Senin, 11 Februari 2013

HELL [!]

“Aku benci kakak!!” teriakku geram dihadapan perempuan yang umurnya sekitar dua tahun lebih tua dariku. Mataku menatapnya. Wajah lembut itu terkadang membuatku merasa kesal sendiri, aku benci sikapnya yang sok baik. Ku hentakkan kakiku keluar dari kamarnya menuju kamarku sendiri yang hanya bersebelahan dengan kamarnya. Pintu kubanting keras. Semua buku pelajaran tak luput dari kemarahanku.
“Aku benci kakak!!!” teriakku lebih keras.

            Benar. Dulu aku amat menyayanginya. Bagiku dia kakak sempurna, sempurna akan segalanya. Tapi pemikiran itu sirna sudah. Aku yakin dulu, aku terlalu berlebihan ketika menilainya. Bagiku sekarang dia hanya seorang kakak yang mengambil kasih sayang orang tua hanya untuk dirinya sendiri.
“Andai saja aku bisa hidup dengan lebih mudah. Enggak perlu mengucapkan kata-kata lagi, kan? Aku juga enggak perlu nangis lagi, kan?” keluhku pada boneka beruang dengan garis biru dan oranye. 
            Ini semua terjadi sejak kepergian Rudi, ayahku. Sejak itu Mirna selalu mementingkan semua urusan Marsa daripadaku. Segalanya selalu Marsa. Apa yang Marsa mau selalu dikabulkannya hanya dalam waktu sekejab. Sedangkan aku? Aku harus merengek berkali-kali baru Mirna akan mengabulkannya. Kadang terlintas dibenakku, kalau aku ini mungkin bukan anak kandung mereka, dan Marsa bukan kakakku. Atau aku hanya anak kandung dari ayah dan bukan anak kandung ibu. Ku banting kotak musik cokelat hadiah dari Mirna saat hari ulang tahunku ke sebelas tahun. Semuanya berantakkan. Ya, kamarku lebih mirip disebut kapal pecah daripada kamar untuk saat ini.
            Ku buka jendela kamarku. Malam ini kulihat langit begitu cerah. Kutarik kursi belajarku ke balkon kamar. Kaki kugantung di besi pembatas balkon. Bintang-bintang berkelip menyapaku. Aku tersenyum. Entah kenapa dari dulu aku sangat menyukai bintang. Aku selalu merasa senang dan tenang ketika malam bertabur bintang datang. Aku tersenyum.
            “Lihat bintang?” sapa seseorang yang kukenal. Ku jawab dengan dehaman singkat dan terus menatap langit penuh berlian.
“Apa nama bintang itu?” Ia duduk disampingku sambil menunjuk satu bintang paling terang. “Venus.” Balasku ketus. Aku masih cukup marah untuk kejadian tadi siang.
“Masih marah?” Aku hanya diam. Mulutku terasa berat menjawab pertanyaannya yang menyebalkan. “Masih suka berkhayal bisa dapat satu bintang dilangit terus kamu pasang di kamar? Atau kamu kangen ayah, makanya kamu lihat bintang disini?” lanjutnya. Aku mendengus kesal.
“Iya! Iya! Iya! Aku lagi lihat bintang, aku masih marah, khayalanku masih sama– masih ingin memasang bintang di kamarku, dan iya, aku kangen ayah. Aku kangen perhatian ayah yang sekarang enggak pernah aku dapetin dari keluarga ini! Puas!!” bentakku kasar. Nafasku kembali berantakkan. Dadaku kembang kempis saat keluar meninggalkan dirinya sendiri.
***
            “Kenapa hari ini masih suasana liburan? Liburan mirip penjara.” Gerutuku setengah sadar diatas tempat tidur.  Selimut kusibakkan. Berjalan keluar kamar tanpa mencuci muka terlebih dahulu. “Pagi sayang?” sapa Mirna dari meja makan. Dahi kukernyitkan menanggapi sapaan Mirna dan Marsa yang tersenyum disebelahnya.
            “Adek, ayo sarapan bareng. Sekarang hari ulang tahunmu, kan?” lanjut Marsa. Langkahku terhenti di tiga anak tangga terakhir. Aku tersentak untuk beberapa detik. Sungguh, aku tidak menyangka dia ingat hari ulang tahunku, bahkan aku sendiri lupa kalau hari ini hari ulang tahunku.
            Kutarik kursi sedikit kebelakang. Satu piring nasi goreng udang kesukaanku sudah siap. Sangat menggiyurkan. Tanpa peduli pandangan dua perempuan di depanku, aku melalap habis sarapanku. Mungkin, sekitar lima belas menit kemudian, piring itu sudah bersih. Kututup makanku dengan segelas air putih dan satu buah jeruk seperti biasa.
            “Kamu mau minta kado apa?” tanya Mirna lembut. Aku menoleh, “Liburan ke pantai. Atau ke rumah nenek di desa. Aku bosan disini, aku mau liburan.” Jawabku antusias. Beberapa saat, mataku bergerak ke kanan-kiri memandangi Mirna dan Marsa yang saling bermain mata.
            “Tapi kenapa harus kesana? Kenapa kita tidak membuat acara pesta ulang tahun ke 17 mu disini?” Kulempar buah jerukku yang masih setengah bagian ke arah mangkuk sayur.
            “Lalu buat apa ibu bertanya aku minta apa kalau setelah aku jawab, ibu malah bilang yang lain? Aku enggak minta buat jalan-jalan keluar negri kan? Aku cuman minta ke pantai atau liburan ke rumah nenek.”
            “Hellen, perjalanan ke sana itu membutuhkan waktu yang lama. Perjalanannya pasti melelahkan. Kasihan kakakmu kalau dia kecapekan. Kalau dirumah kan …”
            “Hallah! Selalu kakak! Kakak dan kakak lagi. Semua kakak. Kado ulang tahunku aja sampai harus mempertimbangkan tentang dia. Bukan dia yang menyetir kan? Lalu bagaimana dia bisa capek?”
            “Karna kakakmu …”
            “Bu..” potong Marsa.
            “Apa? Kenapa berhenti?”
            “Aa, maksud ibu, karna kakak sudah punya ide buat pesta ulang tahunmu.” Aku berdecak lidah dan meninggalkan mereka berdua. Suara hentakkan kakiku diatas tangga menggambarkan kekesalanku yang sudah menumpuk. Diperjalanan menuju kamar pun aku tak henti-hentinya menggerutu dan mengutuk habis-habisan.
            Aku memang butuh  pencerahan. Semuanya tampak gelap buatku. Rumah seterang ini pun aku rasa sangat gelap. Mungkin aku bisa tersesat, jatuh, dan hilang entah kemana. Tangan kutelentangkan di lantai kamar. Pandanganku lurus ke langit yang nampak jelas dari jendela kamar yang terbuka. Aku suka melihat langit. Kulihat jam doraemon diatas meja belajar. Baru pukul dua siang. Ku pasang headphone. Pilihan lagu pengiring tidur, kusiapkan dalam playlist khusus. Dan aku mulai hilang dalam beberapa lagu yang samar-samar berhenti meraung ditelingaku.
***
            “Helleeeeeeennnn!!!” teriak ibuku marah. Aku hanya terpaku dengan amarah yang  masih kutahan. Dadaku kembang kempis dengan nafas yang idak normal. Aku menatap tajam Mirna yang sama tajamnya denganku. “Ini bukan salahku!!” balasku buru-buru.
            “Hellen, tolong ibu nak. Jangan buat ibu semakin pusing. Ibu sudah terlalu pusing dengan urusan kantor, lalu dengan kemarahanmu gara-gara ibu tidak jadi merayakan ulang tahunmu, sekarang masih ditambah kamu buat ulah.”
            “Sudah kukatakan ini bukan salahku!!”
            “Lalu kalau bukan salahmu, lalu siapa? Marsa?”
            “Mungkin. Dia juga bisa meminumnya kan?”
            “Jangan gila kamu Hellen. Ibu sengaja membeli kopi-kopi itu untuk para rekan bisnis ibu, dan sekarang kamu buka dan kamu acak-acak semua. Apa yang kamu cari di dalam kantong kopi itu? Hadiah mainan? Jawab Hellen. Jawab ibu!” Aku terdiam. Gigi kugertakkan bergantian.
            “Kenapa selalu aku? Aku enggak suka kopi. Ibu lupa itu?! Bagaimana bisa orang yang enggak suka kopi bisa minum kopi? Kenapa ibu sekarang lebih menyayangi kakak, apapun kesalahan di rumah ini selalu aku yang disalahkan. Apa aku bukan anak ibu dan ayah? Iya kan. Aku bukan anak ibu kan makanya ibu enggak pernah sayang lagi sama aku. Iya kan?” desakku. Aku tercekik. Nafasku tercekat saat ibu menamparku. Pertama kali menamparku. Apa ini? Air mataku keluar. Untuk saat ini aku tidak sanggup kalau masih disuruh menahan, menyeka pun percuma pasti akan terus keluar.
            Aku berlari ke taman belakang. Duduk meringkuk didekat kandang anjing peliharaanku. Dia Jack, kado dari ayahku saat ulang tahunku ke 14. Ulang tahun terakhirku bersama ayah. Ku buka kandang Jack. Ku peluk Jack. Bulu cokelat tebalnya kuelus lembut. Aku selalu berlari kesini saat aku memiliki masalah. Yang aku tahu sekarang, Jack–lah temanku.
            “Adek..” panggilnya. Energiku terkuras sudah. Aku sama sekali butuh seseorang. Tamparan itu begitu menyakitkan untukku, apalagi ini hanya karna masalah kantong-kantong kopi. Tangisanku menjadi, saat tangan Marsa meraih pundakku dan mendekapnya. Ku lepaskan pelukkanku dari jack dan membalas dekapan Marsa. Aku seakan mendapatkan sosok kakak yang ku banggakan dulu.
            “Kalau ingin menangis, menangis saja. Enggak pa-pa yang penting kamu lega.” Mendengar itu, tangisanku pecah. Isak tangisku tercekat ditenggorokan. Sakit. Pelukkanku semakin erat. “Kenapa ibu nampar aku kak? Sebegitu bencinya kah ibu sama aku?” tanyaku ragu. Untuk sementara kami berdua hanya diam, sementara Jack tertidur dipangkuanku.
            “Ibu sayang kamu kok. Dia marah gara-gara kamu bilang kalau kamu bukan anak ibu dan ayah. Kamu anak kandung mereka. Kamu pun adik kandungku. ” Aku menggeleng lemah,
            “Bukan gitu. Aku benci sikap ibu yang pilih kasih. Aku benci ibu yang lebih mementingkan kakak dan melupakanku. Aku ingin kakak yang dulu. Aku benci kakak yang selalu mendapat perhatian ibu sedangkan aku enggak. Apa yang kakak mau, selalu dituruti. Bahkan untuk pergi ke rumah teman aja, kakak harus dianter, sedangkaan aku yang mau pergi lebih jauh dari kakak malah disuruh pergi sendiri. Ibu enggak adil kak. Gak adil!!” balasku setengah terisak. Kurasakan dia juga menangis. Tetesan airmatanya jatuh dipelipis mataku.
                                                                                ***
            “Hellen stop! Jaga emosimu. Jangan seperti anak kecil ingat umurmu sekarang sudah 17 tahun. Kenapa kamu mukul kakakmu sampai kepalanya berdarah? Apa? Apa alasanmu sekarang?” sergah ibuku murka.  Ku lempar stick drumku. Ibu menarik tanganku yang sempat membuatku sedikit kehilangan keseimbangan. “Jangan pergi, ayo jelaskan!”
            “Apa yang harus aku jelaskan? Toh, nanti ibu juga lebih bela kakak, kan? Lalu apa gunanya aku bercerita dan memberi penjelasan?” Suasana hening sesaat. Kami hanya bisa saling mengatupkan mulut masing-masing. Kulirik sinis Marsa yang msaih sibuk dengan kepalanya yang berdarah gara-gara pukulan stick drumku.
            “Ibu heran. Kenapa kamu sekarang brutal dan emosimu selalu meledak-ledak tidak karuan begini, kamu kenapa Hell?”
            “Ibu beneran mau tahu? Aku benci kakak dan ibu. Aku benci semua perhatian ibu ke kakak yang berlebihan. Semuanya. Ibu enggak adil. Ibu pilih kasih.” Teriakku. Ku lihat, disudut mata Mirna, ada airmata yang ditahannya. Aku pun akhirnya memalingkan pandanganku. Sungguh, aku tidak kuat menatap mata sendu itu terlalu lama. Benarkan ini? Tolong beritahu aku?
            “Lalu apa yang kamu mau sekarang?”
            “Aku mau dia mati! Aku benci kakak!” ucapku menggebu-gebu. Entah apa yang merasuki pikiranku. Aku begitu puas saat selesai mengucapkannya, aku ingin dia mati. Aku lihat dengan jelas ekspresi wajah dua orang itu begitu terkejut dengan jawabanku. Yang tak lama kemudian, Marsa meraung kesakitan, bukan kepalanya tapi perutnya. Tergeletak begitu saja dilantai dan ibu secepat kilat meluruskan tubuhnya. Berteriak seperti orang kesurupan memanggil Pak Rus, supir pribadi ibu. Tak lama, Pak Rus masuk dan menggedong kak Marsa keluar. Ibu memalingkan pandangan ke arahku yang masih diam mematung dengan wajah bingung. “Semoga apa yang kamu minta tidak terjadi. Itu doa ibu sekarang.” Ucapnya dan berlari menyusul Pak Rus. Sementara aku …
***
            Hari sudah larut malam tapi ibu belum juga pulang. Sudah tiga hari ini kakak opname di Rumah Sakit. Ibu pun hanya pulang untuk mandi, ganti baju, dan membawa beberapa baju ganti untuk Marsa dan pergi lagi. Bahkan untuk menyapaku sekalipun tidak sempat. Apa dia terlalu marah, padaku? Kadang penyesalan itu muncul. Ya, aku menyesal mengatakan itu, saat aku teringat perlakuan baiknya padaku.
            Aku menyelinap di bagasi mobil, terlalu mudah bagiku melakukan ini. Pikiranku acuh dengan tempat sempit yang membuat badanku sakit, bagiku yang penting bisa ke Rumah Sakit tanpa ketahuan. Karna aku tidak tahu dimana kakak dirawat, ibu tidak pernah mau cerita.
            Aku bisa melihat tulisan Rumah Sakit dimana kak Marsa dirawat. Kutunggu sampai Pak Rus dan Mirna keluar. Beberapa menit setelah mereka keluar, aku mengikuti mereka. Aku heran. Kenapa mereka berjalan kemari, inikan bagian untuk operasi, jangan-jangan. Pikiranku mulai melantur. Langkah kaki kupercepat. Didepan ruang Adenium 88, aku berhenti. Satu orang yang tengah terbaring lemah dan wanita yang lumayan tua disampingnya. Ku buka pintu itu perlahan dan ku dengarkan percakapan mereka yang bisa ku dengar meski samar-samar.
            “Bu, Hellen masih enggak tau kan kalau dua hari lagi aku operasi ginjal? Kalau dia tanya, bilang aja aku butuh perawatan karna aku lagi tifus atau apa gitu, jangan bilang kalau aku mau operasi bu. Aku enggak mau dicemas atau apa?” pinta Marsa.
            “Tapi…”
            “Tolong bu, aku mohon.”
Dunia seakan berhenti. Aku tersentak kaget dengan apa yang barusan ku dengar. “Kakak terkena gagal ginjal?” gumamku. Kakiku lemas. Tertunduk disamping tempat duduk.
            “Kakak… Kenapa?”
***
            Apapun! Aku akan lakukan apapun agar kakak bisa sembuh. Aku enggak mau seumur hidup, harus hidup dalam penyesalan seperti ini. Aku enggak mau. Tolong katakan sekarang juga, ini semua cuman bohong, kan? Aku cuman mimpi. Tolong Tuhan, beritahu aku ini cuman mimpi!!, batinku terakhir bersamaan dengan kelopak mataku yang mulai menutup akibat obat bius. Sinar lampu ruang operasi perlahan gelap, mati, dan …
            Mataku berat. Ruangannya sudah berbeda. “Apa sudah selesai?” gumamku. Kepalaku masih pusing, tapi kenapa aku enggak ngerasa sakit? Apa ini juga efek dari obat biusnya?” Sayup-sayup kudengar suara langkah kaki mendekat, lalu pintu yang terbuka. Satu dokter, dua suster, dan seseorang yang kukenal masuk. Mereka semua membawa satu pasien yang masih tertidur. Meletakkan disampingku. Dia kakakku– kak Marsa.
            Ku pejamkan mataku lagi. Aku juga ingin diperhatikan ibu saat aku terbaring setelah operasi besar ini. Dua..Tiga.. pintu kembali tertutup. Aku yakin sekarang tinggal kami bertiga. Aku, ibu, dan kakak. “Adek.. Adek..” panggil Marsa lembut. Aku menoleh ke kanan. Dia tersenyum setengah menahan sakit habis operasi, sesuatu yang tidak aku rasakan sama sekali daritadi.
            “Kak..”
            “Apa?”
            “Kau harus berterima kasih padaku sekarang.” Kataku sombong.
            “Buat?”
            “Karna aku sudah mendonorkan satu ginjalku untuk kakak. Aku tahu kakak punya gagal ginjal, kan? Makanya aku donorin satu ginjalku buat kakak. Ayo sekarang bilang terima kasih!” Tidak sesuai dugaan. Dua orang itu tertawa. Seolah menghina perkataanku barusan.
            “Kenapa? Ada yang lucu?”
            “Ginjal apa? Ginjal yang mana yang kamu donorin?” sahut Mirna.
            “Ya ginjalku, maunya?”
            “Hellen sayang, kamu sama sekali tidak pernah yang namanya donor ginjal. Awalnya mungkin iya, kamu mau, tapi kakak kamu enggak. Dia milih mati daripada dia menerima ginjal dari kamu. Menurut dia, percuma dia sehat kalau melihat adiknya sakit. Ini semua permainannya. Dia ingin kamu seolah-olah dioperasi, tapi saat kamu selesai dibius, kamu langsung dipindahkan keruangan ini, dan tempatmu digantikan oleh pendonor aslinya. Jadi yang seharusnya berterima kasih itu kamu, bukan Marsa.”
            “Jadi?” tanyaku ulang mencoba memastikan. Kupasang raut sebingung mungkin, sementara mereka masih saja tertawa.
                                                                               
zzz

Tidak ada komentar: