Saat aku tiba di kelas, gadis itu
sudah berada diposisi tidurnya seperti biasa, dengan tangan sebagai bantal
diatas meja. Aku selalu berpikir apa dia seorang pelajar yang bekerja paruh
waktu atau tidur adalah salah satu dari hobinya. Masa bodohlah dengan itu. Aku
duduk, tiga bangku lebih belakang dari gadis yang sering dipanggil om oleh
teman-temannya. Om? Panggilan yang sama sekali tidak ada hubungannya untuk
seorang gadis seperti dia, yang aku tahu.
08.30. Pergantian jam pelajaran
baru saja dimulai. Wajah itu berubah. Tawaan yang tadi menghiasi wajahnya
berubah drastis, muncul ketakutan, kekhawatiran, atau sejenisnya. Ini pelajaran
biasa, hanya pelajaran biologi, tapi kenapa dia sangat resah? Aku membuang
pikiran dan semua pertanyaanku jauh-jauh, “Itu dunianya, itu juga urusannya.
Lalu untuk apa aku yang peduli?” Guru berwajah lucu itu masuk. Memanggil satu
persatu nama lalu disuruhnya maju. Aku meliriknya sekilas, dia semakin gugup,
itulah yang aku dapatkan.
“Rio Hendranata,” Namaku akhirnya
dipanggil. Dengan sebelah tongkat kayu, aku berjalan menghampiri meja guru
didepan. Jalanku memang berubah menjadi lambat dan selalu tergantung pada
sebatang kayu sejak kecelakaan mobil yang merenggut nyawa adik, kedua orang
tuaku, dan membuat kaki kananku sedikit bermasalah. Kurang dari sepuluh menit, aku kembali ke
mejaku. Selanjutnya pasti anak perempuan yang dari tadi ketakutan itu, Selvia
Maggie.
Pelajaran ini tinggal menunggu
jarum jam mengarah ke angka enam, sebelum bell pergantian jam itu berbunyi. Aku
masih berada di kamar mandi, tidak ada keinginan sama sekali untuk kembali.
Terlebih lagi, kelas itu akan dikuasai oleh seorang pembunuh. Kuakui guru itu
memang cantik tapi sayang kejamnya melebihi seorang nenek sihir. Pada akhirnya
kuputuskan untuk beristirahat di UKS. Untuk sekedara melepas rasa kantuk yang
sudah bergelayut manja di kelopak mataku. Tapi apa yang kulihat, salah satu
tempat tidur itu sudah berpenghuni. Aku beranjak ke tempat tidur disebelahnya.
“Sakit juga?” sapaku ringan pada putri
tidur.
“Ya,” balasnya, melepaskan sepatu
kets merah dan berbaring di tempat tidur,
“Kamu beneran sakit? Tapi
kelihatannya enggak seperti itu?” ledekku asal. Dia menatapku marah karena
perkataanku baru saja.
“Untuk apa aku membuang waktuku
dengan tidur di UKS, kalau aku bisa berada di dalam kelas?!” jawabnya sinis.
Aku mengangguk, “Memangnya kamu sakit apa?”
Maggie menggeleng, menempelkan minyak kayu
putih ke bawah lubang hidungnya, lalu menghirupnya beberapa kali. “Mungkin
maag,”
“Tadi kamu sudah makan? Sama apa?
Roti?” Dia malah tertawa hambar mendengarku menyebut kata roti. Memang apa
salahnya dengan roti?
“Mana bisa aku makan roti
sepertimu. Aku hanya makan mie instan dengan secangkir kopi pekat.” Aku kaget.
Sungguh kaget. Gadis ini minum kopi? Kopi
pekat? Apa enggak salah?, batinku bertanya-tanya.
Dia menarik selimut liris-liris
mendekati lehernya dan membenarkan posisi tidurnya, setelah merasa rentetan
pertanyaanku sudah selesai. Aku diam, mengunci mulutku rapat-rapat seolah tidak
ingin membuatnya terbangun dari tidur sesaatnya. Raut wajah yang berbeda saat
itu mencuri perhatianku. Ya, baru kali ini aku bisa melihat raut wajah itu,
setelah selama ini selalu ditutupi dengan kedua lengan tangannya.
***
“Apa yang kucari malam ini?”
Kulempar satu pertanyaan untukku sendiri.
Aku memacu mobilku dengan santai ke pinggiran kota. Mobil ini memang
dirancang khusus untukku. Hadiah dari ayah yang ia titipkan kepada salah satu
orang kepercayaannya sebelum ia meninggal. Yang menjadi misterinya adalah bagaimana
ayahku bisa memperkirakan aku akan membutuhkan mobil ini? Apa ayahku seorang
paranormal dan sejenisnya? Aku terkekeh dengan pikiran-pikiran aneh yang
terlintas diotakku. Dagu ku dekatkan ke arah kemudi. Tanpa aku sadari, mobil
membawaku memasuki kawasan barang-barang bekas yang sudah terkenal dimana-mana.
Pusat barang bekas. Sangking banyaknya barang bekas yang terjual disini, Toni
pun sering mengasumsikan bekas pacar pun ada disini. Mobil terus berjalan
dengan kecepatan stabil. Bola mataku berhasil menemukan sesuatu yang menarik di
toko dekat tikungan jalan depan. Ku parkir mobil di lahan kosong yang jaraknya
tidak sebegitu jauh dengan tujuanku.
“Hey, sedang apa?” kataku
tiba-tiba, setelah berhasil menyejajarkan tubuhku dengannya. Karna kaget dia melompat,
tanganku reflek menariknya yang hampir jatuh,
“Responmu berlebihan, kepalamu
bisa berdarah.”
“Ini semua gara-gara kamu! Buat
apa kamu tiba-tiba nonggol disini?” semburnya. Aku tertawa renyah, “Kamu lupa
apa enggak sadar?” Maggie mengernyitkan dahinya, lalu memukul kepalanya
beberapa kali, “Iya, maaf aku lupa, ini tempat umum, siapa saja boleh kesini
termasuk kamu. Hahh! Pertanyaan bodoh!” ucapnya sambil menggelengkan kepalanya.
Terbangun dari kebodohannya, Maggie melanjutkan pekerjaannya, memilih buku.
Sementara aku, hanya melihat-lihat koleksi buku-buku yang masih terlihat bagus
di rak-rak yang menjulang tinggi.
“Aku cari buku apa? Kamu bisa
muncul ditempat seperti ini, rasanya aneh.”
Aku
tersenyum tipis sebelum menanggapi pertanyaan Maggie barusan, “Enggak ada,
hanya kebetulan lewat, ada yang menarik jadi aku kemari. Kamu sendiri?”
“Mencari ini!” Ia mengacungkan
buku ke depan wajahku yang membuatku menarik kepala sedikit kebelakang.
“Buku biologi? Itu buku pelajaran
kita, kan? Bukannya itu sudah dijual disekolah?”
Maggie
menurunkan tangannya, mengangguk, “Aku tidak sama sepertimu yang terlahir serba
berkecukupan.”
“Pak, saya ambil ini.” Ia memotong
penjelasannya sendiri. Mengejar laki-laki yang merupakan petugas ditoko itu.
Aku memutar otakku, mencerna dalam-dalam semua ucapannya barusan, telebih di
kata terakhir.
***
Sejak kesepakatan bahwa aku
bersedia mengajarinya pelajaran biologi, sepulang sekolah aku selalu mengadakan
pelajaran tambahan khusus untuknya. Seperti les privat di dalam kelas atau
perpustakanan, karna hanya antara aku dan dia. Menurutku, dia teman yang
menyenangkan. Selain enak diajak ngobrol, dia juga cepat mengerti. Tapi yang
membuatku bingung, kenapa saat guru menerangkan dia sulit untuk mengerti?
Pertanyaan yang sering ingin kutanyakan padanya, tapi sesering itu pula
kuurungkan.
Tapi hari ini berbeda, belum
seluruh anak menghilang, dia sudah pergi. Padahal hari ini ada jadwal untuk belajar
bersama. Bukan aku berlagak rajin dan displin, tapi hanya terkesan aneh. Jika
hari biasanya, dia pasti akan menunggu kelas itu menjadi kosong, membiarkan
matahari sore menerobos jendela kaca, dan baru ia pulang. Saat latihan musik,
aku pernah melihatnya. Sekitar 20 menit sejak aku meninggalkan kelas, pesan
singkat bahkan telepon dariku tidak ada satupun yag berhasil memanggilnya.
Kuparkir mobilku ditanah kosong seperti biasa. Masuk lalu keluar, masuk lagi
dan keluar lagi, dengan hasil yang sama. Ku lakukan itu berkali-kali di semua
deretan kios ataupun toko.
“Rio?” Satu tepukan mendarat dipundak
kananku, aku berbalik, mendapati seorang gadis yang kucari tengah berdiri
dengan wajah datar dihadapanku.
“Sedang apa kamu? Lagi cari buku
atau cari aku?
“Cari kamu.” jawabku singkat
“Untuk?”
“Ikut aku makan siang, sekarang!”
paksaku sambil menarik tangannya. Maggie mengikutiku dengan santai sambil
sesekali membantuku berjalan. Warung soto ayam kampung menjadi tempat
rekomendasi Maggie untuk tempat makan siangku hari ini. Tanpa berpikir panjang
aku menyetujui tawaran Maggie. Dua mangkok besar terhidang dihadapan kami.
Tanpa basa-basi lagi, kami segera menyantap soto yang terlihat begitu lezat.
Pengalaman pertamaku yang menyenangkan.
Maggie menutup acara makannya dengan menegak es jeruk dalam beberapa
teguk saja. Hal yang jarang kulihat.
“Aku boleh tanya sesuatu?”
“Tanya saja,” balasnya. Aku
menghabiskan es teh yang masih mendiami gelas ditanganku. “Aku ingiu tanya, apa
maksudmu tempo hari, waktu kamu bilang aku terlahir serba berkecukupan?” Maggie
malah tertawa lebar dan sesekali memukul meja, “Jadi kamu enggak tahu maksudku
apa? Kamu ini pintar tapi ternyata bodoh juga ya?” ledeknya.
“Apa yang tidak bisa kamu miliki?
Semuanya bisa kamu miliki, bukan begitu?”
“Kamu salah! Masih ada yang tidak
bisa aku miliki, seperti–”
“Kasih sayang?” potong Maggie. Aku
diam, tanganku mengepal dibawah meja.
“Pasti iya kan? Nih ya aku kasih
tahu, kalau kamu berpikir kamu tidak bisa mendapatkan kasih sayang, berarti
kamu termasuk orang yang perlu dikasihani.”
“Dikasihani?”
“Iya, betul sekali. Apa kamu lupa
betapa sayangnya keluargamu sama kamu. Kalau sampai ada sesuatu yang terjadi,
ingat Rio, kita tidak hidup sendiri. Saat kita tidak mempunyai keluarga kita
masih memiliki sahabat. Saat kita tidak memiliki sahabat, kita masih ada teman,
dan saat kita tidak memiliki teman, kita masih punya Tuhan. Tuhan akan memberi
kita kasih sayang, kasih sayang yang lebih besar daripada kasih sayang orang
tua kita sendiri.”
“Jangan sok tahu! Maggie, kamu
tidak merasakan apa yang aku rasakan. Tidak mengalami apa yang aku alami. Jadi
bagaimana kamu bisa bicara seperti itu?” balasku dingin.
“Dasar! Kita tidak perlu membuat
orang lain mengerti kita dengan membuatnya mengalami apa yang kita alami. Kita
hanya cukup mengerti mereka terlebih dulu, sebelum meminta mereka dapat mengerti
kita.” Ia meneguk air dari gumpalan es batu yang mencair.
“Aku tidak memiliki seorang ayah
sejak aku lahir. Beliau meninggal saat aku masih berada didalam kandungan. Aku
selalu menginginkan kehadiran seorang ayah, merasakan bagaimana saat ayah
melindungi kita. Jangankan merasakan dekapan seorang ayah, melihat wajahnya
secara langsung pun aku tidak pernah, meski hanya dalam mimipi.” Raut wajahnya
terlihat sedih, aku ikut terenyuk mendengar ceritanya. Gadis yang kukira
pemalas ternyata jauh lebih dewasa daripadaku.
“Maggie, aku minta maaf, aku
enggak tahu kalau …”
“enggak masalah, santai saja. Ehm,
Ingat Rio, semua itu bisa berubah dan menghilang, termasuk siapa saja yang ada
disekitarmu sekarang. Tapi ada dua hal yang tidak akan pernah bisa berubah
yaitu perubahan dan kematian.” Dia tersenyum, di dekatnya aku merasa seperti
seorang adik, padahal jelas-jelas umurku lebih tua beberapa bulan darinya, tapi
pikiranku jauh seperti anak-anak. Rio,
tingkat kedewasaan seseorang dilihat bukan dari umurnya tapi dari besar dia
bisa bertanggung jawab dan dari pola pikirnya. Nasehat itu tiba-tiba
terbersit di pikiranku.
***
Sekarang aku sering bersamanya,
sampai kadang Toni mencurigaiku sudah menjalin hubungan dengannya, padahal
keinginan itu sama sekali tidak terbesit dalam benakku. Bagiku dia bukan hanya
sekedar teman ataupun sahabat. Bagiku dia lebih daripada itu. Dia keluarga bagiku.
Ditambah, aku merasakan ada sensasi yang berbeda setiap bersamanya. Kenyamanan
yang selalu aku dambakan. Melihatnya yang tertawa senang karna mendapat nilai A
dilembar nilai biologi saat ujian semester. Ada rasa bangga yang ia pancarkan.
Seolah mendapatkan hasil dari apa yang dia lakukan. Deretan nila A dan B ini
sudah menjadi makananku. Tapi aku mengingan sesuatu yang berbeda. Aku ingin
merasakan kepuasan dari apa yang aku perjuangkan.
“Rio, makasih ya, sudah bantuin aku selama
ini. Makasih sudah bersedia jadi guru privatku selama ini. Maaf kalau sering
bikin kamu marah.”
“Sama-sama. Nilai itu pantes kok
buat kamu. Selama ini aku juga sudah belajar sungguh-sungguh.” Maggie tersenyum
penuh arti seperti biasanya, “Terima kasih.”
***
Liburan kali ini aku memutuskan
untuk berhenti bermain-main. Aku pergi ke peternakan lebah milik ibuku. Aku
belajar disana, belajar segalanya tentang pengolahan peternakan lebah. Aku akan
meneruskan usaha ibuku ini setelah lulus SMA nanti, sekaligus memilih
universitas di dekat daerah ini. Maggie mengajariku merasakan kasih sayang dari
sesuatu yang tidak ada. Berada di peternakan ini selama liburan, membuatku bisa
merasakan kehadiran ibuku. Tapi malam ini aku harus kembali ke kota. Besok
lusa, rutinitas sekolahku sudah kembali dimulai.
Tapi mungkin setelah aku kembali,
aku tidak akan bertemu dengan dirinya lagi. keputusannya itu membuatku kaget
dan tak habis pikir. Diwaktu yang sesingkat ini. Waktu penentuan yang datang
sebentar lagi ini, malah digunakannya untuk pergi. Kenapa dia harus pindah? Mendengar kabar itu
aku hanya bisa berharap semoga aku bisa bertemu kembali dengan sahabat
sekaligus keluarga baruku.
zzz
4 komentar:
Berbakat..
terima kasih :)
good job..
thanks :))
Posting Komentar