Selasa, 26 Maret 2013

Tokyo~ I Remember You

              Brakk.. Satu koper besar berhasil keluar dari lemari kayu akhirnya. Membongkar semua isi kamar hanya untuk mencari setumpuk komik yang menurutnya itu amat sangat penting.
              “Bawa apa lagi ya?” serunya pada dirinya sendiri. Memutar pandangannya ke pojok-pojok kamar yang menjelma menjadi kapal pecah. Seretan kardus besar yang membuyarkan lamunan Gaby sesaat ketika Vera masuk dan menyaksikan bencana di kamar Gaby.
              “Ya Tuhan, Gab, kamu mau pindah apa mau liburan?” Matanya mengerling heran. Gaby malah tertawa dan terus menge-pack barang-barang bawaannya. “Yang kamu bawa itu apa? Baju atau komik? Kamu mau pakai baju dari kertas komik?”
              “Tenang aja Veraku yang cerewet, aku bawa koper dua kok. Yang ini pakaian, yang ini komik sama keperluan yang lain.” Jelasnya sambil menunjuk satu koper besar di atas ranjang.

                                                                  ***
              Lampu rumah dinyalakan sudah, menerobos di celah-celah tirai kamar. Belum larut malam, baru jam delapan tapi Gaby sudah sangat siap untuk pergi. Selesai mandi dan menyelesaikan semuanya, sementara Vera masih sibuk dengan mimpi-mimpinya yang sesekali ditambah suara aneh yang dikeluarkannya.
               “Ver, kamu enggak bangun?” panggil Gaby keras sambil mengguncang-guncangkan badan Vera yang dibungkus selimut mirip sushi.
              “Hmm, lima menit lagi Gab,”
              “Ayo!” Meraih tangan Vera dan menariknya keluar dari selimut. Merasa tidak ingin berdebat lebih lanjut, akhirnya Vera menyerah. Bangkit dari ranjang dan berderap masuk ke kamar mandi.
              Dengan sepatu kets, satu persatu anak tangga dilewatinya setengah berlari, dari meja makan Gaby dan orang tuanya tengah menyantap nasi goreng seperti biasa. “Ra, kamu mau kemana rapi banget?” tanya Gaby polos. Menundukkan kepalanya beberapa detik, “Gab, tulalit kamu bisa ditinggal enggak? Enggak perlu dibawa, biarin disini aja. Aku kok jadi khawatir kamu mau pergi sendiri.” Ucapnya setengah jengkel. Dari balik meja makan Gaby cekikan menerima respon Vera barusan.

              “Ndra kamu enggak mau pamitan sama …”
              “Jangan bahas dia lagi. Aku harus bisa melupakan semua tentang dia. Mungkin lebih baik seperti ini.”
              “Tapi Ndra, dia temen kamu dari kecil, seenggaknya bilang kalau kamu mau pergi.”
              “Buat apa? Penting ya harus laporan dulu semuanya ke dia. Memangnya dia itu siapa? Dia bukan siapa-siapa aku.” Wanita anggun separuh baya itu hanya bisa menghela nafas dan menutup pintu kembali. Mungkin untuk beberapa waktu ke depan poster-poster One Ok Rock itu akan berdebu. Berdebu untuk waktu yang tak jelas sampai kapan.
                                                                  ***
              Sekitar pukul sebelas malam, Andra sudah duduk sambil membaca koran di ruang tunggu keberangkatan. Kurang dua puluh menit lagi pesawat dengan nomer keberangkatan GA884 akan lepas landas. Tak lama kemudian petugas bandara memanggil semua penumpang jurusan Tokyo, Andra mengangkat tas dan beranjak menuju lorong garbarata dengan santai, menuju pintu masuk pesawat lalu mencari nomor bangku yang tertera. Cara jalan Andra memang kelewat santai. Sementara gadis di belakangnya sudah buru-buru ingin duduk karna kakinya yang kesemutan.
              “Ehm, maaf, bisa lebih cepat jalannya?” ucap gadis itu malu-malu. Andra sama sekali tidak menoleh, menyingkir dan menghempaskan tubuhnya di kursi milknya. Perjalanan yang menurutnya pasti melelahkan. Mengambil satu majalah di selipan bangku depan. Membuka beberapa halaman dan mulai membacanya. Namun tiba-tiba ketenangannya terganggu karna suara cekikikan dari penumpang yang duduk tiga kursi lebih depan.
                                                                  ***
              Ia menarik nafas dalam-dalam lalu dihembuskan dalam satu hembusan kuat. Meregangakan seluruh otot tubuhnya yang serasa membeku karna terlalu lama duduk. Pukul delapan lebih dua puluh menit waktu Jepang. Selisih dua jam dengan Indonesia. Matahari menyapa daratan Tokyo dari kaca-kaca Bandara Narita. Bandara tersibuk di Tokyo setelah Bandara Haneda.
              Dengan yakin, Andra langsung menghentikan taxi yang melintas di depannya. Memintanya untuk mengantarkan ke Shiba-Daimon, Minato, Tokyo. Satu alasan kuat yang menyuruhnya untuk menginap di hotel itu adalah Menara Tokyo yang menjulang tinggi dengan mudah bisa dilihat dari balkon. Ditambah waktu yang lumayan singkat untuk bisa berdiri di bawah menara indah, hanya sekitar sepuluh menit berjalan.
                                                                  ***
              “Selamat datang Gaby, anda sekarang di TOKYOOOO.” Teriaknya histeris. Menatap orang berjas-jas yang berlalu-lalang.
              “Copet.. Copet..” Teriak seorang gadis Jepang dalam bahasa Jepang dari arah berlawanan. Gaby langsung membuka kamus di otaknya,
              “Hhah? Copet.”  Ia mengerti. Memasang gaya tenang dan tak peduli, tapi ketika pencuri itu melintas di depannya, Gaby langsung mengeluarkan kemampuan karatenya.
              “Terima kasih.” Ucap gadis Jepang itu sambil sedikit bungkuk. Gaby bingung, kemampuan bahasa Jepangnya belum lancar sepenuhnya. Dia mengerti apa yang orang Jepang katakan, tapi dia masih kesulitan kalau disuruh membalasanya langsung. Akhirnya ia pun memutuskan untuk menggunakan bahasa Inggris sebisa yang dia mampu.
              “Kamu mau kemana sekarang?” tanya gadis yang mengaku bernama Michiko. Gaby berpikir sejanak, kalau pertanyaan ini sering dia dengar dalam anime yang sering ia tonton.
              “Mau pergi ke Pearl Hotel Kasai.” Balas Gaby lembut.
              “Hotel?” Gaby mengangguk pelan. “Bagaimana kalau kamu tinggal di rumah saya. Sebagai ucapan terima kasih saya, karena kamu sudah mengembalikan tas berharga saya ini. Bagaimana?” Sejenak, Gaby menimbang-nimbang tawaran yang diberikan Michiko padanya. Tidak ada salahnya juga kalau menerimanya, toh dia juga tidak mengenal siapaun di sini, sekaligus menghemat pengeluaran.
              Jejeran tatami terasa nyaman di telapak kaki Gaby. Menginjak tatami asli di bumi sakura, impiannya sejak kecil dan terwujud sekarang.
              “Ini kamarmu, silahkan masuk.” Menggangkat kedua koper besarnya ke ruangan ukuran sekitar 3x4m2. Membereskan barang-barang bawaan ke lemari di sudut kamar. Michiko beranjak pergi saat deringan suara ponsel meraung dari kamar sebelah. Gaby merebahkan badannya di tatami yang sudah dialasi kasur gulung. Nyaman sekali.
              “Gaby..” Gaby buru-buru menarik tubuhnya ke depan.
              “Ada apa?”
              “Maaf saya mengganggu, saya cuman ingin bilang, nanti malam saya dan teman-teman saya mau pergi ke Akihabara. Apa kamu mau ikut?”
              “Boleh.” Jawabnya tanpa berpikir panjang.
                                                                  ***
              Turun dari subway jalur Hibiya di stasiun Ginza. Gaby yang sudah berubah nama menjadi Aiko, agar lebih mudah dipanggil daripada menggunakan nama Gaby. Gadis itu mengikuti Michiko dengan patuh. Menyusuri Akiba. Mata Gaby menelanjangi satu persatu toko dengan gemerlapnya yang menyilaukan. Michiko melambaikan tangannya ke arah sekumpulan manusia yang sudah menunggunya daritadi. Apa itu Takarada Musen Duty-Free? Mata Gaby terkesima melihat bangunan setinggi delapan meter yang sangat terkenal.
              “Andra….” Gumam Gaby pelan setengah menelan ludah. Ia tidak menyangka akan bertemu seseorang yang sangat dikenalnya di sini. Setidaknya sekarang ia tidak benar-benar sendiri. Laki-laki itu mengangkat kepala dan melepas dekapan tangannya ke samping. Matanya sama melebar seperti gadis yang mengucapkan namanya samar.
              “An-kun, apa kamu mengenalnya?” tanya Hiroshi.
              “Ya, dia temanku dari kecil.” Sahut Andra dengan dialek Tokyo yang lumayan fasih.
              “Semuanya, kenalin ini Aiko, kalian bisa panggil dia Ai. Tapi maaf, kalau mau bicara dengannya, tolong gunakan bahasa Inggris.” Kata Michiko memecah kebisuaan. Merasa tidak ada pertanyaan atau perkataan yang akan diutarakan orang-orang di sekelilingnya, Michiko melanjutkan, “Ai-chan, perkenalkan, ini Fumiko sama pacarnya, Arashi. Kalau yang ini, Mishino dan yang ini Hiroshi.”
              Selesai dengan perkenalan singkat. Mereka bertujuh melanjutkan acara jalan-jalan mereka. Kelima orang Jepang itu berjalan di depan, sementara Gaby memilih berjalan berdampingan dengan Andra di belakang. Dan buruknya, malah menciptakan suasana kikuk. Memasuki satu persatu toko sekedar mencuci mata. Hiroshi sibuk melihat gadget-gadget terbaru, Arashi dan Fumiko sibuk dengan MP3 player terbaru, sementara Mishino asik memperhatikan Gaby yang tengah membantu Michiko memilih sesuatu. Otot di kepalan tangan laki-laki yang berdiri dekat etalase terlihat jelas.
              “Hi Mishino, ayo cari makan.” Ajak Andra dengan nada kesal yang berusaha ia sembunyikan. Mereka bertujuh berjalan ke arah maid café, rumah makan cosplay. Memesan Omurice , Curry rice, Strawberry short cake, Chocolate mousse cake yang terlihat lucu dengan hiasan wajah boneka di atasnya,
                                                                  ***
              Tidak seperti biasanya, akhir-akhir ini setelah acara jalan-jalan mereka di Akihabara, Mishino sering berkunjung ke rumah Michiko. Padahal setelah mereka sama-sama kuliah, Mishino jarang berkunjung. Selalu ada saja alasan yang ia buat untuk menolak ajakan Michiko.
              Sore itu, Matahari di daratan Tokyo terasa hangat. Michiko sudah bersiap dengan pakaian santainya. Menunggu dengan santai di beranda rumahnya. Duduk di lantai berkayu, kakinya berayun dengan ringan.
              “Mau keluar ya?” tanya Gaby yang baru saja muncul dari halaman samping. Michiko menoleh lalu mengangguk, “Ya.”
              Gaby ikut duduk di sebelah Michiko. Wajah mereka berdua tertepa matahari sore, membentuk siluet di bagian belakang. Tiba-tiba Michiko berdiri, menoleh pada Gaby sambil mengucapkan, “Saya berangkat, dadaah..” Merasa penasaran, Gaby berjalan pelan mengikuti Michiko dari belakang. Dibelakang pintu gerbang, Gaby berhenti. Ada perasaan seperti iri yang mengisi hatinya saat melihat orang yang tengah di tunggu Michiko adalah Mishino, laki-laki yang mulai ia sukai.
---
              “Ano, boleh aku bertanya sesuatu?” Mereka berdua mengitari sungai yang jernih, dengan jembatan melengkung yang terbuat dari susunan kayu. Pohon rindang membuat jalan itu sangat teduh, bahkan saat musim panas berlangsung. “Ya, silahkan.”
              “Menurutmu, Aiko-chan itu bagaimana? Menurutmu apakah dia gadis yang baik?” Michiko mengalihkan pandangannya pada dasar sungai yang terlihat jelas. Untuk beberapa saat, Michiko seolah kehilangan kemampuannya untuk bicara. Ia diam seribu bahasa.
              “Michiko-chan? Ada apa? Apa aku salah bertanya?” seru Mishino, dengan raut merasa bersalah. Michiko segera membantah ucapan Mishino barusan.
              “Aiko-chan ya? Menurutku dia gadis yang baik. Memangnya kenapa?”
              “Tidak ada, hanya ingin melakukan sesuatu.” Balas Mishino dengan senyuman yang merekah di wajahnya. Bertolak belakang dengan ekspresi wajah gadis yang berhenti di tepi sungai. Tanpa sengaja membiarkan Mishino berjalan sendirian mendahului.

              ♫♪ aitai to omotta .. sono shunkan ugoki dasu ♫♪. Tangan kanannya menjelajahi bagian bawah bantal yang di rasanya adalah tempat suara nyaring itu berasal. Satu pesan singkat. Pikiran Gaby mulai berantakan setelah mendengar cerita dari Michiko beberapa jam yang lalu. Tidak peduli penting atau tidak arti pesan itu, tapi mungkin lebih baik daripada hanya mengurung diri sendirian.
              Malam sudah lama datang, di sini berbeda, semakin jam bergerak menuju puncaknya maka gemerlap akan semakin bertambah. Gaby berdiri di arena bermain di bawah menara Tokyo, menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Komedi putar itu sudah berhenti, berputar dan berhenti lagi beberapa kali. Rasa bosan mulai menyusup ke dalam pikirannya. Kakinya juga mulai kesemutan karna terlalu lama berdiri.
              “Maaf Aiko-chan, aku minta maaf sudah membuatmu menunggu lama.” Ia menunduk beberapa kali. Merasa sama tidak enaknya, Gaby mengeyahkan wajah masamnya. Menggantinya dengan seulas senyuman.
              “Tidak pa-pa. Ah iya, memangnya ada apa? Kenapa memintaku kemari, bukannya biasanya kau berkunjung ke rumah Michiko-chan?”
              “A-no, ano.. Yang ingin aku katakan adalah, uhm.. eto..”
              “Apa?” sergah Gaby yang sebenarnya sudah ingin pulang. Ia sama sekali tidak membayangkan cuaca Jepang akan sedingin ini meskipun belum memasuki musim salju.
              “Aku menyukaimu.”
                                                                  ***
              Pikirannya benar-benar suntuk kali ini, sehingga tanpa ragu lagi, ia langsung menerima ajakan Hiroshi dan yang lainnya untuk sekedar bersantai di tempat karaoke di sekitaran Ginza.
              Playlist dalam layar komputer sudah silih berganti berkali-kali. Tujuan dan harapannya melenceng dari rencana. Ia menerima karna ingin melepaskan rasa stress yang ia alami sekarang. Namun justru, rasa kesalnya semakin bertambah. Terlebih saat melihat Gaby sangat dekat dengan Mishino. Ia menarik tangan Gaby yang baru akan memilih lagu,
              “Ayo pulang!”
              “Tapi sekarang giliranku?”
              “Aku bilang pulang ya pulang!!” bentak Andra dengan bahasa Indonesia yang membuat Gaby diam, penuh ketakutan.
              Perempatan Ginza memang selalu menjadi lautan manusia. Mereka berdua berhenti di pinggir trotoar. Mereka berdua sama-sama diselimuti kemarahan. Gaby marah karna sikap Andra yang aneh, terkesan melampiaskan emosi pada dirinya. Sementara Andra marah pada dirinya sendiri yang tidak bisa mengontrol perasaannya. Andra terperanjat kaget saat melihat ada buliran air mata keluar dari sudut mata Gaby, badannya pun gemetar. Andra mendekat,
              “Apa tadi aku terlalu keras dan berlebihan?”
              “Kamu itu kenapa? Kalau kamu punya masalah pribadi jangan lampiasin ke aku. Kamu tahu, kalau tadi aku ketakutan?!” Sembur Gaby tanpa celah. Air matanya semakin lama semakin banyak yang keluar. Andra hanya diam melihat air mata itu. Suara kembang api memecah kebisuan. Dengan cepat kedua telapak tangan Andra menutup telinga Gaby yang berhasil membuat mata mereka bertemu pada satu garis lurus karna dongakan kepala Gaby.
              “Maaf. Sebenarnya, aku cemburu. Aku enggak suka kamu terlalu dekat sama Mishino. Aku cemburu.” Aku Andra. Tangan besarnya perlahan melepaskan dari dinginnya telinga Gaby. Suntikan obat bius dosis tinggi seolah baru saja menjalar di pembuluh darahnya. Membuatnya tidak bisa bergerak dan ingin pingsan seketika, tapi dia tetap terjaga.
                                                                  ***
              Sejak acara pertunangan Mishino dan Michiko, Gaby seperti berubah menjadi gadis yang tak bisa menerima kehadiran cinta yang baru. Andra menggandeng tangan Gaby erat saat berada di dalam kereta bawah tanah dari JR Inokashira Line, Shibuya. Laki-laki itu ingin menunjukan sesuatu yang di rasakan akan mampu membuat Gaby melepas semua tangisannya. Kichijoji berada di bagian barat di luar Tokyo. Sebuah dareah indah dengan jalanan sempit.
              Mereka turun dari pintu keluar sebelah utara. Setelah itu mereka berdua mulai menikmati labirin jalan-jalan sempit yang dipenuhi toko-toko dan galeri apa saja, bahkan restoran bergaya Prancis pun bisa dinikmati di sini.
              Tangan kecil itu masih terjaga dengan aman dalam gandengan Andra. Kini Andra sedikit bisa tersenyum lega saat melihat Gaby tersenyum, membuang air matanya dalam angin perjalanan sebelumnya. Landscape bunga Sakura yang menjorok ke danau semakin menambah keindahan Inokashira Park.
              “Apa kamu suka?” selidik Andra. Gaby melempar seulas senyum yang seketika membuat jantungnya berdegup lebih cepat. “Tentu. Memang tempat seperti ini yang aku inginkan.”
              “Ahh iya, kapan kau akan kembali ke Indonesia?” Gaby membuka ponselnya, melihat organizer milkinya. “Kurasa besok atau mungkin lusa.”
              “Kalau begitu, besok kamu harus ikut aku lagi. Ini penting.”
                                                                  ***
              “Michiko-chan, terima kasih sudah bersedia berbohong untuk saya. Terima kasih pula sudah berpura-pura bertunangan dengan saya.”
              “Kau jahat Mishino-kun. Hanya itukah yang bisa kau lakukan setelah mempermainkan perasaanku. Mengajakku bertunangan hanya untuk berbohong pada gadis yang baru kau kenal. Padahal jelas kau tahu, bahwa aku menyukaimu.”
              “Maafkan saya.” Ucap Mishino sekali lagi dengan bungkukan yang dalam pada Michiko yang tengah menangis.
              “Kalau boleh tahu, apa alasanmu melakukan semua ini?”
              “Saat itu aku mengatakan pada Aiko-chan bahwa aku menyukainya. Tapi ekspresi kaget itu berubah menjadi ekspresi ingin menolak. Saya bisa melihat jelas semua itu. Lalu, Andra-kun, dia pernah bercerita bahwa dia tengah berusaha melupakan seorang gadis tapi tidak pernah bisa.”
              “Jadi maksudmu dengan kau menjadi pacar Aiko-chan, Andra akan senang. Tapi setelah tahu kalau mereka saling menyukai tapi tidak ingin mengatakan karna takut menghancurkan semuanya, maka kaulah yang berkorban?” Mishino mengangguk pelan. Michiko memahami apa yang sedang dirasakan Mishino karna dia sudah lebih dulu mengalaminya.
                                                                  ***
              Andra melambaikan tangan ke atas. Lantai ke dua, tempat Gaby sekarang menginap. Gadis itu berbalik, segera turun menemui Andra. Menanjak di jalan bebatuan di pintu keluar sekitar penginapan yang tidak jauh Menara yang tengah bersinar dengan cahaya oranye, karna sekarang tengah memasuki musim dingin.
              Mereka jalan berdua. Untuk kali ini semua panduan wisata dipegang oleh Andra. Andra mengajak gadis berkuncir dua itu naik lift menuju ke Main Observation yang ada di menara Tokyo. Mereka berdua menepi ke dekat jendela kaca. Dari ketinggian 150 meter, kerlapan cahaya kota di prefecture Kanagawa, Saitama, dan Chiba sangat jelas terlihat. Bahkan gunung yang cantik itu.
              “Kamu suka?” Gaby mengangguk tanpa menoleh. Ia masih takjub dengan apa yang Andra perlihatkan padanya. Ia tidak menyangka Andra bisa menemukan tempat secantik ini.
              “A-a.. Aku suka kamu Gaby.” Gadis itu menoleh. Memperhatikan sorot mata Andra yang berada. Ia tersenyum lalu kembali memandang keindahan di depannya.
              “Aku juga suka kamu. Tapi besok aku sudah pulang sementara kamu masih satu tahun lagi kan di sini? Ada urusan kan?” Andra mengangguk-anggukan kepalanya. Berlagak seperti tengah memikirkan sesuatu. Andra masih diam. Sejujurnya, ia sudah lama mencari lokasi, waktu, dan moment yang tepat agar dapat melihat keindahan Jepang dengan gemerlap lampu dan salju yang perlahan turun sebagai pelengkap yang menakjubkan.
              “Kau benar. Jadi?”
              “Akan kutunggu.” Jawabnya pasti. Melingkarkan kedua tanganya di lengan kiri laki-laki yang ia rasa sebagai belahan jiwanya. Semoga saja.

SELESAI

Tidak ada komentar: