Wajahnya terlihat begitu senang, menyalakan motor, dan meninggalkan tempat
parkir. Jaket putih membalut tubuhnya dari angin sore yang mulai menyapa.
Menepikan motornya sesaat, merogoh ponsel di saku jaketnya. “Kamu udah pulang?
… Di rumah ada makanan enggak?.. Ya udah aku enggak jadi beli.” Menutup ponsel lalu
kembali memacu motornya.
***
“Aku pulang,” teriak Fram sesaat setelah menutup kembali pintu kayu itu.
Hidungnya mulai beraksi saat aroma nikmat melewati kedua lubang hidungnya. Fram
melesat ke meja makan. Ikan bakar tergeletak di piring panjang dengan hiasan
selada dan tomat disisinya. Fram seketika menarik kursi sedikit ke belakang,
duduk dan menyantap tanpa menunggu Ar lebih dulu. Kedua orang tua mereka sudah
tiada, mereka hanya tinggal bertiga dengan seorang pembantu yang setia dari
berbelas tahun lalu.
“Sejak
kapan kamu pulang?” celetuk Ar yang membuat Fram tersedak. Diraih gelas berisi
air putih dan meneguknya dalam jumlah besar. Ia menepuk-nepuk dadanya sendiri
lalu meminum air itu sekali lagi sampai tersedaknya hilang.
“Sialan!
Aku bisa mati!” sembur Fram. Ar terkekeh. Menarik kursi dan duduk di depan Fram
yang berwajah kesal. Sebenarnya selera makannya sedikit menghilang, tapi rasa
lapar yang menggerogoti perutnya dengan mudah mengalahkan gengsinya.
“Maaf
-maaf, habis kamu pulang langsung makan. Udah di tugguin, malah ninggal.”
“Bu’,
ayo makan. Fram udah duluan,” teriak Ar sambil membalik piring kosong di
hadapannya. Wanita separuh baya muncul dari balik pintu. Duduk di samping Ar.
Melakukan hal yang sama dengan apa yang baru saja Ar lakukan, mengisi piringnya
lalu makan.
Lampu kamar dihidupkannya. Meraih gitar lalu memainkannya di samping tempat
tidur. Headphone menggantung di kepala. Sesekali melirik ke arah mejanya yang
berantakan dengan tumpukan buku pelajaran yang selalu di lemparnya asal. Dan itu
selalu membuatnya kebingungan saat akan berangkat sekolah besoknya. Fram terus
memetik senar gitarnya seiring alunan lagu di telingannya. Kamarnya mirip
seperti studio band. Drum, bass, gitar listrik, dan gitar akustik ada di sana
memenuhi kamarnya yang tak sebegitu luas.
Lampu ponselnya menyala, mencuri keseriusan Ar sejenak. Satu pesan. ‘besok
aku lihat tugasnya!’. Ar berdeham, berusaha mengerti. Konsentrasinya
kembali pada kertas putih bergaris di depannya. Sedikit membungkuk. Masih lima
soal lagi yang belum ia selesaikan. Menggaruk-garuk kepala, mencari jawaban
yang tepat. Menghitung dan menghitung. Jam analog terus bergerak di ponselnya. Kekuatan matanya berlahan menghilang. Sesekali
ia terkantuk, lalu kembali mencoba menyelesaikan tugasnya yang belum selesai,
tapi ia terkantuk lagi dan ia benar-benar tertidur.
***
Langit gelap itu menghilang sudah. Tersapu bersih oleh langit biru dan cahaya matahari yang cerah. Hari yang cerah
memang. Ar dan Fram berangkat. Sepotong roti keju dan coklat cukup untuk
sarapan mereka pagi itu. Asap knalpot yang tak begitu jelas sudah mewarnai
udara menuju sekolah.
Don dan Max teman se-geng Fram sudah berdiri dengan gelisah di samping pintu
kelas. Sambil menjejalkan tangannya di saku celana, Fram berjalan mendahului
Ar. Ar hanya menggeleng, masuk kelas, lalu melanjutkan tugasnya yang belum
selesai semalam.
“Sebaiknya
mereka mengerjakan tugas-tugas itu bukannya ke kantin,” omel Ar pelan ketika
tiga laki-laki yang umurnya tak terpaut jauh dengannya itu pergi ke kantin.
Sekali lagi, Ar hanya bisa menghela nafas. Setengah berlari Ar pergi ke ruangan
yang lumayan jauh dari tempatnya sekarang. Kelas yang sudah lumayan penuh. Sepertinya memang banyak yang belum selesai,
batin Ar. Sesekali ia melirik kerjaan temannya yang sama belum selesainya
dengannya. Seperti mendapatkan hidayah, Ar langsung menemukan cara mengerjakan
soal-soal kemarin. Segera ia mengerjakan lima soal terakhir sebelum hidayah
yang ia dapatkan menghilang dan sebelum bel tanda masuk berbunyi.
Tepat
waktu. Bell masuk berbunyi keras dari speaker kelas. Mrs. Benson masuk
dengan seabrek bawaan di tangannya, belum termasuk tas ransel besar di
punggungnya. Meletakkan bawaannya dan langsung menjelaskan materi kemarin yang
belum selesai. Suara besar wanita berambut cokelat itu memenuhi seisi ruangan.
Ar mengedarkan pandangannya keluar kelas. Mencari sosok yang sudah hampir satu
jam belum terlihat. Akhirnya Ar mengeluarkan ponselnya, mengetikkan beberapa
kata penting, lalu segera mengirimnya. Ar melirik jam hitam yang melingkar di
tangannya. Di tengah keadaan yang tenang dengan pelajaran, tiba-tiba suara
ketukan pintu terdengar. Mrs. Benson melirik tajam dengan kacamata yang sedikit
ia turunkan. Fram berdiri dengan bajunya yang sudah acak-acakkan.
“Darimana
kamu?”
“Dari
toilet Mrs, perut saya sakit,” alasan Fram seadanya.
“Sana
duduk.”Fram berlari kecil menuju mejanya. Pelajaran pun dilanjutkan kembali.
Sebenarnya
Mrs. Benson juga tidak begitu peduli dengan ada atau tidaknya Fram dalam kelas.
Ia sudah terlanjur kesal dengan muridnya yang satu ini. Tetapi terkadang ia
juga tidak bisa memberikan nilai sangat buruk pada Fram karena Mrs. Benson
masih melihat dan menghargai sosok Ar, saudaranya, yang sangat sopan dan
pandai. Ia merasa serba salah.
Fram baru saja menempelkan pantatnya di kurs. Rasa bosan sudah menghinggap.
Berbisik di telinganya untuk segera keluar dari ruangan itu.Namun sepertinya
godaan itu tidak seratus persen berhasil. Fram masih tertahan di tempatnya.
Sama seperti Mrs. Benson, sejujurnya ia juga merasa tidak enak dengan saudara
kembarnya, Ar. Pipi ditopangnya di sebelah tangannya, dan tangan satunya sibuk
menggambar karikatur Mrs. Benson dengan tongkat iblis dan api yang
menyala-nyala di sekitarnya. Pandangannya mengarah ke luar pintu. Tiba-tiba
seorang gadis manis berambut pirang lewat di depan koridor kelasnya. Fram
menarik tubuhnya lebih tegak. Pikirannya seketika lebih segar. Rasa suntuknya
hilang. Rasa bosannya menguap. Ia hanya ingin keluar dan bertemu gadis itu.
Berkali-kali ia melirik arah jarum jam yang seakan tidak bergerak. Ia mendengus
kesal. Ar yang duduk disebelahnya mulai sedikit terusik dengan tingkah Fram
yang tidak bisa tenang. Ar melirik, menangkap ada reaksi gelisah dari kakaknya.
Pertama siswa laki-laki itu tidak peduli. Ia terus mengerjakan soal kimia yang
dituli di papan. Fram mendesah lagi, kali ini lebih kuat.
“Kamu
enggak nyatet, Fram?” tanya Ar setengah berbisik. Fram menoleh sekilas lalu
menggeleng. Ar merasa ada yang aneh. Sepertinya
Fram ingin cepat-cepat keluar dari pelajarannya Mrs. Benson, pikir Ar sesaat. Pelajaran berakhir. Mrs.
Benson merapikan bawaannya dan keluar. Fram berlari mendahului Mrs. Benson. Ia
memutar pandangannya ke segala penjuru sekolah, tapi tanda-tanda keberadaan
gadis yang tadi dilihatnya tidak ada sedikitpun, Ia menghentak-hentakkan kakinya
kecewa. Menghela nafasnya lagi dengan kepala tertunduk.
“Kamu ngapain disini?” selidik Don sambil menyesap softdrinknya. Fram
menggeleng. Ia mencari lagi tanpa memperhatikan kedua temannya. Berlari kecil
menyusuri lorong kelas meninggalkan Don dan Max yang masih melongo.
“Kenapa dia?” tanya Don pelan. Max
hanya mengangkat bahu lalu mengejar Fram yang kemudian disusul oleh Don.
Di teras belakang, Fram duduk dengan kaki dinaikkan ke meja rotan kecil di
depannya. Ar berdiri dengan sebotol pepsi tidak jauh dari tempat Fram. Masih
berada dalam radius yang cukup untuk memerhatikan tingkah Fram yang aneh. Mata
Ar menyipit memerhatikan Fram yang sedari pulang sekolah terlihat muram. Ar
yang selalu merasa menjadi adik yang perhatian, tanpa perintah kakinya bergerak
dan duduk di sebelah kakaknya.
“Are you falling in love?” godanya.
“Seorang remaja laki-laki sah kan kalo jatuh cinta?” sahutnya sok bijak.
“Siapakah perempuan yang beruntung mendapatkan cinta kakakku?”
“Estelle. Estelle Wilbord. Itu nama yang aku tahu.”
“Apa? Estelle?” pekiknya sedikit kaget. Fram menurunkan kakinya dan memutar
badannya seketika. Menegapkan posisi duduknya.
“Ada
masalah? Atau dia kekasihmu?” tanyanya dengan suara lebih berat. Ar terenyuk
kaget. Sesaat keheningan terjadi di tengah-tengah mereka. Gemericik air kolam
terdengar jelas. “Hey! Jawab! Apa di pacarmu?” desak Fram. Ar menghela nafas
panjang. Menatap lekat-lekat mata saudara yang lebih tua setahun darinya.
“Bukan!
Dia bukan pacarku. Tapi aku tahu kriterianya. Dia suka sama laki-laki yang
pintar, baik, dan yang jelas punya etika, enggak urakan sepertimu!” Ar
mendapati sorot mata Fram berubah. Suara ponsel yang tiba-tiba berbunyi,
mengagetkan mereka berdua. Fram merogoh saku celananya. Satu panggilan dari
Max.
“Hallo, ya apa?... Hahh?... Benarkah?”… Oke.
Thanks.” Mengakhiri obrolannya. Ternyata
semuanya benar, batinnya. Ar membenarkan posisi duduknya, meminum pepsinya
sampai habis. “Aku enggak mau menyerah. Pantang menyerah buat urusan seperti ini? Maaf, enggak ada di kamusku!” kata
Fram tegas berusaha memberi semangat pada dirinya sendiri. Ar
menyembunyikan senyuman tipis di bibirnya.
“Oke
Ar, aku butuh bantuanmu mulai sekarang!”
“Bantuan?”
tanyanya berlagak bodoh.
“Ya!
Bantuanmu!” Ar hanya mengangguk-aguk mengerti karena dia memang mengerti.
Jalanan depan rumah sudah berganti terang dengan cahaya lampu yang berdiri
menjulang tinggi di pinggir-pinggir jalan. Jendela kamar di biarkannya terbuka.
Kamar berantakkan itu berubah rapi. Alat-alat musik ditatanya rapi di pojok
kamar. Begitu pula meja belajarnya. Ar duduk di karpet merah di depan
layar televisi, memainkan jemarinya di atas stick game. Sesekali melirik
Fram yang serius belajar di mejanya. Ar tertawa dalam hati.
***
Hampir satu sekolah merasa aneh dengan sikap Fram yang tiba-tiba berubah baik,
lebih sopan, jarang membuat masalah, dan rajin. Rajin? Tidak salah? Tapi memang
itu yang terjadi sekarang. Keadaan yang sempat membuat Max dan Don merasa
sedikit bosan, merasa kehilangan
sahabatnya yang asik. Tapi mereka mengerti akan semuanya.
“Ar-Arlan!! Tunggu!” Gadis itu mengejar Ar yang berjarak sekitar dua kelas dari
tempatnya. Arlan menoleh. “Ada apa?”
“Kamu sama Fram saudara ya? Beda setahun?” Ar mengangguk. “Lalu?”
“Apa Fram pernah enggak naik?” Sekali lagi Ar hanya mengangguk.
“Apa kamu suka sama Fram?” selidik Ar terang-terangan. Gadis itu tertegun.
Masih diam dan berusaha menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan Ar yang
mendadak. Kali ini gantian ia yang mengangguk. “Aku suka Fram. Aku suka sejak
sebelum dia berubah.” Ar tersenyum lalu berbalik dan meninggalkannya sendiri
dengan wajahnya yang malu.
Pelajaran Mrs. Benson hadir di kelas Arlan Fram lagi. Kali ini, Ar menangkap sosok
yang berbeda di sebelahnya. Ini bukan
Fram yang aku kenal dulu, dia berubah. Terima kasih Tuhan, syukurnya dalam
hati. Kakak beradik itu kini menjadi bintang kelas, sulit bagi orang lain ingin
mengalahkan mereka. Dengan mudah dan santai, Fram menjawab soal-soal Mrs.
Benson yang dulu sama sekali tak ia pahami. Selain itu, sudah jelas Fram yang
sebelumnya urakan sudah memiliki banyak penggemar, kini setelah ia berubah,
para penggemarnya tidak berkurang justru semakin bertambah. Semua hal itu
kadang membuat Fram bertingkah seenaknya sendiri.
“Kamu
enggak mau nembak Estelle?” bisik Ar merusak konsentrasi laki-laki di
sebelahnya. Fram memutar kepalanya, ekspresi bingung terlukis jelas. “Nembak?”
“Ya!
Nembak Estelle! Enggak berani ya?” Fram
memalingkan pandangannya ke buku bacaan yang terbuka di halaman dua ratus lima.
“Oke! Aku tembak dia sepulang sekolah!” Bolpen di mainkannya di ujung ibu jari
dan jari telunjuk. Konsentrasinya terpecah. Tak sepenuhnya untuk pelajaran
kimia. “Pelajaran sampai disini, kalian silahkan istirahat,” ucap wanita itu
datar seperti biasa. Dentingan bell sedikit membuat Fram terkejut. Tapi
setidaknya berhasil menarik pemuda itu kembali pada kehidupan nyata. Ketika ia
menoleh ke kanan karena ia merasa ia perlu berkonsultasi terlebih dahulu.
Matanya membulat. Ia seperti orang bodoh karena berbicara dengan tokoh bayangan.
Lawan bicaranya tidak ada. Ar sudah menghilang. Sejak kapan? Fram menggerutu sendiri.
Di
tempat biasa, Ar menunggu Estelle datang. Pemuda ini memang selalu menunggu
gadis incaran kakaknya di sini. Karena sudah atau belum berubah, Fram tidak
akan mungkin datang ke ruangan itu. Perpustakaan.
“Estelle,” panggil Ar sambil melambaikan tangannya. Estelle berlari pelan. Ar
menunggu dibagian yang tepat. Di bagian rak-rak buku tinggi yang jarang dibaca
oleh para murid. Daerah sekitarnya pun menjadi sepi. Jadi Ar yakin tidak aka
nada yang mendengar pembicaraan mereka. “Sepulang sekolah.”
“Secepat itu? Kamu yakin?” tanya Estelle ragu. Dahinya sedikit berkerut. Arlan
memiringkan kepalanya sedikit. Mengamati gadis yang tengah menatapnya penuh
harap. Ia tertawa geli dalam hati. Masih tidak habis pikir, gadis seperti ini
yang akhirnya bisa merubah kakaknya, yang bahkan dia dan kedua orang tuanya
menyerah. Tangan kanan Arlan lepas kendali. Tidak diperintah, tangan itu
langsung mengetuk-ngetuk dahi Estelle yang berkerut lalu beralih mengacak-acak
rambut Estelle yang tersisir rapi.
“Terima kasih, aku pergi dulu,” ucapnya terakhir lalu pergi kembali ke kelas.
Selepas peninggalan Ar, Estelle masih mematung disana. Jantungnya mencelos.
Pikiran aneh yang mulai membuatnya bimbang pun muncul. Pertanyaan siapa yang
sebenarnya dia sukai itu siapa? Fram? Ataukah Arlan, saudaranya? Estelle
menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir semua pemikiran aneh itu dan buru-buru
pergi.
Seperti
biasa, Max, Don, dan Fram menghabiskan waktu istirahat dengan duduk-duduk
santai di kantin sekolah. Menjahili anak-anak yang bisa mereka ganggu .
“Estelle!!”
teriak Fram. Fram berlari mendekat. Jarak di antara mereka hanya tinggal
beberapa langkah. Tanpa berpikir panjang, Fram menarik tangan Estelle ke atap
gedung sekolah. Kedua sahabat Fram yang penasaran dengan sikap aneh kawannya
belakangan ini pun memutuskan untuk mengekor dua manusia itu.
Di tengah atap gedung yang luas, Fram berlutut di depan Estelle, menyodorkan
sebuah kotak berbentuk persegi panjang. Mata Estelle terbelalak lebar saat
melihat isi kotak. Sebuah kalung. Segala tanda tanya dan pertanyaan terlintas secara
bergantian di pikirannya.
“Do
you want to be my girlfriend, Estelle?” Gadis berambut pirang itu memaku.
Sekujur tubuhnya terasa membeku. “Do you want to be my girlfriend, Estelle?”
ulang Fram. Estelle masih saja membisu. Fram berdiri. Menggerak-gerakkan
telapak tangannya di depan wajah gadis itu. Tak lama, ia tersentak. Gadis itu
mengangkat wajahnya, menatap mata tajam itu lekat-lekat dan astaga, dalam
sekejap tubuhnya sudah menghambur dalam pelukan Fram. Cukup lama. Sampai
akhirnya, bayangan akan sikap Arlan tiba-tiba kembali melintas dalam
pikirannya. Dalam satu gerakan cepat tapi tidak kasar, Estelle melepaskan
melukannya. Merasa tidak ada penolakan, Fram dengan wajahnya yang sumringah pun
mengaitkan kalung itu pada leher gadis di depannya. Seseorang yang berdiri,
sama mengekor seperti Max dan Don, tengah mengembangkan senyumannya. Sebelum
akhirnya ia kembali menuruni anak tangga.
***
Kehidupan Fram terasa lebih teratur. Ada dua orang yang membantunya mengatur
hidup. Ar– adik satu-satunya dan Estelle, gadis yang menjadi pacarnya
lebih dari 10 bulan yang lalu. Tak jarang mereka bertiga menghabiskan weekend
bersama. Hang-out bersama di café, atau sekedar jalan-jalan ke tempat-tempat
ekstrime untuk menguji adrenalin.
Sampai suatu kebenaran terungkap, saat mereka memutuskan menghabiskan masa
libur sekolah di villa dekat pantai. “Aku ambil minum dulu, kalian bersenang-senanglah,”
seru Fram. Ar dan Estelle membahas masalah masa lalu mereka. Sebuah rahasia
yang sampai sekarang belum tercium Fram sama sekali– menurut mereka. Tangan
Estelle sesaat gemetar, lalu menghilang dan kembali muncul. Dia sungguh merasa
bersalah.
“Apa
yang harus kita katakan?” tanya Estelle dengan suaranya yang bergetar.
“Biar
aku yang bicara pada Fram.”
“Apa
yang mau kalian bicarakan?” sahut Fram mengejutkan. Ar dan Estelle terlihat
gelagapan. Namun Ar lebih cepat mengendalikan sikapnya. Ia melirik Estelle yang
menunduk. Gadis itu benar-benar merasa bersalah. Maaf sudah membawamu dalam masalah.
“Ada
apa ini sebenarnya?” Raut wajah Fram terlihat kesal dengan tingkah Ar dan
Estelle yang mencurigakan. “Jawab aku Arlan!”
bentak Fram akhirnya.
“Aku telah membohongimu selama ini,” jawab Ar dengan nada datar.
“Maksudmu?”
“Aku ingin kau berubah, berubah menjadi lebih baik. Sejak kamatian ayah dan
ibu, kau berubah. Kau bukan kakakku lagi. Sikapmu yang urakan, membenci semua
pelajaran atau tepatnya kau benci sekolah, selalu membuat masalah. Aku tau
Fram, kau anak yang baik. Tapi setelah aku tau kau menyukai Estelle,” Menoleh
ke arah Estelle yang masih menunduk, “aku tau kau akan berubah jika kau pacaran
dengannya. Ditambah lagi ekspresimu saat aku bilang Estelle menyukai laki- laki
yang baik, sopan, pintar, atau apalah itu. Kau langsung semangat, dalam sekejap
kau berubah lebih rapi dan rajin, etikamu pun berubah. Jujur Fram, aku lebih
suka kau yang sekarang. Kakakku yang dulu telah kembali,” lanjutnya. Ar menarik
nafasnya sesaat. “Tolong jangan berubah
lagi, ayah dan ibu pun lebih bahagia dengan sikapmu yang sekarang. Aku mohon
tetaplah menjadi Fram seperti saat ayah dan ibu masih ada. Dan tolong jangan
membenci Estelle, Max dan Don. Aku yang menyuruh mereka melakukan ini.”
“Jadi itu yang ingin kau katakan?”
“Ya. Hanya itu.” Fram berjalan mendekat. Mendekatkan wajahnya ke wajah adiknya,
kerah baju di tariknya erat. Satu tonjokkan melayang ke sudut bibir Ar. Ar
terjerembab. Sekali lagi Fram membangunkan Ar dengan menarik kerah bajunya.
Tapi kali ini, ia merapikan baju Ar dan memeluknya. Jelas saja itu membuat
Estelle terlebih Ar kebingungan.
“Kau?”
tanya Ar heran. Fram melepas pelukkannya. Terkekeh cukup lama. Membuat perutnya
terasa sakit. “Kenapa tertawa? Kenapa berhenti memukul?” Fram mengatur nafasnya,
mencoba menghentikan tawanya. Lalu mengacak-acak rambut Ar seperti yang sering
ia lakukan dulu saat mereka berdua masih kecil.
“Aku sudah tau. Kau pikir aku bodoh! Aku sudah tahu!”
“Lalu?” Ar masih tidak mengerti. Fram merangkul pundak Estelle. “Aku
sudah tahu. Aku sudah tahu kalau kau dan dia,” Menggoyang- goyangkan lengan
Estelle dalam genggaman tangannya. “aku sudah tahu kalau ini rencana kalian. Lewatnya
dia di koridor kelas, tipe kekasih yang dia suka, kau suruh aku menembaknya,
dan semua rencana kalian berdua aku sudah tahu,” lanjutnya.
“Tapi bagaimana bisa?” Estelle ganti menyela.
“Aku punya sixth sense. Jadi jangan heran,” aku Fram bercanda.
“Hei, aku ingin tahu.”
“Sudahlah, biarkan ini menjadi rahasiaku sendiri. Itu peraturannya.” Fram
kembali tertawa. Untuk sesaat Ar sekaligus Estelle merasa lega, Fram sudah mengetahui
segalanya. Tidak ada yang berubah dari sikap Fram. Tidak seburuk yang Estelle
maupun Ar bayangankan. Malah Fram terlihat lebih dewasa. Dan lagi ini seperti
bukan Fram yang dijebak tapi justru mereka berdua yang masuk dalam jebakan
mereka sendiri. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana Fram bisa tahu?
SELESAi
..
5 komentar:
iki wez tak komen...
kurang opo..?
hehehe :) makasih dzak :)
udah saya baca, maaf baru bisa sekarang
gak papa. asal udah dibaca atau sekedar ada niat buat baca juga makasih banget. :)
Ye
Posting Komentar