***
Ku
tutup pintu dan ku kunci. Di ujung tangga, laki – laki itu sudah berdiri
seperti biasa
. Ku lempar senyuman termanisku saat itu dan ku tahu dia
menyambutnya. Ku injak satu per satu anak tangga. Berjajar di sampingnya. “Apa
ini hanya perasaanku? Ini memang hanya miliku.” Pikirku singkat dan masuk
dimobil miliknya.
Kampus
kami masih satu daerah. Saat dia sedang berbaik hati, dia pasti mengantarkanku.
Membawakan barang – barangku yang setumpuk. Kadang aku berpikir jahil, dan
mengatakan Ergo adalah pacarku dalam hati. Aku memang baru bertemu dengannya
sebentar, baru seumur jagung. Tapi kedekatanku sangat jauh. Tanpa malu, takut,
dan canggung aku selalu menceritakan masalah – masalahku, begitupun dengannya.
Termasuk ketika ia harus meninggalkan cinta pertamanya demi mengambil jurusan
arsitektur, yang katanya saat itu gak ada di kotanya dulu. Cerita itu sempat
membuatku ingin mundur dan menjauh darinya. Mungkin karna aku sudah biasa
dengannya, saat ku coba menjauh, aku merasa merindukannya. Amat merindukannya.
Ku
ambil barang bawaanku dari gendongan tangannya, dan ku ucapkan salam
perpisahan. Berbelok dan naik ke tangga sebelah kanan. Ku putar badanku sekitar
1200, membalas lambaian tangannya dengan senyuman tipis, lalu
melanjutkan langkahku.
--
Aku
bisa bertemu dengannya hanya saat berangkat, pulang kuliah, dan saat di
apartement, selebihnya enggak. Dia terlalu sibuk dengan gambar – gambar yang
membuat kepalaku selalu sakit. Lebih sakit daripada migren. Ku putar pensil
ditanganku. Mencari ispirasi gabungan – gabungan warna dan bentuk yang cocok
untuk tugasku kali ini. “Mungkin warna gold sama maroon cocok?” gumamku. Ku
habiskan berjam – jam hanya dengan pensil warna, kertas, dan software –
software pendukung.
Aku
bukan gadis yang berasal dari keluarga kaya. Hanya cukup dan mampu. Dari kecil
aku selalu bercita – cita mempunyai rumah yang gak sebegitu besar tapi
berhalaman luas. Dengan berbagai macam tanaman dan sebuah ayunan, agar aku bisa
melihat bintang kala malam. Dan sebuah pondok untuk bersantai, dan sewaktu –
waktu saat pelangi datang membelah
langit, aku bisa menikmatinya sambil bersantai.
Aku
menyukai warna – warna cerah seperti biru langit atau hijau daun. Dalam
bayanganku waktu kecil, rumah warna seperti itu melambangkan kedamaian dan
kesejukkan. Akan ku bangun lima kamar didalamnya. Satu untuk orang tuaku, satu
untuk aku, satu lagi untuk adikku yang entah kapan akan datang, dan dua untuk
kamar tamu. Semua perabotan, warna cat dinding akan ku design sendiri. Akan ku
bangun rumahku yang nyaman, rumah yang selalu aku cita – citakan. Karna aku
tahu bagaimana tinggal dirumah yang berkedaan sempit, dan sama sekali gak bisa
disebut sebagai rumah kala mestinya.
***
Pemandangan
yang indah di sisi jalan menuju apartemen. Cahaya
lampu kuning membayangi jalanku menuju pulang. Kakiku mulai bengkak. Gak ada
satupun angkutan umum yang lewat. Ponselnya pun mati. Sekarang riwayatku untuk
jalan sejauh – jauhnya untuk hari ini. Semoga saja besok aku masih bisa
berjalan seperti biasa. Ku toleh berkali – kali jam di ponselku. “Pantas saja
jalan ini sepi, ini sudah terlalu malam. Apa iya, aku jalan selama itu? Selama
ini kupikir aku selalu bisa berjalan lebih cepat?”. Sorot lampu jauh itu menyilaukan pandanganku.
Ku putuskan berhenti. “Sepertinya aku kenal..”. mobil silver berhenti tepat
disampingku, kaca mobil turun perlahan dan memperjelas siapa yang berada
dibalik kemudi. “Ergo?” kataku kaget. Dia tersenyum menyuruhku masuk. Segera ku
buka tanpa berpikir lagi. Sedikit kuturunkan posisi jok mobil agar ku bisa
meluruskan kakiku yang mulai kaku. Tiba – tiba Ergo menyodorkan jaket kulit
miliknya, ku rampas cepat dan ku gunakan untuk menutupi tubuhku bagian depan
yang mulai membeku, terserang dinginnya malam. “Bukannya kamu udah pulang?”
“Aku
tunggu kamu di apartement buat makan malam bareng kakek, tapi kamu malah enggak
ada. Ini mata kuliah kamu yang padat atau kamu yang berniat buat keluyuran?”
ledeknya. Aku tertawa garing menanggapi ucapannya barusan,. Mobil melaju pelan.
Ku perhatikan lampu – lampu kota yang semakin terlihat terang mengalahkan
gelapnya malam.
***
Aroma
wangi begitu menggodaku untuk segera membuka mata. Ku lirik jam beker yang
belum tepat pukul enam pagi. Setengah sadar ku cari darimana sumber aroma lezat
yang berhasil membuatku bangkit dari ranjang. “Selamat pagi.”, mataku terbuka
lebar seketika mendengar suara yang gak asing mengucapkan selamat pagi padaku.
Aku masih diam mematung diposisiku, sementara dia sudah mondar – mandir membawa
sarapan ke meja makan kecil.
“Hey,
apa kamu enggak mau sarapan denganku?”, aku tersadar dan bergegas berjalan
kerahnya dan duduk tepat didepannya. Ku perhatikan seisi ruangan, “Apa aku
salah masuk kamar?” batinku. “Kamu gak salah masuk kamar. Tadi malam kamu
ketiduran di mobilku. Terus aku gendong kamu sampai sini. Setelah itu, niatku,
aku mau langsung kembali ke kamarku, tapi kunci apartementku ketinggalan di
mobil. Berhubung badanku udah capek karna harus gendong kamu juga, jadi enggak
aku ambil dan aku ngampung tidur dikamar kamu.” Jelasnya. Aku tersedak. Ku
teguk air putih cepat – cepat. Sungguh aku harap, saat ini aku pingsan karna
tersedak, dibawa kerumah sakit, dan dinyatakan koma selama bertahun – tahun. Oh
Tuhan, dia tinggal di apartementku semalam? Apa dia melihat cara tidurku yang
berantakan?.
“Tapi
tenang, aku enggak ngapa – ngapain kamu kok. Aku tidur di sofa. Jadi jangan
berpikir yang aneh – aneh ya.” tambahnya buru – buru. Dia benar – benar bisa
membaca pikiranku yang mulai gak jelas. “Emm, nanti malam mau ikut aku ke pasar
malam? Ya, hanya sekedar bersenang – senang, weekend bersama. Mau?”, aku masih
bingung setengah bahagia. Laki – laki itu mengajakku jalan – jalan?. Aku
menggangguk dan balas mengajaknya, “Apa hari ini kuliahmu kosong?”
“Ya,
ada apa?” balasnya sambil memasukkan sesendok nasi goreng.
“Mau
ikut aku ke Gereja. Aku ingin mencari suasana baru buat tugasku kali ini.”
“Gereja?
Kenapa harus kesana, bukannya enggak ada hubungannya sama kuliahmu, kan?”
“Memang.
Tapi ide itu bisa muncul darimana saja, kan? Jadi?”
“Oke.
Pagi ini aku ikut denganmu, dan nanti malam kamu harus ikut denganku. Deal?”
“Deal!!”
jawabku yakin.
***
Ergo
mengikuti petunjukku dengan baik. Aku ingin melihat sendiri Gereja yang
dikatakan banyak orang. Gereja yang berada di dekat danau, dengan banyak burung
bangau putih. Gereja itu memang kecil tapi indah, dan aku ingin membuktikannya
sendiri. Jalannya memang berliku tajam, seolah menuju kesana harus berani
menguji nyali. Aku menimatinya.
Satu
jam perjalanan, akhirnya sampai juga. Aku segera turun dan berlari mendekati
pintu masuk Gereja. Kakiku terhenti, pandanganku lurus kedepan. Sepasang
pengantin bergaun putih yang cantik
dan mempelai pria yang terlihat gagah. Begitu serasi. “Ada apa?”
“Kamu
lihat itu, disana ada pernikahan. Indah ya?”
“Ya,
tapi sayang sudah selesai. Lalu?”
“Aku
selalu membayangkan, suatu saat nanti aku bisa menikah dengan seseorang yang
aku cintai dan mencintaiku ditempat seperti ini. Dengan ayahku sebagai
pendampingnya.” Aku tertawa kecil. “Ada apa? Kenapa tertawa? Itu impian yang
indah, apa salahnya bermimpi seperti itu?”
“Sayangnya..
Ya, sayang sekali. Saat ini pendamping yang ku inginkan sudah pergi. Kembali
kesisi Tuhan. Sudah lama, mimpi itu aku buang.”, Ergo menarikku masuk kedalam.
Berdiri diantara orang – orang yang berbahagia. Tak lama setelah Gereja mulai
sepi, Ergo menarikku kembali, lalu berdiri di depan altar. “Tuhan, aku berdoa
untuk sahabat terbaikku yang sekarang berdiri di sebelahku ini. Pertemukanlah
dia dengan belahan jiwa yang sudah Engkau persiapkan. Buatlah dia suatu hari nanti
bisa berdiri ditempat ini dengan pasangan hidupnya dan mengikat janji suci
sehidup semati. Amin.” ucap Ergo sambil mengaitkan jemari dan memejamkan kedua
matanya. Sementara aku hanya terpaku memandangi wajahnya. Ada dua hal yang
kurasakan saat ini. Pertama, aku senang saat dia menarikku kemari dan berdoa
untukku. Dan yang kedua, aku mnegerti, aku kembali disadarkan pada kenyataan bahwa
dia hanya menganggapku sebagai sahabat, gak lebih dari itu. Terbukti dari
ucapannya barusan.
Kami
berdua keluar dari Gereja dan berjalan – jalan disekeliling danau.ku tarik
tubuhku sedikit menjauh darinya. Tapi kenapa dia malah menarikku kembali lebih
dekat, diapun malah menggenggam tanganku. Seolah menahanku agar tetap di sampingnya.
Apa – apaan ini?. Aku bercermin
diair danau yang jernih. Siapakah aku sebenarnya? Aku ingin kembali seperti
dulu saat aku belum mengenalnya. Aku tahu, masa lalu adalah masa lalu dan aku
gak bisa terus berharap pada masa lalu. Ku harap, aku bisa menemukan belahan
jiwaku, karna ku yakin Tuhan telah menyiapkan satu laki – laki terbaik untukku.
“Apakah dia orangnya?” gumamku.
Hari
mulai beranjak gelap. Aku dan Ergo segera meninggalkan tempat ini dan menuju
tempat yang tadi direkomendasikannya. Aku duduk tertunduk menikmati alunan
masuk. Hanya instrument – instrument kecil yang menenangkan. Aku penasaran.
Selama ini aku belum pernah sekalipun datang ke pasar malam seperti ini. Aku terlalu
sibuk dengan impian – impianku, bahkan untuk sekedar berjalan – jalan menghibur
diripun aku gak sempat.
Sekotak
popcorn baru saja ku beli. Ergo membawa sebotol air mineral. Air mineral memang
minuman favoritnya. Jaman sekarang, aku sudah jarang menemui orang yang selalu
berusaha hidup sehat sepertinya. Disini, Ergo memperkenalkan banyak permainan
khas pasar malam seperti komidi putar yang belum pernah kucoba sama sekali. Kepalaku
cukup pusing setelah beberapa menit berputar
diatas kuda – kuda kayu bercatkan warna dominat gold. Tapi aku menikmatinya.
Aku sedikit terhibur dengan berada ditempat menyenangkan ini. Aku tahu itu …
***
“Hey
Ka, kenalin ini Karel. Dia orang yang dulu aku ceritain.”
“Oh
dia. Salam kenal, aku Yuka.” Balasku lembut. Gadis cantik dan anggun. Pantas,
Ergo belum bisa melupakan cinta pertamanya. Secara cinta pertamanya begitu
sempurna seperti Karel. “Kuliah disini? Ambil jurusan apa?” tanyaku, “Ambil
jurusan arsitek, sama seperti Ergo. Kamu sendiri?”, “Design interior.”. Berada
ditengah – tengah mereka ada yang kurasakan, perasaan aneh dan sedikit
menyakitkan. Kuputuskan untuk meninggalkan mereka dengan alasan tugas. Gak
seperti biasa, aku enggak berani berbalik dan menunggunya melambaikan tangan,
lalu membalas dengan senyuman. Mungkin, dibalik punggungku mereka sedang
tertawa akrab. Baru kemarin aku yakin dengan apa yang kurasakan, tapi hanya
selang 12 jam semua berubah. Berubah.
--
Mata
kuliahku hari ini selesai satu jam lebih cepat dari biasanya. Akhirnya aku
punya alasan untuk menghindar darinya. Kuliahku pun sudah hampir selsai. Tugas
akhir yang sudah hampir selesai ini, bisa aku serahkan secepatnya dan berlibur
sambil menunggu pengumuman wisuda. Ya, aku punya alasan. Sibuk dengan pikiranku
sendiri, aku sampai gak sadar dengan langkah kakiku. Ada yang menarik erat
pinggangku. Aku terselamatkan. “Kamu bisa celaka.”, “Ergo?” ucapku meyakinkan.
Dia melepaskan tangannya setelah memastikan keseimbanganku sudah kembali.
“Iya,
aku Ergo. Kamu kenapa? Sakit? Enggak hati – hati banget kalau jalan.”
“Maaf,
aku tadi ngelamun.” balasku ringan
“Ngelamun?
Ngelamun apa?”. Aku menggeleng dan meninggalkannya. Mungkin kakiku sedikit
terkilir, cukup sakit buat berjalan. Ergo segera menyusulku, menarik dan
memutar tubuhku, “Kamu kenapa? Marah sama aku?”.
“Mana
bisa aku marah sama kamu? Apa alasan yang tepat buat aku marah sama kamu?”
“Kalau
gitu, bisa ikut aku sebentar, kita kekantin.”, belum sempat aku menjawab, Ergo
sudah mendorongku kearah kantin dan aku masih saja menurut.
Aku
duduk, sementara Ergo memesan makanan ringan seperti biasa. Aku yakin suatu
saat nanti aku pasti merindukan saat seperti ini. Dimana aku hanya berdua,
duduk bersma, dan memulai obrolan yang menyenangkan. “Tapi aku siapa? Siapa
dia? Bukan siapa – siapa Yuka.” desahku. Tak lama, Ergo datang dengan senampan
makanan. Dia memandangi wajahku yang lusuh, “Ada apa?”. “Kamu masih suka Karel?”. Dia menggeleng, ada sedikit perasaan lega.
“Aku sudah enggak menyukainya atau mencintainya. Ada seseorang yang kusukai.
Bagiku, Karel hanya masa lalu. Masa lalu yang harus ku lupakan, kamu tahu itu,
kan?”. “Siapa yang yang kamu sukai?” tanyaku penasaran, dia hanya tersenyum.
Belum lama, Ergo langsung melompat keluar dari kursi ke arah Karel yang
kebetulan lewat, dan meninggalkanku begitu saja.
***
Ku
kirim tugas design – desingku lewat email.
Selesai itu, ku pack baju – bajuku ke
dalam ransel. Ini keputusanku. Kucuci mukaku yang lusuh. Sambil mengeringkan
wajahku, aku berjalan ke arah suara ketukan pintu. Handukku spontan jatuh, dan
kutangkap tubuh laki – laki yang hampir jatuh. Ku bopong tubuhnya ke tempat
tidur. Segera kuambil kotak obat dan ku bersihkan luka – lukanya. “Kamu kok
bisa babak belur gini?”, “Biasa laki – laki. “. Ku hentikan pertanyaanku, aku
enggak mau bermimpi lagi. Segera ku selesaikan urusanku, agar Ergo bisa
istirahat. Wajahnya terlihat begitu lusuh.
Matahari
masih lama bersinar. Ku buka sedikit tirai jendela, ku lihat bentangan langit
yang luas, bulan sudah enggak sepenuhnya bercahaya, warnanya mulai memutih. Ku campakkan dan kuraih ranselku.
Kereta memang akan berangkat masih dua jam lagi. Tapi ada urusan yang ingin aku
lakukan. Apartement ini akan kosong untuk beberapa waktu kedepan, tapi suatu
saat nanti aku akan kembali kesini. Ku tutup pintu pelan dan saat itu aku sudah
meninggalkan semua, termasuk orang yang ku sayangi.
***
Geraja
itu sepi. Berdiri didepan altar seperti waktu itu, tapi bedanya saat ini aku
sendirian. Beberapa saat, ku tinggalkan sebagian impianku disana. Angin danau
berhembus masuk melalu pintu dan lurus menujuku. Masih ada waktu untuk ketempat itu. Hanya ada
permainan tanpa manusia. Berdiri di dekat pagar pembatas komidi putar. Teringat
jelas keceriaan itu. Aku pun melakukan hal yang sama, ku tinggalkan kenangan
itu disini. Aku harap aku enggak pernah membawa kenangan – kenangan itu sama
sekali. Dan hanya akan ku temukan kembali di tempat aku meninggalkannya.
Aku
duduk terdiam di dalam kereta api. Ku buang pandanganku ke jendela. Kereta mulai
berjalan meski pelan. Aku gak bisa berbalik arah, namun aku masih berharap kamu
akan menyusulku. Menunjukkan seperti apa perasaanmu sesungguhnya. Aku bukan
orang yang mudah menyerah dalam hidup. Tapi untuk kali ini ini saja, aku
menyerah pada kenyataan bahwa aku sulit bertahan pada hatimu yang tak meyakinkan.
Kereta mulai berjalan lebih cepat. Dan aku harap kereta ini akan sampai sebelum
matahari meninggi. “Selamat tinggal komidi putar. Selamat tinggal Gereja. Bisakah
aku kembali pada kebaikanmu?” [ ]
#YUI17Melodies
Tema
16 #MelodiHijauOranye
Theme
Song : YUI – Merry go round
*Story of My First Anthology*
*Story of My First Anthology*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar