Senin, 21 Januari 2013

AR & FR

             Lapangan sepak bola cukup membuat telinga sakit karena kebisingan yang semakin memuncak ketika segerombolan murid-murid cewek berteriak sangat histeris. Pertandingan final antar sekolah ini sudah sering diadakan, Draxton High School selalu mendapatkan gelar sebagai juara bertahan, dan kali ini pun Draxton tak mau kalah dan membuang gelarnya di bidang olahraga begitu saja. Fram, Si kapten menggiring dan mengoper bola dengan begitu lihai. Tak aneh jika dia dipilih sebagai kapten sepak bola sekolah. Teriakan penyemangat mengiringi setiap tendanganya. Bola meluncur ke arah gawang, skor tercipta. Tawa bangganya terlihat jelas saat berlari mengelilingi tengah lapangan, berlagak seperti pemain Barclays di televisi. Pertandingan berakhir dengan skor 4-2 atas Draxton.
              Wajahnya terlihat begitu senang, menyalakan motor, dan meninggalkan tempat parkir. Jaket putih membalut tubuhnya dari angin sore yang mulai menyapa. Menepikan motornya sesaat, merogoh ponsel di saku jaketnya. “Kamu udah pulang? … Di rumah ada makanan enggak?.. Ya udah aku enggak jadi beli.” Menutup ponsel lalu kembali memacu motornya.
                                                                  ***
              “Aku pulang,” teriak Fram sesaat setelah menutup kembali pintu kayu itu. Hidungnya mulai beraksi saat aroma nikmat melewati kedua lubang hidungnya. Fram melesat ke meja makan. Ikan bakar tergeletak di piring panjang dengan hiasan selada dan tomat disisinya. Fram seketika menarik kursi sedikit ke belakang, duduk dan menyantap tanpa menunggu Ar lebih dulu. Kedua orang tua mereka sudah tiada, mereka hanya tinggal bertiga dengan seorang pembantu yang setia dari berbelas tahun lalu.
“Sejak kapan kamu pulang?” celetuk Ar yang membuat Fram tersedak. Diraih gelas berisi air putih dan meneguknya dalam jumlah besar. Ia menepuk-nepuk dadanya sendiri lalu meminum air itu sekali lagi sampai tersedaknya hilang.
“Sialan! Aku bisa mati!” sembur Fram. Ar terkekeh. Menarik kursi dan duduk di depan Fram yang berwajah kesal. Sebenarnya selera makannya sedikit menghilang, tapi rasa lapar yang menggerogoti perutnya dengan mudah mengalahkan gengsinya.
“Maaf -maaf, habis kamu pulang langsung makan. Udah di tugguin, malah ninggal.”
“Bu’, ayo makan. Fram udah duluan,” teriak Ar sambil membalik piring kosong di hadapannya. Wanita separuh baya muncul dari balik pintu. Duduk di samping Ar. Melakukan hal yang sama dengan apa yang baru saja Ar lakukan, mengisi piringnya lalu makan.
              Lampu kamar dihidupkannya. Meraih gitar lalu memainkannya di samping tempat tidur. Headphone menggantung di kepala. Sesekali melirik ke arah mejanya yang berantakan dengan tumpukan buku pelajaran yang selalu di lemparnya asal. Dan itu selalu membuatnya kebingungan saat akan berangkat sekolah besoknya. Fram terus memetik senar gitarnya seiring alunan lagu di telingannya. Kamarnya mirip seperti studio band. Drum, bass, gitar listrik, dan gitar akustik ada di sana memenuhi kamarnya yang tak sebegitu luas.

              Lampu ponselnya menyala, mencuri keseriusan Ar sejenak. Satu pesan. ‘besok aku lihat tugasnya!’. Ar berdeham, berusaha mengerti. Konsentrasinya kembali pada kertas putih bergaris di depannya. Sedikit membungkuk. Masih lima soal lagi yang belum ia selesaikan. Menggaruk-garuk kepala, mencari jawaban yang tepat. Menghitung dan menghitung. Jam analog terus bergerak di ponselnya. Kekuatan matanya berlahan menghilang. Sesekali ia terkantuk, lalu kembali mencoba menyelesaikan tugasnya yang belum selesai, tapi ia terkantuk lagi dan ia benar-benar tertidur.
                                                                            ***
              Langit gelap itu menghilang sudah. Tersapu bersih oleh langit biru dan cahaya matahari yang cerah. Hari yang cerah memang. Ar dan Fram berangkat. Sepotong roti keju dan coklat cukup untuk sarapan mereka pagi itu. Asap knalpot yang tak begitu jelas sudah mewarnai udara menuju sekolah.
              Don dan Max teman se-geng Fram sudah berdiri dengan gelisah di samping pintu kelas. Sambil menjejalkan tangannya di saku celana, Fram berjalan mendahului Ar. Ar hanya menggeleng, masuk kelas, lalu melanjutkan tugasnya yang belum selesai semalam.
“Sebaiknya mereka mengerjakan tugas-tugas itu bukannya ke kantin,” omel Ar pelan ketika tiga laki-laki yang umurnya tak terpaut jauh dengannya itu pergi ke kantin. Sekali lagi, Ar hanya bisa menghela nafas. Setengah berlari Ar pergi ke ruangan yang lumayan jauh dari tempatnya sekarang. Kelas yang sudah lumayan penuh. Sepertinya memang banyak yang belum selesai, batin Ar. Sesekali ia melirik kerjaan temannya yang sama belum selesainya dengannya. Seperti mendapatkan hidayah, Ar langsung menemukan cara mengerjakan soal-soal kemarin. Segera ia mengerjakan lima soal terakhir sebelum hidayah yang ia dapatkan menghilang dan sebelum bel tanda masuk berbunyi.
Tepat waktu. Bell masuk berbunyi keras dari speaker kelas. Mrs. Benson masuk dengan seabrek bawaan di tangannya, belum termasuk tas ransel besar di punggungnya. Meletakkan bawaannya dan langsung menjelaskan materi kemarin yang belum selesai. Suara besar wanita berambut cokelat itu memenuhi seisi ruangan. Ar mengedarkan pandangannya keluar kelas. Mencari sosok yang sudah hampir satu jam belum terlihat. Akhirnya Ar mengeluarkan ponselnya, mengetikkan beberapa kata penting, lalu segera mengirimnya. Ar melirik jam hitam yang melingkar di tangannya. Di tengah keadaan yang tenang dengan pelajaran, tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Mrs. Benson melirik tajam dengan kacamata yang sedikit ia turunkan. Fram berdiri dengan bajunya yang sudah acak-acakkan.
“Darimana kamu?”
“Dari toilet Mrs, perut saya sakit,” alasan Fram seadanya.
“Sana duduk.”Fram berlari kecil menuju mejanya. Pelajaran pun dilanjutkan kembali.
Sebenarnya Mrs. Benson juga tidak begitu peduli dengan ada atau tidaknya Fram dalam kelas. Ia sudah terlanjur kesal dengan muridnya yang satu ini. Tetapi terkadang ia juga tidak bisa memberikan nilai sangat buruk pada Fram karena Mrs. Benson masih melihat dan menghargai sosok Ar, saudaranya, yang sangat sopan dan pandai. Ia merasa serba salah.
              Fram baru saja menempelkan pantatnya di kurs. Rasa bosan sudah menghinggap. Berbisik di telinganya untuk segera keluar dari ruangan itu.Namun sepertinya godaan itu tidak seratus persen berhasil. Fram masih tertahan di tempatnya. Sama seperti Mrs. Benson, sejujurnya ia juga merasa tidak enak dengan saudara kembarnya, Ar. Pipi ditopangnya di sebelah tangannya, dan tangan satunya sibuk menggambar karikatur Mrs. Benson dengan tongkat iblis dan api yang menyala-nyala di sekitarnya. Pandangannya mengarah ke luar pintu. Tiba-tiba seorang gadis manis berambut pirang lewat di depan koridor kelasnya. Fram menarik tubuhnya lebih tegak. Pikirannya seketika lebih segar. Rasa suntuknya hilang. Rasa bosannya menguap. Ia hanya ingin keluar dan bertemu gadis itu. Berkali-kali ia melirik arah jarum jam yang seakan tidak bergerak. Ia mendengus kesal. Ar yang duduk disebelahnya mulai sedikit terusik dengan tingkah Fram yang tidak bisa tenang. Ar melirik, menangkap ada reaksi gelisah dari kakaknya. Pertama siswa laki-laki itu tidak peduli. Ia terus mengerjakan soal kimia yang dituli di papan. Fram mendesah lagi, kali ini lebih kuat.
“Kamu enggak nyatet, Fram?” tanya Ar setengah berbisik. Fram menoleh sekilas lalu menggeleng. Ar merasa ada yang aneh. Sepertinya Fram ingin cepat-cepat keluar dari pelajarannya Mrs. Benson,  pikir Ar sesaat. Pelajaran berakhir. Mrs. Benson merapikan bawaannya dan keluar. Fram berlari mendahului Mrs. Benson. Ia memutar pandangannya ke segala penjuru sekolah, tapi tanda-tanda keberadaan gadis yang tadi dilihatnya tidak ada sedikitpun, Ia menghentak-hentakkan kakinya kecewa. Menghela nafasnya lagi dengan kepala tertunduk.
              “Kamu ngapain disini?” selidik Don sambil menyesap softdrinknya. Fram menggeleng. Ia mencari lagi tanpa memperhatikan kedua temannya. Berlari kecil menyusuri lorong kelas meninggalkan Don dan Max yang masih melongo.
            “Kenapa dia?” tanya Don pelan. Max hanya mengangkat bahu lalu mengejar Fram yang kemudian disusul oleh Don.

              Di teras belakang, Fram duduk dengan kaki dinaikkan ke meja rotan kecil di depannya. Ar berdiri dengan sebotol pepsi tidak jauh dari tempat Fram. Masih berada dalam radius yang cukup untuk memerhatikan tingkah Fram yang aneh. Mata Ar menyipit memerhatikan Fram yang sedari pulang sekolah terlihat muram. Ar yang selalu merasa menjadi adik yang perhatian, tanpa perintah kakinya bergerak dan duduk di sebelah kakaknya.
 “Are you falling in love?” godanya.
              “Seorang remaja laki-laki sah kan kalo jatuh cinta?” sahutnya sok bijak.
              “Siapakah perempuan yang beruntung mendapatkan cinta kakakku?”
              “Estelle. Estelle Wilbord. Itu nama yang aku tahu.”
              “Apa? Estelle?” pekiknya sedikit kaget. Fram menurunkan kakinya dan memutar badannya seketika. Menegapkan posisi duduknya.
“Ada masalah? Atau dia kekasihmu?” tanyanya dengan suara lebih berat. Ar terenyuk kaget. Sesaat keheningan terjadi di tengah-tengah mereka. Gemericik air kolam terdengar jelas. “Hey! Jawab! Apa di pacarmu?” desak Fram. Ar menghela nafas panjang. Menatap lekat-lekat mata saudara yang lebih tua setahun darinya.
“Bukan! Dia bukan pacarku. Tapi aku tahu kriterianya. Dia suka sama laki-laki yang pintar, baik, dan yang jelas punya etika, enggak urakan sepertimu!” Ar mendapati sorot mata Fram berubah. Suara ponsel yang tiba-tiba berbunyi, mengagetkan mereka berdua. Fram merogoh saku celananya. Satu panggilan dari Max.
 “Hallo, ya apa?... Hahh?... Benarkah?”… Oke. Thanks.” Mengakhiri obrolannya. Ternyata semuanya benar, batinnya. Ar membenarkan posisi duduknya, meminum pepsinya sampai habis. “Aku enggak mau menyerah. Pantang menyerah buat urusan seperti ini? Maaf, enggak ada di kamusku!” kata Fram tegas berusaha memberi semangat pada dirinya sendiri.  Ar menyembunyikan senyuman tipis di bibirnya.
“Oke Ar, aku butuh bantuanmu mulai sekarang!”
“Bantuan?” tanyanya berlagak bodoh.
“Ya! Bantuanmu!” Ar hanya mengangguk-aguk mengerti karena dia memang mengerti.

              Jalanan depan rumah sudah berganti terang dengan cahaya lampu yang berdiri menjulang tinggi di pinggir-pinggir jalan. Jendela kamar di biarkannya terbuka. Kamar berantakkan itu berubah rapi. Alat-alat musik ditatanya rapi di pojok kamar. Begitu pula meja belajarnya.  Ar duduk di karpet merah di depan layar televisi, memainkan jemarinya di atas stick game. Sesekali melirik Fram yang serius belajar di mejanya. Ar tertawa dalam hati.
                                                                            ***
              Hampir satu sekolah merasa aneh dengan sikap Fram yang tiba-tiba berubah baik, lebih sopan, jarang membuat masalah, dan rajin. Rajin? Tidak salah? Tapi memang itu yang terjadi sekarang. Keadaan yang sempat membuat Max dan Don merasa sedikit bosan, merasa kehilangan sahabatnya yang asik. Tapi mereka mengerti akan semuanya.
              “Ar-Arlan!! Tunggu!” Gadis itu mengejar Ar yang berjarak sekitar dua kelas dari tempatnya. Arlan menoleh.  “Ada apa?”
              “Kamu sama Fram saudara ya? Beda setahun?” Ar mengangguk. “Lalu?”
              “Apa Fram pernah enggak naik?” Sekali lagi Ar hanya mengangguk.
              “Apa kamu suka sama Fram?” selidik Ar terang-terangan. Gadis itu tertegun. Masih diam dan berusaha menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan Ar yang mendadak. Kali ini gantian ia yang mengangguk. “Aku suka Fram. Aku suka sejak sebelum dia berubah.” Ar tersenyum lalu berbalik dan meninggalkannya sendiri dengan wajahnya yang malu.

              Pelajaran Mrs. Benson hadir di kelas Arlan Fram lagi. Kali ini, Ar menangkap sosok yang berbeda di sebelahnya. Ini bukan Fram yang aku kenal dulu, dia berubah. Terima kasih Tuhan, syukurnya dalam hati. Kakak beradik itu kini menjadi bintang kelas, sulit bagi orang lain ingin mengalahkan mereka. Dengan mudah dan santai, Fram menjawab soal-soal Mrs. Benson yang dulu sama sekali tak ia pahami. Selain itu, sudah jelas Fram yang sebelumnya urakan sudah memiliki banyak penggemar, kini setelah ia berubah, para penggemarnya tidak berkurang justru semakin bertambah. Semua hal itu kadang membuat Fram bertingkah seenaknya sendiri.
“Kamu enggak mau nembak Estelle?” bisik Ar merusak konsentrasi laki-laki di sebelahnya. Fram memutar kepalanya, ekspresi bingung terlukis jelas. “Nembak?”
“Ya! Nembak Estelle! Enggak berani ya?”  Fram memalingkan pandangannya ke buku bacaan yang terbuka di halaman dua ratus lima. “Oke! Aku tembak dia sepulang sekolah!” Bolpen di mainkannya di ujung ibu jari dan jari telunjuk. Konsentrasinya terpecah. Tak sepenuhnya untuk pelajaran kimia. “Pelajaran sampai disini, kalian silahkan istirahat,” ucap wanita itu datar seperti biasa. Dentingan bell sedikit membuat Fram terkejut. Tapi setidaknya berhasil menarik pemuda itu kembali pada kehidupan nyata. Ketika ia menoleh ke kanan karena ia merasa ia perlu berkonsultasi terlebih dahulu. Matanya membulat. Ia seperti orang bodoh karena berbicara dengan tokoh bayangan. Lawan bicaranya tidak ada. Ar sudah menghilang. Sejak kapan?  Fram menggerutu sendiri.

Di tempat biasa, Ar menunggu Estelle datang. Pemuda ini memang selalu menunggu gadis incaran kakaknya di sini. Karena sudah atau belum berubah, Fram tidak akan mungkin datang ke ruangan itu. Perpustakaan.
              “Estelle,” panggil Ar sambil melambaikan tangannya. Estelle berlari pelan. Ar menunggu dibagian yang tepat. Di bagian rak-rak buku tinggi yang jarang dibaca oleh para murid. Daerah sekitarnya pun menjadi sepi. Jadi Ar yakin tidak aka nada yang mendengar pembicaraan mereka.  “Sepulang sekolah.”
              “Secepat itu? Kamu yakin?” tanya Estelle ragu. Dahinya sedikit berkerut. Arlan memiringkan kepalanya sedikit. Mengamati gadis yang tengah menatapnya penuh harap. Ia tertawa geli dalam hati. Masih tidak habis pikir, gadis seperti ini yang akhirnya bisa merubah kakaknya, yang bahkan dia dan kedua orang tuanya menyerah. Tangan kanan Arlan lepas kendali. Tidak diperintah, tangan itu langsung mengetuk-ngetuk dahi Estelle yang berkerut lalu beralih mengacak-acak rambut Estelle yang tersisir rapi.
              “Terima kasih, aku pergi dulu,” ucapnya terakhir lalu pergi kembali ke kelas. Selepas peninggalan Ar, Estelle masih mematung disana. Jantungnya mencelos. Pikiran aneh yang mulai membuatnya bimbang pun muncul. Pertanyaan siapa yang sebenarnya dia sukai itu siapa? Fram? Ataukah Arlan, saudaranya? Estelle menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir semua pemikiran aneh itu dan buru-buru pergi.

Seperti biasa, Max, Don, dan Fram menghabiskan waktu istirahat dengan duduk-duduk santai di kantin sekolah. Menjahili anak-anak yang bisa mereka ganggu .
“Estelle!!” teriak Fram. Fram berlari mendekat. Jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa langkah. Tanpa berpikir panjang, Fram menarik tangan Estelle ke atap gedung sekolah. Kedua sahabat Fram yang penasaran dengan sikap aneh kawannya belakangan ini pun memutuskan untuk mengekor dua manusia itu.
              Di tengah atap gedung yang luas, Fram berlutut di depan Estelle, menyodorkan sebuah kotak berbentuk persegi panjang. Mata Estelle terbelalak lebar saat melihat isi kotak. Sebuah kalung. Segala tanda tanya dan pertanyaan terlintas secara bergantian di pikirannya.
“Do you want to be my girlfriend, Estelle?” Gadis berambut pirang itu memaku. Sekujur tubuhnya terasa membeku. “Do you want to be my girlfriend, Estelle?” ulang Fram. Estelle masih saja membisu. Fram berdiri. Menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan wajah gadis itu. Tak lama, ia tersentak. Gadis itu mengangkat wajahnya, menatap mata tajam itu lekat-lekat dan astaga, dalam sekejap tubuhnya sudah menghambur dalam pelukan Fram. Cukup lama. Sampai akhirnya, bayangan akan sikap Arlan tiba-tiba kembali melintas dalam pikirannya. Dalam satu gerakan cepat tapi tidak kasar, Estelle melepaskan melukannya. Merasa tidak ada penolakan, Fram dengan wajahnya yang sumringah pun mengaitkan kalung itu pada leher gadis di depannya. Seseorang yang berdiri, sama mengekor seperti Max dan Don, tengah mengembangkan senyumannya. Sebelum akhirnya ia kembali menuruni anak tangga.
                                                                            ***
              Kehidupan Fram terasa lebih teratur. Ada dua orang yang membantunya mengatur hidup. Ar–  adik satu-satunya dan Estelle, gadis yang menjadi pacarnya lebih dari 10 bulan yang lalu. Tak jarang mereka bertiga menghabiskan weekend bersama. Hang-out bersama di café, atau sekedar jalan-jalan ke tempat-tempat ekstrime untuk menguji adrenalin.
              Sampai suatu kebenaran terungkap, saat mereka memutuskan menghabiskan masa libur sekolah di villa dekat pantai. “Aku ambil minum dulu, kalian bersenang-senanglah,” seru Fram. Ar dan Estelle membahas masalah masa lalu mereka. Sebuah rahasia yang sampai sekarang belum tercium Fram sama sekali– menurut mereka. Tangan Estelle sesaat gemetar, lalu menghilang dan kembali muncul. Dia sungguh merasa bersalah.
“Apa yang harus kita katakan?” tanya Estelle dengan suaranya yang bergetar.
“Biar aku yang bicara pada Fram.”
“Apa yang mau kalian bicarakan?” sahut Fram mengejutkan. Ar dan Estelle terlihat gelagapan. Namun Ar lebih cepat mengendalikan sikapnya. Ia melirik Estelle yang menunduk. Gadis itu benar-benar merasa bersalah. Maaf sudah membawamu dalam masalah.
“Ada apa ini sebenarnya?” Raut wajah Fram terlihat kesal dengan tingkah Ar dan Estelle yang mencurigakan.  “Jawab aku Arlan!” bentak Fram akhirnya.
              “Aku telah membohongimu selama ini,” jawab Ar dengan nada datar.
              “Maksudmu?”
              “Aku ingin kau berubah, berubah menjadi lebih baik. Sejak kamatian ayah dan ibu, kau berubah. Kau bukan kakakku lagi. Sikapmu yang urakan, membenci semua pelajaran atau tepatnya kau benci sekolah, selalu membuat masalah. Aku tau Fram, kau anak yang baik. Tapi setelah aku tau kau menyukai Estelle,” Menoleh ke arah Estelle yang masih menunduk, “aku tau kau akan berubah jika kau pacaran dengannya. Ditambah lagi ekspresimu saat aku bilang Estelle menyukai laki- laki yang baik, sopan, pintar, atau apalah itu. Kau langsung semangat, dalam sekejap kau berubah lebih rapi dan rajin, etikamu pun berubah. Jujur Fram, aku lebih suka kau yang sekarang. Kakakku yang dulu telah kembali,” lanjutnya. Ar menarik nafasnya sesaat.  “Tolong jangan berubah lagi, ayah dan ibu pun lebih bahagia dengan sikapmu yang sekarang. Aku mohon tetaplah menjadi Fram seperti saat ayah dan ibu masih ada. Dan tolong jangan membenci Estelle, Max dan Don. Aku yang menyuruh mereka melakukan ini.”
              “Jadi itu yang ingin kau katakan?”
              “Ya. Hanya itu.” Fram berjalan mendekat. Mendekatkan wajahnya ke wajah adiknya, kerah baju di tariknya erat. Satu tonjokkan melayang ke sudut bibir Ar. Ar terjerembab. Sekali lagi Fram membangunkan Ar dengan menarik kerah bajunya. Tapi kali ini, ia merapikan baju Ar dan memeluknya. Jelas saja itu membuat Estelle terlebih Ar kebingungan.
“Kau?” tanya Ar heran. Fram melepas pelukkannya. Terkekeh cukup lama. Membuat perutnya terasa sakit. “Kenapa tertawa? Kenapa berhenti memukul?” Fram mengatur nafasnya, mencoba menghentikan tawanya. Lalu mengacak-acak rambut Ar seperti yang sering ia lakukan dulu saat mereka berdua masih kecil.
              “Aku sudah tau. Kau pikir aku bodoh! Aku sudah tahu!”
               “Lalu?” Ar masih tidak mengerti. Fram merangkul pundak Estelle. “Aku sudah tahu. Aku sudah tahu kalau kau dan dia,” Menggoyang- goyangkan lengan Estelle dalam genggaman tangannya. “aku sudah tahu kalau ini rencana kalian. Lewatnya dia di koridor kelas, tipe kekasih yang dia suka, kau suruh aku menembaknya, dan semua rencana kalian berdua aku sudah tahu,” lanjutnya.
              “Tapi bagaimana bisa?” Estelle ganti menyela.
              “Aku punya sixth sense. Jadi jangan heran,” aku Fram bercanda.
              “Hei, aku ingin tahu.”
              “Sudahlah, biarkan ini menjadi rahasiaku sendiri. Itu peraturannya.” Fram kembali tertawa. Untuk sesaat Ar sekaligus Estelle merasa lega, Fram sudah mengetahui segalanya. Tidak ada yang berubah dari sikap Fram. Tidak seburuk yang Estelle maupun Ar bayangankan. Malah Fram terlihat lebih dewasa. Dan lagi ini seperti bukan Fram yang dijebak tapi justru mereka berdua yang masuk dalam jebakan mereka sendiri. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana Fram bisa tahu?
                                                                           
SELESAi ..


5 komentar:

Dzaka Triputra mengatakan...

iki wez tak komen...
kurang opo..?

Insan Gumelar Ciptaning Gusti mengatakan...

hehehe :) makasih dzak :)

Unknown mengatakan...

udah saya baca, maaf baru bisa sekarang

Insan Gumelar Ciptaning Gusti mengatakan...

gak papa. asal udah dibaca atau sekedar ada niat buat baca juga makasih banget. :)

Unknown mengatakan...

Ye