Rabu, 23 Januari 2013

Roda

01.45 PM
            Hidup ini memang berat!, pikirku sekilas saat beristirahat di pinggir jalan sambil meneguk air mineral beberapa kali. Cuaca yang cukup panas membuatku merasa seperti terbakar. Aku sangat membutuhkan air untuk sekedar membasahi tenggorokanku. Jangan sampai aku jatuh pingsan karna dehidrasi dan mengacaukan semua pekerjaanku. Anak tunggal yang di buang orang tuanya. Mungkin itu pernyataan yang tepat untuk hidupku sekarang.  Hidup di kota serba mahal, jauh lebih menyusahkan daripada hidupku yang dulu. Semua gara-gara kebodohanku. Hahh, kuhela nafas panjang, mengingat keputusan bodohku yang pada akhirnya malah balik menyusahkanku sendiri.

            Tittt.. Tittt…! Suara menyakitkan itu kembali berbunyi dari arah jam tanganku. Kuraih tas besar dan menggantungnya di punggung. Sepeda motor ini, semakin terasa berat dengan satu box besar yang baru saja kosong. Meninggalkan bangku teduh, buru-buru kembali ke tempat kerjaku sebelum si Pretty berubah menjadi raksasa.
            Sekitar dua puluh menit, akhirnya aku sampai di kedai Ureshii. Kuparkir sepeda, berlari menaiki anak tangga yang aku rasa penataannya salah. Tangga ini begitu curam. Membutuhkan energi yang lebih banyak. Dugaanku jadi kenyataan, Pretty sudah berdiri di depan kasir sambil berkacak pinggang dengan muka marahnya.
“Apa dia enggak takut semua pelanggan pada kabur ya?” gerutuku. Pretty memberiku isyarat untuk mengikutinya dari belakang. Tanpa bisa berbuat apa-apa, aku hanya mengekor. Mengikuti langkahnya yang lebar ke ruangan yang sempit.
            Dia mempersilahkanku duduk meskipun wajahnya masih sangat masam. Kuputar sedikit kursi, duduk, dan mendengarkan omelannya. Sangat membosankan. Terkadang aku berpikir, apa aku perlu periksa ke dokter telinga setiap selesai mendengarkan suara Pretty? Tapi kalau iya, uang tabunganku akan habis dalam waktu singkat hanya untuk membayar dokter. Maaf tidak akan. Sesekali mataku kuarahkan ke wajahnya yang aneh lalu kembali ke kedua sepatuku yang bergerak-gerak.
“Jangan sampai aku melihatmu mengundur-undur waktu pengiriman barang! Ingat pesanan masih banyak!” Sentaknya saat aku membuka pintu untuk bergegas keluar.
            Pesanan terakhir sebelum pulang. Di sini aku hanya boleh bekerja sampai jam lima sore, karna aku perempuan katanya. Ini sejenis diskriminasi, tapi aku senang. Aku bisa pulang lebih cepat daripada teman-teman kurir makanan yang lainnya, yang mayoritas laki-laki. Aku tertawa jahat dalam hati.
                                                                            ***
06.00 PM
            Belum sempat membersihkan diri dari keringat yang memenuhi seragam kuningku, aku berlari ke arah berlawanan dari apartement kecilku. “Seharusnya aku membeli sepeda motor, meskipun butut yang penting berguna untuk saat seperti ini!”  Aku berhenti sejenak, mengatur nafasku yang sudah tidak karuan. Lalu berlari lagi lebih cepat, kurang satu lampu merah lagi. 
            Selesai membersihkan diri di kamar mandi tempat kerjaku, aku mulai merapikan buku-buku yang berantakan. Di sini pekerjaanku jauh lebih ringan daripada di kedai Ureshii, tapi gajinya pun juga semakin ringan.
            “Hey, kita ketemu lagi? Kamu perempuan pengantar makanan itu kan? Kalau enggak salah hitung, kita sudah sepuluh kali lebih bertemu.” Aku menoleh, memastikan bukan laki-laki yang tadi siang kutemui. Nafasku tercekat melihat sosok itu berdiri membungkuk di hadapanku. Aku masih saja duduk di lantai dengan buku-buku di pangkuannku.
            “Hey!” Panggilnya lagi dengan menggerak-gerakkan tangan di depan wajahku. Meskipun ragu sepertinya aku mencoba untuk tersenyum, memberikan respon bahwa saat itu aku belum mati.
            “Kamu kerja disini juga?” Aku menggangguk dan kembali ke pekerjaanku.
            “Apa gaji di kedai itu kurang? Atau kamu tidak tahan dengan pemiliknya?” Aku mendengus kesal ketika ia duduk di sampingku, membantuku merapikan buku dalam rak-raknya. Jujur, aku sangat terkejut. Dia dengan lihai memasukan buku-buku itu sesuai kode buku masing-masing, padahal aku sendiri membutuhkan waktu sekitar dua bulan lebih untuk menghafal setiap kode buku di tempatnya, tapi laki – laki ini? Apa dia pekerja disini juga? Tapi kalau di lihat dari seragam yang ia kenakan, jelas bukan. Atau dia anak dari pemilik perpustakaan umum ini? Anak bos? Kebiasaan burukku terulang lagi. Selalu membuat pemikiran yang tidak jelas, terlalu penasaran tentang hal yang ganjil.
            Aku menjejalkan buku-buku itu dengan malas, agak bosan dengan pekerjaanku ini, di tambah lagi aku bukan tipe orang suka membaca, tapi bagaimana lagi aku butuh uang untuk hidupku. “Jangan begitu, nanti bukunya rusak!” Teriaknya spontan. Tanganku ditariknya menjauh dari rak buku.
            “Buku-buku itu bisa rusak kalau kamu masukinnya seperti itu.”
            “Sudahlah. Memangnya kamu siapa? Anak pemilik perpustakaan ini?” tuduhku. Dia tertawa terkekeh. Entah apa yang lucu menurutku. Sambil menahan tawanya, dia melanjutkan kegiatannya kembali, membantuku. Aku sangat tertolong saat itu, badanku sudah amat lelah, tapi aku enggan mengakuinya.
            Duduk bersantai dengan segelas kopi susu hangat di depanku, melihat jalanan yang masih ramai dari balik jendela, meski langit sore sudah lama pergi. Ini belum jam sembilan malam, meskipun pekerjaanku sudah selesai aku masih dilarang pulang, sudah peraturan. Ketika aku berniat untuk berbalik, aku mengerjap. Seseorang sudah berdiri sedikit di belakangku yang aku tidak tahu sejak kapan. Kopi milikku sedikit tumpah mengenai punggung tanganku, untung kopi itu sudah mendingin.
            “Kamu siapa? Pengunjung, pegawai atau anak bos? Atau mungkin hanya orang yang tidak punya pekerjaan?” selidikku ketus. Aku memasang wajah sesinis mungkin.
            “Aku sama denganmu, mungkin.”
            “Mungkin?”     
            “Aku tebak, kamu pasti seorang workaholic?” selidiknya dengan mata menyala-nyala yang sempat membuat kuberpikir dia seorang phsyco atau semacamnya.
            “Mungkin dibilang workaholic juga bukan, karna kadang aku merasa malas jika harus kerja, tapi mau bagaimana lagi, kalau tidak bekerja aku tidak akan bisa bertahan hidup di kota besar ini kan? Lalu kamu sendiri?” tanyaku balik.
            “Aku bekerja disalah satu perusahaan periklanan. Aku suka ke sini karna aku merasa mudah menemukan ide-ide unik untuk bahan kerjaku. Aku hanya pegawai biasa tapi apa salahnya berusaha untuk mendapat hal yang lebih tinggi? Apa aku salah?” Aku terenyuk kaget mendengar pengakuannya malam itu. Dia sama sekali tak terlihat seperti pegawai, dia lebih mirip dengan manager atau sebangsanya.
                                                                            ***
05.00 AM.
            Kepalaku masih pusing, tak berbeda dengan badanku yang masih terasa begitu berat. Hal yang terakhir ku ingat hanya, aku membanting tubuhku ke tempat tidur tanpa membuka kaos kaki dan sepatu lalu menghilang. Alarm ponselku berdering setiap sepuluh menit, kuraih, kumatikan lalu kucampakkan di atas bantal. Sandal cokelat mengiringi langkahku ke kamar mandi. Tak lama kemudian, aku keluar dengan badan yang mengigil karna sengatan air yang langsung menusuk dan membekukan setiap pembuluh darahku. Siap dengan seragam kuning, kumasukan mie instan dalam mulutku hanya dengan beberapa kali sendok. Aku tidak pernah peduli, apakah gulungan mie-mie itu benar-benar terproses dengan baik atau hanya sekedar melewati ususku.

08.00 AM
            Masih ada waktu lima belas menit sebelum waktuku bekerja, segelas kopi pekat bisa membuatku merasa sedikit lebih berenergi, matapun terasa lebih terbuka lebar karnanya. Pretty datang, membawa setumpuk kecil daftar alamat yang harus kuantarkan pesanan mereka. Begitu pun untuk kurir yang lain tak jauh beda dengan nasibku. Ku ambil berkantong-kantong makanan dari dapur, kumasukkan ke dalam box, lalu melesat ke jalan yang tertera disetiap kertas.
            Satu hal yang aku benci dari tugasku adalah menagih uang ke pelanggan yang kolotnya minta ampun. Berani memesan tapi saat diminta bayarannya, seakan untuk mengambil uang seratus ribu lamanya berjam-jam. Itulah yang kerap membuatku terlambat kembali ke kantor, karna harus berurusan dengan manusia-manusia macam ini. Sering kali aku harus dapat hukuman dari Pretty karna sikapku yang kurang sopan pada pelanggan. Padahal itu semua juga demi kedainya yang selalu di banggakannya.
            “Pelanggan pertama, I’m coming!” Kataku penuh semangat menapaki jalan batu yang memisahkan pagar dengan rumah. Dua kantong makanan, kutenteng hati-hati.
            “Semoga hari ini aku terbebas dari omelan raksasa.” Doaku jahat. Ku tekan tombol kecil yang terpajang di tembok samping engsel pintu, berkali-kali. Tapi belum nampak seorang pun yang keluar. Menahan sabar itu susah ya? Aku mulai jengkel dengan pemilik rumah yang tak kunjung keluar ini. “Tunggu lima menit lagi!” Perintahku pada kedua kakiku, mencoba menyabarkan diri. Samar-samar terdengar suara knop pintu berputar, aku mendongakkan kepala.
             “Kamu?” Sentakku kaget. Dia tersenyum manis, lehernya terbalut syal tebal, dengan jaket hitam yang sama tebalnya.
            “Apa dia sakit? Tapi kalau sakit, apa dia bisa makan lima kotak makan ini? Apa akan ada pesta disini?” Kataku yang tanpa sengaja keluar begitu saja dari mulutku. Dia tetap tersenyum geli, menjijikan.
            “Aku sakit, ini semua untuk anak panti asuhan yang sebentar lagi datang kemari untuk belajar disini.”
            “Nah itu mereka,” serunya kemudian setelah melihat segerombolan anak-anak kecil memasuki pekarangan rumahnya. Aku berputar cepat.
            “Percaya, kan?” Aku terbangun lalu membalik badanku lagi, “Aku tidak peduli, sekarang bayar. Aku masih banyak pesanan.” Tagihku dengan tangan mengadah di depan wajahnya. Dia merogo saku celananya, mengeluarkan beberapa lembar uang kertas, kurampas. Setelah ku yakin benar tanpa harus mengeluarkan uang kembali dari tas kecil yang melingkar di pinggangku, aku langsung pergi. Sepanjang perjalanan aku terus menggerutu tak jelas, Suasana hatiku seketika berubah buruk. Berpura-pura ramah pada pelanggan setiap mengantar pesanan padahal hatiku sedang berkecamuk.  Menyebalkan.
            Sehabis bekerja langsung ke rumahku. Aku tahu hari sabtu perpustakaan umum tutup. Pelanggan pertamamu, Jo.’
            “Darimana dia tahu nomer ponselku? Jangan-jangan benar dia itu phsyco? Tuhan, aku harus gimana?” Perasaanku mulai tidak menentu. Aku memacu sepeda motorku lagi setelah sempat berhenti, kembali ke kedai untuk mengambil pesanan selanjutnya jika ada.
            Baru saja kuletakan box besar di meja besar dekat dapur. Tempatku biasanya menyiapkan barang pesanan. Kulempar topi yang kupakai untuk melindungi pandanganku dari sinar matahari langsung.
            “Mal…” Panggil wanita berbadan gemuk dan pendek, mirip buntalan karung beras, tengah berjalan ke arahku. Wanita itu tersenyum. Aku baru sadar, tersenyum?, pikirku sekali lagi tak percaya. “Ada apa bos?” Tanyaku hambar. Pretty menepuk pundakku,
            “Good job Malta, pelanggan senang, sekarang kau tidak marah-marah lagi dan lebih ramah pada mereka. Pertahankan Malta! Baiklah, kau boleh istirahat jika tidak ada pesanan yang harus kau antar.” Perintahnya lalu meninggalkanku. Dalam hatiku aku mengiyakan semua perintahnya, karna memang itu rencanaku sebelum dia datang. Anda terlambat bos!!
            Aku pergi ke dapur, memeriksa apa ada pesanan yang harus kuantar sebelum aku beristirahat. Aku tidak ingin istirahatku yang sangat berharga terganggu.
            “Sudah tidak ada, semuanya sudah diantar, kau free sekarang!” Ucap Fred dari balik wajan besarnya. Aku tersenyum senang. Mengambil segelas es jeruk dan membawanya ke belakang. Duduk bersandar di kursi kayu. Kusesap berlahan minumanku, tiba-tiba aku teringat akan sebuah pesan tadi siang. Ku keluarkan ponsel dari belakang.
            “Pelanggan pertama? Jo? Siapa?” Otakku mulai bekerja, mengingat-ingat siapa pelanggan pertamaku, maklum baru beberapa jam saja aku sudah mengantarkan lebih dari 20 pesanan. “Pelanggan pertama?” gumamku di tengah berpikir.
            “DIA!!” pekikku.
            “Jadi dia namanya Jo? Untuk apa dia menyuruhku kesana? Jangan-jangan dugaanku selama ini benar kalau dia phsyco? Tuhan.” Kuangkat lengan kiriku, kuperhatikan, banyak bulu romaku yang berdiri.
                                                                            ***
04.00 PM
            Aku pulang satu jam lebih cepat, ada dua hal yang memenuhi pikiranku saat ini. Satu, kenapa Jo atau siapalah dia menyuruhku datang ke rumahnya dan yang kedua adalah kenapa si Pretty mengijinkanku pulang lebih awal?
            Tak membutuhkan waktu cukup lama untuk ke rumah Jo, karna kawasan ini dilewati oleh beberapa bis. Aku pun tak perlu mandi keringat untuk berlari kemari. Loncat dari bis lalu berjalan sebentar menuju pagar rumah kayu yang terkesan unik dijaman sekarang. Melangkah beberapa kali untuk sampai di depan pintu. “Selamat datang, silahkan masuk.” Ia berlagak seperti tuan rumah yang hangat dalam benakku. Mempersilahkanku duduk di salah satu sofanya yang kedapatan nama mereknya, merek kelas atas. Pikiranku kembali berputar, benarkah dia hanya pegawai biasa?
            “Ada apa?”
            “Silahkan minum dulu.” Aku tak menyentuh gelas itu sedikit pun apalagi meminum isinya. Bukan tidak menghargai, tapi hanya sekedar untuk berhati-hati. Belajar dari hal yang sudah pernah terjadi itu penting.
            “Cepat katakan ada apa? Kamu sudah membuang waktu istirahatku yang berharga.” 
            “Kalau begitu, istirahatlah disini. Kau tahu aku sedang sakit bukan?”
            “Disini?” Aku terpekik. “Apa maksudmu? Kalau aku tahu kau sedang sakit lantas aku harus istirahat disini begitu?” Komentarku tajam.. Dia tertawa melihat responku. Aku memberengut. “Aku minta tolong, tolong rawat aku. Kita sudah sering bertemu, dan aku merasa kamu orang yang bisa dipercaya.”
            “Kalau kamu ingin dirawat tinggal pergi ke rumah sakit sana! Disana banyak suster yang bisa merawatmu 24 jam. Jauh lebih professional. Jadi kenapa harus aku?”
            “Karna aku suka kamu!” Ucapnya blak-blakan. Aku seketika diam. Aku menelan ludah pelan, berharap dia tidak menyadarinya. “Kamu sudah gila? Enggak waras atau apa sih?”
            “Terserah mau bilang apa, yang jelas aku suka kamu. Aku suka kamu, Malta!” Kali ini aku benar-benar kaget. Bahkan namaku saja dia tahu. Dia memang lumayan tampan dan kalau dilihat dari rumah beserta isinya, dia jelas orang kaya. Tapi cara pikirnya itu menakutkan. Aku ingin segera pergi dari sini.
            “Kamu tahu apa yang bikin aku bisa suka sama kamu?” Aku menggeleng setengah takut. Dia berdeham sekali lalu melanjutkan ucapannya, “Aku suka denganmu karna kamu orang yang pantang menyerah, pekerja keras, tidak peduli bahaya, keras, berani, dan asik. Jarang perempuan jaman sekarang bisa sepertimu. Kerja paruh waktu buat hidup. Yang bikin aku terkesan itu, karna kamu perempuan.” Aku masih tidak percaya. Kedua lututku lemas, seolah tak sanggup untuk menopang badanku yang keras. Saat otakku bisa bekerja, aku berbalik dan lari keluar rumah, secepatnya aku ingin pergi dari rumah ini, tapi kesialan datang.

08.30 PM
            Kepalaku basah, dingin. Aku juga merasa ada yang meremas jemariku. Tapi kenapa gelap? Aku menarik tubuhku maju ke depan, cepat. Mata, kubuka lebar-lebar. Mengelilingi setiap penjuru ruangan. “Kamu enggak pa-pa kan?” Mendengar suara itu seketika aku menoleh. Laki-laki itu, Jo, dia duduk di sampingku, dialah yang meremas tanganku daritadi.
            “Tanganku terbalut? Jangan- jangan tadi aku…” Tebakku.
            “Iya, kamu tadi jatuh waktu mau pergi dari sini. Untung kamu cuman pingsan biasa, tapi lama juga ya? Tanganmu sudah aku obati, jadi kamu jangan khawatir lagi.” Jawabnya penuh perhatian. “Ini semua kamu yang lakuin? Bawa aku kesini? Luka? Kepala? Itu semua kamu, Jo?” Selidikku penasaran. Dia tersenyum.
            “Iya, aku takut kamu kenapa-napa. Aku cemas banget tadi.”
Aku tertawa garing, “Sebenarnya aku malas mau bilang ini, tapi mau bagaimana lagi. Kamu sudah merawat aku, bahkan jagain aku. Jadi, makasih.”
            “Apa kamu bersedia untuk menikah denganku?” Aku tercengang. Ada perasaan menyesal sudah mengucapkan kata paling berharga itu. Orang ini benar-benar enggak waras. Apa maksudnya semua ini, menyetujui dia boleh menyukaiku saja belum. Ini sudah mengajakku menikah.
            “Kamu bukan anak sekolah lagi kan?”
            “Ya, sudah lama aku berhenti kuliah. Membosankan.”
            “Jadi?” Desaknya semakin membuatku bergidik. Aku hanya memasang senyuman kuda.
            “Aku tidak tahu.” Sahutku acuh tak acuh. Yang aku pikirkan hanya segera keluar dari rumah ini. Hanya itu.
           
1 MONTH LATER
            Tak semudah dugaanku, pada akhirnya aku juga membutuhkan bantuan kedua orang tuaku yang selama ini kukira membuangku. Padahal mereka hanya ingin mendidikku untuk mengerti hidup itu berat, mencari uang itu susah, dan dunia ini kejam. Aku butuh mereka untuk membantuku me-manage usaha baruku. Kini aku mengerti setelah aku berhasil mendirikan rumah makanku sendiri. Malta’s House. Itu nama yang kuberikan untuk usaha pertamaku.
            Sekotak permen karet muncul di depan wajahku. Orang yang tak asing berdiri di belakang kursi putarku. “Jo? Kamu?” Ucapku heran.
“Aku ingin menagih janjimu waktu itu. Aku sudah menjadi GM, kamu sudah mempunyai rumah makanmu sendiri, lalu?”Aku teringat akan saat itu. Aku tersipu malu. Kupejamkan mataku.
“Janji yang mana? Janji saat kamu melamarku?” Jo mengangguk, sementara aku menggeleng. “Kamu lupa atau memang tidak mengerti. Kapan aku mengatakan iya? Coba putar ulang memori otakmu, aku mengatakan ‘aku tidak tahu’.” Balasku dengan puas sekaligus meledeknya. Jo menghela nafasnya, lalu bangkit dan memelukku dari belakang, susah payah aku melepaskan diri dari pelukannya. Tapi tidak bisa, pelukannya terlalu erat ditambah dia menggelitikiku. Dia tahu disanalah kelemahanku. Kekuatanku seketika menghialng saat rasa geli itu menjalar ke seluruh permukaan tubuhku. Aku menyerah.
“Jadi apa kau masih menolakku?” Katanya tegas tapi menggoda.
“Sebenarnya aku ingin menolakmu. Tapi daripada aku mati hari ini karna berada dalam pelukanmu yang berbahaya, lebih baik aku mengatakan kata iya.” Akuku acuh. Dia tertawa, tidak pernah menganggap perkataan yang keluar dari mulut pedasku adalah perkataan yang sesungguhnya. Dia selalu menganggap itu sebagai caraku bercanda dan bermanja ria padanya. Dan aku suka itu.
Beberapa saat kemudian, Pretty, mantan bosku dan kedua orang tuaku masuk tanpa mengetuk pintu. Kudorong tubuh Jo dariku, membuatnya hampir membentur meja kecil di belakangnya. Mataku tak percaya melihat Pretty ada disini, “Bos?” Sapaku kaku.
“Jangan panggil aku bos, kau bukan pegawaiku lagi, sekarang kita rekan bisnis.” Balasnya santai. Dia berbeda dengan Pretty yang kukenal, lebih lembut dan santai.
“Tapi kenapa bos, ahh maksudku bu Pretty ada disini?”
“Astaga Malta!” Ibuku mengeluarkah suara keluhannya, sama seperti saat aku mendapatkan nilai merah memenuhi rapor.
“Memangnya ada apa?”
“Dia ibu Jo! Ibu dari calon suamimu.” Ibuku menggeleng melihat reaksiku. “Sepertinya kamu memang harus dibawa ke dokter. Daya ingatmu begitu rendah. Bu Pretty adalah teman ibu. Sementara Jo adalah teman masa kecilmu yang selalu mengatakan ingin menikahimu saat besar nanti. Dan sekarang kalian memang akan menikah.” Lanjutnya. Aku mengangguk seolah mengerti dan tidak ada apa-apa. Padahal itu kulakukan untuk menghilangkan rona malu di wajahku. Kenapa aku bisa tidak tahu? Payah!!
Jo merangkulku, lalu berbisik, “Kamu pasti berpikir kenapa kamu bisa lupa kan? Kenapa kamu tidak mengenaliku?” Aku sontak menoleh ke arahnya. Dia hanya tersenyum puas.

zzz



4 komentar:

(kelompok 1) dua belas ipa 6 mengatakan...

bagus nih:)
oia, hey salam kenal, yuk blogwalking ke blogku yuanitaaisyah.blogspot.com hehe follow ya maaciw :3

Anonim mengatakan...

bagussss kokk dekk critax... (y)
mana yang lain..?? hahhah
#yuki chi_04

Anonim mengatakan...

bagus, penulisanya juga sip...

Insan Gumelar Ciptaning Gusti mengatakan...

*Yuanita : terima kasih udah baca tulisanku. iya salam kenal juga :)

*Anonim : yang lihatnya bisa dilihat di postingan tahun 2013 :)