Saya sudah siap dengan celemek pink
yang melindungi badan saya dari noda-noda manis seperti biasa. Berbagai bentuk
cetakan cokelat sudah saya siapkan. Hari ini, dua hari sebelum pertemuan itu.
Saya memilih rasa blueberry, rasa kesukaannya. Dan beberapa rasa lainnya yang
akan saya campur dan saya letakkan di etalase toko.
Saya mempunyai sebuah toko cokelat
dan cupcake yang cukup laris di
wilayah kampus. Hari valentine dan Natal menjadi puncak keberuntungan saya
dalam setahun. Bagaimana tidak, dihari-hari biasa, saya hanya bisa menjual
beberapa ratus cupcake atau coklat
hanya dalam model-model tertentu. Tapi saat Natal dan valentine, saya bisa
menjual seribu lebih cokelat ataupun cupcake
dalam berbagai model. Saya suka cokelat, membuat coklat merupakan hobi yang
saya jadikan lahan bisnis.
Mungkin sudah kebiasaan yang menjadi
tradisi. Sejak sepuluh tahun lalu, sampai sekarang saya selalu membuat coklat
yang pada akhirnya akan habis bukan karna dimakan seseorang tapi karna dimakan
semut atau lainnya. Sekotak coklat istimewa itu selalu saya bawa ke suatu
tempat dan saya bawa pulang jika hari telah berganti. Membiarkannya tetap
disana. Diatas meja di taman belakang. Meja putih yang hanya memiliki dua
bangku, dan saya selalu marah jika ada yang duduk disana. Termasuk pada diri
saya sendiri.
***
Langit masih gelap. Masih sekitar
jam setengah lima pagi. Saya membuka kulkas, dan memastikan cokelat-cokelat
hasil buatan saya semalam sudah jadi dan siap dipajang di etalase toko. Begitu
juga cupcake-cupcake rasa mente dan
buah-buahan. Saya lirik kalender duduk diatas buffet kecil. Tanggal 25
terlingkar seperti biasa. Saya tahu itu hari yang penting. “Sehari lagi.” Gumam
saya semangat. Diluar, hujan masih turun. Tirai saya tarik ke samping dan saya
ikat diujung jendela. Berharap saya bisa melihat matahari terbit dan sebuah
pelangi jika terbentuk. Moment indah
yang tidak ingin saya tinggalkan.
Pintu besi itu baru saja saya buka.
Dari pusat kampus tidak memerlukan waktu yang cukup lama untuk sampai di toko
kecil yang sering saya sebut dengan heaven.
Inilah surga saya, tempat yang mampu membuat saya merasa bahagia, tempat yang
membuat saya sejenak bisa melupakan masalah ataupun kesedihan yang sudah
berjalan lama.
Toko ini penuh kenangan. Bukan hal
berarti. Saya hanya mencoba memahami arti dari nama toko. Sebuah nama yang
selalu saya rasa memiliki arti tersendiri.
“Tapi apa?” Saya tertawa kecil
dengan pikiran saya yang selalu buntu. Saya baringkan tubuh saya di sofa kecil,
selagi menunggu pembeli datang. Masih terlalu pagi. Menyalakan pemutar musik,
instrument-instrument dari Depapepe membuat saya merasa lebih nyaman sambil
memandangi langit yang mulai berubah cerah.
Seorang laki-laki dengan jaket
tebalnya mendorong pintu kaca. Saya segera beranjak berdiri, melempar senyuman
manis penuh keramahan. Beberapa saat saya membiarkan laki-laki itu melihat
seluruh isi etalase. Tapi dari gelagatnya, saya yakin dia tidak menemukan apa
yang dia cari. Wajahnya terlihat bingung, matanya jelalatan disetiap sudut
bagian etalase.
“Maaf, ada yang bisa saya bantu?”
Dia hanya memalingkan wajahnya sekilas sambil tersenyum lalu sibuk menjelajahi
isi etalase sekali lagi. Saya hanya diam, dan mengikut kemana langkah kakinya
melangkah.
“Apa cokelat itu sudah habis?” tanya
laki-laki berwajah tirus dengan alis kanan bercabang. “Cokelat yang mana?
Disini banyak sekali cokelat. Bisa lebih dijelaskan, cokalat seperti apa yang
Anda maksud?” Laki-laki itu kembali diam.
“Cokelat yang dipajang di etalase
itu, sekitar dua tahun lalu, apa masih ada?” tanyanya dengan suara datar. Saya
kaget dan memutar otak. Mencoba mengingat, cokelat dua tahun lalu, apa iya itu
coklat dengan rasa begitu pahit, hasil eksperimen saya yang gagal dan akhirnya
saya putuskan untuk tidak pernah saya jual lagi.
“Maaf, apa maksud Anda, cokelat
dengan taburan cocochips yang rasanya
pahit itu? Tapi saya yakin bukan itu yang Anda maksud. Maafkan saya.” Balas
saya.
“Iya, itu yang kumaksud. Apa disini
masih jual? Aku sudah mencarinya kemana-mana tapi belum mendapatkannya lagi,
lalu aku ingat dulu aku beli disini. Apa masih jual?”
“Rasa cokelat itu tidak enak.
Rasanya pahit. Jadi apa untungnya saya jual cokelat itu. Sudah sejak dua tahun
lalu saya tidak menjual cokelat itu lagi.”
“Apa kau bisa membuatkan khusus
untukku. Aku butuh sekotak untuk tanggal 25. Bisa kah?”
“Tanggal 25? Apa Anda akan memberi
cokelat pahit dihari kasih sayang, dihari Natal tahun ini? Apa tidak sebaiknya,
Anda memilih cokelat yang lebih enak daripada cokelat itu?”
Dia
menggeleng. Tatapannya penuh kepedihan. Mata itu sama seperti saya, beberapa
tahun lalu. Mata yang menyimpan rasa kepedihan yang besar didalam hati seorang
diri.
“Aku mohon, tolong buatkan sekotak
cokelat dengan rasa yang sama seperti dulu. Bisa?” mintanya lagi. Tiba-tiba
saya langsung menyanggupi permintaan laki-laki itu, yang perlahan keluar
meninggalkan toko. Selang beberapa saat, orang-orang yang lebih normal dari
laki-laki mulai berdatangan. Bagi saya, pesanan coklat pahit itu terasa aneh.
Dan saya lebih senang dengan seribu pesanan cokelat rasa daripada satu cokelat
pahit. Tapi bagaimana pun saya sudah menyanggupinya. Harus saya lakukan.
Dapur penuh dengan bahan-bahan
membuat cokelat. Beberapa cokelat yang sudah jadipun saya coba tapi belum
satupun rasanya pahit. Termasuk cokelat yang saya buat tanpa gula, tapi menurut
saya, rasa cokelat itu tidak sebegitu pahit karna ada batuan rasa dari bahan
pelengkap lainnya.
Ini yang terakhir. Eksperimen saya
yang terakhir. Kalau gagal, saya akan berhenti. Saya benar-benar lupa. Apa yang
saya masukkan sehingga cokelat itu terasa pahit. Tidak ada satupun petunjuk
yang membantu saya mengingat resep itu. Cerakkan cokelat saya keluarkan dari freezer. Saya coba setengah kotak kecil.
Gagal. Rasanya masih ada unsur manis, pahitnya pun tidak begitu dominan. Biarlah. Ini bukan pesanan istimewa juga
kan?, pikir saya gampang. Saya ambil dan saya masukan cokelat-cokelat hasil
eksperimen terakhir ke kotak mika kecil. Dan saya hias dengan pita biru polos.
***
Khusus hari ini. 25 Desember. Toko
sengaja saya tutup lebih awal. Datang ke toko hanya untuk menyerahkan pesanan
coklat pahit milik laki-laki misterius itu. Saya harap dia tidak berdusta.
Berpura-pura hanya untuk alasan tertentu. Menyita waktu dan membuat saya
bingung semalaman.
Hari kian sore. Senja menjelang
menggantikan siang. Saya mendongak ke atas. Segerombol burung terbang seakan
bebas dengan kehidupan. Saya hempaskan angan dan impian saya hari ini. Saya
masih yakin dan percaya, dia masih disana, menunggu saya datang. Dia masih
disana memenuhi janjinya. Saya langkahkan kaki meninggalkan seseorang yang tak
kunjung datang. Berjalan ke keramaian jalan dimalam Natal. Malam Kudus yang
sangat menyenangkan. Saya buka sedikit lebih lebar pintu gereja yang sudah
penuh dengan jemaatnya. Saya masuk dan duduk dibanggu paling belakang, jemari
saya kaitkan, tertunduk, dan saya panjatkan sebuah harapan. Semoga malam ini,
saya bertemu dengan seorang peri seperti dalam cerita dongeng pengantar tidur.
Peri cantik yang akan mengantarkan panjatan doa-doa pada Tuhan.
***
Restoran ini masih sama seperti
sepuluh tahun lalu, saat dia datang dan memberi saya sebuah kalung nama. Saat
itu saya benar-benar tersipu. Masih teringat jelas, saat dia mengenakan kalung
itu pada leher saya. Mencium kening saya setelahnya. Bukan sebuah cerita yang
saya karang. Dari kaca jendela, saya mengamati jalan yang masih basah karna
guyuran hujan tadi. Laki-laki dan perempuan saling bergandengan, berpeluk
mesra, dan merayakan Natal bersama. Kurasakan hari ini penuh dengan suka cita.
“Maaf, boleh aku duduk disini?” Saya
menarik pandangan saya ke samping. Seseorang yang saya kenal. Laki-laki aneh
itu. Segera saya ambil kantong cokelat yang daritadi masih saya bawa, saya
serahkan tanpa meminta bayaran. Karna bagi saya, itu pesanan yang aneh.
“Boleh saya duduk?”
“Oh, silahkan.” Jawab saya dengan
senyuman. Setelah menerima tas kantong dari saya, dia langsung membuang muka
keluar. Hujan kembali turun. Orang-orang diluar berlari dengan sepatu yang
mulai kotor.
“Apa Anda disini juga sedang
menunggu seseorang?” tanya saya basa-basi.
“Ya, aku menunggu seseorang yang aku
yakin tidak akan pernah datang.”
“Lalu untuk apa Anda tunggu?”
“Aku ingin memberinya cokelat ini.
Cokelat yang terakhir dia makan. Lalu kamu sendiri?”
Suasana
malam di jalan, terasa begitu sepi. Kenangan itu tiba-tiba kembali muncul.
Memutar ingatan saya kembali ke mala-malam jauh sebelumnya.
“Malam hening itu. Sepuluh tahun
lalu.”
“Ada apa? Apa juga dimalam Natal?”
Saya
mengangguk, “Sepuluh tahun, di tempat ini, di meja ini, saya bertemu dengannya
untuk bertunangan. Dia memberi saya sebuah kalung nama yang begitu indah,
memakaikannya perlahan. Di pun mengatakan, sepuluh tahun lagi, dia akan datang
kembali menemui saya setelah pulang tugas dari luar negri,”
“Setiap tanggal 25 Desember, saya
selalu datang kemari, duduk disini sampai hari berganti. Selama itu saya selalu
yakin dia akan datang, menemui saya. Dan ini adalah malam dimana janji itu
dibuatnya. Sepuluh tahun itu adalah hari ini. Kenangan yang selalu saya coba
untuk lupakan, tapi selalu kembali terlintas dibenak saya, setiap saya duduk
dan menoleh keluar jendela. “
“Sekarang apa kamu tetap menunggu
disini sampai hari berganti? Dan tahun depan juga sama?” Saya terdiam
memikirkan jawaban yang tepat. Saya baru bertemu dengannya dua kali, tapi entah
kenapa saya bisa menceritakan semuanya tanpa ada kecurigaan dan kekhawatiran
sendikitpun. Apa karna saya dan laki-laki ini memiliki kesamaan? Sama-sama
menunggu seseorang.
“Iya, saya akan tetap duduk disini,
menunggu sampai malam Natal ini selesai. Saat hujan ini reda. Saya akan keluar
dan mengenang janji itu seperti pertama kali saya mendengarnya. Tapi tidak
untuk malam selanjutnya. Sudah cukup saya melakukan semua itu sampai malam ini.
Saya sudah cukup tahu kepedihan ini tidak akan berhenti. Karna saya tahu, saya
mengerti, selamanya dia, orang yang saya tunggu tidak akan pernah datang.
Meskipun hanya sampai di depan pintu masuk.”
“Saya yakin. Kedewasaan yang saya
pilih akan membawa saya pada kesepian. Tapi tak apa, dibalik kepedihan ini masih
ada sebuah harapan dan keajaiban yang Tuhan siapkan dimalam Natal yang penuh
berkat ini. Dan denganmu?” Laki-laki itu tersenyum. Senyuman yang menenangkan.
“Boleh aku minta selembar kertas dan
bolpoin?” ujarnya kemudian. Saya mengambil selembar kertas kecil yang selalu
saya bawa, berupa catatan biasa dari dalam tas. Beberapa saat, dia terlihat sibuk
sendiri dengan urusannya. Saya palingkan wajah saya keluar jendela. Jendela
dingin itu, begitu terasa ditelapak tangan saya. Sebuah payung yang tergeletak
ditengah jalan. Dan beberapa bayangan lilin, memantul membentuk bayangan indah
disekitar payung. Saya membalik pandangan saya ke arah laki-laki tadi. Dan yang
saya dapatkan hanya selembar kertas, bolpoin, dan tas cokelat yang tadi saya
berikan. Sedangkan orang itu tidak ada.
Hari ini hanyalah waktu untuk menunggu
esok, padahal hari esok itu tidak kunjung tiba.
Kita terlahir sebagai manusia tapi kita
tidak pernah bisa mengerti apalagi memahami apa yang dirasakan oleh orang lain
didalam hati mereka, kita tidak pernah mnegerti apa yang ada didalam pikiran
mereka.
Sehingga yang bisa kita lakukan adalah
berada di samping mereka, mengingatkan apa yang mereka lupakan dan mendukung
apa yang bisa mereka lakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar