Jumat, 15 Februari 2013

Tōkyō tawā

 
            Masih seperti biasa. Aku selalu datang terlalu pagi ke sekolah. Meskipun inginku datang lebih siang, tapi tetap saja pagi. Keempat temanku inilah yang membuatku bersemangat datang ke sekolah. Kebersamaan dengan mereka sungguh menyenangkan. Saat susah dan senang, ya meskipun terkadang kami bertengkar tapi itu tidak bertahan lama. Sebut saja mereka Sifa, Rasti, Ema, dan Mitha.
            Sifa, dia merupakan adik bagi kami. Usianya yang paling muda dan tingkahnya masih sering kekanak-kanakan. Rasti, dia satu-satunya anak berkerudung diantara kami, dia pintar, tapi kalau diajak bicara pasti paling bolot. Entah kenapa, kalau pelajaran dia cepat mengerti, tapi saat diajak bicara selain pelajaran dia yang paling lama mengerti. Beda lagi dengan Ema dan Mitha. Kalau Ema, dia dengan mudahnya menemukan topik atau hal yang membuat kami tertawa. Wajahnya yang merah saat disinggung tentang pacarnya, menjadi bahan utama kami untuk menggodanya. Dan yang terakhir, Mitha. Orang paling pendiam. Beda dengan kami berempat yang lebih mirip dengan orang abnormal kalau sudah berkumpul. Mitha lebih sering tersenyum daripada tertawa. Tulisannya yang paling rapi menjadi ciri khasnya.
            Kemana-mana kami selalu bersama. Dan banyak kenangan yang sudah kami ciptakan, terlebih lagi saat Windi belum pindah ke Batam. Masih ku ingat jelas, setiap jam istirahat Windi selalu datang ke kelas kami. Sebab, hanya Windilah yang kelasnya berbeda denganku dan lainnya.
***
            “Aku jatuh cinta.” Kataku malu-malu dihadapan mereka. Semua mata itu menatapku heran. Apa karna hanya aku dari mereka berempat yang belum memiliki pacar. Sifa menguncang-guncangkan pundakku.
            “Sama siapa? Sama siapa?” tanya Rasti penasaran. Aku malu. Tanpa sadar aku terus tersenyum sendiri yang membuat mereka semakin penasaran. Mitha pun angkat suara,
            “Agha?”
            “Kamu jatuh cinta sama cowok misterius itu?” Sifa meyakinkan pendengarannya. Aku mengangguk. Ku perhatikan ekspresi mereka yang terlihat aneh karna penyataanku.
            Sebegitu misteriusnya kah Agha dimata mereka?, pikirku. Hanya dalam hitungan beberapa detik, Mereka semua tertawa seolah mengerjaiku. Mitha mencolek daguku dengan tatapan liciknya. Ema dan Rasti merangkul mundakku. Menoleh dan tersenyum.
            “Kita bakalan bantu kamu. Kalau perlu kita minta bantuan yang lain juga.”
            “Siapa?”
            “Siapa lagi kalau bukan, Teguh, Rival, Anggid, dan Yanuar. Mereka cowok, jadi pasti bisa bantuin kamu buat deket sama Agha. Gimana?” tambah Ema. Ku lirik mereka semua, setengah malu aku kembali mengganguk dan mereka semua tertawa karnanya.
            Setelah mereka semua pulang, aku berlari ke kamarku. Menenggelamkan wajahku yang memerah dibalik selimut. Dari tempatku meringkuk, aku bisa melihat taburan bintang dari jendela yang masih terbuka. Pikiranku penuh dengan sosoknya. Aku tahu dia bukan laki-laki yang normal. Sikapnya yang dingin, misterius, pendiam, memiliki tatapan yang tajam. Tapi aku menyukai semua itu. Aku menyukai semua tentangnya. Aku suka dia.
            Kuraih ponselku. Ku berbalik dan membelakangi langit. Satu persatu huruf kususun dalam sebuah pesan. Hanya satu kalimat. Keputusanku sudah bulat. Aku akan mengatakannya besok. Tak peduli, apa balasannya meskipun bukan berbaris-baris, yang aku mau cuman dia mengerti. Mengerti aku menyukainya. Messagge Send. Ku letakkan ponsel di depan kakiku yang bersila. Ku buat sebuah permohonan kecil. Permohonan semoga dia benar-benar menjadi miliku. Selesai itu, aku kembali melihat langit. Sekilas, aku melihat sebuah meteor jatuh. Ku ulangi permohonanku sekali lagi.
***
            Sepulang sekolah, kulambaikan tangan ke arah mereka yang sudah terlebih dulu pergi ke istana es krim dengan pacar mereka masing-masing. Aku memang diajak, tapi aku menolak. Ada yang ingin aku lakukan. Aku juga ingin seperti mereka. Bisa memiliki seseorang yang bisa mereka sayangi selain teman dan keluarga. Aku juga perempuan.
            Aku berlari ke taman belakang. Sedikit membungkuk sambil mengatur nafas, dan ku dapati seseorang yang tengah berdiri dengan jas tergantung dipundaknya. Dia menoleh lalu tersenyum saat melihatku. Mataku membulat. Tubuhku lemas. Kaki kananku mundur selangkah untuk menyeimbangkan tubuhku yang akan tumbang.
            “Agha?” sapaku.
            Dia berjalan mendekat, meraih pergelangan tanganku dan menariknya. Aku mengikutinya dari belakang, tersenyum. Duduk berdua. Membuatku gugup dan salah tingkah. Aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Apa lagi duduk berdua dengan orang yang ku sukai. Jantungku berdegup kencang.
            “Apa yang mau kamu katakan, dalam pesanmu kamu bilang ingin bicara sesuatu denganku kan?” Ku remas kedua tanganku. Berpindah ke depannya dan membungkuk dalam, kusiapkan mentalku sebelum kukatakan, “Aku menyukaimu!!”
            Satu kalimat yang hanya kukatakan sekali. Saat itu aku benar-benar malu. Ku buka mataku. Dia menghilang. Buru- buru kutegakkan badanku. Ku sebar pandanganku ke seluruh taman. Aku sendirian. Badanku benar-benar lumpuh. Ku dekap kakiku.
            “Dasar bodoh! Septa bodoh!!” kutukku sendiri. Airmata membasahi rok sekolahku. Saat itu, aku sangat ingin menelpon mereka, tapi aku yakin saat ini mereka sedang bersenang-senang, dan aku tidak ingin merusak semua itu.
            Setelah lelah menangis, kuseka airmataku dengan sapu tangan putih yang entah milik siapa, tertinggal begitu saja dibangku. Pikiranku buntu. Tanpa banyak berpikir, aku langsung memakainya. Karna, kedua tanganku sudah kotor dengan rumput bercampur tanah, hasil pelampiasan kekecewaanku.
***
            “Hallo..” balasku dengan suara sengau.
            “Kamu sakit, Sep?” tanya Mitha. Suaranya terdengar khawatir dengan keadaanku.
            “Mitha, aku butuh kalian.” Kataku bercampur dengan suara tangisan yang kembali pecah. Tak lama kemudian, kamarku menjadi ramai dengan kedatangan ke empat sahabatku. Mereka duduk dikanan kiri tempat tidurku. Jendela sengaja kubuka gara udara dapat teganti. Sebagai penyejuk karna cuaca yang mulai panas. Aku masih terisak dalam dekapan Mitha. Dialah yang memiliki sikap paling dewasa diantara kami. Sedangkan yang lain mencoba menenangkanku.
            “Kamu ditolak?” tanya Ema pelan. Aku menggeleng.
            “Diterima?” timpal Rasti.
            “Enggak.” Akuku.
            “Lalu?”
            “Saat aku bilang, aku menyukainya, Agha sudah menghilang. Dia pergi waktu aku bicara.” Jelasku. Tiba-tiba Sifa tertawa keras ditengah penderitaanku. Satu pukulan melayang ke kepala Sifa dari Rasti. “Aduhh.. Kok kamu mukul?”
            “Kamu ini malah ketawa. Lihat, Septa tambah sedih, kan? Gak ada peduli-pedulinya.” Protes Rasti. “Maaf-maaf, enggak lagi. Cuman lucu aja. Ada orang nyatain cinta malah ditinggal pergi. Apa dia enggak punya perasaan?”
            “Sep, sudah jangan nangis. Mungkin Agha bukan jodoh kamu. Masih ada kita.” Hibur Ema. Jujur, dalam hati aku sangat sedih. Ini pertama kalinya aku menyatakan perasaanku, tapi ini pertama kali juga aku dipermalukan seperti ini. Ditinggal pergi. Aku beruntung memiliki mereka. Selalu ada disaat aku butuh mereka. Ya, aku beruntung. Merekalah sahabat-sahabatku.
            Ku tarik tubuhku keluar dari dekapan Mitha. Kututp jendela beserta tirainya.
            “Kenapa ditutup? Bukannya kamu suka lihat bintang?” tanya Mitha dengan nada simpati. “Melihat bintang seperti aku melihatnya. Aku takut melihat bintang jatuh seperti waktu itu, dan teringat kejadian memalukan ini lagi.” Mereka semua tersenyum menguatkanku.
***
            Hari berganti. Aku sudah sedikit melupakan kejadian memalukan yang ku alami beberapa hari kemarin. Ya, aku memang mudah melupakan semua hal yang kuanggap tidak penting, termasuk saat laki-laki jelek itu meninggalkanku sendirian. Di kelas yang berkelompok ini, aku dan mereka tengah asik menonton film Recident Evil di notebook Sifa.
            Bayangan seseorang yang ku kenal muncul dilayar notebook. Agha.
            “Bisa bicara?” Aku menoleh kebelakang. Ada perasaan dongkol yang seketika menyeruak ketika melihatnya.
            “Untuk apa?” balasku sinis. Dia terdiam tanpa ekspresi dan aku tahu dia menungguku. Kuhela nafasku panjang. Beranjak dari himpitan Sifa dan Rasti. Dan mengikutinya keluar kelas. “Kamu mau bilang apa? Bukannya kemarin kamu  sendiri yang pergi?”
            “Bisa nanti ikut aku?”
            “Kemana?”
            “Ke rumah aku. Aku kenalin ke orang tuaku.”
            “Buat apa? Memangnya aku siapa kamu?”
            “Kamu pacar aku.” Katanya tegas.
Aku tertegun. Angin bertiup membelai sebagian sisi wajahku. Apa yang baru saja aku dengar? Apa yang dia katakan? Pikiranku mulai menyusun teori-teori kemungkinan tentang semua ini. Hanya lelucon kah? Ia tersenyum, seakan yakin bahwa aku tidak akan menolak. Tapi memang itu, aku tidak akan menolak. Ia masih sempat mengacak-acak rambutku sebelum berlalu melewatiku, berjalan santai dengan tangan disalam saku celananya.
            Aku berlari kembali ke kelas. Duduk disamping Rasti. Kupeluk dia. Layar notebook bukan lagi fokus utama bagi mereka, melainkan kedatanganku. Kuceritakan apa yang baru saja terjadi denganku. Sesuatu yang begitu mengagetkanku, juga mereka. Pesan singkat dan permohonan dalam meteor jatuh itu terwujud. Kini mereka semua bergantian menyoraki yang lebih mirip menggodaku.
***
            Akhirnya, aku bukan lagi satu-satunya dari mereka yang menyandang status single. Kini aku sudah memiliki Agha, dialah pangeranku. Yang lebih sering ku sebut sebagai pangeran iblis. Tapi entah karna apa, aku dan Agha jarang bertemu. Mungkin dia terlalu sibuk dengan lombanya. Aku mencoba mengerti itu. Kesibukan Agha membawaku lebih dekat dengan Rival. Sifa yang juga sedang mengikuti lomba kimia, menjadikan aku dan Rival sama-sama sendirian. Ku berdoa dalam hati, semoga perasaan ini tidak berubah. Aku dan dia hanya teman. Aku pun tidak mungkin mengkhianati Agha maupun Sifa, sahabatku.
            “Hey, sendirian? Agha mana?”
            “Ehh kamu Val, Agha lagi pembimbingan seperti biasa, kalau Sifa lagi pembimbingan kimia, kan?” tanyaku balik sekedar basa-basi.
Ia mengangguk, “Agha ikut lomba apa?”
            “Lomba fotografer.”
            Dalam hitungan jam, aku dan Rival terjebak dalam percakapan yang menyenangkan, membuatku lupa akan waktu. Ku lihat jam digital di layar ponsel– 21.00.
            “Emm, Val aku pulang dulu ya, sudah jam sembilan.”
            “Aku antar. Enggak baik, perempuan pulang sendirian jam segini.”
            “Terserah, kalau enggak ngerepotin.” Setengah jam, kuhabiskan di perjalanan. Pintu gerbang itu sudah menyambut kedatanganku. Kuucapkan selamat malam akhirnya, setelah sebelumnya terjebak dalam ke salah tingkahan masing-masing. Suara sepeda motor iu perlahan menghilang bersama dengan pintu rumah yang kututup rapat.
            Ku buka jendela kamar. Menatap langit yang beberapa hari ini terus terlihat cerah. Tiba-tiba perhatianku teralih ke sebuah album foto. Kuperhatikan satu persatu foto didalamnya. Persahabatan kami sejak kelas satu SMA dan berjalan hampir tiga tahun. Memang baru sebentar, tapi terasa begitu erat. Apapun kami lalui bersama, saat satu terpuruk yang lain berusaha menariknya berdiri. Perjanjian dan impian itu terlintas begitu saja dibenakku. Sebuah kesepakatan gila yang kami buat asal-asalan. Sepuluh tahun lagi. Benar, sepuluh tahun lagi dalam keadaan seperti apapun, kita berlima akan berusaha untuk bertemu di bawah Menara Tokyo. Kesepakatan itu berawal saat aku mengatakan akan kuliah diluar kota, begitu juga Sifa. Akhirnya Ema mengusulkan, sepuluh tahun lagi kita akan bertemu luar negeri. “Menara Tokyo!!” Aku membenarkan. Diiringi dengan suara tawa, kami jadikan itu impian kami.
***
            “Ada apa ini? Kenapa mereka?” gumamku sesaat setelah melihat Sifa berjalan berdua dengan Anggid. “Dimana Rasti? Bukannya tadi Rasti masuk sekolah, tapi kenapa Anggid malah pulang bareng Sifa bukan Rasti?” Ku ambil ponsel di saku jasku, mencari nomer Rasti dan menghubunginya. Aku benci harus menunggu nada tunggu panjang. Nada yang tidak akan berhenti sebelum dia mengangkatnya.
            “Rasti?”
            “Iya, apa Sep?” balasnya.
            “Kamu dimana?”
            “Aku di tempat biasa.”
            “Sama siapa?”
            “Sendiri. Kenapa?” Mendengar jawaban itu segera kumatikan ponselku. Aku melesat ke tempat Rasti berada, aku ingin tanya tentang semua ini. Apa maksud Anggid dan Sifa? Kurang dari dua puluh menit, aku sampai. Aku begitu tercekik menemukan, Agha dan Rasti tengah makan es krim berdua. Tuhan, ada apa ini?, pikirku. Kakiku melangkah lemas. Aku berjalan mendekati mereka. Berdiri diantara dua orang yang tengah asik dengan bercengkrama sambil menikmati sendokan-sendokan es krim.
            “Agha .. Rasti..” panggilku pelan setengah menahan tangis. Terlihat jelas wajah Rasti yang kaget. Segera di dorong kursinya ke belakang lalu berdiri. Dia terdiam, begitu juga Agha yang masih duduk dengan wajah bersalahnya. Ia menunduk, tidak seperti biasanya.
            “Rasti, kamu kok disini bareng Agha, kalian berdua …”
            “Bukan. Aku cuman nemenin Agha aja, tadi dia kelihatan sedih.”
            “Ras, nanti malam bisa enggak kita berlima kumpul dirumahku. Ada yang mau aku omongin sama kalian.” potongku. Rasti mengangguk. Aku berbalik dan melangkah pergi sambil kutahan airmataku. Samar-samar kudengar gerbakan meja yang keras dari meja Rasti, dan ku yakin itu ulah Agha.
            Malam persidangan akhirnya tiba. Bahkan langit ikut menyaksikan babak penentuan ini. tidak ada satupun bintang yang ingin menjadi saksi bahkan penonton. Langit mendung. Gumpalan awan mulai terbentuk, dan angin menunjukan sebentar lagi hujan akan mengguyur bumi. Melihat mereka semua terdiam diatas tempat tidur, akhirnya aku pun membuka suara, aku menanyakan apakah mereka masih mengingat cita-cita dan impian kami bersama.
            “Ya. Sepuluh tahun lagi kita akan bertemu di Menara Tokyo, kan?” sahut Ema. Aku mengangguk, “Tapi sebelum itu terjadi, aku ingin kita sama-sama saling jujur. Dimulai dari aku, aku minta maaf sama kamu Sifa. Sebenarnya belakangan in, diam-diam aku sering jalan sama Rival. Kau dan Agha seolah sama, kalian terlalu sibuk dan kami terlalu rindu dengan kalian.” Aku melihatnya. Melihat dengan jelas ekspresi mereka yang kaget. Saat itu aku takut, aku takut akan dibenci mereka.
            “Aku juga Sep, aku pernah ada keinginan buat merebut Agha dari kamu.” Aku Rasti kemudian. Kini semua perhatian, beralih pada Rasti yang tertunduk malu dengan buliran air mata yang perlahan turun. Merasakan tekanan yang sama setelah melihatku dan Rasti, akhirnya  Sifa dan Mitha mulai angkat bicara. Mereka berdua mengakui akhir-akhir ini juga mulai menyukai Anggid dan Yanuar. Selesai itu, kami berempat memandangi Ema, karna hanya dia yang masih diam. Apa itu karna hanya dia yang tidak berkhianat atau apa. Entahlah.
            “Mitha, aku suka Teguh.” Terdengar pernyataan yang begitu menyayat. Keheningan menyelimuti kami untuk waktu yang cukup lama. Kami berlima sama-sama menangis. Sama-sama merasa bodoh. Merasakan menjadi manusia paling rendah karna menghancurkan persahabatan, sebuah ikatan kepercayaan hanya demi perasaan sementara. Kami saling pandang kemudian. Pengakuan kami sama-sama membuat kami tertohok. Tidak menyangka betapa dekatnya kita sampai kesalahan yang kami lakukan terkesan sama. Kami berpelukkan, menyadari kesalahan kami masing-masing.
            “Aku punya ide,” celetuk Ema kemudian. Kami semua menoleh ke arahnya dengan mata sembab dan muka jelek.
            “Bagaimana kalau kita putuskan semua pacar kita. Daripada kita pertahankan hubungan sementara tapi menghancurkan persahabatan kita yang selamanya.”
            “Lalu kita akan membawa pasangan kita nanti ketika kita bertemu di bawah Menara Tokyo.” Aku menyimpulkan dengan nada puas. Kami berlima kembali berpelukan, menertawai kebodohan kami masing-masing sambil menceritakan lebih detail tentang kesalahan yang telah kami buat. Tawa terbahak-bahak mulai mengisi kekosongan yang sempat terjadi di ruang pengadilan.
***
            Chotto Matte!! Aku yakin mereka pasti datang.” Cegahku karna dia mulai memaksaku untuk pergi. Kami berdua berdiri tepat di bawah Menara Tokyo. Aku membawa dua kantong tas yang berisi kado untuk mereka. Pernak-pernik asli negri sakura. Dia mulai boan harus menunggu, sebenarnya aku juga. Tapi tidak, ini hari yang telah kami putuskan beberapa tahun lalu lewat surel. Sebelum hari ini berakhir, aku tidak akan pergi. Dan seperti dia mengalah.
            Aku berdiri tercengang melihat siapa yang memanggilku. Mataku membulat. Aku kenal mereka semua. Orang-orang yang tengah mewarnai hidup kami dulu.
            “Kalian?” ucap Mitha sambil menunjuk kepadaku. Aku tertawa pelan. Aku sudah bisa menebaknya. Mereka pasti sama terkejutnya sepertiku. Kami berlima sama-sama tidak percaya bahwa pada akhirnya kami kembali pada laki-laki yang sempat kami benci dan kami kutuk. Dan terlebih lagi, kami tidak pernah menyangka bahwa cita-cita khayalan kami dapat terwujud. Dan hari ini kami berdiri disini.
            Watashi wa karera to issho ni kimashita.[1]
      “Kamu bilang apa?” Aku tersenyum sambil menggeleng, dan kembali menumbukan perhatihan pada kembang api di malam hanabi.

zzz



[1]. Saya datang bersama mereka.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

amazing... :D

`t

Insan Gumelar Ciptaning Gusti mengatakan...

domo arigatou gozaimasu :D

Unknown mengatakan...

Coba beneran kita ber10 bisa ktmu dan ngbrol bareng"