannya, lalu ku catat dalam catatan kecilku. Menurutku keren
kalau aku bisa memahami buku kematian ini. Tebalnya sungguh bisa membuat orang
mati. Ku lepas kacamataku setelah rasa sakit hinggap di pangkal hidungku.
Langit mulai memerah dengan corak oren sebagai pelengkap. Ku sandarkan kepalaku
di punggung kursi. Terasa nyaman. Duduk sendiri dengan pemandangan langit yang
jarang kuperhatikan. Sangat indah.
Ku habiskan waktuku hari ini dengan mendekap di dalam
perpustakaan. Kesunyian menemaniku sebagai sahabat yang baik. Kutinggalkan
buku- buku tebal mematikan di tempat terakhir, hanya catatanku yang aku bawa.
“Yah, aku ingin bicara. Ada waktu?” tanyaku sesaat
setelah bergabung dengan mereka di ruang tengah. “Ada apa?” Aku terdiam, ku pandangi
wajah dua orang tua di depanku yang begitu menanti kelanjutan ucapanku. Ku hela
nafas panjangku.
“Ada apa? Kenapa kamu menghela nafas?” tanya ayahku yang
mulai kehilangan kesabarannya. “Aku ingin pindah jurusan kuliah,” jawaku tegas
“Apa kamu sudah gila? Ada apa dengan jurusanmu yang
sekarang?”
“Nothing.”
“Lalu? Apa nilaimu menurun? Tidak kan?”
“Aku mulai merasa hidupku bukan disana, tapi di tempat
lain. Ya, aku rasa di tempat lain, hidupku yang sebenarnya. Aku ingin pindah ke
jurusan kedokteran.”
“Lalu bagaimana dengan kuliahmu yang kurang satu semester
lagi? Apa semua itu akan kamu buang? Ini bukan masalah uang atau apa, tapi
semua akan kembali nol dan kamu harus mengulangnya lagi.”
“Ya, aku tahu itu. Semua memang akan kembali nol.”
Pembicaraan ini berakhir dengan diamnya orang tua berkaca mata. Ku tinggalkan
mereka yang masih saling membisu. Sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
Tuhan, apa
pilihanku kali ini benar? Sanggupkah aku memulai semuanya kembali setelah
keberhasilanku yang sudah mendekati akhir, tapi semua harus ku tinggalkan demi
keputusanku yang baru. Tapi aku bukan pemimpi seperti apa yang ada dipikiran
mereka. Mungkin aku jenius dalam bidang pelajaran dengan kelas akselerasi yang
kutempati dulu sebagai buktinya, tapi aku terlalu bodoh dan masih saja bodoh
dengan semua kehidupan ini, aku mencintai hidupku yang kemarin.
Kututup buku usang yang selalu kubawa kemana-mana.
Mungkin itu kitab untukku. Aku gila, benar-benar gila. Piringan hitam kado dari
nenekku bermutar merdu dikamarku. Aku tak peduli, saat ibuku mulai dengan
omelannya saat kamarku tiba-tiba berubah, bernuansa mencekam saat silinder
pejal itu berputar.
***
Kuputuskan sudah, jurusan ini yang kuambil dan jurusan
lama itu kubuang. Biarlah menjadi usaha lamaku yang terkubur dalam. Ini
pilihanku yang baru dan kuharap aku bisa mendapatkan kehidupanku setelah aku
berhasil dengan pilihanku yang kuambil tiba-tiba. Kedokteran. Inilah yang
kupilih, aku pun ingin menjadi berguna untuk orang lain. Membuat orang lain tersenyum
bahagia, dan dengan itu mungkin aku juga bisa tersenyum.
Sepulang kuliah, aku kembali ke rumah keduaku. Panti asuhan.
Seperti biasa, aku langsung pergi ke halaman belakang. Ku lihat sosok perempuan
cantik yang duduk termenung di atas kursi roda yang dingin. Aku berlari ke arahnya.
“Hey Sha,” sapaku. Dia hanya tersenyum, itu responnya
untukku. Sampai sekarang, aku belum tahu kenapa dia duduk di kursi roda,
kecelakaan kah? Atau karna penyakit yang menyerang sarafnya. Angin berhembus
cukup kencang. Terasa bebas. Kulihat burung-burung yang terbang mengitari
langit biru. Kutelentangkan badanku, pandanganku lurus keatas.
“Apa keputusanmu?”
“Kedokteran.”
Buku kusam yang terikat rapi dengan pita putih yang warnanya
mulai kekuning-kuningan, diberikannya padaku. Aku heran. “Ini untukmu, buku ini
penyemangatku selama ini. Aku ingin kamu juga menyimpannya. Mungkin dengan buku
ini, kita akan selalu bersama. Aku ingin, sampai kapanpun kita akan menjadi
teman atau saudara. Saudara benarkah bisa?” Aku masih belum mengerti dengan apa
maksud Sha. Ada apa dengan Sha? Buku itu sudah ada di tanganku, memang, Tapi
aku belum berani membuka, meskipun itu hanya sekedar pitanya.
***
Kematian itu terasa tiba-tiba. Rantai kehidupan ini
benar-benar terjadi. Kematian dan
kehidupan itu sangat indah, bukan? Saat kau bisa melihat seseorang berjalan di atas
pelangi menuju surga atau neraka, pikirku dari dulu. Aku masih anak-anak.
Seorang anak kecil yang tersesat di sebuah pola dan tak bisa mengurainya.
Jas putih ini sudah kupakai. Sudah kubuktikan, aku bukan
pemimpi. Aku pejuang atas hidupku sendiri. Diusia ini, aku berhasil menaklukan dunia.
Saat ku ingat, semua menertawakanku atas alasanku melakukan ini. Saat ku katakan
hadiah apa yang ingin ku dapatkan, mereka selalu tertawa. Mungkin mereka
berpikir aku bisa dengan mudah mendapatkannya, tapi seseorang mengatakan satu
hal yang sedikit membuatku tersenyum: Sebenarnya
dia bisa melakukannya dengan mudah, tapi apa yang dia dapatkan? Tidak ada. Tapi
dengan dia melakukannya dengan susah payah, dengan usahanya sendiri, pasti dia
mendapatkan perasaan bangga, kepuasan atas usahanya sendiri. Dia pun bisa
berkata, ini hasil dari kerja kerasku.
SELESAI
…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar