Brakk.. Satu koper besar berhasil
keluar dari lemari kayu akhirnya. Membongkar semua isi kamar hanya untuk
mencari setumpuk komik yang menurutnya itu amat sangat penting.
“Bawa apa lagi ya?” serunya pada
dirinya sendiri. Memutar pandangannya ke pojok-pojok kamar yang menjelma menjadi
kapal pecah. Seretan kardus besar yang membuyarkan lamunan Gaby sesaat ketika
Vera masuk dan menyaksikan bencana di kamar Gaby.
“Ya Tuhan, Gab, kamu mau pindah
apa mau liburan?” Matanya mengerling heran. Gaby malah tertawa dan terus menge-pack barang-barang bawaannya. “Yang kamu
bawa itu apa? Baju atau komik? Kamu mau pakai baju dari kertas komik?”
“Tenang aja Veraku yang cerewet,
aku bawa koper dua kok. Yang ini pakaian, yang ini komik sama keperluan yang
lain.” Jelasnya sambil menunjuk satu koper besar di atas ranjang.
***
Lampu rumah dinyalakan sudah,
menerobos di celah-celah tirai kamar. Belum larut malam, baru jam delapan tapi
Gaby sudah sangat siap untuk pergi. Selesai mandi dan menyelesaikan semuanya,
sementara Vera masih sibuk dengan mimpi-mimpinya yang sesekali ditambah suara
aneh yang dikeluarkannya.
“Ver, kamu enggak bangun?” panggil Gaby keras
sambil mengguncang-guncangkan badan Vera yang dibungkus selimut mirip sushi.
“Hmm, lima menit lagi Gab,”
“Ayo!” Meraih tangan Vera dan
menariknya keluar dari selimut. Merasa tidak ingin berdebat lebih lanjut,
akhirnya Vera menyerah. Bangkit dari ranjang dan berderap masuk ke kamar mandi.
Dengan sepatu kets, satu persatu
anak tangga dilewatinya setengah berlari, dari meja makan Gaby dan orang tuanya
tengah menyantap nasi goreng seperti biasa. “Ra, kamu mau kemana rapi banget?”
tanya Gaby polos. Menundukkan kepalanya beberapa detik, “Gab, tulalit kamu bisa
ditinggal enggak? Enggak perlu dibawa, biarin disini aja. Aku kok jadi khawatir
kamu mau pergi sendiri.” Ucapnya setengah jengkel. Dari balik meja makan Gaby
cekikan menerima respon Vera barusan.
“Ndra kamu enggak mau pamitan sama
…”
“Jangan bahas dia lagi. Aku harus
bisa melupakan semua tentang dia. Mungkin lebih baik seperti ini.”
“Tapi Ndra, dia temen kamu dari
kecil, seenggaknya bilang kalau kamu mau pergi.”
“Buat apa? Penting ya harus
laporan dulu semuanya ke dia. Memangnya dia itu siapa? Dia bukan siapa-siapa
aku.” Wanita anggun separuh baya itu hanya bisa menghela nafas dan menutup
pintu kembali. Mungkin untuk beberapa waktu ke depan poster-poster One Ok Rock
itu akan berdebu. Berdebu untuk waktu yang tak jelas sampai kapan.
***
Sekitar pukul sebelas malam, Andra
sudah duduk sambil membaca koran di ruang tunggu keberangkatan. Kurang dua
puluh menit lagi pesawat dengan nomer keberangkatan GA884 akan lepas landas. Tak
lama kemudian petugas bandara memanggil semua penumpang jurusan Tokyo, Andra
mengangkat tas dan beranjak menuju lorong garbarata dengan santai, menuju pintu
masuk pesawat lalu mencari nomor bangku yang tertera. Cara jalan Andra memang
kelewat santai. Sementara gadis di belakangnya sudah buru-buru ingin duduk
karna kakinya yang kesemutan.
“Ehm, maaf, bisa lebih cepat
jalannya?” ucap gadis itu malu-malu. Andra sama sekali tidak menoleh,
menyingkir dan menghempaskan tubuhnya di kursi milknya. Perjalanan yang
menurutnya pasti melelahkan. Mengambil satu majalah di selipan bangku depan.
Membuka beberapa halaman dan mulai membacanya. Namun tiba-tiba ketenangannya
terganggu karna suara cekikikan dari penumpang yang duduk tiga kursi lebih
depan.
***
Ia menarik nafas dalam-dalam lalu
dihembuskan dalam satu hembusan kuat. Meregangakan seluruh otot tubuhnya yang
serasa membeku karna terlalu lama duduk. Pukul delapan lebih dua puluh menit
waktu Jepang. Selisih dua jam dengan Indonesia. Matahari menyapa daratan Tokyo
dari kaca-kaca Bandara Narita. Bandara tersibuk di Tokyo setelah Bandara Haneda.
Dengan yakin, Andra langsung menghentikan
taxi yang melintas di depannya. Memintanya untuk mengantarkan ke Shiba-Daimon,
Minato, Tokyo. Satu alasan kuat yang menyuruhnya untuk menginap di hotel itu
adalah Menara Tokyo yang menjulang tinggi dengan mudah bisa dilihat dari
balkon. Ditambah waktu yang lumayan singkat untuk bisa berdiri di bawah menara
indah, hanya sekitar sepuluh menit berjalan.
***
“Selamat datang Gaby, anda
sekarang di TOKYOOOO.” Teriaknya histeris. Menatap orang berjas-jas yang
berlalu-lalang.
“Copet.. Copet..” Teriak seorang
gadis Jepang dalam bahasa Jepang dari arah berlawanan. Gaby langsung membuka
kamus di otaknya,
“Hhah? Copet.” Ia mengerti. Memasang gaya tenang dan tak
peduli, tapi ketika pencuri itu melintas di depannya, Gaby langsung
mengeluarkan kemampuan karatenya.
“Terima kasih.” Ucap gadis Jepang itu
sambil sedikit bungkuk. Gaby bingung, kemampuan bahasa Jepangnya belum lancar
sepenuhnya. Dia mengerti apa yang orang Jepang katakan, tapi dia masih kesulitan
kalau disuruh membalasanya langsung. Akhirnya ia pun memutuskan untuk
menggunakan bahasa Inggris sebisa yang dia mampu.
“Kamu mau kemana sekarang?” tanya
gadis yang mengaku bernama Michiko. Gaby berpikir sejanak, kalau pertanyaan ini
sering dia dengar dalam anime yang sering ia tonton.
“Mau pergi ke Pearl Hotel Kasai.” Balas
Gaby lembut.
“Hotel?” Gaby mengangguk pelan.
“Bagaimana kalau kamu tinggal di rumah saya. Sebagai ucapan terima kasih saya,
karena kamu sudah mengembalikan tas berharga saya ini. Bagaimana?” Sejenak,
Gaby menimbang-nimbang tawaran yang diberikan Michiko padanya. Tidak ada
salahnya juga kalau menerimanya, toh dia juga tidak mengenal siapaun di sini,
sekaligus menghemat pengeluaran.
Jejeran tatami terasa nyaman di telapak
kaki Gaby. Menginjak tatami asli di bumi sakura, impiannya sejak kecil dan
terwujud sekarang.
“Ini kamarmu, silahkan masuk.” Menggangkat
kedua koper besarnya ke ruangan ukuran sekitar 3x4m2. Membereskan barang-barang
bawaan ke lemari di sudut kamar. Michiko beranjak pergi saat deringan suara
ponsel meraung dari kamar sebelah. Gaby merebahkan badannya di tatami yang
sudah dialasi kasur gulung. Nyaman sekali.
“Gaby..” Gaby buru-buru menarik
tubuhnya ke depan.
“Ada apa?”
“Maaf saya mengganggu, saya cuman
ingin bilang, nanti malam saya dan teman-teman saya mau pergi ke Akihabara. Apa
kamu mau ikut?”
“Boleh.” Jawabnya tanpa berpikir
panjang.
***
Turun dari subway jalur Hibiya di stasiun Ginza. Gaby yang sudah berubah nama menjadi
Aiko, agar lebih mudah dipanggil daripada menggunakan nama Gaby. Gadis itu
mengikuti Michiko dengan patuh. Menyusuri Akiba. Mata Gaby menelanjangi satu
persatu toko dengan gemerlapnya yang menyilaukan. Michiko melambaikan tangannya
ke arah sekumpulan manusia yang sudah menunggunya daritadi. Apa itu Takarada Musen Duty-Free? Mata
Gaby terkesima melihat bangunan setinggi delapan meter yang sangat terkenal.
“Andra….”
Gumam Gaby pelan setengah menelan ludah. Ia tidak menyangka akan bertemu
seseorang yang sangat dikenalnya di sini. Setidaknya sekarang ia tidak
benar-benar sendiri. Laki-laki itu mengangkat kepala dan melepas dekapan
tangannya ke samping. Matanya sama melebar seperti gadis yang mengucapkan
namanya samar.
“An-kun, apa
kamu mengenalnya?” tanya Hiroshi.
“Ya, dia
temanku dari kecil.” Sahut Andra dengan dialek Tokyo yang lumayan fasih.
“Semuanya,
kenalin ini Aiko, kalian bisa panggil dia Ai. Tapi maaf, kalau mau bicara
dengannya, tolong gunakan bahasa Inggris.” Kata Michiko memecah kebisuaan. Merasa
tidak ada pertanyaan atau perkataan yang akan diutarakan orang-orang di sekelilingnya,
Michiko melanjutkan, “Ai-chan, perkenalkan, ini Fumiko sama pacarnya, Arashi.
Kalau yang ini, Mishino dan yang ini Hiroshi.”
Selesai dengan
perkenalan singkat. Mereka bertujuh melanjutkan acara jalan-jalan mereka.
Kelima orang Jepang itu berjalan di depan, sementara Gaby memilih berjalan
berdampingan dengan Andra di belakang. Dan buruknya, malah menciptakan suasana
kikuk. Memasuki satu persatu toko sekedar mencuci mata. Hiroshi sibuk melihat gadget-gadget terbaru, Arashi dan Fumiko
sibuk dengan MP3 player terbaru, sementara Mishino asik memperhatikan Gaby yang
tengah membantu Michiko memilih sesuatu. Otot di kepalan tangan laki-laki yang
berdiri dekat etalase terlihat jelas.
“Hi Mishino,
ayo cari makan.” Ajak Andra dengan nada kesal yang berusaha ia sembunyikan.
Mereka bertujuh berjalan ke arah maid café,
rumah makan cosplay. Memesan Omurice ,
Curry rice, Strawberry short cake, Chocolate mousse cake yang terlihat lucu dengan hiasan wajah boneka di atasnya,
***
Tidak
seperti biasanya, akhir-akhir ini setelah acara jalan-jalan mereka di
Akihabara, Mishino sering berkunjung ke rumah Michiko. Padahal setelah mereka sama-sama
kuliah, Mishino jarang berkunjung. Selalu ada saja alasan yang ia buat untuk
menolak ajakan Michiko.
Sore
itu, Matahari di daratan Tokyo terasa hangat. Michiko sudah bersiap dengan
pakaian santainya. Menunggu dengan santai di beranda rumahnya. Duduk di lantai
berkayu, kakinya berayun dengan ringan.
“Mau
keluar ya?” tanya Gaby yang baru saja muncul dari halaman samping. Michiko
menoleh lalu mengangguk, “Ya.”
Gaby
ikut duduk di sebelah Michiko. Wajah mereka berdua tertepa matahari sore,
membentuk siluet di bagian belakang. Tiba-tiba Michiko berdiri, menoleh pada
Gaby sambil mengucapkan, “Saya berangkat, dadaah..” Merasa penasaran, Gaby
berjalan pelan mengikuti Michiko dari belakang. Dibelakang pintu gerbang, Gaby
berhenti. Ada perasaan seperti iri yang mengisi hatinya saat melihat orang yang
tengah di tunggu Michiko adalah Mishino, laki-laki yang mulai ia sukai.
---
“Ano,
boleh aku bertanya sesuatu?” Mereka berdua mengitari sungai yang jernih, dengan
jembatan melengkung yang terbuat dari susunan kayu. Pohon rindang membuat jalan
itu sangat teduh, bahkan saat musim panas berlangsung. “Ya, silahkan.”
“Menurutmu,
Aiko-chan itu bagaimana? Menurutmu apakah dia gadis yang baik?” Michiko
mengalihkan pandangannya pada dasar sungai yang terlihat jelas. Untuk beberapa
saat, Michiko seolah kehilangan kemampuannya untuk bicara. Ia diam seribu
bahasa.
“Michiko-chan?
Ada apa? Apa aku salah bertanya?” seru Mishino, dengan raut merasa bersalah.
Michiko segera membantah ucapan Mishino barusan.
“Aiko-chan
ya? Menurutku dia gadis yang baik. Memangnya kenapa?”
“Tidak
ada, hanya ingin melakukan sesuatu.” Balas Mishino dengan senyuman yang merekah
di wajahnya. Bertolak belakang dengan ekspresi wajah gadis yang berhenti di tepi
sungai. Tanpa sengaja membiarkan Mishino berjalan sendirian mendahului.
♫♪ aitai to omotta .. sono shunkan ugoki dasu ♫♪.
Tangan kanannya menjelajahi bagian bawah bantal yang di rasanya adalah tempat
suara nyaring itu berasal. Satu pesan singkat. Pikiran Gaby mulai berantakan
setelah mendengar cerita dari Michiko beberapa jam yang lalu. Tidak peduli
penting atau tidak arti pesan itu, tapi mungkin lebih baik daripada hanya
mengurung diri sendirian.
Malam sudah lama datang, di sini
berbeda, semakin jam bergerak menuju puncaknya maka gemerlap akan semakin
bertambah. Gaby berdiri di arena bermain di bawah menara Tokyo, menunggu
seseorang yang tak kunjung datang. Komedi putar itu sudah berhenti, berputar
dan berhenti lagi beberapa kali. Rasa bosan mulai menyusup ke dalam pikirannya.
Kakinya juga mulai kesemutan karna terlalu lama berdiri.
“Maaf Aiko-chan, aku minta maaf
sudah membuatmu menunggu lama.” Ia menunduk beberapa kali. Merasa sama tidak
enaknya, Gaby mengeyahkan wajah masamnya. Menggantinya dengan seulas senyuman.
“Tidak pa-pa. Ah iya, memangnya
ada apa? Kenapa memintaku kemari, bukannya biasanya kau berkunjung ke rumah
Michiko-chan?”
“A-no, ano.. Yang ingin aku
katakan adalah, uhm.. eto..”
“Apa?” sergah Gaby yang sebenarnya
sudah ingin pulang. Ia sama sekali tidak membayangkan cuaca Jepang akan
sedingin ini meskipun belum memasuki musim salju.
“Aku menyukaimu.”
***
Pikirannya benar-benar suntuk kali
ini, sehingga tanpa ragu lagi, ia langsung menerima ajakan Hiroshi dan yang
lainnya untuk sekedar bersantai di tempat karaoke di sekitaran Ginza.
Playlist dalam layar komputer sudah silih berganti berkali-kali.
Tujuan dan harapannya melenceng dari rencana. Ia menerima karna ingin
melepaskan rasa stress yang ia alami sekarang. Namun justru, rasa kesalnya
semakin bertambah. Terlebih saat melihat Gaby sangat dekat dengan Mishino. Ia
menarik tangan Gaby yang baru akan memilih lagu,
“Ayo pulang!”
“Tapi sekarang giliranku?”
“Aku bilang pulang ya pulang!!”
bentak Andra dengan bahasa Indonesia yang membuat Gaby diam, penuh ketakutan.
Perempatan Ginza memang selalu
menjadi lautan manusia. Mereka berdua berhenti di pinggir trotoar. Mereka
berdua sama-sama diselimuti kemarahan. Gaby marah karna sikap Andra yang aneh,
terkesan melampiaskan emosi pada dirinya. Sementara Andra marah pada dirinya
sendiri yang tidak bisa mengontrol perasaannya. Andra terperanjat kaget saat
melihat ada buliran air mata keluar dari sudut mata Gaby, badannya pun gemetar.
Andra mendekat,
“Apa tadi aku terlalu keras dan
berlebihan?”
“Kamu itu kenapa? Kalau kamu punya
masalah pribadi jangan lampiasin ke aku. Kamu tahu, kalau tadi aku ketakutan?!”
Sembur Gaby tanpa celah. Air matanya semakin lama semakin banyak yang keluar.
Andra hanya diam melihat air mata itu. Suara kembang api memecah kebisuan.
Dengan cepat kedua telapak tangan Andra menutup telinga Gaby yang berhasil
membuat mata mereka bertemu pada satu garis lurus karna dongakan kepala Gaby.
“Maaf. Sebenarnya, aku cemburu.
Aku enggak suka kamu terlalu dekat sama Mishino. Aku cemburu.” Aku Andra.
Tangan besarnya perlahan melepaskan dari dinginnya telinga Gaby. Suntikan obat
bius dosis tinggi seolah baru saja menjalar di pembuluh darahnya. Membuatnya
tidak bisa bergerak dan ingin pingsan seketika, tapi dia tetap terjaga.
***
Sejak acara pertunangan Mishino
dan Michiko, Gaby seperti berubah menjadi gadis yang tak bisa menerima
kehadiran cinta yang baru. Andra menggandeng tangan Gaby erat saat berada di
dalam kereta bawah tanah dari JR Inokashira Line, Shibuya. Laki-laki itu
ingin menunjukan sesuatu yang di rasakan akan mampu membuat Gaby melepas semua
tangisannya. Kichijoji berada di bagian barat di luar Tokyo. Sebuah dareah
indah dengan jalanan sempit.
Mereka turun dari pintu keluar sebelah
utara. Setelah itu mereka berdua mulai menikmati labirin jalan-jalan sempit
yang dipenuhi toko-toko dan galeri apa saja, bahkan restoran bergaya Prancis
pun bisa dinikmati di sini.
Tangan
kecil itu masih terjaga dengan aman dalam gandengan Andra. Kini Andra sedikit
bisa tersenyum lega saat melihat Gaby tersenyum, membuang air matanya dalam
angin perjalanan sebelumnya. Landscape
bunga Sakura yang menjorok ke danau semakin menambah keindahan Inokashira Park.
“Apa
kamu suka?” selidik Andra. Gaby melempar seulas senyum yang seketika membuat
jantungnya berdegup lebih cepat. “Tentu. Memang tempat seperti ini yang aku
inginkan.”
“Ahh
iya, kapan kau akan kembali ke Indonesia?” Gaby membuka ponselnya, melihat organizer milkinya. “Kurasa besok atau
mungkin lusa.”
“Kalau
begitu, besok kamu harus ikut aku lagi. Ini penting.”
***
“Michiko-chan, terima kasih sudah
bersedia berbohong untuk saya. Terima kasih pula sudah berpura-pura bertunangan
dengan saya.”
“Kau jahat Mishino-kun. Hanya
itukah yang bisa kau lakukan setelah mempermainkan perasaanku. Mengajakku
bertunangan hanya untuk berbohong pada gadis yang baru kau kenal. Padahal jelas
kau tahu, bahwa aku menyukaimu.”
“Maafkan saya.” Ucap Mishino
sekali lagi dengan bungkukan yang dalam pada Michiko yang tengah menangis.
“Kalau boleh tahu, apa alasanmu
melakukan semua ini?”
“Saat itu aku mengatakan pada
Aiko-chan bahwa aku menyukainya. Tapi ekspresi kaget itu berubah menjadi
ekspresi ingin menolak. Saya bisa melihat jelas semua itu. Lalu, Andra-kun, dia
pernah bercerita bahwa dia tengah berusaha melupakan seorang gadis tapi tidak
pernah bisa.”
“Jadi maksudmu dengan kau menjadi
pacar Aiko-chan, Andra akan senang. Tapi setelah tahu kalau mereka saling
menyukai tapi tidak ingin mengatakan karna takut menghancurkan semuanya, maka
kaulah yang berkorban?” Mishino mengangguk pelan. Michiko memahami apa yang
sedang dirasakan Mishino karna dia sudah lebih dulu mengalaminya.
***
Andra melambaikan tangan ke atas.
Lantai ke dua, tempat Gaby sekarang menginap. Gadis itu berbalik, segera turun
menemui Andra. Menanjak di jalan bebatuan di pintu keluar sekitar penginapan
yang tidak jauh Menara yang tengah bersinar dengan cahaya oranye, karna
sekarang tengah memasuki musim dingin.
Mereka jalan berdua. Untuk kali
ini semua panduan wisata dipegang oleh Andra. Andra mengajak gadis berkuncir
dua itu naik lift menuju ke Main
Observation yang ada di menara Tokyo. Mereka berdua menepi ke dekat jendela
kaca. Dari ketinggian 150 meter, kerlapan cahaya kota di prefecture Kanagawa,
Saitama, dan Chiba sangat jelas terlihat. Bahkan gunung yang cantik itu.
“Kamu suka?” Gaby mengangguk tanpa
menoleh. Ia masih takjub dengan apa yang Andra perlihatkan padanya. Ia tidak
menyangka Andra bisa menemukan tempat secantik ini.
“A-a.. Aku suka kamu Gaby.” Gadis
itu menoleh. Memperhatikan sorot mata Andra yang berada. Ia tersenyum lalu
kembali memandang keindahan di depannya.
“Aku juga suka kamu. Tapi besok
aku sudah pulang sementara kamu masih satu tahun lagi kan di sini? Ada urusan
kan?” Andra mengangguk-anggukan kepalanya. Berlagak seperti tengah memikirkan
sesuatu. Andra masih diam. Sejujurnya, ia sudah lama mencari lokasi, waktu, dan
moment yang tepat agar dapat melihat keindahan Jepang dengan gemerlap lampu dan
salju yang perlahan turun sebagai pelengkap yang menakjubkan.
“Kau benar. Jadi?”
“Akan kutunggu.” Jawabnya pasti.
Melingkarkan kedua tanganya di lengan kiri laki-laki yang ia rasa sebagai
belahan jiwanya. Semoga saja.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar