01.45 PM
Hidup ini memang berat!, pikirku sekilas
saat beristirahat di pinggir jalan sambil meneguk air mineral beberapa kali.
Cuaca yang cukup panas membuatku merasa seperti terbakar. Aku sangat
membutuhkan air untuk sekedar membasahi tenggorokanku. Jangan sampai aku jatuh
pingsan karna dehidrasi dan mengacaukan semua pekerjaanku. Anak tunggal yang di
buang orang tuanya. Mungkin itu pernyataan yang tepat untuk hidupku
sekarang. Hidup di kota serba mahal,
jauh lebih menyusahkan daripada hidupku yang dulu. Semua gara-gara kebodohanku.
Hahh, kuhela nafas panjang, mengingat keputusan bodohku yang pada akhirnya
malah balik menyusahkanku sendiri.
Tittt..
Tittt…! Suara menyakitkan itu kembali berbunyi dari arah jam tanganku. Kuraih
tas besar dan menggantungnya di punggung. Sepeda motor ini, semakin terasa
berat dengan satu box besar yang baru saja kosong. Meninggalkan bangku teduh, buru-buru
kembali ke tempat kerjaku sebelum si Pretty berubah menjadi raksasa.
Sekitar dua
puluh menit, akhirnya aku sampai di kedai Ureshii.
Kuparkir sepeda, berlari menaiki anak tangga yang aku rasa penataannya salah.
Tangga ini begitu curam. Membutuhkan energi yang lebih banyak. Dugaanku jadi
kenyataan, Pretty sudah berdiri di depan kasir sambil berkacak pinggang dengan
muka marahnya.
“Apa dia enggak takut semua
pelanggan pada kabur ya?” gerutuku. Pretty memberiku isyarat untuk mengikutinya
dari belakang. Tanpa bisa berbuat apa-apa, aku hanya mengekor. Mengikuti langkahnya
yang lebar ke ruangan yang sempit.
Dia
mempersilahkanku duduk meskipun wajahnya masih sangat masam. Kuputar sedikit
kursi, duduk, dan mendengarkan omelannya. Sangat membosankan. Terkadang aku
berpikir, apa aku perlu periksa ke dokter telinga setiap selesai mendengarkan
suara Pretty? Tapi kalau iya, uang tabunganku akan habis dalam waktu singkat
hanya untuk membayar dokter. Maaf tidak akan. Sesekali mataku kuarahkan ke
wajahnya yang aneh lalu kembali ke kedua sepatuku yang bergerak-gerak.
“Jangan sampai aku
melihatmu mengundur-undur waktu pengiriman barang! Ingat pesanan masih banyak!”
Sentaknya saat aku membuka pintu untuk bergegas keluar.
Pesanan
terakhir sebelum pulang. Di sini aku hanya boleh bekerja sampai jam lima sore,
karna aku perempuan katanya. Ini sejenis diskriminasi, tapi aku senang. Aku bisa
pulang lebih cepat daripada teman-teman kurir makanan yang lainnya, yang
mayoritas laki-laki. Aku tertawa jahat dalam hati.
***
06.00
PM
Belum sempat membersihkan diri dari
keringat yang memenuhi seragam kuningku, aku berlari ke arah berlawanan dari
apartement kecilku. “Seharusnya aku membeli sepeda motor, meskipun butut yang
penting berguna untuk saat seperti ini!”
Aku berhenti sejenak, mengatur nafasku yang sudah tidak karuan. Lalu
berlari lagi lebih cepat, kurang satu lampu merah lagi.
Selesai membersihkan diri di kamar
mandi tempat kerjaku, aku mulai merapikan buku-buku yang berantakan. Di sini
pekerjaanku jauh lebih ringan daripada di kedai Ureshii, tapi gajinya pun juga semakin ringan.
“Hey, kita ketemu lagi? Kamu perempuan
pengantar makanan itu kan? Kalau enggak salah hitung, kita sudah sepuluh kali
lebih bertemu.” Aku menoleh, memastikan bukan laki-laki yang tadi siang kutemui.
Nafasku tercekat melihat sosok itu berdiri membungkuk di hadapanku. Aku masih
saja duduk di lantai dengan buku-buku di pangkuannku.
“Hey!” Panggilnya lagi dengan
menggerak-gerakkan tangan di depan wajahku. Meskipun ragu sepertinya aku mencoba
untuk tersenyum, memberikan respon bahwa saat itu aku belum mati.
“Kamu kerja disini juga?” Aku
menggangguk dan kembali ke pekerjaanku.
“Apa gaji di kedai itu kurang? Atau
kamu tidak tahan dengan pemiliknya?” Aku mendengus kesal ketika ia duduk di sampingku,
membantuku merapikan buku dalam rak-raknya. Jujur, aku sangat terkejut. Dia
dengan lihai memasukan buku-buku itu sesuai kode buku masing-masing, padahal
aku sendiri membutuhkan waktu sekitar dua bulan lebih untuk menghafal setiap
kode buku di tempatnya, tapi laki – laki ini? Apa dia pekerja disini juga? Tapi
kalau di lihat dari seragam yang ia kenakan, jelas bukan. Atau dia anak dari
pemilik perpustakaan umum ini? Anak bos? Kebiasaan burukku terulang lagi.
Selalu membuat pemikiran yang tidak jelas, terlalu penasaran tentang hal yang
ganjil.
Aku menjejalkan buku-buku itu dengan
malas, agak bosan dengan pekerjaanku ini, di tambah lagi aku bukan tipe orang
suka membaca, tapi bagaimana lagi aku butuh uang untuk hidupku. “Jangan begitu,
nanti bukunya rusak!” Teriaknya spontan. Tanganku ditariknya menjauh dari rak
buku.
“Buku-buku itu bisa rusak kalau kamu
masukinnya seperti itu.”
“Sudahlah. Memangnya kamu siapa?
Anak pemilik perpustakaan ini?” tuduhku. Dia tertawa terkekeh. Entah apa yang
lucu menurutku. Sambil menahan tawanya, dia melanjutkan kegiatannya kembali,
membantuku. Aku sangat tertolong saat itu, badanku sudah amat lelah, tapi aku
enggan mengakuinya.
Duduk bersantai dengan segelas kopi
susu hangat di depanku, melihat jalanan yang masih ramai dari balik jendela,
meski langit sore sudah lama pergi. Ini belum jam sembilan malam, meskipun
pekerjaanku sudah selesai aku masih dilarang pulang, sudah peraturan. Ketika
aku berniat untuk berbalik, aku mengerjap. Seseorang sudah berdiri sedikit di belakangku
yang aku tidak tahu sejak kapan. Kopi milikku sedikit tumpah mengenai punggung
tanganku, untung kopi itu sudah mendingin.
“Kamu siapa? Pengunjung, pegawai
atau anak bos? Atau mungkin hanya orang yang tidak punya pekerjaan?” selidikku
ketus. Aku memasang wajah sesinis mungkin.
“Aku sama denganmu, mungkin.”
“Mungkin?”
“Aku tebak, kamu pasti seorang workaholic?” selidiknya dengan mata
menyala-nyala yang sempat membuat kuberpikir dia seorang phsyco atau semacamnya.
“Mungkin dibilang workaholic juga bukan, karna kadang aku
merasa malas jika harus kerja, tapi mau bagaimana lagi, kalau tidak bekerja aku
tidak akan bisa bertahan hidup di kota besar ini kan? Lalu kamu sendiri?”
tanyaku balik.
“Aku bekerja disalah satu perusahaan
periklanan. Aku suka ke sini karna aku merasa mudah menemukan ide-ide unik
untuk bahan kerjaku. Aku hanya pegawai biasa tapi apa salahnya berusaha untuk
mendapat hal yang lebih tinggi? Apa aku salah?” Aku terenyuk kaget mendengar
pengakuannya malam itu. Dia sama sekali tak terlihat seperti pegawai, dia lebih
mirip dengan manager atau sebangsanya.
***
05.00
AM.
Kepalaku masih pusing, tak berbeda
dengan badanku yang masih terasa begitu berat. Hal yang terakhir ku ingat
hanya, aku membanting tubuhku ke tempat tidur tanpa membuka kaos kaki dan
sepatu lalu menghilang. Alarm ponselku berdering setiap sepuluh menit, kuraih,
kumatikan lalu kucampakkan di atas bantal. Sandal cokelat mengiringi langkahku
ke kamar mandi. Tak lama kemudian, aku keluar dengan badan yang mengigil karna sengatan
air yang langsung menusuk dan membekukan setiap pembuluh darahku. Siap dengan
seragam kuning, kumasukan mie instan dalam mulutku hanya dengan beberapa kali
sendok. Aku tidak pernah peduli, apakah gulungan mie-mie itu benar-benar
terproses dengan baik atau hanya sekedar melewati ususku.
08.00
AM
Masih ada waktu lima belas menit
sebelum waktuku bekerja, segelas kopi pekat bisa membuatku merasa sedikit lebih
berenergi, matapun terasa lebih terbuka lebar karnanya. Pretty datang, membawa
setumpuk kecil daftar alamat yang harus kuantarkan pesanan mereka. Begitu pun
untuk kurir yang lain tak jauh beda dengan nasibku. Ku ambil berkantong-kantong
makanan dari dapur, kumasukkan ke dalam box, lalu melesat ke jalan yang tertera
disetiap kertas.
Satu hal yang aku benci dari tugasku
adalah menagih uang ke pelanggan yang kolotnya minta ampun. Berani memesan tapi
saat diminta bayarannya, seakan untuk mengambil uang seratus ribu lamanya
berjam-jam. Itulah yang kerap membuatku terlambat kembali ke kantor, karna
harus berurusan dengan manusia-manusia macam ini. Sering kali aku harus dapat
hukuman dari Pretty karna sikapku yang kurang sopan pada pelanggan. Padahal itu
semua juga demi kedainya yang selalu di banggakannya.
“Pelanggan pertama, I’m coming!” Kataku
penuh semangat menapaki jalan batu yang memisahkan pagar dengan rumah. Dua
kantong makanan, kutenteng hati-hati.
“Semoga hari ini aku terbebas dari
omelan raksasa.” Doaku jahat. Ku tekan tombol kecil yang terpajang di tembok
samping engsel pintu, berkali-kali. Tapi belum nampak seorang pun yang keluar.
Menahan sabar itu susah ya? Aku mulai jengkel dengan pemilik rumah yang tak
kunjung keluar ini. “Tunggu lima menit lagi!” Perintahku pada kedua kakiku,
mencoba menyabarkan diri. Samar-samar terdengar suara knop pintu berputar, aku
mendongakkan kepala.
“Kamu?” Sentakku kaget. Dia tersenyum manis,
lehernya terbalut syal tebal, dengan jaket hitam yang sama tebalnya.
“Apa dia sakit? Tapi kalau sakit,
apa dia bisa makan lima kotak makan ini? Apa akan ada pesta disini?” Kataku
yang tanpa sengaja keluar begitu saja dari mulutku. Dia tetap tersenyum geli, menjijikan.
“Aku sakit, ini semua untuk anak
panti asuhan yang sebentar lagi datang kemari untuk belajar disini.”
“Nah itu mereka,” serunya kemudian
setelah melihat segerombolan anak-anak kecil memasuki pekarangan rumahnya. Aku
berputar cepat.
“Percaya, kan?” Aku terbangun lalu
membalik badanku lagi, “Aku tidak peduli, sekarang bayar. Aku masih banyak
pesanan.” Tagihku dengan tangan mengadah di depan wajahnya. Dia merogo saku
celananya, mengeluarkan beberapa lembar uang kertas, kurampas. Setelah ku yakin
benar tanpa harus mengeluarkan uang kembali dari tas kecil yang melingkar di pinggangku,
aku langsung pergi. Sepanjang perjalanan aku terus menggerutu tak jelas, Suasana
hatiku seketika berubah buruk. Berpura-pura ramah pada pelanggan setiap
mengantar pesanan padahal hatiku sedang berkecamuk. Menyebalkan.
‘Sehabis
bekerja langsung ke rumahku. Aku tahu hari sabtu perpustakaan umum tutup.
Pelanggan pertamamu, Jo.’
“Darimana
dia tahu nomer ponselku? Jangan-jangan benar dia itu phsyco? Tuhan, aku harus gimana?” Perasaanku mulai tidak menentu.
Aku memacu sepeda motorku lagi setelah sempat berhenti, kembali ke kedai untuk
mengambil pesanan selanjutnya jika ada.
Baru saja kuletakan box besar di meja
besar dekat dapur. Tempatku biasanya menyiapkan barang pesanan. Kulempar topi
yang kupakai untuk melindungi pandanganku dari sinar matahari langsung.
“Mal…” Panggil wanita berbadan gemuk
dan pendek, mirip buntalan karung beras, tengah berjalan ke arahku. Wanita itu
tersenyum. Aku baru sadar, tersenyum?,
pikirku sekali lagi tak percaya. “Ada apa bos?” Tanyaku hambar. Pretty menepuk
pundakku,
“Good job Malta, pelanggan senang,
sekarang kau tidak marah-marah lagi dan lebih ramah pada mereka. Pertahankan
Malta! Baiklah, kau boleh istirahat jika tidak ada pesanan yang harus kau
antar.” Perintahnya lalu meninggalkanku. Dalam hatiku aku mengiyakan semua
perintahnya, karna memang itu rencanaku sebelum dia datang. Anda terlambat
bos!!
Aku pergi ke dapur, memeriksa apa
ada pesanan yang harus kuantar sebelum aku beristirahat. Aku tidak ingin
istirahatku yang sangat berharga terganggu.
“Sudah tidak ada, semuanya sudah
diantar, kau free sekarang!” Ucap
Fred dari balik wajan besarnya. Aku tersenyum senang. Mengambil segelas es
jeruk dan membawanya ke belakang. Duduk bersandar di kursi kayu. Kusesap
berlahan minumanku, tiba-tiba aku teringat akan sebuah pesan tadi siang. Ku keluarkan
ponsel dari belakang.
“Pelanggan pertama? Jo? Siapa?” Otakku
mulai bekerja, mengingat-ingat siapa pelanggan pertamaku, maklum baru beberapa
jam saja aku sudah mengantarkan lebih dari 20 pesanan. “Pelanggan pertama?”
gumamku di tengah berpikir.
“DIA!!” pekikku.
“Jadi dia namanya Jo? Untuk apa dia
menyuruhku kesana? Jangan-jangan dugaanku selama ini benar kalau dia phsyco? Tuhan.” Kuangkat lengan kiriku,
kuperhatikan, banyak bulu romaku yang berdiri.
***
04.00
PM
Aku pulang satu jam lebih cepat, ada
dua hal yang memenuhi pikiranku saat ini. Satu, kenapa Jo atau siapalah dia menyuruhku
datang ke rumahnya dan yang kedua adalah kenapa si Pretty mengijinkanku pulang
lebih awal?
Tak membutuhkan waktu cukup lama
untuk ke rumah Jo, karna kawasan ini dilewati oleh beberapa bis. Aku pun tak
perlu mandi keringat untuk berlari kemari. Loncat dari bis lalu berjalan
sebentar menuju pagar rumah kayu yang terkesan unik dijaman sekarang. Melangkah
beberapa kali untuk sampai di depan pintu. “Selamat datang, silahkan masuk.” Ia
berlagak seperti tuan rumah yang hangat dalam benakku. Mempersilahkanku duduk
di salah satu sofanya yang kedapatan nama mereknya, merek kelas atas. Pikiranku
kembali berputar, benarkah dia hanya pegawai biasa?
“Ada apa?”
“Silahkan minum dulu.” Aku tak menyentuh
gelas itu sedikit pun apalagi meminum isinya. Bukan tidak menghargai, tapi
hanya sekedar untuk berhati-hati. Belajar dari hal yang sudah pernah terjadi
itu penting.
“Cepat katakan ada apa? Kamu sudah
membuang waktu istirahatku yang berharga.”
“Kalau begitu, istirahatlah disini.
Kau tahu aku sedang sakit bukan?”
“Disini?” Aku terpekik. “Apa
maksudmu? Kalau aku tahu kau sedang sakit lantas aku harus istirahat disini begitu?”
Komentarku tajam.. Dia tertawa melihat responku. Aku memberengut. “Aku minta
tolong, tolong rawat aku. Kita sudah sering bertemu, dan aku merasa kamu orang
yang bisa dipercaya.”
“Kalau kamu ingin dirawat tinggal
pergi ke rumah sakit sana! Disana banyak suster yang bisa merawatmu 24 jam.
Jauh lebih professional. Jadi kenapa harus aku?”
“Karna aku suka kamu!” Ucapnya blak-blakan.
Aku seketika diam. Aku menelan ludah pelan, berharap dia tidak menyadarinya. “Kamu
sudah gila? Enggak waras atau apa sih?”
“Terserah mau bilang apa, yang jelas
aku suka kamu. Aku suka kamu, Malta!” Kali ini aku benar-benar kaget. Bahkan
namaku saja dia tahu. Dia memang lumayan tampan dan kalau dilihat dari rumah
beserta isinya, dia jelas orang kaya. Tapi cara pikirnya itu menakutkan. Aku
ingin segera pergi dari sini.
“Kamu tahu apa yang bikin aku bisa
suka sama kamu?” Aku menggeleng setengah takut. Dia berdeham sekali lalu
melanjutkan ucapannya, “Aku suka denganmu karna kamu orang yang pantang
menyerah, pekerja keras, tidak peduli bahaya, keras, berani, dan asik. Jarang perempuan
jaman sekarang bisa sepertimu. Kerja paruh waktu buat hidup. Yang bikin aku
terkesan itu, karna kamu perempuan.” Aku masih tidak percaya. Kedua lututku
lemas, seolah tak sanggup untuk menopang badanku yang keras. Saat otakku bisa
bekerja, aku berbalik dan lari keluar rumah, secepatnya aku ingin pergi dari
rumah ini, tapi kesialan datang.
08.30
PM
Kepalaku basah, dingin. Aku juga merasa
ada yang meremas jemariku. Tapi kenapa gelap? Aku menarik tubuhku maju ke depan,
cepat. Mata, kubuka lebar-lebar. Mengelilingi setiap penjuru ruangan. “Kamu enggak
pa-pa kan?” Mendengar suara itu seketika aku menoleh. Laki-laki itu, Jo, dia
duduk di sampingku, dialah yang meremas tanganku daritadi.
“Tanganku terbalut? Jangan- jangan
tadi aku…” Tebakku.
“Iya, kamu tadi jatuh waktu mau
pergi dari sini. Untung kamu cuman pingsan biasa, tapi lama juga ya? Tanganmu sudah
aku obati, jadi kamu jangan khawatir lagi.” Jawabnya penuh perhatian. “Ini
semua kamu yang lakuin? Bawa aku kesini? Luka? Kepala? Itu semua kamu, Jo?” Selidikku
penasaran. Dia tersenyum.
“Iya, aku takut kamu kenapa-napa.
Aku cemas banget tadi.”
Aku
tertawa garing, “Sebenarnya aku malas mau bilang ini, tapi mau bagaimana lagi.
Kamu sudah merawat aku, bahkan jagain aku. Jadi, makasih.”
“Apa kamu bersedia untuk menikah
denganku?” Aku tercengang. Ada perasaan menyesal sudah mengucapkan kata paling
berharga itu. Orang ini benar-benar enggak
waras. Apa maksudnya semua ini, menyetujui dia boleh menyukaiku saja belum. Ini
sudah mengajakku menikah.
“Kamu bukan anak sekolah lagi kan?”
“Ya, sudah lama aku berhenti kuliah.
Membosankan.”
“Jadi?” Desaknya semakin membuatku
bergidik. Aku hanya memasang senyuman kuda.
“Aku tidak tahu.” Sahutku acuh tak
acuh. Yang aku pikirkan hanya segera keluar dari rumah ini. Hanya itu.
1 MONTH LATER
Tak semudah
dugaanku, pada akhirnya aku juga membutuhkan bantuan kedua orang tuaku yang
selama ini kukira membuangku. Padahal mereka hanya ingin mendidikku untuk mengerti
hidup itu berat, mencari uang itu susah, dan dunia ini kejam. Aku butuh mereka
untuk membantuku me-manage usaha
baruku. Kini aku mengerti setelah aku berhasil mendirikan rumah makanku
sendiri. Malta’s House. Itu nama yang kuberikan untuk usaha pertamaku.
Sekotak
permen karet muncul di depan wajahku. Orang yang tak asing berdiri di belakang
kursi putarku. “Jo? Kamu?” Ucapku heran.
“Aku ingin menagih janjimu
waktu itu. Aku sudah menjadi GM, kamu sudah mempunyai rumah makanmu sendiri,
lalu?”Aku teringat akan saat itu. Aku tersipu malu. Kupejamkan mataku.
“Janji yang mana? Janji
saat kamu melamarku?” Jo mengangguk, sementara aku menggeleng. “Kamu lupa atau
memang tidak mengerti. Kapan aku mengatakan iya? Coba putar ulang memori
otakmu, aku mengatakan ‘aku tidak tahu’.” Balasku dengan puas sekaligus meledeknya.
Jo menghela nafasnya, lalu bangkit dan memelukku dari belakang, susah payah aku
melepaskan diri dari pelukannya. Tapi tidak bisa, pelukannya terlalu erat
ditambah dia menggelitikiku. Dia tahu disanalah kelemahanku. Kekuatanku
seketika menghialng saat rasa geli itu menjalar ke seluruh permukaan tubuhku.
Aku menyerah.
“Jadi
apa kau masih menolakku?” Katanya tegas tapi menggoda.
“Sebenarnya aku ingin
menolakmu. Tapi daripada aku mati hari ini karna berada dalam pelukanmu yang
berbahaya, lebih baik aku mengatakan kata iya.” Akuku acuh. Dia tertawa, tidak pernah
menganggap perkataan yang keluar dari mulut pedasku adalah perkataan yang
sesungguhnya. Dia selalu menganggap itu sebagai caraku bercanda dan bermanja
ria padanya. Dan aku suka itu.
Beberapa saat kemudian, Pretty,
mantan bosku dan kedua orang tuaku masuk tanpa mengetuk pintu. Kudorong tubuh
Jo dariku, membuatnya hampir membentur meja kecil di belakangnya. Mataku tak
percaya melihat Pretty ada disini, “Bos?” Sapaku kaku.
“Jangan panggil aku bos,
kau bukan pegawaiku lagi, sekarang kita rekan bisnis.” Balasnya santai. Dia
berbeda dengan Pretty yang kukenal, lebih lembut dan santai.
“Tapi kenapa bos, ahh
maksudku bu Pretty ada disini?”
“Astaga Malta!” Ibuku
mengeluarkah suara keluhannya, sama seperti saat aku mendapatkan nilai merah
memenuhi rapor.
“Memangnya ada apa?”
“Dia ibu Jo! Ibu dari calon
suamimu.” Ibuku menggeleng melihat reaksiku. “Sepertinya kamu memang harus
dibawa ke dokter. Daya ingatmu begitu rendah. Bu Pretty adalah teman ibu.
Sementara Jo adalah teman masa kecilmu yang selalu mengatakan ingin menikahimu
saat besar nanti. Dan sekarang kalian memang akan menikah.” Lanjutnya. Aku
mengangguk seolah mengerti dan tidak ada apa-apa. Padahal itu kulakukan untuk
menghilangkan rona malu di wajahku. Kenapa aku bisa tidak tahu? Payah!!
Jo merangkulku, lalu
berbisik, “Kamu pasti berpikir kenapa kamu bisa lupa kan? Kenapa kamu tidak
mengenaliku?” Aku sontak menoleh ke arahnya. Dia hanya tersenyum puas.
zzz
4 komentar:
bagus nih:)
oia, hey salam kenal, yuk blogwalking ke blogku yuanitaaisyah.blogspot.com hehe follow ya maaciw :3
bagussss kokk dekk critax... (y)
mana yang lain..?? hahhah
#yuki chi_04
bagus, penulisanya juga sip...
*Yuanita : terima kasih udah baca tulisanku. iya salam kenal juga :)
*Anonim : yang lihatnya bisa dilihat di postingan tahun 2013 :)
Posting Komentar