Selasa, 19 Februari 2013

Berjalan Menuju Pelangi


Kadang otakku dipenuhi dengan khayalan-khayalan akan masa depan. Melakukan perjalanan yang panjang, berkeliling dunia. Bertemu dan menatap wajah-wajah yang berbeda. Mengunjungi tempat-tempat indah yang menakjubkan. Bermimpi hidup seperti mercusuar yang menerangi pinggiran pantai dari kegelapan. Aku tertawa.

          Aku berharap suatu saat nanti kita berdua bisa saling memahami. Saling mengerti dan dapat saling mengisi. Disaat aku bisa menjadi dirimu dan kamupun bisa menjadi diriku. Bukankah saat itu akan menjadi saat yang sangat berbeda? Banyak kontradiksi yang akan terjadi. Sebuah pertarungan melawan sesuatu yang telah berjalan dalam waktu panjang. Sebuah mimpi yang akan terwujud dari sebuah ketidakyakinan, apa itu masuk akal?

          Banyak buku yang sudah kubaca. Buku dengan deretan kata-kata motivasi. Terkadang dalam sebuah komik yang kubaca, akupun menemukan beberapa kalimat yang membangun. Begitu menyentuh dan menyadarkanku akan sesuatu. Tapi semua kata-kata itu seakan hilang. Hilang secara misterius dalam genggaman tanganku. Perlahan terbuang melalui sela-sela jari yang menggenggam. Atau pun mungkin terbakar lalu hancur menjadi abu. Benar. Hanya satu kalimat yang masih melekat erat: jika kita berkata, inilah impianku dan aku akan menjadi seperti impianku. Maka pasti suatu saat nanti, impian itu akan terjadi, bahkan jauh lebih indah. Salahkah pernyataan itu? Tapi kurasa, tidak.

          Aku mencoba memutar waktu yang hasilnya selalu nihil. Aku ingin setumpuk kertas penuh coretan keputusanku dan kesalahan itu hilang. Tapi benarkah saat semua kesalahan itu hilang, saat itu aku mati? Fed up! Aku muak! Aku muak dengan semua kata-kata itu. Aku selalu mencoba memahaminya. Menggunakannya untuk memompa semangatku, tapi pada akhirnya aku selalu jatuh di tempat yang sama. Membutuhkan waktu yang lama untuk bangun dan meraih bibir jurang. Ku benamkan keyakinanku akan mimpiku. Ku tancapkan kuat keinginanku dalam relung hati. Sudah kulakukan. Ya, sudah kulakukan itu.

                                                                            ***

          Aku hanya anak sekolah menengah atas biasa. Hidup dalam keluarga sederhana tapi aku bahagia. Seorang kakak perempuan yang setia menguatkanku. Ayah ibu yang selalu melindungi dan mendukungku. Umurku genap 17 tahun, tapi aku masih dibayangi keinginan dan sebuah cita-cita yang membuat orang lain tertawa. Sedikit yang bisa ku lakukan. Dalam akademi maupun non akademi. Nilai sekolahku tak pernah sempurna, maksimal hanya mendekati sempurna. Ditambah lagi, aku sama sekali tak punya keahlian. Kau tau, aku tidak pernah percaya diri? Aku selalu merasa apa yang aku lakukan tidak pernah berguna. Aku merasa aku hidup dalam  sisi negatif tanpa ada sisi positif yang menyeimbangkan.

          Ke Jepang. Itulah cita-citaku. Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, aku selalu bermimpi berkeliling ke Negeri Samurai, yang kata orang begitu indah. Segala acara berbau Jepang pasti ku tonton. Keinginanku semakin besar. “Aku bertekat suatu hari nanti aku pasti bisa berdiri dibawah Menara Tokyo atau ke Mandarake.”

          Jujur ada yang mengganggu pikiranku, bagaimana aku bisa meraih mimipiku? Potensiku apa yang aku punya? Aku sendiripun tidak tahu, lalu apa yang akan aku asah? Ku putar lagu-lagu Jepang, membiarkannya berngiang di telingaku. Ku pejamkan mataku dalam hempasan angin dari jendela yang terbuka. Begitu sejuk saat menerpa punggung leher. Percayakah kalian, saat itu aku begitu tenang? Di tempat itu, aku bisa menemukan satu ide, satu cerita baru yang akan aku tulis nantinya. Aku suka menulis, selain pergi ke Jepang, aku masih punya dua cita-cita lagi. Menjadi penulis dan pengusaha. Bodoh! Kau tahu, hari ini aku akan pergi, pergi dalam perjalanan yang belum jelas, tak menentu. Menelepon seseorang, aku memberitahunya aku akan datang kesana. Berharap disanalah awal mimpiku akan tercapai. Sesuatu yang aku rasa tidak akan pernah terjadi, akan ku lepas. Dalam ketakutan, aku akan mulai mencari masa depanku. Suatu hari nanti aku akan meoleh dan melihat masalalu yang pasti akan kurindukan. Sebuah kenangan di kota yang membesarkanku.

                                                                            ***

          Cahaya lampu kereta menyilaukan mataku. Aku merindukan suara kereta api yang melintas. Aku merindukan suasana nyaman duduk di kursi dalam kereta. Aku merindukan hal sederahana itu. Catatan kecil yang kubuat dalam buku diary memperjelas semua. Tercoret sekitar tahun 2008 saat aku pertama masuk dan duduk di kelas satu SMP. Kubaca ulang, jejeran huruf yang tersusun rapi. Sebuah harapan akan berjalan lancarnya kehidupanku dalam lingkungan yang baru, satu masa dimana aku akan bertambah dewasa. Perjalanan yang begitu menyakitkan dan menyenangkan. Sebuah dunia semesta dalam lingkunagn kecil.

          Pernah ku ditanya, apa cita-citamu? Aku hanya terdiam sementara teman-temanku yang lain dengan lantang mengatakan berbagai hal yang membuatku semakin merasa terjauh. Mereka mengatakan impian yang begitu hebat, sebuah impian atau cita-cita yang hanya akan dicapai oleh orang-orang pintar, cerdas, dan bermateri tinggi, bukan seperti aku.

          Dalam malam sebelum tidur, aku menangis. Ku tulis semuanya dalam buku rahasia. Dalam sehari berlembar kertas kuhabiskan. Dialah temanku. Pernah dalam keputusasaan karna satu kalimat dari seseorang yang paling ku percayai, dia ayahku. Dia berkata, “Apa yang mau kamu bawa ke Jepang? Keahlian apa yang kamu punya? Kalau kamu punya kemampuan luar biasa seperti di bidang teknologi, tanpa kamu inginkan kamu pasti bisa kesana. Tapi kamu enggak bisa apa-apa?” Mendengar itu, sebenarnya airmataku sudah mulai jatuh tanpa aku sadari. Ketika malam, aku berdoa pada Tuhan, aku mengadu pada-Nya, “Apa sebenarnya bakatku? Kemampuanku? Siapa aku sebenarnya? Terlalu mulukkah cita-citaku? Apa aku termasuk orang yang gak tahu diri”

                                                                            ***

          Di sekolah aku merasakan hal yang sama. Kuderita ini lebih dari lima tahun. Kerabunan mata yang semakin lama kurasa semakin parah. Beberapa nasehat kudengarkan hanya untuk membuat mereka senang dan merasa dihargai. Dalam hatiku, saat itu aku menangis. Percuma mereka mengatakan hal itu, karna pada intinya yang mereka katakan selalu sama, hanya satu. Sedangkan hal itu sama sekali bertentangan dengan ayahku.

          Kau tahu, sudah berapa kali aku mengatakannya? Berapa kali aku coba untuk memintanya, tapi yang kudapatkan hanya helaan nafas panjang yang tak berguna dan segera pergi bersama hempasaan angin malam. Selama lima tahun aku hidup dalam kepalsuaan, dan bukan diriku sendiri. Disaat aku ingin marah, disaat itulah aku dipaksa untuk tetap ternyum. Disaat aku ingin menangis, disanalah aku dipaksa untuk tertawa, dan saat aku ingin tertawa lepas, aku harus menyimpan rasa bahagia itu dengan satu senyuman tipis. Untunglah Tuhan masih sayang padaku, Tuhan menyayangiku. Malaikat dalam bentuk manusia menemaniku. Mereka dengan setia menemaniku, membantuku, dan mengasihiku. Mengerti keadaanku yang tak sama seperti mereka. Aku sayang mereka.

                                                                            ***

          Tapi kini aku sadar akan semua. Aku sadar aku telah semakin dewasa. Semua akan berubah menjadi lebih baik dan aku harus lebih semangat. Menyakinkan diriku yang sempat menyerah dalam beberapa hal. Berjuang dan berjuanglah! Ku yakin Tuhan ada. Karna dalam beberapa hari setelah aku pindah nanti, aku akan berusaha menunjukan hal yang berbeda. Warna pelangi itu akan mudah kutapaki, aku yakin. Disanalah awal segalanya.

            Aku bisa menerimanya. Aku akan terus hidup dengan kenyataan meski terkadang menyakitkan. Karna aku memiliki satu tujuan yang pasti akan kuraih kemudian. Bahkan saat semua orang menyerah menungguku. Saat semua orang sudah lelah menertawakan impianku, saat itulah kutunjukan satu tiket menuju pelangi bercorak tujuh warna. Tersebar dari yang indah. Hidup ini tidak pernah akan kembali berputar kemasa lalu, kan? Jika kau tolak, aku yang akan tertawa karna itu. Masa muda yang terlihat indah itu, akan menjadi kenangan yang berharga. Tanpa itu aku tidak akan pernah menjadi dewasa.

            Kuceritakan keyakinanku padanya. Perempuan keras kepala dengan keyakinan tinggi. Dia kakakku, kakak perempuanku satu-satunya. Kukatakan padanya, “Suatu hari nanti, disaat aku sudah menjadi penulis terkenal, pengusaha hebat, aku akan mengelilingi Jepang seperti apa yang kuimpikan. Aku pun akan mengelilingi dunia, jika masih sempat. Aku akan tunjukan pada mereka aku mampu.” Dia tersenyum, menepuk bahuku, lalu membalasnya “Saat kamu mengelilingi Jepang, saat itu aku akan mengelilingi Jerman. Dan saat kita berdua kembali, kita akan saling bercerita tentang perjalanan panjang kita masing-masing.” Aku tersenyum, memeluknya, meneguhkan keyakinanku lalu mengikatnya erat-erat agar tak pernah lepas lagi.

            Aku harap ini bukan bualan, saat aku dan mereka berlima berjanji. Aku berjanji akan menjadi orang sukses dalam sepuluh tahun lagi. Kami akan berkumpul dan membanggakan kesuksesaan kami masing-masing. Meskipun mereka mengganggap itu hanya candaan semata, tapi kupupuk dalam semangatku- sepuluh tahun lagi, akan kubuktikan semua. Karna aku yakin selama bunga itu masih kuncup, suatu saat nanti bunga itu akan mekar dan menunjukkan keindahan yang disimpannya hati-hati.

 

                                                                        ** THE END**


Bukti Sertifikat Lomba

Tidak ada komentar: