Rabu, 13 Februari 2013

A Promise

         Saya sudah siap dengan celemek pink yang melindungi badan saya dari noda-noda manis seperti biasa. Berbagai bentuk cetakan cokelat sudah saya siapkan. Hari ini, dua hari sebelum pertemuan itu. Saya memilih rasa blueberry, rasa kesukaannya. Dan beberapa rasa lainnya yang akan saya campur dan saya letakkan di etalase toko.
            Saya mempunyai sebuah toko cokelat dan cupcake yang cukup laris di wilayah kampus. Hari valentine dan Natal menjadi puncak keberuntungan saya dalam setahun. Bagaimana tidak, dihari-hari biasa, saya hanya bisa menjual beberapa ratus cupcake atau coklat hanya dalam model-model tertentu. Tapi saat Natal dan valentine, saya bisa menjual seribu lebih cokelat ataupun cupcake dalam berbagai model. Saya suka cokelat, membuat coklat merupakan hobi yang saya jadikan lahan bisnis.

            Mungkin sudah kebiasaan yang menjadi tradisi. Sejak sepuluh tahun lalu, sampai sekarang saya selalu membuat coklat yang pada akhirnya akan habis bukan karna dimakan seseorang tapi karna dimakan semut atau lainnya. Sekotak coklat istimewa itu selalu saya bawa ke suatu tempat dan saya bawa pulang jika hari telah berganti. Membiarkannya tetap disana. Diatas meja di taman belakang. Meja putih yang hanya memiliki dua bangku, dan saya selalu marah jika ada yang duduk disana. Termasuk pada diri saya sendiri.
***
            Langit masih gelap. Masih sekitar jam setengah lima pagi. Saya membuka kulkas, dan memastikan cokelat-cokelat hasil buatan saya semalam sudah jadi dan siap dipajang di etalase toko. Begitu juga cupcake-cupcake rasa mente dan buah-buahan. Saya lirik kalender duduk diatas buffet kecil. Tanggal 25 terlingkar seperti biasa. Saya tahu itu hari yang penting. “Sehari lagi.” Gumam saya semangat. Diluar, hujan masih turun. Tirai saya tarik ke samping dan saya ikat diujung jendela. Berharap saya bisa melihat matahari terbit dan sebuah pelangi jika terbentuk. Moment indah yang tidak ingin saya tinggalkan.
            Pintu besi itu baru saja saya buka. Dari pusat kampus tidak memerlukan waktu yang cukup lama untuk sampai di toko kecil yang sering saya sebut dengan heaven. Inilah surga saya, tempat yang mampu membuat saya merasa bahagia, tempat yang membuat saya sejenak bisa melupakan masalah ataupun kesedihan yang sudah berjalan lama.
            Toko ini penuh kenangan. Bukan hal berarti. Saya hanya mencoba memahami arti dari nama toko. Sebuah nama yang selalu saya rasa memiliki arti tersendiri.
            “Tapi apa?” Saya tertawa kecil dengan pikiran saya yang selalu buntu. Saya baringkan tubuh saya di sofa kecil, selagi menunggu pembeli datang. Masih terlalu pagi. Menyalakan pemutar musik, instrument-instrument dari Depapepe membuat saya merasa lebih nyaman sambil memandangi langit yang mulai berubah cerah.
            Seorang laki-laki dengan jaket tebalnya mendorong pintu kaca. Saya segera beranjak berdiri, melempar senyuman manis penuh keramahan. Beberapa saat saya membiarkan laki-laki itu melihat seluruh isi etalase. Tapi dari gelagatnya, saya yakin dia tidak menemukan apa yang dia cari. Wajahnya terlihat bingung, matanya jelalatan disetiap sudut bagian etalase.
            “Maaf, ada yang bisa saya bantu?” Dia hanya memalingkan wajahnya sekilas sambil tersenyum lalu sibuk menjelajahi isi etalase sekali lagi. Saya hanya diam, dan mengikut kemana langkah kakinya melangkah.
            “Apa cokelat itu sudah habis?” tanya laki-laki berwajah tirus dengan alis kanan bercabang. “Cokelat yang mana? Disini banyak sekali cokelat. Bisa lebih dijelaskan, cokalat seperti apa yang Anda maksud?” Laki-laki itu kembali diam.
            “Cokelat yang dipajang di etalase itu, sekitar dua tahun lalu, apa masih ada?” tanyanya dengan suara datar. Saya kaget dan memutar otak. Mencoba mengingat, cokelat dua tahun lalu, apa iya itu coklat dengan rasa begitu pahit, hasil eksperimen saya yang gagal dan akhirnya saya putuskan untuk tidak pernah saya jual lagi.
            “Maaf, apa maksud Anda, cokelat dengan taburan cocochips yang rasanya pahit itu? Tapi saya yakin bukan itu yang Anda maksud. Maafkan saya.” Balas saya.
            “Iya, itu yang kumaksud. Apa disini masih jual? Aku sudah mencarinya kemana-mana tapi belum mendapatkannya lagi, lalu aku ingat dulu aku beli disini. Apa masih jual?”
            “Rasa cokelat itu tidak enak. Rasanya pahit. Jadi apa untungnya saya jual cokelat itu. Sudah sejak dua tahun lalu saya tidak menjual cokelat itu lagi.”
            “Apa kau bisa membuatkan khusus untukku. Aku butuh sekotak untuk tanggal 25. Bisa kah?”
            “Tanggal 25? Apa Anda akan memberi cokelat pahit dihari kasih sayang, dihari Natal tahun ini? Apa tidak sebaiknya, Anda memilih cokelat yang lebih enak daripada cokelat itu?”
Dia menggeleng. Tatapannya penuh kepedihan. Mata itu sama seperti saya, beberapa tahun lalu. Mata yang menyimpan rasa kepedihan yang besar didalam hati seorang diri.
            “Aku mohon, tolong buatkan sekotak cokelat dengan rasa yang sama seperti dulu. Bisa?” mintanya lagi. Tiba-tiba saya langsung menyanggupi permintaan laki-laki itu, yang perlahan keluar meninggalkan toko. Selang beberapa saat, orang-orang yang lebih normal dari laki-laki mulai berdatangan. Bagi saya, pesanan coklat pahit itu terasa aneh. Dan saya lebih senang dengan seribu pesanan cokelat rasa daripada satu cokelat pahit. Tapi bagaimana pun saya sudah menyanggupinya. Harus saya lakukan.
            Dapur penuh dengan bahan-bahan membuat cokelat. Beberapa cokelat yang sudah jadipun saya coba tapi belum satupun rasanya pahit. Termasuk cokelat yang saya buat tanpa gula, tapi menurut saya, rasa cokelat itu tidak sebegitu pahit karna ada batuan rasa dari bahan pelengkap lainnya.
            Ini yang terakhir. Eksperimen saya yang terakhir. Kalau gagal, saya akan berhenti. Saya benar-benar lupa. Apa yang saya masukkan sehingga cokelat itu terasa pahit. Tidak ada satupun petunjuk yang membantu saya mengingat resep itu. Cerakkan cokelat saya keluarkan dari freezer. Saya coba setengah kotak kecil. Gagal. Rasanya masih ada unsur manis, pahitnya pun tidak begitu dominan. Biarlah. Ini bukan pesanan istimewa juga kan?, pikir saya gampang. Saya ambil dan saya masukan cokelat-cokelat hasil eksperimen terakhir ke kotak mika kecil. Dan saya hias dengan pita biru polos.
***
            Khusus hari ini. 25 Desember. Toko sengaja saya tutup lebih awal. Datang ke toko hanya untuk menyerahkan pesanan coklat pahit milik laki-laki misterius itu. Saya harap dia tidak berdusta. Berpura-pura hanya untuk alasan tertentu. Menyita waktu dan membuat saya bingung semalaman.
            Hari kian sore. Senja menjelang menggantikan siang. Saya mendongak ke atas. Segerombol burung terbang seakan bebas dengan kehidupan. Saya hempaskan angan dan impian saya hari ini. Saya masih yakin dan percaya, dia masih disana, menunggu saya datang. Dia masih disana memenuhi janjinya. Saya langkahkan kaki meninggalkan seseorang yang tak kunjung datang. Berjalan ke keramaian jalan dimalam Natal. Malam Kudus yang sangat menyenangkan. Saya buka sedikit lebih lebar pintu gereja yang sudah penuh dengan jemaatnya. Saya masuk dan duduk dibanggu paling belakang, jemari saya kaitkan, tertunduk, dan saya panjatkan sebuah harapan. Semoga malam ini, saya bertemu dengan seorang peri seperti dalam cerita dongeng pengantar tidur. Peri cantik yang akan mengantarkan panjatan doa-doa pada Tuhan.
***
            Restoran ini masih sama seperti sepuluh tahun lalu, saat dia datang dan memberi saya sebuah kalung nama. Saat itu saya benar-benar tersipu. Masih teringat jelas, saat dia mengenakan kalung itu pada leher saya. Mencium kening saya setelahnya. Bukan sebuah cerita yang saya karang. Dari kaca jendela, saya mengamati jalan yang masih basah karna guyuran hujan tadi. Laki-laki dan perempuan saling bergandengan, berpeluk mesra, dan merayakan Natal bersama. Kurasakan hari ini penuh dengan suka cita.
            “Maaf, boleh aku duduk disini?” Saya menarik pandangan saya ke samping. Seseorang yang saya kenal. Laki-laki aneh itu. Segera saya ambil kantong cokelat yang daritadi masih saya bawa, saya serahkan tanpa meminta bayaran. Karna bagi saya, itu pesanan yang aneh.
            “Boleh saya duduk?”
            “Oh, silahkan.” Jawab saya dengan senyuman. Setelah menerima tas kantong dari saya, dia langsung membuang muka keluar. Hujan kembali turun. Orang-orang diluar berlari dengan sepatu yang mulai kotor.
            “Apa Anda disini juga sedang menunggu seseorang?” tanya saya basa-basi.
            “Ya, aku menunggu seseorang yang aku yakin tidak akan pernah datang.”
            “Lalu untuk apa Anda tunggu?”
            “Aku ingin memberinya cokelat ini. Cokelat yang terakhir dia makan. Lalu kamu sendiri?”
Suasana malam di jalan, terasa begitu sepi. Kenangan itu tiba-tiba kembali muncul. Memutar ingatan saya kembali ke mala-malam jauh sebelumnya.
            “Malam hening itu. Sepuluh tahun lalu.”
            “Ada apa? Apa juga dimalam Natal?”
Saya mengangguk, “Sepuluh tahun, di tempat ini, di meja ini, saya bertemu dengannya untuk bertunangan. Dia memberi saya sebuah kalung nama yang begitu indah, memakaikannya perlahan. Di pun mengatakan, sepuluh tahun lagi, dia akan datang kembali menemui saya setelah pulang tugas dari luar negri,”
            “Setiap tanggal 25 Desember, saya selalu datang kemari, duduk disini sampai hari berganti. Selama itu saya selalu yakin dia akan datang, menemui saya. Dan ini adalah malam dimana janji itu dibuatnya. Sepuluh tahun itu adalah hari ini. Kenangan yang selalu saya coba untuk lupakan, tapi selalu kembali terlintas dibenak saya, setiap saya duduk dan menoleh keluar jendela. “
            “Sekarang apa kamu tetap menunggu disini sampai hari berganti? Dan tahun depan juga sama?” Saya terdiam memikirkan jawaban yang tepat. Saya baru bertemu dengannya dua kali, tapi entah kenapa saya bisa menceritakan semuanya tanpa ada kecurigaan dan kekhawatiran sendikitpun. Apa karna saya dan laki-laki ini memiliki kesamaan? Sama-sama menunggu seseorang.
            “Iya, saya akan tetap duduk disini, menunggu sampai malam Natal ini selesai. Saat hujan ini reda. Saya akan keluar dan mengenang janji itu seperti pertama kali saya mendengarnya. Tapi tidak untuk malam selanjutnya. Sudah cukup saya melakukan semua itu sampai malam ini. Saya sudah cukup tahu kepedihan ini tidak akan berhenti. Karna saya tahu, saya mengerti, selamanya dia, orang yang saya tunggu tidak akan pernah datang. Meskipun hanya sampai di depan pintu masuk.”
            “Saya yakin. Kedewasaan yang saya pilih akan membawa saya pada kesepian. Tapi tak apa, dibalik kepedihan ini masih ada sebuah harapan dan keajaiban yang Tuhan siapkan dimalam Natal yang penuh berkat ini. Dan denganmu?” Laki-laki itu tersenyum. Senyuman yang menenangkan.
            “Boleh aku minta selembar kertas dan bolpoin?” ujarnya kemudian. Saya mengambil selembar kertas kecil yang selalu saya bawa, berupa catatan biasa dari dalam tas. Beberapa saat, dia terlihat sibuk sendiri dengan urusannya. Saya palingkan wajah saya keluar jendela. Jendela dingin itu, begitu terasa ditelapak tangan saya. Sebuah payung yang tergeletak ditengah jalan. Dan beberapa bayangan lilin, memantul membentuk bayangan indah disekitar payung. Saya membalik pandangan saya ke arah laki-laki tadi. Dan yang saya dapatkan hanya selembar kertas, bolpoin, dan tas cokelat yang tadi saya berikan. Sedangkan orang itu tidak ada.
Hari ini hanyalah waktu untuk menunggu esok, padahal hari esok itu tidak kunjung tiba.
Kita terlahir sebagai manusia tapi kita tidak pernah bisa mengerti apalagi memahami apa yang dirasakan oleh orang lain didalam hati mereka, kita tidak pernah mnegerti apa yang ada didalam pikiran mereka.
Sehingga yang bisa kita lakukan adalah berada di samping mereka, mengingatkan apa yang mereka lupakan dan mendukung apa yang bisa mereka lakukan.

Tidak ada komentar: