Masih seperti biasa. Aku selalu
datang terlalu pagi ke sekolah. Meskipun inginku datang lebih siang, tapi tetap
saja pagi. Keempat temanku inilah yang membuatku bersemangat datang ke sekolah.
Kebersamaan dengan mereka sungguh menyenangkan. Saat susah dan senang, ya
meskipun terkadang kami bertengkar tapi itu tidak bertahan lama. Sebut saja
mereka Sifa, Rasti, Ema, dan Mitha.
Sifa, dia merupakan adik bagi kami.
Usianya yang paling muda dan tingkahnya masih sering kekanak-kanakan. Rasti,
dia satu-satunya anak berkerudung diantara kami, dia pintar, tapi kalau diajak
bicara pasti paling bolot. Entah kenapa, kalau pelajaran dia cepat mengerti,
tapi saat diajak bicara selain pelajaran dia yang paling lama mengerti. Beda
lagi dengan Ema dan Mitha. Kalau Ema, dia dengan mudahnya menemukan topik atau
hal yang membuat kami tertawa. Wajahnya yang merah saat disinggung tentang
pacarnya, menjadi bahan utama kami untuk menggodanya. Dan yang terakhir, Mitha.
Orang paling pendiam. Beda dengan kami berempat yang lebih mirip dengan orang
abnormal kalau sudah berkumpul. Mitha lebih sering tersenyum daripada tertawa.
Tulisannya yang paling rapi menjadi ciri khasnya.
Kemana-mana kami selalu bersama. Dan
banyak kenangan yang sudah kami ciptakan, terlebih lagi saat Windi belum pindah
ke Batam. Masih ku ingat jelas, setiap jam istirahat Windi selalu datang ke
kelas kami. Sebab, hanya Windilah yang kelasnya berbeda denganku dan lainnya.
***
“Aku jatuh cinta.” Kataku malu-malu
dihadapan mereka. Semua mata itu menatapku heran. Apa karna hanya aku dari
mereka berempat yang belum memiliki pacar. Sifa menguncang-guncangkan pundakku.
“Sama siapa? Sama siapa?” tanya
Rasti penasaran. Aku malu. Tanpa sadar aku terus tersenyum sendiri yang membuat
mereka semakin penasaran. Mitha pun angkat suara,
“Agha?”
“Kamu jatuh cinta sama cowok
misterius itu?” Sifa meyakinkan pendengarannya. Aku mengangguk. Ku perhatikan
ekspresi mereka yang terlihat aneh karna penyataanku.
Sebegitu
misteriusnya kah Agha dimata mereka?, pikirku. Hanya dalam hitungan
beberapa detik, Mereka semua tertawa seolah mengerjaiku. Mitha mencolek daguku
dengan tatapan liciknya. Ema dan Rasti merangkul mundakku. Menoleh dan
tersenyum.
“Kita bakalan bantu kamu. Kalau
perlu kita minta bantuan yang lain juga.”
“Siapa?”
“Siapa lagi kalau bukan, Teguh,
Rival, Anggid, dan Yanuar. Mereka cowok, jadi pasti bisa bantuin kamu buat
deket sama Agha. Gimana?” tambah Ema. Ku lirik mereka semua, setengah malu aku
kembali mengganguk dan mereka semua tertawa karnanya.
Setelah mereka semua pulang, aku
berlari ke kamarku. Menenggelamkan wajahku yang memerah dibalik selimut. Dari
tempatku meringkuk, aku bisa melihat taburan bintang dari jendela yang masih
terbuka. Pikiranku penuh dengan sosoknya. Aku tahu dia bukan laki-laki yang normal.
Sikapnya yang dingin, misterius, pendiam, memiliki tatapan yang tajam. Tapi aku
menyukai semua itu. Aku menyukai semua tentangnya. Aku suka dia.
Kuraih ponselku. Ku berbalik dan
membelakangi langit. Satu persatu huruf kususun dalam sebuah pesan. Hanya satu
kalimat. Keputusanku sudah bulat. Aku akan mengatakannya besok. Tak peduli, apa
balasannya meskipun bukan berbaris-baris, yang aku mau cuman dia mengerti.
Mengerti aku menyukainya. Messagge Send. Ku
letakkan ponsel di depan kakiku yang bersila. Ku buat sebuah permohonan kecil.
Permohonan semoga dia benar-benar menjadi miliku. Selesai itu, aku kembali
melihat langit. Sekilas, aku melihat sebuah meteor jatuh. Ku ulangi
permohonanku sekali lagi.
***
Sepulang sekolah, kulambaikan tangan
ke arah mereka yang sudah terlebih dulu pergi ke istana es krim dengan pacar
mereka masing-masing. Aku memang diajak, tapi aku menolak. Ada yang ingin aku
lakukan. Aku juga ingin seperti mereka. Bisa memiliki seseorang yang bisa
mereka sayangi selain teman dan keluarga. Aku juga perempuan.
Aku berlari ke taman belakang.
Sedikit membungkuk sambil mengatur nafas, dan ku dapati seseorang yang tengah
berdiri dengan jas tergantung dipundaknya. Dia menoleh lalu tersenyum saat
melihatku. Mataku membulat. Tubuhku lemas. Kaki kananku mundur selangkah untuk
menyeimbangkan tubuhku yang akan tumbang.
“Agha?” sapaku.
Dia berjalan mendekat, meraih
pergelangan tanganku dan menariknya. Aku mengikutinya dari belakang, tersenyum.
Duduk berdua. Membuatku gugup dan salah tingkah. Aku belum pernah merasakan
jatuh cinta. Apa lagi duduk berdua dengan orang yang ku sukai. Jantungku
berdegup kencang.
“Apa yang mau kamu katakan, dalam
pesanmu kamu bilang ingin bicara sesuatu denganku kan?” Ku remas kedua
tanganku. Berpindah ke depannya dan membungkuk dalam, kusiapkan mentalku
sebelum kukatakan, “Aku menyukaimu!!”
Satu kalimat yang hanya kukatakan
sekali. Saat itu aku benar-benar malu. Ku buka mataku. Dia menghilang. Buru-
buru kutegakkan badanku. Ku sebar pandanganku ke seluruh taman. Aku sendirian.
Badanku benar-benar lumpuh. Ku dekap kakiku.
“Dasar bodoh! Septa bodoh!!” kutukku
sendiri. Airmata membasahi rok sekolahku. Saat itu, aku sangat ingin menelpon
mereka, tapi aku yakin saat ini mereka sedang bersenang-senang, dan aku tidak
ingin merusak semua itu.
Setelah lelah menangis, kuseka
airmataku dengan sapu tangan putih yang entah milik siapa, tertinggal begitu
saja dibangku. Pikiranku buntu. Tanpa banyak berpikir, aku langsung memakainya.
Karna, kedua tanganku sudah kotor dengan rumput bercampur tanah, hasil
pelampiasan kekecewaanku.
***
“Hallo..” balasku dengan suara
sengau.
“Kamu sakit, Sep?” tanya Mitha.
Suaranya terdengar khawatir dengan keadaanku.
“Mitha, aku butuh kalian.” Kataku
bercampur dengan suara tangisan yang kembali pecah. Tak lama kemudian, kamarku
menjadi ramai dengan kedatangan ke empat sahabatku. Mereka duduk dikanan kiri
tempat tidurku. Jendela sengaja kubuka gara udara dapat teganti. Sebagai
penyejuk karna cuaca yang mulai panas. Aku masih terisak dalam dekapan Mitha. Dialah
yang memiliki sikap paling dewasa diantara kami. Sedangkan yang lain mencoba
menenangkanku.
“Kamu ditolak?” tanya Ema pelan. Aku
menggeleng.
“Diterima?” timpal Rasti.
“Enggak.” Akuku.
“Lalu?”
“Saat aku bilang, aku menyukainya,
Agha sudah menghilang. Dia pergi waktu aku bicara.” Jelasku. Tiba-tiba Sifa
tertawa keras ditengah penderitaanku. Satu pukulan melayang ke kepala Sifa dari
Rasti. “Aduhh.. Kok kamu mukul?”
“Kamu ini malah ketawa. Lihat, Septa
tambah sedih, kan? Gak ada peduli-pedulinya.” Protes Rasti. “Maaf-maaf, enggak
lagi. Cuman lucu aja. Ada orang nyatain cinta malah ditinggal pergi. Apa dia
enggak punya perasaan?”
“Sep, sudah jangan nangis. Mungkin
Agha bukan jodoh kamu. Masih ada kita.” Hibur Ema. Jujur, dalam hati aku sangat
sedih. Ini pertama kalinya aku menyatakan perasaanku, tapi ini pertama kali
juga aku dipermalukan seperti ini. Ditinggal pergi. Aku beruntung memiliki
mereka. Selalu ada disaat aku butuh mereka. Ya, aku beruntung. Merekalah
sahabat-sahabatku.
Ku tarik tubuhku keluar dari dekapan
Mitha. Kututp jendela beserta tirainya.
“Kenapa ditutup? Bukannya kamu suka
lihat bintang?” tanya Mitha dengan nada simpati. “Melihat bintang seperti aku
melihatnya. Aku takut melihat bintang jatuh seperti waktu itu, dan teringat
kejadian memalukan ini lagi.” Mereka semua tersenyum menguatkanku.
***
Hari berganti. Aku sudah sedikit
melupakan kejadian memalukan yang ku alami beberapa hari kemarin. Ya, aku
memang mudah melupakan semua hal yang kuanggap tidak penting, termasuk saat
laki-laki jelek itu meninggalkanku sendirian. Di kelas yang berkelompok ini,
aku dan mereka tengah asik menonton film Recident Evil di notebook Sifa.
Bayangan seseorang yang ku kenal
muncul dilayar notebook. Agha.
“Bisa bicara?” Aku menoleh
kebelakang. Ada perasaan dongkol yang seketika menyeruak ketika melihatnya.
“Untuk apa?” balasku sinis. Dia
terdiam tanpa ekspresi dan aku tahu dia menungguku. Kuhela nafasku panjang.
Beranjak dari himpitan Sifa dan Rasti. Dan mengikutinya keluar kelas. “Kamu mau
bilang apa? Bukannya kemarin kamu
sendiri yang pergi?”
“Bisa nanti ikut aku?”
“Kemana?”
“Ke rumah aku. Aku kenalin ke orang
tuaku.”
“Buat apa? Memangnya aku siapa
kamu?”
“Kamu pacar aku.” Katanya tegas.
Aku
tertegun. Angin bertiup membelai sebagian sisi wajahku. Apa yang baru saja aku dengar? Apa yang dia katakan? Pikiranku
mulai menyusun teori-teori kemungkinan tentang semua ini. Hanya lelucon kah? Ia
tersenyum, seakan yakin bahwa aku tidak akan menolak. Tapi memang itu, aku
tidak akan menolak. Ia masih sempat mengacak-acak rambutku sebelum berlalu
melewatiku, berjalan santai dengan tangan disalam saku celananya.
Aku berlari kembali ke kelas. Duduk
disamping Rasti. Kupeluk dia. Layar notebook
bukan lagi fokus utama bagi mereka, melainkan kedatanganku. Kuceritakan apa
yang baru saja terjadi denganku. Sesuatu yang begitu mengagetkanku, juga
mereka. Pesan singkat dan permohonan dalam meteor jatuh itu terwujud. Kini
mereka semua bergantian menyoraki yang lebih mirip menggodaku.
***
Akhirnya, aku bukan lagi
satu-satunya dari mereka yang menyandang status single. Kini aku sudah memiliki Agha, dialah pangeranku. Yang lebih
sering ku sebut sebagai pangeran iblis. Tapi entah karna apa, aku dan Agha
jarang bertemu. Mungkin dia terlalu sibuk dengan lombanya. Aku mencoba mengerti
itu. Kesibukan Agha membawaku lebih dekat dengan Rival. Sifa yang juga sedang
mengikuti lomba kimia, menjadikan aku dan Rival sama-sama sendirian. Ku berdoa
dalam hati, semoga perasaan ini tidak berubah. Aku dan dia hanya teman. Aku pun
tidak mungkin mengkhianati Agha maupun Sifa, sahabatku.
“Hey, sendirian? Agha mana?”
“Ehh kamu Val, Agha lagi
pembimbingan seperti biasa, kalau Sifa lagi pembimbingan kimia, kan?” tanyaku
balik sekedar basa-basi.
Ia
mengangguk, “Agha ikut lomba apa?”
“Lomba fotografer.”
Dalam hitungan jam, aku dan Rival
terjebak dalam percakapan yang menyenangkan, membuatku lupa akan waktu. Ku
lihat jam digital di layar ponsel– 21.00.
“Emm, Val aku pulang dulu ya, sudah
jam sembilan.”
“Aku antar. Enggak baik, perempuan
pulang sendirian jam segini.”
“Terserah, kalau enggak ngerepotin.”
Setengah jam, kuhabiskan di perjalanan. Pintu gerbang itu sudah menyambut
kedatanganku. Kuucapkan selamat malam akhirnya, setelah sebelumnya terjebak
dalam ke salah tingkahan masing-masing. Suara sepeda motor iu perlahan
menghilang bersama dengan pintu rumah yang kututup rapat.
Ku buka jendela kamar. Menatap
langit yang beberapa hari ini terus terlihat cerah. Tiba-tiba perhatianku
teralih ke sebuah album foto. Kuperhatikan satu persatu foto didalamnya.
Persahabatan kami sejak kelas satu SMA dan berjalan hampir tiga tahun. Memang
baru sebentar, tapi terasa begitu erat. Apapun kami lalui bersama, saat satu
terpuruk yang lain berusaha menariknya berdiri. Perjanjian dan impian itu
terlintas begitu saja dibenakku. Sebuah kesepakatan gila yang kami buat
asal-asalan. Sepuluh tahun lagi. Benar, sepuluh tahun lagi dalam keadaan
seperti apapun, kita berlima akan berusaha untuk bertemu di bawah Menara Tokyo.
Kesepakatan itu berawal saat aku mengatakan akan kuliah diluar kota, begitu
juga Sifa. Akhirnya Ema mengusulkan, sepuluh tahun lagi kita akan bertemu luar
negeri. “Menara Tokyo!!” Aku membenarkan. Diiringi dengan suara tawa, kami
jadikan itu impian kami.
***
“Ada apa ini? Kenapa mereka?”
gumamku sesaat setelah melihat Sifa berjalan berdua dengan Anggid. “Dimana
Rasti? Bukannya tadi Rasti masuk sekolah, tapi kenapa Anggid malah pulang
bareng Sifa bukan Rasti?” Ku ambil ponsel di saku jasku, mencari nomer Rasti
dan menghubunginya. Aku benci harus menunggu nada tunggu panjang. Nada yang
tidak akan berhenti sebelum dia mengangkatnya.
“Rasti?”
“Iya, apa Sep?” balasnya.
“Kamu dimana?”
“Aku di tempat biasa.”
“Sama siapa?”
“Sendiri. Kenapa?” Mendengar jawaban
itu segera kumatikan ponselku. Aku melesat ke tempat Rasti berada, aku ingin
tanya tentang semua ini. Apa maksud Anggid dan Sifa? Kurang dari dua puluh
menit, aku sampai. Aku begitu tercekik menemukan, Agha dan Rasti tengah makan
es krim berdua. Tuhan, ada apa ini?,
pikirku. Kakiku melangkah lemas. Aku berjalan mendekati mereka. Berdiri
diantara dua orang yang tengah asik dengan bercengkrama sambil menikmati
sendokan-sendokan es krim.
“Agha .. Rasti..” panggilku pelan
setengah menahan tangis. Terlihat jelas wajah Rasti yang kaget. Segera di
dorong kursinya ke belakang lalu berdiri. Dia terdiam, begitu juga Agha yang
masih duduk dengan wajah bersalahnya. Ia menunduk, tidak seperti biasanya.
“Rasti, kamu kok disini bareng Agha,
kalian berdua …”
“Bukan. Aku cuman nemenin Agha aja,
tadi dia kelihatan sedih.”
“Ras, nanti malam bisa enggak kita
berlima kumpul dirumahku. Ada yang mau aku omongin sama kalian.” potongku.
Rasti mengangguk. Aku berbalik dan melangkah pergi sambil kutahan airmataku.
Samar-samar kudengar gerbakan meja yang keras dari meja Rasti, dan ku yakin itu
ulah Agha.
Malam persidangan akhirnya tiba.
Bahkan langit ikut menyaksikan babak penentuan ini. tidak ada satupun bintang
yang ingin menjadi saksi bahkan penonton. Langit mendung. Gumpalan awan mulai
terbentuk, dan angin menunjukan sebentar lagi hujan akan mengguyur bumi.
Melihat mereka semua terdiam diatas tempat tidur, akhirnya aku pun membuka
suara, aku menanyakan apakah mereka masih mengingat cita-cita dan impian kami
bersama.
“Ya. Sepuluh tahun lagi kita akan
bertemu di Menara Tokyo, kan?” sahut Ema. Aku mengangguk, “Tapi sebelum itu
terjadi, aku ingin kita sama-sama saling jujur. Dimulai dari aku, aku minta
maaf sama kamu Sifa. Sebenarnya belakangan in, diam-diam aku sering jalan sama
Rival. Kau dan Agha seolah sama, kalian terlalu sibuk dan kami terlalu rindu
dengan kalian.” Aku melihatnya. Melihat dengan jelas ekspresi mereka yang
kaget. Saat itu aku takut, aku takut akan dibenci mereka.
“Aku juga Sep, aku pernah ada
keinginan buat merebut Agha dari kamu.” Aku Rasti kemudian. Kini semua
perhatian, beralih pada Rasti yang tertunduk malu dengan buliran air mata yang
perlahan turun. Merasakan tekanan yang sama setelah melihatku dan Rasti,
akhirnya Sifa dan Mitha mulai angkat
bicara. Mereka berdua mengakui akhir-akhir ini juga mulai menyukai Anggid dan
Yanuar. Selesai itu, kami berempat memandangi Ema, karna hanya dia yang masih
diam. Apa itu karna hanya dia yang tidak berkhianat atau apa. Entahlah.
“Mitha, aku suka Teguh.” Terdengar
pernyataan yang begitu menyayat. Keheningan menyelimuti kami untuk waktu yang
cukup lama. Kami berlima sama-sama menangis. Sama-sama merasa bodoh. Merasakan
menjadi manusia paling rendah karna menghancurkan persahabatan, sebuah ikatan
kepercayaan hanya demi perasaan sementara. Kami saling pandang kemudian.
Pengakuan kami sama-sama membuat kami tertohok. Tidak menyangka betapa dekatnya
kita sampai kesalahan yang kami lakukan terkesan sama. Kami berpelukkan,
menyadari kesalahan kami masing-masing.
“Aku punya ide,” celetuk Ema kemudian.
Kami semua menoleh ke arahnya dengan mata sembab dan muka jelek.
“Bagaimana kalau kita putuskan semua
pacar kita. Daripada kita pertahankan hubungan sementara tapi menghancurkan
persahabatan kita yang selamanya.”
“Lalu kita akan membawa pasangan
kita nanti ketika kita bertemu di bawah Menara Tokyo.” Aku menyimpulkan dengan
nada puas. Kami berlima kembali berpelukan, menertawai kebodohan kami
masing-masing sambil menceritakan lebih detail tentang kesalahan yang telah
kami buat. Tawa terbahak-bahak mulai mengisi kekosongan yang sempat terjadi di
ruang pengadilan.
***
“Chotto
Matte!! Aku yakin mereka pasti datang.” Cegahku karna dia mulai memaksaku
untuk pergi. Kami berdua berdiri tepat di bawah Menara Tokyo. Aku membawa dua
kantong tas yang berisi kado untuk mereka. Pernak-pernik asli negri sakura. Dia
mulai boan harus menunggu, sebenarnya aku juga. Tapi tidak, ini hari yang telah
kami putuskan beberapa tahun lalu lewat surel. Sebelum hari ini berakhir, aku
tidak akan pergi. Dan seperti dia mengalah.
Aku berdiri tercengang melihat siapa
yang memanggilku. Mataku membulat. Aku kenal mereka semua. Orang-orang yang
tengah mewarnai hidup kami dulu.
“Kalian?” ucap Mitha sambil menunjuk
kepadaku. Aku tertawa pelan. Aku sudah bisa menebaknya. Mereka pasti sama
terkejutnya sepertiku. Kami berlima sama-sama tidak percaya bahwa pada akhirnya
kami kembali pada laki-laki yang sempat kami benci dan kami kutuk. Dan terlebih
lagi, kami tidak pernah menyangka bahwa cita-cita khayalan kami dapat terwujud.
Dan hari ini kami berdiri disini.
“Watashi wa karera to issho ni
kimashita.[1]”
“Kamu bilang apa?” Aku tersenyum
sambil menggeleng, dan kembali menumbukan perhatihan pada kembang api di malam
hanabi.
zzz
3 komentar:
amazing... :D
`t
domo arigatou gozaimasu :D
Coba beneran kita ber10 bisa ktmu dan ngbrol bareng"
Posting Komentar