“Aku
benci kakak!!” teriakku geram dihadapan perempuan yang umurnya sekitar dua
tahun lebih tua dariku. Mataku menatapnya. Wajah lembut itu terkadang membuatku
merasa kesal sendiri, aku benci sikapnya yang sok baik. Ku hentakkan kakiku
keluar dari kamarnya menuju kamarku sendiri yang hanya bersebelahan dengan
kamarnya. Pintu kubanting keras. Semua buku pelajaran tak luput dari
kemarahanku.
“Aku
benci kakak!!!” teriakku lebih keras.
Benar. Dulu aku amat menyayanginya. Bagiku dia kakak
sempurna, sempurna akan segalanya. Tapi pemikiran itu sirna sudah. Aku yakin
dulu, aku terlalu berlebihan ketika menilainya. Bagiku sekarang dia hanya
seorang kakak yang mengambil kasih sayang orang tua hanya untuk dirinya
sendiri.
“Andai
saja aku bisa hidup dengan lebih mudah. Enggak perlu mengucapkan kata-kata
lagi, kan? Aku juga enggak perlu nangis lagi, kan?” keluhku pada boneka beruang
dengan garis biru dan oranye.
Ini semua terjadi sejak kepergian Rudi, ayahku. Sejak itu
Mirna selalu mementingkan semua urusan Marsa daripadaku. Segalanya selalu
Marsa. Apa yang Marsa mau selalu dikabulkannya hanya dalam waktu sekejab.
Sedangkan aku? Aku harus merengek berkali-kali baru Mirna akan mengabulkannya.
Kadang terlintas dibenakku, kalau aku ini mungkin bukan anak kandung mereka,
dan Marsa bukan kakakku. Atau aku hanya anak kandung dari ayah dan bukan anak
kandung ibu. Ku banting kotak musik cokelat hadiah dari Mirna saat hari ulang
tahunku ke sebelas tahun. Semuanya berantakkan. Ya, kamarku lebih mirip disebut
kapal pecah daripada kamar untuk saat ini.
Ku buka jendela kamarku. Malam ini kulihat langit begitu
cerah. Kutarik kursi belajarku ke balkon kamar. Kaki kugantung di besi pembatas
balkon. Bintang-bintang berkelip menyapaku. Aku tersenyum. Entah kenapa dari
dulu aku sangat menyukai bintang. Aku selalu merasa senang dan tenang ketika
malam bertabur bintang datang. Aku tersenyum.
“Lihat bintang?” sapa seseorang yang kukenal. Ku jawab
dengan dehaman singkat dan terus menatap langit penuh berlian.
“Apa
nama bintang itu?” Ia duduk disampingku sambil menunjuk satu bintang paling
terang. “Venus.” Balasku ketus. Aku masih cukup marah untuk kejadian tadi
siang.
“Masih
marah?” Aku hanya diam. Mulutku terasa berat menjawab pertanyaannya yang
menyebalkan. “Masih suka berkhayal bisa dapat satu bintang dilangit terus kamu
pasang di kamar? Atau kamu kangen ayah, makanya kamu lihat bintang disini?”
lanjutnya. Aku mendengus kesal.
“Iya!
Iya! Iya! Aku lagi lihat bintang, aku masih marah, khayalanku masih sama– masih
ingin memasang bintang di kamarku, dan iya, aku kangen ayah. Aku kangen
perhatian ayah yang sekarang enggak pernah aku dapetin dari keluarga ini!
Puas!!” bentakku kasar. Nafasku kembali berantakkan. Dadaku kembang kempis saat
keluar meninggalkan dirinya sendiri.
***
“Kenapa hari ini masih suasana
liburan? Liburan mirip penjara.” Gerutuku setengah sadar diatas tempat
tidur. Selimut kusibakkan. Berjalan
keluar kamar tanpa mencuci muka terlebih dahulu. “Pagi sayang?” sapa Mirna dari
meja makan. Dahi kukernyitkan menanggapi sapaan Mirna dan Marsa yang tersenyum
disebelahnya.
“Adek, ayo sarapan bareng. Sekarang
hari ulang tahunmu, kan?” lanjut Marsa. Langkahku terhenti di tiga anak tangga
terakhir. Aku tersentak untuk beberapa detik. Sungguh, aku tidak menyangka dia
ingat hari ulang tahunku, bahkan aku sendiri lupa kalau hari ini hari ulang
tahunku.
Kutarik kursi sedikit kebelakang.
Satu piring nasi goreng udang kesukaanku sudah siap. Sangat menggiyurkan. Tanpa
peduli pandangan dua perempuan di depanku, aku melalap habis sarapanku.
Mungkin, sekitar lima belas menit kemudian, piring itu sudah bersih. Kututup
makanku dengan segelas air putih dan satu buah jeruk seperti biasa.
“Kamu mau minta kado apa?” tanya
Mirna lembut. Aku menoleh, “Liburan ke pantai. Atau ke rumah nenek di desa. Aku
bosan disini, aku mau liburan.” Jawabku antusias. Beberapa saat, mataku
bergerak ke kanan-kiri memandangi Mirna dan Marsa yang saling bermain mata.
“Tapi kenapa harus kesana? Kenapa
kita tidak membuat acara pesta ulang tahun ke 17 mu disini?” Kulempar buah
jerukku yang masih setengah bagian ke arah mangkuk sayur.
“Lalu buat apa ibu bertanya aku
minta apa kalau setelah aku jawab, ibu malah bilang yang lain? Aku enggak minta
buat jalan-jalan keluar negri kan? Aku cuman minta ke pantai atau liburan ke rumah
nenek.”
“Hellen, perjalanan ke sana itu
membutuhkan waktu yang lama. Perjalanannya pasti melelahkan. Kasihan kakakmu
kalau dia kecapekan. Kalau dirumah kan …”
“Hallah! Selalu kakak! Kakak dan
kakak lagi. Semua kakak. Kado ulang tahunku aja sampai harus mempertimbangkan
tentang dia. Bukan dia yang menyetir kan? Lalu bagaimana dia bisa capek?”
“Karna kakakmu …”
“Bu..” potong Marsa.
“Apa? Kenapa berhenti?”
“Aa, maksud ibu, karna kakak sudah
punya ide buat pesta ulang tahunmu.” Aku berdecak lidah dan meninggalkan mereka
berdua. Suara hentakkan kakiku diatas tangga menggambarkan kekesalanku yang
sudah menumpuk. Diperjalanan menuju kamar pun aku tak henti-hentinya menggerutu
dan mengutuk habis-habisan.
Aku memang butuh pencerahan. Semuanya tampak gelap buatku.
Rumah seterang ini pun aku rasa sangat gelap. Mungkin aku bisa tersesat, jatuh,
dan hilang entah kemana. Tangan kutelentangkan di lantai kamar. Pandanganku
lurus ke langit yang nampak jelas dari jendela kamar yang terbuka. Aku suka
melihat langit. Kulihat jam doraemon diatas meja belajar. Baru pukul dua siang.
Ku pasang headphone. Pilihan lagu pengiring tidur, kusiapkan dalam playlist
khusus. Dan aku mulai hilang dalam beberapa lagu yang samar-samar berhenti
meraung ditelingaku.
***
“Helleeeeeeennnn!!!” teriak ibuku
marah. Aku hanya terpaku dengan amarah yang
masih kutahan. Dadaku kembang kempis dengan nafas yang idak normal. Aku
menatap tajam Mirna yang sama tajamnya denganku. “Ini bukan salahku!!” balasku
buru-buru.
“Hellen, tolong ibu nak. Jangan buat
ibu semakin pusing. Ibu sudah terlalu pusing dengan urusan kantor, lalu dengan
kemarahanmu gara-gara ibu tidak jadi merayakan ulang tahunmu, sekarang masih
ditambah kamu buat ulah.”
“Sudah kukatakan ini bukan
salahku!!”
“Lalu kalau bukan salahmu, lalu
siapa? Marsa?”
“Mungkin. Dia juga bisa meminumnya
kan?”
“Jangan gila kamu Hellen. Ibu
sengaja membeli kopi-kopi itu untuk para rekan bisnis ibu, dan sekarang kamu
buka dan kamu acak-acak semua. Apa yang kamu cari di dalam kantong kopi itu? Hadiah
mainan? Jawab Hellen. Jawab ibu!” Aku terdiam. Gigi kugertakkan bergantian.
“Kenapa selalu aku? Aku enggak suka
kopi. Ibu lupa itu?! Bagaimana bisa orang yang enggak suka kopi bisa minum
kopi? Kenapa ibu sekarang lebih menyayangi kakak, apapun kesalahan di rumah ini
selalu aku yang disalahkan. Apa aku bukan anak ibu dan ayah? Iya kan. Aku bukan
anak ibu kan makanya ibu enggak pernah sayang lagi sama aku. Iya kan?” desakku.
Aku tercekik. Nafasku tercekat saat ibu menamparku. Pertama kali menamparku. Apa
ini? Air mataku keluar. Untuk saat ini aku tidak sanggup kalau masih disuruh
menahan, menyeka pun percuma pasti akan terus keluar.
Aku berlari ke taman belakang. Duduk
meringkuk didekat kandang anjing peliharaanku. Dia Jack, kado dari ayahku saat
ulang tahunku ke 14. Ulang tahun terakhirku bersama ayah. Ku buka kandang Jack.
Ku peluk Jack. Bulu cokelat tebalnya kuelus lembut. Aku selalu berlari kesini
saat aku memiliki masalah. Yang aku tahu sekarang, Jack–lah temanku.
“Adek..” panggilnya. Energiku terkuras
sudah. Aku sama sekali butuh seseorang. Tamparan itu begitu menyakitkan
untukku, apalagi ini hanya karna masalah kantong-kantong kopi. Tangisanku
menjadi, saat tangan Marsa meraih pundakku dan mendekapnya. Ku lepaskan
pelukkanku dari jack dan membalas dekapan Marsa. Aku seakan mendapatkan sosok
kakak yang ku banggakan dulu.
“Kalau ingin menangis, menangis
saja. Enggak pa-pa yang penting kamu lega.” Mendengar itu, tangisanku pecah.
Isak tangisku tercekat ditenggorokan. Sakit. Pelukkanku semakin erat. “Kenapa
ibu nampar aku kak? Sebegitu bencinya kah ibu sama aku?” tanyaku ragu. Untuk
sementara kami berdua hanya diam, sementara Jack tertidur dipangkuanku.
“Ibu sayang kamu kok. Dia marah
gara-gara kamu bilang kalau kamu bukan anak ibu dan ayah. Kamu anak kandung
mereka. Kamu pun adik kandungku. ” Aku menggeleng lemah,
“Bukan gitu. Aku benci sikap ibu
yang pilih kasih. Aku benci ibu yang lebih mementingkan kakak dan melupakanku.
Aku ingin kakak yang dulu. Aku benci kakak yang selalu mendapat perhatian ibu
sedangkan aku enggak. Apa yang kakak mau, selalu dituruti. Bahkan untuk pergi
ke rumah teman aja, kakak harus dianter, sedangkaan aku yang mau pergi lebih
jauh dari kakak malah disuruh pergi sendiri. Ibu enggak adil kak. Gak adil!!”
balasku setengah terisak. Kurasakan dia juga menangis. Tetesan airmatanya jatuh
dipelipis mataku.
***
“Hellen stop! Jaga emosimu. Jangan
seperti anak kecil ingat umurmu sekarang sudah 17 tahun. Kenapa kamu mukul
kakakmu sampai kepalanya berdarah? Apa? Apa alasanmu sekarang?” sergah ibuku
murka. Ku lempar stick drumku. Ibu menarik tanganku yang sempat membuatku sedikit
kehilangan keseimbangan. “Jangan pergi, ayo jelaskan!”
“Apa yang harus aku jelaskan? Toh,
nanti ibu juga lebih bela kakak, kan? Lalu apa gunanya aku bercerita dan memberi
penjelasan?” Suasana hening sesaat. Kami hanya bisa saling mengatupkan mulut
masing-masing. Kulirik sinis Marsa yang msaih sibuk dengan kepalanya yang
berdarah gara-gara pukulan stick
drumku.
“Ibu heran. Kenapa kamu sekarang
brutal dan emosimu selalu meledak-ledak tidak karuan begini, kamu kenapa Hell?”
“Ibu beneran mau tahu? Aku benci
kakak dan ibu. Aku benci semua perhatian ibu ke kakak yang berlebihan.
Semuanya. Ibu enggak adil. Ibu pilih kasih.” Teriakku. Ku lihat, disudut mata
Mirna, ada airmata yang ditahannya. Aku pun akhirnya memalingkan pandanganku.
Sungguh, aku tidak kuat menatap mata sendu itu terlalu lama. Benarkan ini?
Tolong beritahu aku?
“Lalu apa yang kamu mau sekarang?”
“Aku mau dia mati! Aku benci kakak!”
ucapku menggebu-gebu. Entah apa yang merasuki pikiranku. Aku begitu puas saat
selesai mengucapkannya, aku ingin dia mati. Aku lihat dengan jelas ekspresi
wajah dua orang itu begitu terkejut dengan jawabanku. Yang tak lama kemudian,
Marsa meraung kesakitan, bukan kepalanya tapi perutnya. Tergeletak begitu saja
dilantai dan ibu secepat kilat meluruskan tubuhnya. Berteriak seperti orang
kesurupan memanggil Pak Rus, supir pribadi ibu. Tak lama, Pak Rus masuk dan
menggedong kak Marsa keluar. Ibu memalingkan pandangan ke arahku yang masih
diam mematung dengan wajah bingung. “Semoga apa yang kamu minta tidak terjadi.
Itu doa ibu sekarang.” Ucapnya dan berlari menyusul Pak Rus. Sementara aku …
***
Hari sudah larut malam tapi ibu
belum juga pulang. Sudah tiga hari ini kakak opname di Rumah Sakit. Ibu pun hanya pulang untuk mandi, ganti
baju, dan membawa beberapa baju ganti untuk Marsa dan pergi lagi. Bahkan untuk
menyapaku sekalipun tidak sempat. Apa dia terlalu marah, padaku? Kadang
penyesalan itu muncul. Ya, aku menyesal mengatakan itu, saat aku teringat
perlakuan baiknya padaku.
Aku menyelinap di bagasi mobil,
terlalu mudah bagiku melakukan ini. Pikiranku acuh dengan tempat sempit yang
membuat badanku sakit, bagiku yang penting bisa ke Rumah Sakit tanpa ketahuan.
Karna aku tidak tahu dimana kakak dirawat, ibu tidak pernah mau cerita.
Aku bisa melihat tulisan Rumah Sakit
dimana kak Marsa dirawat. Kutunggu sampai Pak Rus dan Mirna keluar. Beberapa
menit setelah mereka keluar, aku mengikuti mereka. Aku heran. Kenapa mereka
berjalan kemari, inikan bagian untuk operasi, jangan-jangan. Pikiranku mulai
melantur. Langkah kaki kupercepat. Didepan ruang Adenium 88, aku berhenti. Satu
orang yang tengah terbaring lemah dan wanita yang lumayan tua disampingnya. Ku
buka pintu itu perlahan dan ku dengarkan percakapan mereka yang bisa ku dengar
meski samar-samar.
“Bu, Hellen masih enggak tau kan
kalau dua hari lagi aku operasi ginjal? Kalau dia tanya, bilang aja aku butuh
perawatan karna aku lagi tifus atau apa gitu, jangan bilang kalau aku mau operasi
bu. Aku enggak mau dicemas atau apa?” pinta Marsa.
“Tapi…”
“Tolong bu, aku mohon.”
Dunia
seakan berhenti. Aku tersentak kaget dengan apa yang barusan ku dengar. “Kakak
terkena gagal ginjal?” gumamku. Kakiku lemas. Tertunduk disamping tempat duduk.
“Kakak… Kenapa?”
***
Apapun!
Aku akan lakukan apapun agar kakak bisa sembuh. Aku enggak mau seumur hidup,
harus hidup dalam penyesalan seperti ini. Aku enggak mau. Tolong katakan
sekarang juga, ini semua cuman bohong, kan? Aku cuman mimpi. Tolong Tuhan,
beritahu aku ini cuman mimpi!!, batinku terakhir bersamaan dengan kelopak
mataku yang mulai menutup akibat obat bius. Sinar lampu ruang operasi perlahan
gelap, mati, dan …
Mataku berat. Ruangannya sudah
berbeda. “Apa sudah selesai?” gumamku. Kepalaku masih pusing, tapi kenapa aku
enggak ngerasa sakit? Apa ini juga efek dari obat biusnya?” Sayup-sayup
kudengar suara langkah kaki mendekat, lalu pintu yang terbuka. Satu dokter, dua
suster, dan seseorang yang kukenal masuk. Mereka semua membawa satu pasien yang
masih tertidur. Meletakkan disampingku. Dia kakakku– kak Marsa.
Ku pejamkan mataku lagi. Aku juga
ingin diperhatikan ibu saat aku terbaring setelah operasi besar ini.
Dua..Tiga.. pintu kembali tertutup. Aku yakin sekarang tinggal kami bertiga.
Aku, ibu, dan kakak. “Adek.. Adek..” panggil Marsa lembut. Aku menoleh ke
kanan. Dia tersenyum setengah menahan sakit habis operasi, sesuatu yang tidak
aku rasakan sama sekali daritadi.
“Kak..”
“Apa?”
“Kau harus berterima kasih padaku
sekarang.” Kataku sombong.
“Buat?”
“Karna aku sudah mendonorkan satu
ginjalku untuk kakak. Aku tahu kakak punya gagal ginjal, kan? Makanya aku
donorin satu ginjalku buat kakak. Ayo sekarang bilang terima kasih!” Tidak
sesuai dugaan. Dua orang itu tertawa. Seolah menghina perkataanku barusan.
“Kenapa? Ada yang lucu?”
“Ginjal apa? Ginjal yang mana yang
kamu donorin?” sahut Mirna.
“Ya ginjalku, maunya?”
“Hellen sayang, kamu sama sekali
tidak pernah yang namanya donor ginjal. Awalnya mungkin iya, kamu mau, tapi
kakak kamu enggak. Dia milih mati daripada dia menerima ginjal dari kamu.
Menurut dia, percuma dia sehat kalau melihat adiknya sakit. Ini semua
permainannya. Dia ingin kamu seolah-olah dioperasi, tapi saat kamu selesai
dibius, kamu langsung dipindahkan keruangan ini, dan tempatmu digantikan oleh
pendonor aslinya. Jadi yang seharusnya berterima kasih itu kamu, bukan Marsa.”
“Jadi?” tanyaku ulang mencoba
memastikan. Kupasang raut sebingung mungkin, sementara mereka masih saja
tertawa.
zzz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar