======
“HOKKAIDO
I’M COMING!!” teriaknya keras setelah mendarat dengan selamat sentosa di
Bandara Narita, Tokyo. Merefleksikan badan dan pantatnya beberapa saat di
resort kecil sambil menikmati secangkir teh hangat lalu melanjutkan perjalanan
ke Bandara Haneda dan segera take off
ke Hokkaido. Membuang pandangan ke kaca pesawat dengan kedua tangan menempel di
kaca. Kepulan awan-awan putih menguasai langit yang cukup cerah. Lebih tenang
tanpa deruan suara-suara kendaraan, burung-burung seolah menantang kecepatang
dan menyindir bahwa di bisa terbang tanpa bantuan benda dingin.
“Setengah jam lagi.. Hokkaido… Hokkaido…
Hokkaido,” gumam Rin sedari tadi.
***
“Terima
kasih. Baik, nanti akan saya sampaikan pesan Anda. Baik, permisi,” katanya dalam
bahasa Jepang yang cukup lancar untuk seorang pendatang. Mata itu membulat saat
melihat setumpuk barang-barang dan seorang gadis yang sedang berteriak-teriak
dengan bahasa asing yang tidak mungkin dimengerti oleh orang-orang yang lewat
di sekitarnya.
“Aku dimana?
Dimana? Naha? Kenapa harus Naha? Oh God! Pesawat jelek kenapa kamu bawa aku ke
Naha, aku maunya ke Hokkaido. Ho-kka-i-do bukan Na-ha. Dasar pesawat jelek!!” umpatnya
tiada henti. “Sekarang nasib aku gimana?
Aku butuh orang Indonesia. Tuhan, kirim satu aja orang Indonesia, kalau bisa
yang tampan sekalian.” Duduk meringkuk di depan bandara, seolah dia tidak
peduli dengan pandangan orang-orang yang mungkin mengiranya sebagai orang aneh.
“Hi, kamu
butuh orang Indonesia? Aku orang Indonesia.” Setengah lega, Rin mendongakkan
kepalanya, memastikan apa benar ada orang Indonesia yang bisa membantunya. “Kamu
tersesat?” tanyanya lagi sambil mengulurkan tangan dan membantu Rin berdiri. “Iya, aku tersesat. Pasti aku salah ambil
tiket. Ini pasti tiket punya Max. Dasar Rin bodoh!!” gusarnya sendiri.
“Oo jadi nama
kamu Rin? Aku Taka, salam kenal. Ngomong-ngomong kamu mau tinggal dimana?”
“Tinggal? Ehh
iya, tunggu.. tunggu sebentar,” Ia membuka buku petunjuk. Jari telunjuknya bergerak
menelusuri berbagai gambar dan keterangan singkat di bawahnya.
“Sudah tahu
mau tinggal dimana?”
“Sebentar
ya.. Seben-tar.” Gadis itu masih sibuk, sementara Taka hanya diam,
memperhatikan sambil sesekali ikut melihat isi buku petunjuk milik Rin.
“Nah, Taka,
ini dimana? Hotel ini.” Ia menunjuk-nunjuk gambar hotel dibaris ke lima belas. “Oo
itu cuman sepuluh menit dari sini kalau naik taxi, cukup dekat sih. Uang kamu sedikit
atau banyak? Itu tipe bintang tiga. Jadi?”
“Apa itu
bintang-bintangan, aku enggak peduli. Aku tahunya bintang kejora. Sudah ayo antar
aku kesana.” Laki-laki bertubuh tinggi dan cukup proposional untuk ukuran anak
remaja itu, hanya bisa menggelengkan kepala sambil sesekali menggaruk kepalanya
yang tiba-tiba terasa gatal melihat tingkah gadis kecil yang baru ia temui.
Tangan Rin
ditarik cepat saat ia akan membuka pintu sendiri, “Jangan tunggu aja. Disini itu
tidak sopan kalau membuka pintu sendiri,” ucapnya cepat-cepat. Tak lama setelah
itu, pintu taxi secara otomatis terbuka dan setelah mereka berdua masuk
pintupun tertutup tanpa harus ditutup oleh pak supir. Rin terkesiap.
“Ini
mengesankan. Luar biasa keren!! Canggih!!” Ia tidak berhenti mengagumi setiap
hal yang baru saja ia alami. Hotal Route Inn Naha, gedung warna putih sembur
cokelat yang menjulang tinggi itu pun akhirnya terlihat. Tulisan besar di puncak
gedung, mungkin itu nama hotel dalam tulisan Jepang, Rin mengikik tak jelas.
“Arigatou,” kata
Taka, sedikit membungkuk pada supir taxi.
“Tak, kamu enggak
salah bilang ini bintang tiga? Ini udah mirip bintang lima. Lihat aja.”
“Mau aku bantuin
untuk pesan kamar?” Rin hanya mengangguk dan mengikuti langkah Taka. Untuk
beberapa saat Rin terjebak di tengah dua orang yang tengah berdialog dengan
bahasa Jepang, sementara dirinya asik dengan walkman. Lagu If You milik YUI mengalun di gendang telinganya. “Maaf,”
Taka menepuk pundak Rin, membuat Rin terperanjat dan buru-buru melepaskan walkmannya, “Apa?”
“Kamu ingin
menginap berapa hari?” Rin tidak menjawab, ia memberi bahasa tubuh dengan
mengangkat tiga jarinya. Taka kembali berdialog dengan wanita Jepang
dihadapannya.
“Nah ini
kuncinya. Oh iya, disini dekat dengan Makishi Public Market, Tsushima-maru, Memorial Museum, Naminouegu Shrine.
Terus dekat sini juga ada Naminoue Beach dan Fukushuen Garden.”
Rin hanya tersenyum penuh kebingungan. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya,
menghentikan Taka meneruskan penjelasannya.
“Ehm,
sebenarnya percuma juga kamu jelasin semuanya. Aku masih belum paham. Gimana
kalau besok kamu jemput aku terus kamu jadi guide
aku? Tiga hari aja,” pinta Rin manja. Laki-laki itu hanya menghela nafas,
“Baiklah. Selamat malam.”
“Hhee? Serius
mau nih?” Mata Rin melotot. Seharusnya ia senang tapi ia masih tidak habis
pikir ada orang yang mau membuang waktunya untuk orang yang baru dikenalnya.
======
“Ohayou Rin-san, Genki desuka?” sapa
laki-laki berjaket tebal sesaat setelah Rin keluar dari lobi hotel. Gadis
berkuncir dua dengan poni nyaris menutupi mata, melempar senyum kecil lalu
membungkuk dalam, “Ohayou gozaimasu
Taka-san, Genki desu.” Setelah itu Rin langsung tertawa kegirangan karena
bisa mengucapkan kalimat dalam bahasa Jepang.
“Nah,
sekarang kita mau makan dimana, Mr. Guide?”
“Makan terus
pikiranmu, ini baru jam berapa? Jam 6 pagi. Ke pantai mau?” Rin memasang wajah setengah
berpikir, menimbang-nimbang usulan Taka barusan sebelum mengatakan, “Baiklah.”
Permen karet
tiga rasa dikunyahnya menjadi satu di mulutnya yang mungil. Sekuat apa rahangnya?
Sama seperti di atas burung terbang, di dalam monorail pun mata Rin tidak lepas
dari kaca jendela. Dengan teliti mengawasi hiruk-pikuk Naha, ibukota Okinawa. Setelah
sampai di semenanjung Katsuren Okinawa. Mereka berdua langsung ngambil rute sepuluh,
melewati causeway ke Henza Jima. Causeway di atas hamparan air biru yang katanya
paling jernih di dunia. “Keren.” Rin menyimpulkan dengan puas. Kamera Rin
bekerja keras hari ini. Sudah berapa banyak gambar yang ia potret, padahal desa
nelayan belum juga tampak.
“Tak…,”
panggil Rin setengah hati,
“Apa?”
sahutnya ringan, masih fokus dengan manga
yang ia baca. “Ehh jelek banget Tak..Tak.. Entar di kira botak. Aku panggil
kamu Ka aja ya, kan lebih enak di denger gitu, oke?”
“Terserahmu,”
timpalnya dengan enteng. Merasa mendapat jawaban yang baik, Rin langsung
kembali berkutat dengan kameranya.
“Hey Rin…,”
panggil Taka mengacaukan konsentrasi Rin yang tengah membidik sesuatu.
“Apa?” balas
Rin singkat tanpa menoleh. “Kita sudah sampai di Henza Jima.” Rin memutar
badannya ke belakang. “Ya Tuhan, Ka,
kita masih di Jepang atau udah di surga? Keren banget,” lanjutnya buru-buru. Mulutnya
menganga. Mata bulat yang semakin tak kuasa melihat hamparan laut yang amat
bening, di bagian tepinya terlihat banyak kapal-kapal kecil tengah bersandar. “Ka,
ini kampung nelayannya?”
“Bukan, kita
masih kurang satu perjalanan lagi.” Jembatan panjang membentang setelah
sebelumnya berbelok ke kanan, ke arah rute dua ratus tiga puluh delapan.
Pelabuhan perikanan, tumpukan jaring pengering, kapal-kapal nelayan, perahu
naga terpajang jelas dengan rapi seolah menyambut kedatangan para pengunjung.
Turun ke
jalan-jalan sempit kota. Deretan rumah dengan arsitektur unik. Atap-atap rumah
yang dominan dicat warna merah dan dilekatkan satu sama lain dengan semen,
sengaja dibuat untuk menahan topan. Patung-patung Shisa[1]
yang dipercaya sebagai penolak bala pun sangat mudah ditemui di setiap atap
rumah. Tembok rumah dibuat dari batu kapur dari bahan karang, ditambah dengan
pohon-pohon fukagi, menjulang tinggi
sebagai pelindung topan.
Mereka berdua
menyusuri jalan menanjak. Rin berjalan meninggalkan Taka yang sedang asik
berbincang dengan salah satu nelayan tua. Di tengah perbincangannya dengan
nelayan, perhatian Taka teralih pada Rin yang sudah jauh meninggalkannya.
Mengabadikan setiap sudut dengan kameranya. Tepukan Rin dipundak Taka, menyeret
Taka kembali, entah sejak kapan gadis itu sudah berdiri di belakangnya. Setelah
menyadari kehadiran Rin, Taka langsung beranjak, “Permisi, terima kasih atas
waktunya. Maaf mengganggu,” ucap Taka sopan dengan dialek Okinawanya yang khas.
Rin menggandeng tangan Taka sambil diayun-ayunkan santai seperti anak kecil dengan
orang tuanya.
“Kamu tadi
kemana? Tidak takut tersesat kalau jalan sendirian?”
“Cuman
keliling di sekitar sini aja. Kenapa khawatir ya? Tenang, aku enggak bakalan hilang,
kan ada ini.” Dengan bangganya ia mengeluarkan buku petunjuk andalannya. Tapi
dalam sekejap buku itu lepas dari genggaman dan beralih ke tong sampah setelah
dibuang begitu saja oleh Taka.
”Nah kalau begini
sekarang bagaimana? Masih berani jauh-jauh dariku?” Bibir mungil itu sedikit
maju ke depan. Melipat kedua tangannya di depan dada dan sesekali berdecak
lidah.
“Sudah jangan
cemberut, tadi orang itu bilang kamu cantik.”
“Cantik? Beneran?” Habis mendengar kata cantik,
ekspresi wajahnya berubah seketika. Taka
meraih tangan Rin cepat dan menariknya ke arah bukit. Setengah bersantai sambil
menyesap es kopi, sebelum kembali ke tengah kota yang bising.
======
Sinar matahari
memaksa masuk dari kaca-kaca jendela. Jiwa Rin belum sepenuhnya siap untuk
perjalanan kali ini. Akibatnya dia hanya bisa tidur di dalam bis yang melaju dengan
santai ke selatan Bandara Naha. “Masih mengantuk?” Suara dehaman menjadi respon
pertama dipercakapan mereka berdua. “Ka, aku pinjem pundakmu ya buat bantal.”
“Douzo.”
“Apa itu?
Ahh, biarlah. Aku pinjam, makasih.” Mencari posisi yang sesuai dan kembali tidur
sebelum perjalanan di dalam bis ini berakhir.
Gyokusendo.
Perjalanan sepuluh kilometer yang terbayarkan dengan gua kapur sepanjang
delapan ratus kilometer berdiri kokoh di depan mata Rin yang masih belum
sepenuhnya terbuka. Memaksa Taka harus menggendongnya.
“Ka, jangan
kesini,” rintih Rin diatas pundak Taka.
“Jangan
kesini? Enaknya kalau bilang. Pantat sudah panas duduk sejam di bis, masih ditambah
harus menggendongmu dan sekarang kamu bilang jangan kesini? Kenapa tidak dari
tadi saja?!”
“Aku takut
gua Ka,” jawabnya terang-terangan. Membuat Taka sedikit kaget.
Aku takut gua, lucu ya? Ingatan itu
kembali muncul.
“Ka, turunin, aku malu.” Taka
sedikit merendahkan tubuhnya agar kaki Rin bisa menyentuh tanah. “Sudah ayo,
kamu bakalan bisa menghilangkan traumamu.”
“Tapi Ka…
Ka..” Jari-jari mungil Rin hilang seketika dalam genggaman tangan kiri Taka.
Mereka berdua sudah cukup dalam masuk ke gua. Di seperempat perjalanan Rin
akhirnya tersadar kalau daritadi tangannya digenggam laki-laki yang jalan
sedikit lebih depan darinya. Jantungnya berdegup lebih cepat, mulutnya terkatup
rapat. Ada sesuatu yang aneh, ia merasa ini pernah terjadi sebelumnya. Tapi dimana? Dengan siapa? Kapan?
Jentikan jari Taka membuyarkan semua pikiran Rin seketika.
“Rin, lihat
itu!” Sungai kecil, air terjun dan stalaktit-stalagmit
yang bercahaya dengan lampu warna-warni yang sengaja dipasang di tempat
strategis.
“Ka, ayo
pergi. Aku takut.”
“Apa yang
kamu takutkan? Disini bagus kan?” Rin menepi, menempel pada pegangan jembatan.
Dicengkramnya erat bahan methal yang dingin akibat suhu gua. Duduk meringkuk setengah
menangis. Dengan tenang, Taka mendekat lalu mendekap tubuh yang mulai gemetar
itu. “Kamu sungguhan takut gua?” Taka mencoba menyakinkan dirinya bahwa gadis
itu takut dengan gua. Rasa bersalah seketika membuncah. Ia sudah memaksa
seseorang untuk berada di tempat yang paling tidak ia sukai.
“Aku takut
gua, meskipun sudah banyak lampu, ini tetep gua kan?”
“Maaf, “
katanya pelan. Taka menegakkan tubuh Rin. Merangkul sekaligus menuntunnya
menuju jalan keluar. Hari mulai beranjak siang, kedua perut mereka sudah meraung
untuk diisi.
Food court kali ini beda, bukan hanya
melayani masakan Okinawa tapi juga makanan seluruh dunia. Tempat yang luas,
bersih dan masuk di kawasan kompleks outlet belanja bebas pajak. “Kamu pilih
tempatnya dulu, aku mau pesan makanannya. Ahh iya, kamu ingin makan apa? Sama
seperti milikku atau ada pilihan sendiri?”
“Sama aja. Aku enggak tahu makanan disini apa
saja.” Kurang dari sepuluh menit, Taka kembali dengan nampan yang mengangkut chanpuru[2]
dan umi budo[3].
“Ittadakimasu,”
seru Rin sambil menepukan kedua telapak tangan, seperti yang di ajarkan Taka
kemarin. Melahap dengan cepat makanan di depannya. Sepertinya ia sama sekali tidak
menikmati kedua makanan itu sebagai seorang wisatawan. Dia hanya tahu kalau perutnya butuh asupan
makanan. “Rin, kamu pernah ke Jepang?”
“Seinget aku
sih enggak. Kenapa?”
“Aku seperti
yang pernah bertemu denganmu sebelumnya. Wajahmu sangat mirip dengan seseorang
yang aku tunggu. Dulu dia pernah datang ke Okinawa juga dan dia janji suatu
saat ingin kembali lagi kemari.”
“Lalu?”
responnya singkat dan terus melanjutkan makannya.
“Aku pikir
kamu itu dia. Ditambah dia sama sepertimu, sama-sama takut gua. Tapi waktu kamu
bilang nama kamu Rina, aku jadi sedikit ragu kalau kamu itu teman pena aku.”
“Teman pena?”
“Ya teman
pena. Dulu aku punya temen pena. Satu tahun lalu dia datang kesini dan aku suka
sama dia. Tapi sayang, sejak dia kembali ke Indonesia, aku sama sekali tidak
bisa menghubungi dia lagi. Dia hilang.” Rin menarik nafas panjang dan berkata,
“Mungkin di kehidupan sebelumnya, kita memang pernah ketemu. Nah ayo
jalan-jalan lagi. Aku sudah kenyang. Ehh ini semua kamu yang traktir, kan?”
***
Jalan utama, Kokusai Street selalu sibuk dan terlihat
berada dalam mode festival. Membentang dari Palette Kumoji, Ryubo department
Store ke persimpangan Asato. Malam yang belum begitu larut membuat jalanan
kelihatan lebih hidup. Deretan toko-toko sovenir dan toko makanan penuh dengan
pengunjung yang keluar masuk. Terdengar suara-suara teriakan gadis-gadis ammah[4].
Seruan yang lantang terdengar keren di telinga Rin yang duduk di pinggir jalan
sambil menikmati permainan Sanshin dan
Shima Uta, lagu tradisional rakyat Okinawa.
“Kamu kapan
pulang?”
“Besok,” balasnya
tanpa pikir panjang karna terlalu fokus dengan pertunjukan musik.
“Pagi?”
“Enggak.
Mungkin sekitar jam empat sore. Soalnya harus ke Tokyo dulu, baru dilanjutin ke
Indonesia. Aku naik JTA 058,” jelasnya.
“Ke DFS
Galleria mau? Rin, aku boleh tanya sesuatu?” ucapnya malu-malu.
“Tanya? Asal
besok traktir aku lagi, hehehehe.. Bercanda kok. Nah, tanya apa?”
“Kamu suka laki-laki
seperti apa?”
“Sepeti kamu,”
akunya blak-blakan. Taka tersentak, tidak percaya dengan apa yang barusan ia
dengar. Saat ia sadar dari kagetnya, ia kembali dikagetkan dengan hilangnya
Rin. Spontan ia berdiri, memutar pandangannya ke segala arah yang bisa ia
jangkau.
“RIN…!!
RIN…!!” Laki-laki itu gelagapan. Menerobos kerumunan orang-orang, memutar
pandangannya sekali lagi. “RIN..!! RIN..!! RINAA..!!” Ia dilanda rasa khawatir
yang sangat besar. Rasa khawatir yang menyelubungi seluruh pikirannya.
Hiruk-pikuk dan lautan manusia semakin membuatnya kesulitan menemukan Rin yang
tiba-tiba menghilang. Satu tarikan tangan ke belakang yang membuat Taka memutar
badannya. Nafasnya melega. Reflek Taka langsung menarik pundak Rin dengan
tangan kanannya, memeluk gadis itu erat.
“Tolong.. Tolong jangan hilang seperti ini lagi.
Aku takut. Siapapun kamu, mau Rin atau Yuki, satu tahun lalu pernah ke Jepang
atau tidak, aku tidak peduli. Dan lagi yang jelas dan yang aku tahu sekarang
aku suka Rina,” bisiknya pelan.
“Ka, mungkin
kita memang pernah ketemu di kehidupanku yang sebelumnya.”
“Maksudmu?” Melepaskan
pelukkannya. Duduk di bangku pinggir jalan pertokoan yang semakin ramai. Taka
menggoyang-goyangkan minuman kaleng di tangannya.
“Beberapa
bulan lalu aku kecelakaan. Kata dokter ada beberapa memoriku yang menghilang,
maka dari itu orang tuaku menyuruhku untuk liburan kesini. Dan mungkin salah
satu memori yang hilang itu adalah kejadian satu tahun lalu,”
“Tapi Ka, aku
benar-benar lupa. Dulu waktu ke sini aku pakai nama apa ya? Rin, Yuki atau
Denta? Kalau aku pakai nama Yuki, mungkin benar yang kamu maksud dia adalah aku.”
“Memangnya
nama kamu siapa? Nama lengkapmu maksudku,” desak pemuda itu.
“Rinayuki
Ardenta.” Ekspresi wajah Taka berubah seketika. Ada hantaman kuat yang seakan
jatuh menindihinya, membuatnya sulit bernafas, bahkan tangannya mendingin.
Sedangkan Rin dengan santainya malah memasukan lollipop ke dalam mulutnya.
“Berarti kamu memang Yuki yang dulu ke sini.
Aku tidak peduli kamu ingat apa tidak, yang jelas kamu sudah membuatku jatuh
cinta buat kedua kalinya.”
“Oo, tapi Ka,
besok aku sudah harus kembali ke Indonesia, liburanku cukup sampai disini.
Terlebih uangku juga sudah sekarat,” tambahnya dengan suara tak bersemangat.
“Sama. Kamu
pikir aku disini menetap? Aku juga liburan sekaligus mencari sesuatu yang
hilang itu dan sekarang sudah aku temukan. Jadi untuk apa aku masih disini? Sesuatu
yang hilang itu kamu, kamu yang aku cari.” Rin sama sekali tidak bisa menyembunyikan
rona merah dipipi gembungnya. Tanpa perasaan malu atau apa, ia langsung menarik
pacar barunya berdiri dan bergelayut manja, seperti biasa.
“Berarti kita
jodoh, buktinya kita bisa ketemu lagi di renkarnasiku.”
“Berarti kita
harus berterima kasih sama burung yang sudah membawamu ketempat ini.” Rin terkekeh
heran dan hampir tersedak lollipop yang terus memutar dimulutnya. Membiarkan
tangan kirinya berada di lingkaran tangan gadis mungil berkuncir dua, sementara
sebelahnya dijejalkan asal di jaket tebal. Berjalan lurus ke persimpangan Asato
dan menghilang dimakan lautan manusia dan suara hiruk-pikuk malam ibu kota.
“Renkarnasi?
Memangnya renkarnasi itu beneran ada ya?” celetuk Rin dengan tampang tak
berdosa.
======================
[1] Shisa
: Simbol Okinawa berbentuk patung singa yang selalu berdua.
[2] Chanpuru : Tumis wortel, lobak, papaya muda
yang diserut terus ditambah tahu
[3]
Umi Budo: Rumput laut khas Okinawa yang dimakan segar sebagai sashimi.
[4] Ammah: Gadis yang berdiri di depan
toko unutuk memanggil pelanggan ke kios mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar