Minggu, 17 Februari 2013

Ku kembalikan pada kenyatan

          Ergo, tetangga baruku yang menyenangkan. Murah senyum, pintar, dan mampu menarik perhatian kaum hawa seperti biasa. Termasuk aku yang sudah terjaring oleh kebaikkannya. Baru sekitar dua bulan dia menempati kamar nomer 20 yang sudah lama kosong. Seolah gak peduli dengan gossip yang beredar, dia mengambil kamar itu. Padahal kakek sudah menawarinya kamar lain yang lebih terurus, tapi dengan sopan ia menolaknya. Bagiku dia laki – laki dewasa yang menarik. Apa karna jurusan kuliah kami sedikit ada kaitannya. Dia mahasiswa jurusan arsitektur dan aku sendiri design interior.  Setengah tahun lagi, kurang setengah tahun lagi kami berdua di wisuda. Aku harap saat itu semua berjalan lancar.
                                                                            ***
          Ku tutup pintu dan ku kunci. Di ujung tangga, laki – laki itu sudah berdiri seperti biasa
. Ku lempar senyuman termanisku saat itu dan ku tahu dia menyambutnya. Ku injak satu per satu anak tangga. Berjajar di sampingnya. “Apa ini hanya perasaanku? Ini memang hanya miliku.” Pikirku singkat dan masuk dimobil miliknya.
          Kampus kami masih satu daerah. Saat dia sedang berbaik hati, dia pasti mengantarkanku. Membawakan barang – barangku yang setumpuk. Kadang aku berpikir jahil, dan mengatakan Ergo adalah pacarku dalam hati. Aku memang baru bertemu dengannya sebentar, baru seumur jagung. Tapi kedekatanku sangat jauh. Tanpa malu, takut, dan canggung aku selalu menceritakan masalah – masalahku, begitupun dengannya. Termasuk ketika ia harus meninggalkan cinta pertamanya demi mengambil jurusan arsitektur, yang katanya saat itu gak ada di kotanya dulu. Cerita itu sempat membuatku ingin mundur dan menjauh darinya. Mungkin karna aku sudah biasa dengannya, saat ku coba menjauh, aku merasa merindukannya. Amat merindukannya.
          Ku ambil barang bawaanku dari gendongan tangannya, dan ku ucapkan salam perpisahan. Berbelok dan naik ke tangga sebelah kanan. Ku putar badanku sekitar 1200, membalas lambaian tangannya dengan senyuman tipis, lalu melanjutkan langkahku.
--
          Aku bisa bertemu dengannya hanya saat berangkat, pulang kuliah, dan saat di apartement, selebihnya enggak. Dia terlalu sibuk dengan gambar – gambar yang membuat kepalaku selalu sakit. Lebih sakit daripada migren. Ku putar pensil ditanganku. Mencari ispirasi gabungan – gabungan warna dan bentuk yang cocok untuk tugasku kali ini. “Mungkin warna gold sama maroon cocok?” gumamku. Ku habiskan berjam – jam hanya dengan pensil warna, kertas, dan software – software pendukung.
          Aku bukan gadis yang berasal dari keluarga kaya. Hanya cukup dan mampu. Dari kecil aku selalu bercita – cita mempunyai rumah yang gak sebegitu besar tapi berhalaman luas. Dengan berbagai macam tanaman dan sebuah ayunan, agar aku bisa melihat bintang kala malam. Dan sebuah pondok untuk bersantai, dan sewaktu – waktu saat pelangi datang membelah langit, aku bisa menikmatinya sambil bersantai.
          Aku menyukai warna – warna cerah seperti biru langit atau hijau daun. Dalam bayanganku waktu kecil, rumah warna seperti itu melambangkan kedamaian dan kesejukkan. Akan ku bangun lima kamar didalamnya. Satu untuk orang tuaku, satu untuk aku, satu lagi untuk adikku yang entah kapan akan datang, dan dua untuk kamar tamu. Semua perabotan, warna cat dinding akan ku design sendiri. Akan ku bangun rumahku yang nyaman, rumah yang selalu aku cita – citakan. Karna aku tahu bagaimana tinggal dirumah yang berkedaan sempit, dan sama sekali gak bisa disebut sebagai rumah kala mestinya.
                                                                            ***
          Pemandangan yang indah di sisi jalan menuju apartemen. Cahaya lampu kuning membayangi jalanku menuju pulang. Kakiku mulai bengkak. Gak ada satupun angkutan umum yang lewat. Ponselnya pun mati. Sekarang riwayatku untuk jalan sejauh – jauhnya untuk hari ini. Semoga saja besok aku masih bisa berjalan seperti biasa. Ku toleh berkali – kali jam di ponselku. “Pantas saja jalan ini sepi, ini sudah terlalu malam. Apa iya, aku jalan selama itu? Selama ini kupikir aku selalu bisa berjalan lebih cepat?”.  Sorot lampu jauh itu menyilaukan pandanganku. Ku putuskan berhenti. “Sepertinya aku kenal..”. mobil silver berhenti tepat disampingku, kaca mobil turun perlahan dan memperjelas siapa yang berada dibalik kemudi. “Ergo?” kataku kaget. Dia tersenyum menyuruhku masuk. Segera ku buka tanpa berpikir lagi. Sedikit kuturunkan posisi jok mobil agar ku bisa meluruskan kakiku yang mulai kaku. Tiba – tiba Ergo menyodorkan jaket kulit miliknya, ku rampas cepat dan ku gunakan untuk menutupi tubuhku bagian depan yang mulai membeku, terserang dinginnya malam. “Bukannya kamu udah pulang?”
          “Aku tunggu kamu di apartement buat makan malam bareng kakek, tapi kamu malah enggak ada. Ini mata kuliah kamu yang padat atau kamu yang berniat buat keluyuran?” ledeknya. Aku tertawa garing menanggapi ucapannya barusan,. Mobil melaju pelan. Ku perhatikan lampu – lampu kota yang semakin terlihat terang mengalahkan gelapnya malam.
                                                                            ***
          Aroma wangi begitu menggodaku untuk segera membuka mata. Ku lirik jam beker yang belum tepat pukul enam pagi. Setengah sadar ku cari darimana sumber aroma lezat yang berhasil membuatku bangkit dari ranjang. “Selamat pagi.”, mataku terbuka lebar seketika mendengar suara yang gak asing mengucapkan selamat pagi padaku. Aku masih diam mematung diposisiku, sementara dia sudah mondar – mandir membawa sarapan ke meja makan kecil.
          “Hey, apa kamu enggak mau sarapan denganku?”, aku tersadar dan bergegas berjalan kerahnya dan duduk tepat didepannya. Ku perhatikan seisi ruangan, “Apa aku salah masuk kamar?” batinku. “Kamu gak salah masuk kamar. Tadi malam kamu ketiduran di mobilku. Terus aku gendong kamu sampai sini. Setelah itu, niatku, aku mau langsung kembali ke kamarku, tapi kunci apartementku ketinggalan di mobil. Berhubung badanku udah capek karna harus gendong kamu juga, jadi enggak aku ambil dan aku ngampung tidur dikamar kamu.” Jelasnya. Aku tersedak. Ku teguk air putih cepat – cepat. Sungguh aku harap, saat ini aku pingsan karna tersedak, dibawa kerumah sakit, dan dinyatakan koma selama bertahun – tahun. Oh Tuhan, dia tinggal di apartementku semalam? Apa dia melihat cara tidurku yang berantakan?.
          “Tapi tenang, aku enggak ngapa – ngapain kamu kok. Aku tidur di sofa. Jadi jangan berpikir yang aneh – aneh ya.” tambahnya buru – buru. Dia benar – benar bisa membaca pikiranku yang mulai gak jelas. “Emm, nanti malam mau ikut aku ke pasar malam? Ya, hanya sekedar bersenang – senang, weekend bersama. Mau?”, aku masih bingung setengah bahagia. Laki – laki itu mengajakku jalan – jalan?. Aku menggangguk dan balas mengajaknya, “Apa hari ini kuliahmu kosong?”
          “Ya, ada apa?” balasnya sambil memasukkan sesendok nasi goreng.
          “Mau ikut aku ke Gereja. Aku ingin mencari suasana baru buat tugasku kali ini.”
          “Gereja? Kenapa harus kesana, bukannya enggak ada hubungannya sama kuliahmu, kan?”
          “Memang. Tapi ide itu bisa muncul darimana saja, kan? Jadi?”
          “Oke. Pagi ini aku ikut denganmu, dan nanti malam kamu harus ikut denganku. Deal?”
          “Deal!!” jawabku yakin.
                                                                            ***
          Ergo mengikuti petunjukku dengan baik. Aku ingin melihat sendiri Gereja yang dikatakan banyak orang. Gereja yang berada di dekat danau, dengan banyak burung bangau putih. Gereja itu memang kecil tapi indah, dan aku ingin membuktikannya sendiri. Jalannya memang berliku tajam, seolah menuju kesana harus berani menguji nyali. Aku menimatinya.
          Satu jam perjalanan, akhirnya sampai juga. Aku segera turun dan berlari mendekati pintu masuk Gereja. Kakiku terhenti, pandanganku lurus kedepan. Sepasang pengantin bergaun putih yang cantik dan mempelai pria yang terlihat gagah. Begitu serasi. “Ada apa?”
          “Kamu lihat itu, disana ada pernikahan. Indah ya?”
          “Ya, tapi sayang sudah selesai. Lalu?”
          “Aku selalu membayangkan, suatu saat nanti aku bisa menikah dengan seseorang yang aku cintai dan mencintaiku ditempat seperti ini. Dengan ayahku sebagai pendampingnya.” Aku tertawa kecil. “Ada apa? Kenapa tertawa? Itu impian yang indah, apa salahnya bermimpi seperti itu?”
          “Sayangnya.. Ya, sayang sekali. Saat ini pendamping yang ku inginkan sudah pergi. Kembali kesisi Tuhan. Sudah lama, mimpi itu aku buang.”, Ergo menarikku masuk kedalam. Berdiri diantara orang – orang yang berbahagia. Tak lama setelah Gereja mulai sepi, Ergo menarikku kembali, lalu berdiri di depan altar. “Tuhan, aku berdoa untuk sahabat terbaikku yang sekarang berdiri di sebelahku ini. Pertemukanlah dia dengan belahan jiwa yang sudah Engkau persiapkan. Buatlah dia suatu hari nanti bisa berdiri ditempat ini dengan pasangan hidupnya dan mengikat janji suci sehidup semati. Amin.” ucap Ergo sambil mengaitkan jemari dan memejamkan kedua matanya. Sementara aku hanya terpaku memandangi wajahnya. Ada dua hal yang kurasakan saat ini. Pertama, aku senang saat dia menarikku kemari dan berdoa untukku. Dan yang kedua, aku mnegerti, aku kembali disadarkan pada kenyataan bahwa dia hanya menganggapku sebagai sahabat, gak lebih dari itu. Terbukti dari ucapannya barusan.
          Kami berdua keluar dari Gereja dan berjalan – jalan disekeliling danau.ku tarik tubuhku sedikit menjauh darinya. Tapi kenapa dia malah menarikku kembali lebih dekat, diapun malah menggenggam tanganku. Seolah menahanku agar tetap di sampingnya. Apa – apaan ini?. Aku bercermin diair danau yang jernih. Siapakah aku sebenarnya? Aku ingin kembali seperti dulu saat aku belum mengenalnya. Aku tahu, masa lalu adalah masa lalu dan aku gak bisa terus berharap pada masa lalu. Ku harap, aku bisa menemukan belahan jiwaku, karna ku yakin Tuhan telah menyiapkan satu laki – laki terbaik untukku. “Apakah dia orangnya?” gumamku.
          Hari mulai beranjak gelap. Aku dan Ergo segera meninggalkan tempat ini dan menuju tempat yang tadi direkomendasikannya. Aku duduk tertunduk menikmati alunan masuk. Hanya instrument – instrument kecil yang menenangkan. Aku penasaran. Selama ini aku belum pernah sekalipun datang ke pasar malam seperti ini. Aku terlalu sibuk dengan impian – impianku, bahkan untuk sekedar berjalan – jalan menghibur diripun aku gak sempat.
          Sekotak popcorn baru saja ku beli. Ergo membawa sebotol air mineral. Air mineral memang minuman favoritnya. Jaman sekarang, aku sudah jarang menemui orang yang selalu berusaha hidup sehat sepertinya. Disini, Ergo memperkenalkan banyak permainan khas pasar malam seperti komidi putar yang belum pernah kucoba sama sekali. Kepalaku cukup pusing setelah beberapa menit berputar diatas kuda – kuda kayu bercatkan warna dominat gold. Tapi aku menikmatinya. Aku sedikit terhibur dengan berada ditempat menyenangkan ini. Aku tahu itu …
                                                                            ***
          “Hey Ka, kenalin ini Karel. Dia orang yang dulu aku ceritain.”
          “Oh dia. Salam kenal, aku Yuka.” Balasku lembut. Gadis cantik dan anggun. Pantas, Ergo belum bisa melupakan cinta pertamanya. Secara cinta pertamanya begitu sempurna seperti Karel. “Kuliah disini? Ambil jurusan apa?” tanyaku, “Ambil jurusan arsitek, sama seperti Ergo. Kamu sendiri?”, “Design interior.”. Berada ditengah – tengah mereka ada yang kurasakan, perasaan aneh dan sedikit menyakitkan. Kuputuskan untuk meninggalkan mereka dengan alasan tugas. Gak seperti biasa, aku enggak berani berbalik dan menunggunya melambaikan tangan, lalu membalas dengan senyuman. Mungkin, dibalik punggungku mereka sedang tertawa akrab. Baru kemarin aku yakin dengan apa yang kurasakan, tapi hanya selang 12 jam semua berubah. Berubah.
--
          Mata kuliahku hari ini selesai satu jam lebih cepat dari biasanya. Akhirnya aku punya alasan untuk menghindar darinya. Kuliahku pun sudah hampir selsai. Tugas akhir yang sudah hampir selesai ini, bisa aku serahkan secepatnya dan berlibur sambil menunggu pengumuman wisuda. Ya, aku punya alasan. Sibuk dengan pikiranku sendiri, aku sampai gak sadar dengan langkah kakiku. Ada yang menarik erat pinggangku. Aku terselamatkan. “Kamu bisa celaka.”, “Ergo?” ucapku meyakinkan. Dia melepaskan tangannya setelah memastikan keseimbanganku sudah kembali.
          “Iya, aku Ergo. Kamu kenapa? Sakit? Enggak hati – hati banget kalau jalan.”
          “Maaf, aku tadi ngelamun.” balasku ringan
          “Ngelamun? Ngelamun apa?”. Aku menggeleng dan meninggalkannya. Mungkin kakiku sedikit terkilir, cukup sakit buat berjalan. Ergo segera menyusulku, menarik dan memutar tubuhku, “Kamu kenapa? Marah sama aku?”.
          “Mana bisa aku marah sama kamu? Apa alasan yang tepat buat aku marah sama kamu?”
          “Kalau gitu, bisa ikut aku sebentar, kita kekantin.”, belum sempat aku menjawab, Ergo sudah mendorongku kearah kantin dan aku masih saja menurut.
          Aku duduk, sementara Ergo memesan makanan ringan seperti biasa. Aku yakin suatu saat nanti aku pasti merindukan saat seperti ini. Dimana aku hanya berdua, duduk bersma, dan memulai obrolan yang menyenangkan. “Tapi aku siapa? Siapa dia? Bukan siapa – siapa Yuka.” desahku. Tak lama, Ergo datang dengan senampan makanan. Dia memandangi wajahku yang lusuh, “Ada apa?”. “Kamu masih suka Karel?”. Dia menggeleng, ada sedikit perasaan lega. “Aku sudah enggak menyukainya atau mencintainya. Ada seseorang yang kusukai. Bagiku, Karel hanya masa lalu. Masa lalu yang harus ku lupakan, kamu tahu itu, kan?”. “Siapa yang yang kamu sukai?” tanyaku penasaran, dia hanya tersenyum. Belum lama, Ergo langsung melompat keluar dari kursi ke arah Karel yang kebetulan lewat, dan meninggalkanku begitu saja.
                                                                            ***
          Ku kirim tugas design – desingku lewat email. Selesai itu, ku pack baju – bajuku ke dalam ransel. Ini keputusanku. Kucuci mukaku yang lusuh. Sambil mengeringkan wajahku, aku berjalan ke arah suara ketukan pintu. Handukku spontan jatuh, dan kutangkap tubuh laki – laki yang hampir jatuh. Ku bopong tubuhnya ke tempat tidur. Segera kuambil kotak obat dan ku bersihkan luka – lukanya. “Kamu kok bisa babak belur gini?”, “Biasa laki – laki. “. Ku hentikan pertanyaanku, aku enggak mau bermimpi lagi. Segera ku selesaikan urusanku, agar Ergo bisa istirahat. Wajahnya terlihat begitu lusuh.
          Matahari masih lama bersinar. Ku buka sedikit tirai jendela, ku lihat bentangan langit yang luas, bulan sudah enggak sepenuhnya bercahaya, warnanya mulai memutih. Ku campakkan dan kuraih ranselku. Kereta memang akan berangkat masih dua jam lagi. Tapi ada urusan yang ingin aku lakukan. Apartement ini akan kosong untuk beberapa waktu kedepan, tapi suatu saat nanti aku akan kembali kesini. Ku tutup pintu pelan dan saat itu aku sudah meninggalkan semua, termasuk orang yang ku sayangi.
                                                                            ***
          Geraja itu sepi. Berdiri didepan altar seperti waktu itu, tapi bedanya saat ini aku sendirian. Beberapa saat, ku tinggalkan sebagian impianku disana. Angin danau berhembus masuk melalu pintu dan lurus menujuku.  Masih ada waktu untuk ketempat itu. Hanya ada permainan tanpa manusia. Berdiri di dekat pagar pembatas komidi putar. Teringat jelas keceriaan itu. Aku pun melakukan hal yang sama, ku tinggalkan kenangan itu disini. Aku harap aku enggak pernah membawa kenangan – kenangan itu sama sekali. Dan hanya akan ku temukan kembali di tempat aku meninggalkannya.
          Aku duduk terdiam di dalam kereta api. Ku buang pandanganku ke jendela. Kereta mulai berjalan meski pelan. Aku gak bisa berbalik arah, namun aku masih berharap kamu akan menyusulku. Menunjukkan seperti apa perasaanmu sesungguhnya. Aku bukan orang yang mudah menyerah dalam hidup. Tapi untuk kali ini ini saja, aku menyerah pada kenyataan bahwa aku sulit bertahan pada hatimu yang tak meyakinkan. Kereta mulai berjalan lebih cepat. Dan aku harap kereta ini akan sampai sebelum matahari meninggi. “Selamat tinggal komidi putar. Selamat tinggal Gereja. Bisakah aku kembali pada kebaikanmu?” [ ]


#YUI17Melodies
Tema 16 #MelodiHijauOranye
Theme Song : YUI – Merry go round





*Story of My First Anthology*

Tidak ada komentar: