Minggu, 27 Januari 2013

Selvia Maggie


              Saat aku tiba di kelas, gadis itu sudah berada diposisi tidurnya seperti biasa, dengan tangan sebagai bantal diatas meja. Aku selalu berpikir apa dia seorang pelajar yang bekerja paruh waktu atau tidur adalah salah satu dari hobinya. Masa bodohlah dengan itu. Aku duduk, tiga bangku lebih belakang dari gadis yang sering dipanggil om oleh teman-temannya. Om? Panggilan yang sama sekali tidak ada hubungannya untuk seorang gadis seperti dia, yang aku tahu.
              08.30. Pergantian jam pelajaran baru saja dimulai. Wajah itu berubah. Tawaan yang tadi menghiasi wajahnya berubah drastis, muncul ketakutan, kekhawatiran, atau sejenisnya. Ini pelajaran biasa, hanya pelajaran biologi, tapi kenapa dia sangat resah? Aku membuang pikiran dan semua pertanyaanku jauh-jauh, “Itu dunianya, itu juga urusannya. Lalu untuk apa aku yang peduli?” Guru berwajah lucu itu masuk. Memanggil satu persatu nama lalu disuruhnya maju. Aku meliriknya sekilas, dia semakin gugup, itulah yang aku dapatkan.

              “Rio Hendranata,” Namaku akhirnya dipanggil. Dengan sebelah tongkat kayu, aku berjalan menghampiri meja guru didepan. Jalanku memang berubah menjadi lambat dan selalu tergantung pada sebatang kayu sejak kecelakaan mobil yang merenggut nyawa adik, kedua orang tuaku, dan membuat kaki kananku sedikit bermasalah.  Kurang dari sepuluh menit, aku kembali ke mejaku. Selanjutnya pasti anak perempuan yang dari tadi ketakutan itu, Selvia Maggie.
              Pelajaran ini tinggal menunggu jarum jam mengarah ke angka enam, sebelum bell pergantian jam itu berbunyi. Aku masih berada di kamar mandi, tidak ada keinginan sama sekali untuk kembali. Terlebih lagi, kelas itu akan dikuasai oleh seorang pembunuh. Kuakui guru itu memang cantik tapi sayang kejamnya melebihi seorang nenek sihir. Pada akhirnya kuputuskan untuk beristirahat di UKS. Untuk sekedara melepas rasa kantuk yang sudah bergelayut manja di kelopak mataku. Tapi apa yang kulihat, salah satu tempat tidur itu sudah berpenghuni. Aku beranjak ke tempat tidur disebelahnya.
              “Sakit juga?” sapaku ringan pada putri tidur.
              “Ya,” balasnya, melepaskan sepatu kets merah dan berbaring di tempat tidur,
              “Kamu beneran sakit? Tapi kelihatannya enggak seperti itu?” ledekku asal. Dia menatapku marah karena perkataanku baru saja.
              “Untuk apa aku membuang waktuku dengan tidur di UKS, kalau aku bisa berada di dalam kelas?!” jawabnya sinis. Aku mengangguk, “Memangnya kamu sakit apa?”
               Maggie menggeleng, menempelkan minyak kayu putih ke bawah lubang hidungnya, lalu menghirupnya beberapa kali. “Mungkin maag,”
              “Tadi kamu sudah makan? Sama apa? Roti?” Dia malah tertawa hambar mendengarku menyebut kata roti. Memang apa salahnya dengan roti?
              “Mana bisa aku makan roti sepertimu. Aku hanya makan mie instan dengan secangkir kopi pekat.” Aku kaget. Sungguh kaget. Gadis ini minum kopi? Kopi pekat? Apa enggak salah?, batinku bertanya-tanya.
              Dia menarik selimut liris-liris mendekati lehernya dan membenarkan posisi tidurnya, setelah merasa rentetan pertanyaanku sudah selesai. Aku diam, mengunci mulutku rapat-rapat seolah tidak ingin membuatnya terbangun dari tidur sesaatnya. Raut wajah yang berbeda saat itu mencuri perhatianku. Ya, baru kali ini aku bisa melihat raut wajah itu, setelah selama ini selalu ditutupi dengan kedua lengan tangannya.
***
              “Apa yang kucari malam ini?” Kulempar satu pertanyaan untukku sendiri.  Aku memacu mobilku dengan santai ke pinggiran kota. Mobil ini memang dirancang khusus untukku. Hadiah dari ayah yang ia titipkan kepada salah satu orang kepercayaannya sebelum ia meninggal. Yang menjadi misterinya adalah bagaimana ayahku bisa memperkirakan aku akan membutuhkan mobil ini? Apa ayahku seorang paranormal dan sejenisnya? Aku terkekeh dengan pikiran-pikiran aneh yang terlintas diotakku. Dagu ku dekatkan ke arah kemudi. Tanpa aku sadari, mobil membawaku memasuki kawasan barang-barang bekas yang sudah terkenal dimana-mana. Pusat barang bekas. Sangking banyaknya barang bekas yang terjual disini, Toni pun sering mengasumsikan bekas pacar pun ada disini. Mobil terus berjalan dengan kecepatan stabil. Bola mataku berhasil menemukan sesuatu yang menarik di toko dekat tikungan jalan depan. Ku parkir mobil di lahan kosong yang jaraknya tidak sebegitu jauh dengan tujuanku.
              “Hey, sedang apa?” kataku tiba-tiba, setelah berhasil menyejajarkan tubuhku dengannya. Karna kaget dia melompat, tanganku reflek menariknya yang hampir jatuh,
              “Responmu berlebihan, kepalamu bisa berdarah.”
              “Ini semua gara-gara kamu! Buat apa kamu tiba-tiba nonggol disini?” semburnya. Aku tertawa renyah, “Kamu lupa apa enggak sadar?” Maggie mengernyitkan dahinya, lalu memukul kepalanya beberapa kali, “Iya, maaf aku lupa, ini tempat umum, siapa saja boleh kesini termasuk kamu. Hahh! Pertanyaan bodoh!” ucapnya sambil menggelengkan kepalanya. Terbangun dari kebodohannya, Maggie melanjutkan pekerjaannya, memilih buku. Sementara aku, hanya melihat-lihat koleksi buku-buku yang masih terlihat bagus di rak-rak yang menjulang tinggi.
              “Aku cari buku apa? Kamu bisa muncul ditempat seperti ini, rasanya aneh.”
Aku tersenyum tipis sebelum menanggapi pertanyaan Maggie barusan, “Enggak ada, hanya kebetulan lewat, ada yang menarik jadi aku kemari. Kamu sendiri?”
              “Mencari ini!” Ia mengacungkan buku ke depan wajahku yang membuatku menarik kepala sedikit kebelakang.
              “Buku biologi? Itu buku pelajaran kita, kan? Bukannya itu sudah dijual disekolah?”
Maggie menurunkan tangannya, mengangguk, “Aku tidak sama sepertimu yang terlahir serba berkecukupan.”
              “Pak, saya ambil ini.” Ia memotong penjelasannya sendiri. Mengejar laki-laki yang merupakan petugas ditoko itu. Aku memutar otakku, mencerna dalam-dalam semua ucapannya barusan, telebih di kata terakhir.                                                                    
***
              Sejak kesepakatan bahwa aku bersedia mengajarinya pelajaran biologi, sepulang sekolah aku selalu mengadakan pelajaran tambahan khusus untuknya. Seperti les privat di dalam kelas atau perpustakanan, karna hanya antara aku dan dia. Menurutku, dia teman yang menyenangkan. Selain enak diajak ngobrol, dia juga cepat mengerti. Tapi yang membuatku bingung, kenapa saat guru menerangkan dia sulit untuk mengerti? Pertanyaan yang sering ingin kutanyakan padanya, tapi sesering itu pula kuurungkan.
              Tapi hari ini berbeda, belum seluruh anak menghilang, dia sudah pergi. Padahal hari ini ada jadwal untuk belajar bersama. Bukan aku berlagak rajin dan displin, tapi hanya terkesan aneh. Jika hari biasanya, dia pasti akan menunggu kelas itu menjadi kosong, membiarkan matahari sore menerobos jendela kaca, dan baru ia pulang. Saat latihan musik, aku pernah melihatnya. Sekitar 20 menit sejak aku meninggalkan kelas, pesan singkat bahkan telepon dariku tidak ada satupun yag berhasil memanggilnya. Kuparkir mobilku ditanah kosong seperti biasa. Masuk lalu keluar, masuk lagi dan keluar lagi, dengan hasil yang sama. Ku lakukan itu berkali-kali di semua deretan kios ataupun toko.
              “Rio?” Satu tepukan mendarat dipundak kananku, aku berbalik, mendapati seorang gadis yang kucari tengah berdiri dengan wajah datar dihadapanku.
              “Sedang apa kamu? Lagi cari buku atau cari aku?
              “Cari kamu.” jawabku singkat
              “Untuk?”
              “Ikut aku makan siang, sekarang!” paksaku sambil menarik tangannya. Maggie mengikutiku dengan santai sambil sesekali membantuku berjalan. Warung soto ayam kampung menjadi tempat rekomendasi Maggie untuk tempat makan siangku hari ini. Tanpa berpikir panjang aku menyetujui tawaran Maggie. Dua mangkok besar terhidang dihadapan kami. Tanpa basa-basi lagi, kami segera menyantap soto yang terlihat begitu lezat. Pengalaman pertamaku yang menyenangkan.  Maggie menutup acara makannya dengan menegak es jeruk dalam beberapa teguk saja. Hal yang jarang kulihat.
              “Aku boleh tanya sesuatu?”
              “Tanya saja,” balasnya. Aku menghabiskan es teh yang masih mendiami gelas ditanganku. “Aku ingiu tanya, apa maksudmu tempo hari, waktu kamu bilang aku terlahir serba berkecukupan?” Maggie malah tertawa lebar dan sesekali memukul meja, “Jadi kamu enggak tahu maksudku apa? Kamu ini pintar tapi ternyata bodoh juga ya?” ledeknya.
              “Apa yang tidak bisa kamu miliki? Semuanya bisa kamu miliki, bukan begitu?”
              “Kamu salah! Masih ada yang tidak bisa aku miliki, seperti–”
              “Kasih sayang?” potong Maggie. Aku diam, tanganku mengepal dibawah meja.
              “Pasti iya kan? Nih ya aku kasih tahu, kalau kamu berpikir kamu tidak bisa mendapatkan kasih sayang, berarti kamu termasuk orang yang perlu dikasihani.”
              “Dikasihani?”
              “Iya, betul sekali. Apa kamu lupa betapa sayangnya keluargamu sama kamu. Kalau sampai ada sesuatu yang terjadi, ingat Rio, kita tidak hidup sendiri. Saat kita tidak mempunyai keluarga kita masih memiliki sahabat. Saat kita tidak memiliki sahabat, kita masih ada teman, dan saat kita tidak memiliki teman, kita masih punya Tuhan. Tuhan akan memberi kita kasih sayang, kasih sayang yang lebih besar daripada kasih sayang orang tua kita sendiri.”
              “Jangan sok tahu! Maggie, kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan. Tidak mengalami apa yang aku alami. Jadi bagaimana kamu bisa bicara seperti itu?” balasku dingin.
              “Dasar! Kita tidak perlu membuat orang lain mengerti kita dengan membuatnya mengalami apa yang kita alami. Kita hanya cukup mengerti mereka terlebih dulu, sebelum meminta mereka dapat mengerti kita.” Ia meneguk air dari gumpalan es batu yang mencair.
              “Aku tidak memiliki seorang ayah sejak aku lahir. Beliau meninggal saat aku masih berada didalam kandungan. Aku selalu menginginkan kehadiran seorang ayah, merasakan bagaimana saat ayah melindungi kita. Jangankan merasakan dekapan seorang ayah, melihat wajahnya secara langsung pun aku tidak pernah, meski hanya dalam mimipi.” Raut wajahnya terlihat sedih, aku ikut terenyuk mendengar ceritanya. Gadis yang kukira pemalas ternyata jauh lebih dewasa daripadaku.
              “Maggie, aku minta maaf, aku enggak tahu kalau …”
              “enggak masalah, santai saja. Ehm, Ingat Rio, semua itu bisa berubah dan menghilang, termasuk siapa saja yang ada disekitarmu sekarang. Tapi ada dua hal yang tidak akan pernah bisa berubah yaitu perubahan dan kematian.” Dia tersenyum, di dekatnya aku merasa seperti seorang adik, padahal jelas-jelas umurku lebih tua beberapa bulan darinya, tapi pikiranku jauh seperti anak-anak. Rio, tingkat kedewasaan seseorang dilihat bukan dari umurnya tapi dari besar dia bisa bertanggung jawab dan dari pola pikirnya. Nasehat itu tiba-tiba terbersit di pikiranku.
***
              Sekarang aku sering bersamanya, sampai kadang Toni mencurigaiku sudah menjalin hubungan dengannya, padahal keinginan itu sama sekali tidak terbesit dalam benakku. Bagiku dia bukan hanya sekedar teman ataupun sahabat. Bagiku dia lebih daripada itu. Dia keluarga bagiku. Ditambah, aku merasakan ada sensasi yang berbeda setiap bersamanya. Kenyamanan yang selalu aku dambakan. Melihatnya yang tertawa senang karna mendapat nilai A dilembar nilai biologi saat ujian semester. Ada rasa bangga yang ia pancarkan. Seolah mendapatkan hasil dari apa yang dia lakukan. Deretan nila A dan B ini sudah menjadi makananku. Tapi aku mengingan sesuatu yang berbeda. Aku ingin merasakan kepuasan dari apa yang aku perjuangkan.
               “Rio, makasih ya, sudah bantuin aku selama ini. Makasih sudah bersedia jadi guru privatku selama ini. Maaf kalau sering bikin kamu marah.”
              “Sama-sama. Nilai itu pantes kok buat kamu. Selama ini aku juga sudah belajar sungguh-sungguh.” Maggie tersenyum penuh arti seperti biasanya, “Terima kasih.”
***
              Liburan kali ini aku memutuskan untuk berhenti bermain-main. Aku pergi ke peternakan lebah milik ibuku. Aku belajar disana, belajar segalanya tentang pengolahan peternakan lebah. Aku akan meneruskan usaha ibuku ini setelah lulus SMA nanti, sekaligus memilih universitas di dekat daerah ini. Maggie mengajariku merasakan kasih sayang dari sesuatu yang tidak ada. Berada di peternakan ini selama liburan, membuatku bisa merasakan kehadiran ibuku. Tapi malam ini aku harus kembali ke kota. Besok lusa, rutinitas sekolahku sudah kembali dimulai.
              Tapi mungkin setelah aku kembali, aku tidak akan bertemu dengan dirinya lagi. keputusannya itu membuatku kaget dan tak habis pikir. Diwaktu yang sesingkat ini. Waktu penentuan yang datang sebentar lagi ini, malah digunakannya untuk pergi.  Kenapa dia harus pindah? Mendengar kabar itu aku hanya bisa berharap semoga aku bisa bertemu kembali dengan sahabat sekaligus keluarga baruku.
                                                                           
zzz